• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Umum Akad

1. Konsep Akad dalam Fiqh Muamalah

a. Pengertian Akad

Dalam al-Qur‟an ada dua istilah yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-„aqdu (akad) dan al-„ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai “Pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya” (Dewi dkk, 2006:45-46).

Sedangkan menurut istilah fiqh, secara umum akad adalah sesuatu yang menjadi tekad seseporang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai. Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan

21

penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyaratkan dan berpengaruh pada sesuatu (Ascarya, 2011:35).

b. Unsur-Unsur Akad

1) Pertalian Ijab dan Qabul

Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu.Qabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qaabil).Ijab dan qabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan (Dewi dkk, 2006:48).

2) Dibenarkan Oleh Syara‟

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam al-Qur‟an dan Nabi Muhammad dalam hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad maupun objek akad tidak boleh bertentangan dengan syari‟ah, jika bertentangan akan mengakibatkan akad itu tidak sah (Dewi dkk, 2006:48).

3) Mempunyai Akibat Hukum Terhadap Objeknya

Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf), adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberi konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak (Dewi dkk, 2006:48).

22 c. Rukun dan Syarat Akad

Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.Secara bahasa, rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan.Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan (Dewi dkk, 2006:49).

Menurut ulama Hanafiah sebagaimana yang dikutip oleh Muslich (2010:115) bahwa rukun akad ada dua macam, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan unsur-unsur yang lain yang menjadi penopang terjadinya akad, seperti objek akad dan pelaku akad, merupakan sesuatu yang secara otomatis harus ada untuk pembentukan akad, namun tidak menjadi rukun akad.

Ulama-ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa rukun akad itu ada tiga yaitu orang yang melakukan akad („aqid), objek akad (ma‟qud „alaih) dan shighat.

1) Aqid (Orang yang Melakukan Akad)

Ijab dan qabul yang oleh Hanafiah dipandang sebagai satu- satunya rukun akad, timbul dari orang-orang yang melakukan akad.Orang yang melakukan akad dialah pelaku dari setiap transaksi.Tidak setiap orang layak untuk menyatakan suatu akad seperti anak dibawah umur.

23 2) Ma‟qud „Alaih (Objek Akad)

Objek akad adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran atau tujuan akad.Jenisnya kadang-kadang benda yang bersifat maliyah, seperti barang dijual, digadaikan atau dihibahkan. Para fuqaha, sebagimana dikutup oleh Wahbah Zuhaili, mengemukakan ada empat syarat yang harus dipenuhi agar benda bisa dijadikan objek akad:

a) Benda tersebut harus ada pada saat dilakukannnya akad.

b) Barang yang dijadikan objek akad harus sesuai dengan ketentuan syara‟.

c) Barang yang dijadikan objek akad harus bisa diserahkan pada waktu akad.

d) Barang yang dijadikan objek akad harus jelas diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan perselisihan antara keduanya.

e) Barang yang dijadikan objek akad harus suci, tidak najis dan tidak mutanajis. Syarat yang kelima ini dikemukakan oleh jumhur ulama selain Hanafiah (Muslich, 2010:129).

3) Shigat (Ijab dan Qabul)

Pengertian ijab menurut Muhammad Abu Zahra sebagimana yang dikutip oleh Muslich (2010:130) adalah pernyataan yang timbul pertama dari salah seorang yang melakukan

24

akad.Sedangkan qabul adalah pernyataan kedua yang timbul dari pelaku akad yang kedua. Sedangkan yang dimaksud dengan shigat akad adalah pernyataan yang timbul dari dua orang melakukan akad yang menunjukkan kesungguhan kehendak batin keduanya untuk mengadakan akad.Kehenndak batin tersebut diketahui melalui lafal, ucapan, atau semacamnya, seperti perbuatan, isyarah, atau kitabah (tulisan). Shigat akad ini dalam istilah lain disebut ijab dan qabul(Muslich, 2010:138).

d. Syarat-Syarat Akad 1) Syarat In‟iqad

Syarat in‟iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan suatu akad dalam zatnya sah menurut syara‟.Apabila syarat tidak terwujud maka akad menjadi batal. Syarat ini ada dua macam yaitu:

a) Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad. Syarat ini meliputi syarat dalam shighat, aqid, objek akad.

b) Syarat Khusus, yaitu yang dipenuhi dalam sebagian akad, bukan dalam akad lainnya. Contohnya seperti syarat saksi dalam akad nikah, syarat penyerahan barang dalam akad-akad kebendaan (hibah, I‟arah, gadai dan lain-lain).

25 2) Syarat Sah

Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara‟ untuk timbulnya akibat-akibat hukum dari suatu akad, apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid.Tetapi tetap sah dan eksis.Contohnya seperti dalam jual beli disyaratkan oleh Hanafiah, terbebas dari salah satu „aib (cacat) yang enam, yaitu:

a) Jahalah (ketidakjelasan) b) Ikrah (paksaan)

c) Tauqid (pembatasan waktu) d) Gharar (tipuan/ketidakpastian) e) Syarat yang fasid.

3) Syarat Nafadz (kelangsungan akad)

a) Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik barang yang menjadi objek akad, atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan), maka akad tidak tidak bisa dilangsungkan, melainkan mauquf (ditangguhkan), bahkan menurut asy-Syafi‟i dan Ahmad akadnya batal.

b) Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka

26

akadnya mauquf tidak nafidz. Seperti menjual barang milik orang lain

c) Syarat Luzum yaitu pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). Untuk mengikat (lazim-nya) suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya kesempatan hiyar (pilihan), yang memungkinkan di-fasah-nya akad oleh salah satu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, seperti khiyar syarat, khiyar aib, atau khiyar ru‟yat, maka akad tersebut tidak mengikat (lazim) bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya (Muslich, 2010:150-151).

e. Macam-Macam Akad

1. Ditinjau dari Segi Hukum dan Sifatnya

Ditinjau dari segi hukum dan sifat akad, menurut jumhur ulamaterbagi kepada dua bagian:

a) Akad Shahih

Akad shahih adalah suatu akad yang disyaratkan dengan asalnya dan sifatnya, yang dimaksud dengan asal dalam definisi tersebut adalah rukun, yakni ijab dan qabul, para pihak yang melakukan akad dan objeknya.Sedangkan yang dimaksud

27

dengan sifat adalah hal-hal yang tidak termasuk rukun dan objek seperti syarat.

Akad shahih menurut Hanafiah dan Malikiyah terbagi menjadi dua yaitu, akad yang nafidz dan akad yang mauquf.Akad nafidz adalah akad yang dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan dan kekuasaan.Contohnya seperti akad yang dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dan mampu mengurus hartanya sendiri, atau oleh wali dari anak yang masih dibawah umur. Hukum akad semacam ini menimbulkan akibat-akibat hukum secara langsung tanpa menunggu persetujuan orang lain.

Akad nafidz ada dua yaitu akad lazim dan akad ghair lazim. Akad lazim adalah suatu akad yang tidak bisa dibatalkan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lain, seperti jual beli dan ijarah (sewa-menyewa). Sedangkan akad ghair lazim adalah suatu akad yang bisa di-fasakh (dibatalkan)oleh salah satu pihak tanpa memerlukan persetujuan dari pihak yang lain. Kondisi ini bisa terjadi karena watak akadnya itu sendiri seperti akad wakalah dan pinjaman, atau karena kemashlahatan orang yang melakukan akad, seperti akad yang mengandung khiyar. b) Akad Ghair Shahih

Akad ghair shahih adalah suatu akad yang salah satu unsurnya yang pokok atau syaratnya telah rusak (tidak

28

terpenuhi).Misalnya seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang di bawah umur, jual beli babi dan minuman keras.Dilihat dari aspek hukumnya akad ini tidak menimbulkan akibat hukum, yakni tidak ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, sebagai akibat dari akad tersebut.

Akad ghair shahih terbagi menjadi dua yaitu akad yang fasid dan akad batil. Akad yang batil adalah suatu akad yang rusak yang sama sekali tidak terpenuhinya rukun, objek dan syaratnya. Oleh karena itu hukum akad batil adalah tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum sama sekali, yakni tidak ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang melakukan akad. Contohnya jual beli oleh orang gila atau anak di bawah umur, jual beli minuman keras dan ikan yang masih ada di dalam air laut.

Sedangkan akad fasid adalah akad yang disyariatkan dengan asalnya, tidak dengan sifatnya.Maksudnya adalah bahwa akad fasid adalah suatu akad yang rukunnya terpenuhi, pelakunya memiliki ahliyah, objeknya dibolehkan oleh syara‟, ijab dan qabul-nya beres, tetapi di dalamnya terdapat sifat yang dilarang oleh syara‟.Contohnya seperti jual beli barang yang majhul (tidak jelas).

Akad fasid hukumnya fasakh (dibatalkan), baik oleh salah satu pihak atau oleh hakim, apabila ia mengetahui bahwa

29

akadnya dilarang oleh syara‟ fasakh ini berlaku dengan dua syarat yaitu, pertama barang yang menjadi objek akad masih ada dan utuh seperti halnya sebelum diterima.Apabila barangnya telah rusak atau telah berubah bentuknya, misalnya tepung telah dimasak roti, maka fasakh tidak berlaku.Kedua barang yang menjadi objek akad tidak ada kaitannya dengan hak orang lain. Apabila ada sangkutan dengan hak orang lain, maka fasakh tidak berlaku (Muslich, 2010:153-158).

2. Ditinjau dari Segi atau Hubungan Antara Hukum dengan Shighat- nya.

Dilihat dari segi apakah ijab dan qabul langsung menimbulkan akibat hukum atau tidak, maka akad dapat dibagi menjadi tiga bagian:

a) Akad yang dapat dilaksanakan (al-„Aqdu Al-Munjaz)

Akad munjaz adalah suatu akad dengan menggunakan shigat yang tidak digantungkan dengan syarat dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Dengan demikian, dalam akad munjazyang akadnya tidak memerlukan penerimaan atas barang yang menjadi objek akad, shighat ijab dan qabul semata-mata sudah cukup menimbulkan akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

30

b) Akad disandarkan kepada masa mendatang (al-„Aqdu al- Mudhaf li al-Mustaqbal)

Akad yang disandarkan kepada masa mendatang adalah suatu akad yang menggunakan shighat dengan ijab yang disandarkan kepada masa depan, bukan masa sekarang. Hukum akad semacam ini adalah sah untuk masa sekarang ketika akad diucapkan, namun akibat hukumnya baru berlaku pada saat yang disebutkan dalam akad tersebut.

c) Akad yang dikaitkan dengan syarat (al-„Aqdu al-Mua‟alaq „ala Syarh)

Akad yang dikaitkan dengan syarat adalah suatu akad yang digantungkan dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan salah satu alat syarat. Contonhya “jika engkau pergi ke Jakarta maka engkau adalah wakil saya”.Dalam contoh ini penunjukan sebagai wakil dikaitkan dengan kepergian ke Jakarta (Muslich, 2010:160-163).

3. Ditinjau dari Segi Maksud dan Tujuannya a) Akad at-Tamlik

Akad at-Tamlik yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk memiliki suatu benda, baik jenisnya maupun manfaatnya.Apabila pemilikan tersebut dengan imbalan maka akadnya disebut akad mu‟awadhah, seperti jual beli, ijarah, shulh (perdamaian), istisna‟ dan lain-lainnya, yang di dalamnya

31

terdapat mu‟awadhah antara dua pihak.Apabila pemilikan terjadi tanpa imbalan maka akadnya disebut akad tabarru‟ sepeti hibah, shadaqah, wakaf, i‟arah dan hiwalah.

b) Akad Isqathat

Akad Isqathat yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk menggugurkan suatu hak, baik dengan pengganti maupun tanpa pengganti.

c) Akad Ithlaqat

Akad Ithlaqat yaitu pelepasan oleh seseorang kepada tangan orang lain dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Contohnya seperti wakalah, persetujuan kepada orang yang mahjur „alaih untuk melakukan tasarruf dan isha‟ atau pengangkatan sebagai pemegang wasiat.

d) At-Taqyidat

At-Taqyidat yaitu suatu akad yang membatasi atau mencegah seseorang untuk melakukan tasarruf, seperti pemberhentian sebagai hakim atau pejabat, pemberhentian sebagai wakil dan pembatasan seseorang untuk melakukan tasarrufkarena gila, boros, atau karena masih dibawah umur. e) At-Tautsiqat

At-Tautsiqat yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk menanggung utang bagi pemiliknya, dan mengamankan orang

32

yang memiliki piutang atas utangnya, yaitu akad kafalah, hiwalah dan rahn.

f) Al-Isytirak

Al-Isytirak yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk bekerja sama dalam pekerjaan dan keuntungan, seperti akad syirkah dengan berbagai jenisnya, akad mudharabah, muzara‟ah dan musaqah.

g) Al-Hifzhu

Al-hifzhu yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara harta bagi pemiliknya, seperti akad wadi‟ah (Muslich, 2010:164-165).

Tanggung renteng menurut pengertiannya termasuk akad yang dikaitkan dengan syarat (Al-„aqdu al-Mua‟alaq „ala syarh). Akad ini dikaidkan dengan syarat yaitu suatu akad yang digantungkan dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan salah satu syarat.

f. Berakhirnya Akad

a) Berakhirnya akad karena fasakh (pembatalan) 1) Batal karena akadnya rusak

2) Batal karena hiyar

3) Batal karena Iqalah (persetuan kedua belah pihak) 4) Batal karena tidak bisa dilaksanakan

33

5) Batal karena habisnya masa yang disebutkan dalam akad atau tujuan akad telah terwujud

b) Berakhirnya akad karena pelaku meninggal

c) Berakhirnya akad karena tidak adanya persetujuan dalam akad yang mauquf(ditangguhkan) (Muslich, 2010:166-168).

g. Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Islam a) Asas ibahah (mabda‟ al -Ibahah)

Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”.Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah.Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari‟ah (Anwar, 2010:84-85).

b) Asas Kebebasan Berakad (Mabda‟ Hurriyyah at- Ta‟qud)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah. Memasukkan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil.

34

Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam di dasarkan pada firman Allah surat al-Maidah ayat 1:

Ayat tersebut menjelaskan bahwa hukum memenuhi akad adalah wajib.Dalam ayat ini akad disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al” (al-„uqud).Menurut kaidah usul fiqh, jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukkan keumuman. Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi (Anwar, 2010:84-85).

c) Asas Konsensualisme (Mabda‟ ar- Radha‟iyyah)

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu(Anwar, 2010:87-88).Sesuai dengan firman Allah dalam an-Nisa ayat 29 yaitu:









“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara

35

kamu.dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu”.

d) Asas Janji Itu Mengikat

Sesuai dengan firman Allah surat al-Israa ayat 34 yaitu:

















“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.

e) Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dalam transaksi tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memukul resiko tercermin dalam larangan transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditur bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif(Anwar, 2010:90).

f) Asas Kemaslahatan

Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi

36

mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah) (Anwar, 2010:91).

g) Asas Amanah

Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktauan mitranya (Anwar, 2010:91).

h) Asas Keadilan

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum(Anwar, 2010:92).Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah al-Qur‟an yang tercermin dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 8 yaitu:



















“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

37

Dokumen terkait