• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Wadi’ah

38

Ir. Sigit Purnawan Jati, Dinar Emas Solusi Krisis Moneter (Seputar Dinar), (PIRAC, SEM Institute, Infid, Maret 2001), Cet Ke-1

Secara etimologi, kata al-wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara terminologi, ada dua definisi al-wadi’ah yang dikemukakan pakar fiqh.

Pertama, definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Menurut mereka, al-wadi’ah adalah:

] Tﺕ = ^ﻝ

_Cﺡ

ﻝ+5 =

+?'ی

` ?MﻝR@

Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.

Kedua, definisi yang dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah (jumhur ulama), menurut mereka al-wadi’ah adalah:

X 1;ﺕ

. _Cﺡ a; L5

U [

Ub;Ec5

Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.39

Dengan demikian maka pengertian istilah al-wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta atau modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.40

Dasar hukum yang dipakai adalah hukum yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunah. Sebagai salah satu akad yang bertujuan untuk saling membantu antara sesama manusia, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa al- wadi’ah disyariatkan dan hukum menerimanya adalah sunat. Alasannya adalah firman Allah dalam surat an-Nisaa’: 58 yang berbunyi:

39

Dr. H. Nasrun Haroen, MA. Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, Januari 2007), h. 244-245

40

) (

: 58 ...{

0,

/ d h

u@|

C

S

2 (+O>

%

} y$9)

W hR

#?&' +.J(5"

W

C

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...”.

Para ulama sepanjang zaman telah sepakat tentang kebolehan penitipan dan meminta menitipkan barang kepada seseorang.41 Jika pihak yang diberi amanah termasuk orang yang dapat dipercaya dan mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya maka ia disunahkan menerima titipan tersebut.42

Al-wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT:

( S : 283 ) ..

 4Z 8

c•4D

€ (O

2 (+ h

Y9) (

!"

1

‚ y$ ./$.

ƒs 9(Z{?&oBs 9(Z

1

+ hW

„$.

...

Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagai Tuhannya (al-Baqarah: 283)

Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan, berdasarkan kepada sabda Nabi

41

Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah, (Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Juni 1999), h. 2/17

42

Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Darul Fikri; tth), Juz-2. h. 11

yang diriwayatkan oleh Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari hakekatnya bahwa Nabi SAW. Bersabda:

5 Y@ ` @

?M"ی d.

+L

(

@ Sط W)

”Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni)43

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status al-wadi’ah di tangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang dititipi, kecuali kerusakannya disengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi.44 Sabda Rasulullah SAW:

f ﻝ

Y@;3TLﻝ

= g

X^Lﻝ +L

6

(

J S

@ Sط J)

Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).45

Berdasarkan hadis diatas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila dalam akad al-wadi’ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan, sekalipun kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad al-wadi’ah adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan itu.46

43 Drs. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juli 2002),

Cet Ke-1, h. 182

44

Ah. Azharuddin Lathif, Bahan Perkuliahan Fiqih Muamalah, (Jakarta: 2004), h. 52

45

Haroen, Fiqh Muamalah, h. 247

46

2. Rukun dan Syarat Wadi’ah

Sebagai sebuah titipan, wadi’ah harus memenuhi segala rukun dan syarat. Adapun yang menjadi rukun wadi’ah adalah sebagai berikut:

Para ulama berbeda pendapat tentang rukun wadi’ah, ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun al-wadi’ah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti ”saya titipkan sepeda ini pada engkau) dan qabul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti ”saya terima titipan sepeda anda ini”).

Sedangkan menurut jumhur ulama fiqh mengatakan bahwa rukun al- wadi’ah ada tiga, yaitu:

a. Orang yang berakad. b. Barang titipan.

c. Shighat ijab dan qabul. Syarat-syarat wadi’ah

Dalam syarat-syarat wadi’ah para ulama juga berbeda pendapat:

Menurut ulama Hanafiah bahwa yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad adalah harus orang yang berakal. Apabila anak kecil yang telah berakal dan diizinkan oleh walinya untuk melakukan transaksi al-wadi’ah, maka hukumnya sah. Mereka tidak mensyaratkan baligh dalam persoalan al-wadi’ah. Akan tetapi, anak kecil yang belum berakal atau orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukumnya, seperti orang gila, tidak sah melakukan al-wadi’ah.

Sedangkan menurut jumhur ulama, pihak-pihak yang melakukan transaksi al-wadi’ah disyaratkan telah baligh, berakal, dan cerdas, karena akad al-wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung risiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil, sekalipun telah berakal tidak dibenarkan melakukan transaksi al-wadi’ah, baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima titipan barang. Disamping itu, jumhur ulama juga mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah berakal dan baligh, kalau tidak cerdas, tidak sah untuk melakukan transaksi

al-wadi’ah. Pada wadi’ah disyaratkan, harta itu bisa dikuasai, apabila seseorang menitipkan ikan yang ada di laut atau di sungai, sekalipun ditentukan jenis, jumlah dan identitasnya, hukumnyatidak sah, karena ikan itu

tidak dapat dikuasai oleh orang yang dititipi.47 3. Macam-macam Wadi’ah

Secara umum terdapat dua jenis al-wadi’ah yaitu wadi’ah yad al- amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah:

1. Wadi’ah Yad al-Amanah (Trustee Depository)

Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.

47

b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang ditititpkan tanpa boleh memanfaatkannya.

c. Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kapada yang menitipkan.

d. Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe deposit box.

Mekanisme seperti di atas dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.

Skema al-Wadi’ah Yad al-Amanah

1. Titipan Barang

2. Beban Biaya Penitipan

Keterangan :

Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.

2. Wadi’ah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)

Wadi’ahjenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut: Nasabah Muwaddi’ (Penitip) BANK Mustawda’ (Penyimpan)

a. Harta atau barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.

b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.

c. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.

d. Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan persentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syari’ah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar- benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank. e. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan

manajemen bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.

f. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang disamakan dengan cek.

Mekanisme wadi’ah yad adh-dhamanah dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Skema al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah

1. Titipan Barang

4. Beri Bonus

3. Bagi Hasil 2. Pemanfaatan Dana

Keterangan :

Dengan konsep al-wadi’ah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak bank dalam hal ini mendapatkan hasil dari

Nasabah Muwaddi’ (Penitip) BANK Mustawda’ (Penyimpan) USERS OF FUND (Dunia Usaha)

pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.48

48

Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 148-150

BAB III

Dokumen terkait