• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

2.2 Konsep Dasar

Bahasa, teks, sastra, dan hermeneutika merupakan rangkaian istilah yang menyatu dan tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, penggunaan filosofi yang tepat merupakan hal mendasar untuk memahami dan menjelaskan rangkaian istilah tersebut. Di dalam hal ini, pemaknaan terhadap bahasa, teks, dan sastra akan menjadi seperangkat konsep dasar pendekatan hermeneutika historis. Konsep dasar inilah yang akan mendasari penerapan teori strukturalisme genetik terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut.

Bahasa menjadi kata kunci pertama dalam konsep dasar penerapan strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa secara linguistik mengandung makna sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Tim, 2005:88). Secara operasional, Roger Fowler dkk. memandang bahasa sebagai sistem klasifikasi. Mereka mengatakan, “Bahasa menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat, memberi kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitas sosial. Akan tetapi, sistem klasifikasi ini berbeda-beda antara seseorang atau satu kelompok dengan kelompok lain.” (Eriyanto, 2008:134). Untuk mengatasi perbedaan itu, terdapat konsep bahasa yang mengutamakan pemahaman yang kontekstual. Konsep itu dikembangkan Gadamer (2004:467) dengan pernyataan, “Masalah hermeneutika bukan penguasaan yang benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui media bahasa.”

Bahasa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini merupakan bahasa dalam teks-teks tertulis. Teks itu merupakan teks-teks hasil kreativitas pengarang yang mengandung pandangan dunia masyarakatnya. Teks pada konteks ini ditempatkan dalam terminologi sastra dan kondisi sosial budaya yang menyertai kelahiran karya tersebut. Pada konteks ini, “Teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Dalam praktek ilmu sastra, kita membatasi diri pada teks-teks tertulis.” (Luxemburg, dkk., 1989:86). Hal ini semakin dipertegas oleh Chatman yang menyatakan bahwa, ”Objek ilmu sastra (poetica) adalah cerita atau teks, termasuk di dalamnya bahasa.” (Ratna, 2004:257).

Sejalan dengan pemahaman terhadap bahasa dan teks maka sastra merupakan hasil kreativitas sastrawan yang berasal dari kondisi sosial budaya masyarakatnya. Menurut Gadamer (2004:193), “Sastra adalah sebuah fungsi dari pemeliharaan intelektual dan tradisi, dan oleh karena itu memunculkan sejarahnya yang tersembunyi ke setiap masa.” Pandangan ini memiliki relevansi dengan pandangan Thomas Warton (1774) yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah bangkit dan runtuhnya semangat kesatriaan.” (Wellek dan Austin Warren, 1989:111-122). Dengan demikian, novel sebagai salah satu jenis sastra dapat menjadi model kehidupan masyarakat. Di dalam hal ini, Teeuw (2003:187) mengatakan, “Roman bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat mana disendikannya dunia.”

Kedudukan sastra yang penting dalam sejarah peradaban membuat penafsiran terhadap sastra harus diletakkan pada konteks historis. Di dalam hal ini, novel sebagai salah satu jenis karya sastra tampil sebagai sesuatu yang otonom dan tidak terikat dengan kehendak penulisnya lagi. Hal ini menjadi bagian awal pemahaman sastra secara hermeneutik sebagaimana ditegaskan oleh Gadamer yang menyatakan, ”Makna sesebuah karya sastera tidaklah dibatasi oleh hasrat penulis; apabila karya itu berpindah daripada konteks budaya atau sejarah kepada yang lain, makna-makna baru yang mungkin tidak dijangkaukan oleh penulis atau audien sezamannya timbul.” (Eagleton, 1988:78).

Penempatan bahasa, teks, dan sastra dalam proses pemaknaan telah memasukkan novel sebagai salah satu jenis sastra pada konsep hermeneutika. Hermeneutika itu sendiri mengandung tiga pengertian yang menyatu dalam proses penafsiran karya sastra. Menurut Palmer (2003:15), makna yang terkandung dari istilah hermeunitika adalah: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya, “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Di dalam penelitian ini, proses pengungkapan, penjelasan, dan penerjemahan bahasa teks berdasarkan aturan hermeneutik yang menyatakan bahwa kita harus memahami keseluruhan berdasarkan yang detail dan yang detail berdasarkan keseluruhan. Menurut Gadamer (2004:351), “Gerakan pemahaman secara tetap berasal dari keseluruhan ke bagiannya dan kembali ke seluruhan. Keselarasan dari semua detail dengan keseluruhan adalah kriteria pemahaman yang

benar. Kegagalan untuk mencapai keselarasan ini berarti kegagalan dan pemahaman itu.”

Proses penafsiran teks sastra berdasarkan pendekatan hermeneutika historis menjadikan kedudukan pengarang atau penulis teks sejajar dengan penafsir teks. Penempatan penafsir, pengarang, dan teks sastra seperti ini berdasarkan pada kenyataan bahwa sebenarnya sastrawan yang menciptakan novel, karya sastra, bukanlah penafsir ideal terhadapnya. Dengan tegas Gadamer (2004:232) mengatakan, “Sebagai seorang penafsir, dia tidak mempunyai prioritas otomatik sebagai otoritas terhadap orang yang hanya menerima karyanya. Dia, sejauh dia mencerminkan pada karya sendiri, adalah pembaca itu sendiri. Makna yang dia, sebagaimana pembaca, berikan pada karyanya tidak otomatif. Satu-satunya kriteria penafsiran adalah makna dari penciptaannya, apa yang ia maksudkan.” Akan tetapi, “Pengarang dilihat dalam konteks teori ini haruslah memiliki tanggung-jawab moral terhadap masyarakatnya.” (Sikana, 2009:269).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengarang diposisikan sebagai penafsir teks dalam hermeneutika historis. Dengan demikian, pengarang dalam menafsirkan teks memiliki posisi yang sama dengan penafsir, di mana seorang penafsir mempersiapkan berbagai pengetahuan untuk memahami kebenaran isi teks. Hal itu berarti, pengarang tidak ditempatkan sebagai individu tetapi disamakan dengan wakil kondisi historis teks yang ditulisnya. Posisi pengarang seperti ini menyamakan posisi pengarang dalam teori strukturalisme genetik. Goldmann menolak bahwa teks-teks adalah ciptaan jenius individual dan menyatakan bahwa

teks-teks itu didasarkan pada, “...struktur-struktur mental trans-individual’ milik kelompok-kelompok (atau kelas-kelas) khusus.” (Selden, 1991:37).

Dengan menempatkan pengarang atau penulis teks sebagai penafsir teks maka penafsir dan teks merupakan unsur utama dalam proses penafsiran teks. Gadamer mengatakan di dalam proses penafsiran ini telah, “...terjadi interaksi antara penafsir dan teks, di mana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya.” (Rahardja, 2008:93). Akan tetapi, Gadamer mengingatkan penafsir untuk berusaha melepaskan diri dari prasangka dengan menjaga jarak estetis antara penafsir dengan teks, terutama teks yang memiliki kedekatan emosional dengan penafsir teks. Secara filosofis, Gadamer (2004:592) mengatakan bahwa, “...tidak ada pemahaman yang bebas dari semua prasangka-prasangka, betapapun kehendak pengetahuan kita harus diarahkan untuk menghindari perbudakan mereka.”

Dari penjelasan di atas dapat ditarik simpulan bahwa bahasa, teks, sastra, dan hermeneutika merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seorang penafsir dalam proses penafsiran teks novel. Di dalam menafsirkan bahasa sebagai suatu sistem tanda yang terdapat dalam karya sastra, maka penafsir memiliki kebebasan untuk menggunakan pengetahuannya dalam menafsirkan isi teks. Bahkan, hermeneutika dalam pandangan Hans Georg Gadamer memberikan keleluasaan kepada penafsir untuk menguji secara langsung penemuan-penemuannya dalam konteks historis yang relevan dengan penemuan tersebut. Hal ini disebabkan hermeneutika historis tidak menempatkan tujuan pengarang sebagai tujuan dalam

proses penafsiran teks. Dengan demikian, penafsir memiliki ruang untuk menghadirkan kebaruan dan kebenaran sebagai hasil proses pemahaman bahasa teks sebuah karya sastra.

2.3 Landasan Teori

Dokumen terkait