• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis"

Copied!
304
0
0

Teks penuh

(1)

NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT:

PENDEKATAN HERMENEUTIKA HISTORIS

TESIS

Oleh

ROSLIANI

077009023/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT:

PENDEKATAN HERMENEUTIKA HISTORIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROSLIANI

077009023/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT: PENDEKATAN HERMENEUTIKA HISTORIS Nama Mahasiswa : Rosliani

Nomor Pokok : 077009023 Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.) (Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si

(5)

ABSTRAK

Penelitian yang menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik ini merupakan bagian dari pendekatan hermeneutika hitoris, khususnya menemukan homologi peristiwa dalam karya sastra dengan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba. Dengan demikian, tergambar ikon, indeks, dan simbol yang ikut menentukan segenap kejadian dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Tiga buah novel karya Bokor Hutasuhut menjadi sampel penelitian melalui uji teks dengan uji kepustakaan. Setiap teks diidentifikasi atas struktur novel, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia yang dijadikan landasan hidup tokoh cerita. Hasil identifikasi yang terpisah dalam tiga teks dihomologikan kepada nilai budaya yang dijadikan pedoman hidup masyarakat Batak Toba. Dari pelacakan terhadap realitas fiksi dan realitas faktual tersebut dirumuskan pandangan dunia Batak Toba terhadap kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman dalam kehidupan zaman perang antarmarga, penjajahan Jepang, agresi militer Belanda, dan keadaan masyarakat pada masa Orde Lama.

Masyarakat Batak Toba dapat melaksanakan sebagian dari pandangan dunia yang terkandung dari nilai budaya Batak Toba karena ketentuan Mulajadi Na Bolon, Tuhan yang Maha Esa, bahwa tetap ada krisis keluarga, peperangan, bencana alam, bahkan pengkhianatan yang mengganggu realisasi pandangan dunia Batak Toba secara paripurna.

(6)

ABSTRACT

The use of semiotic and genetic structuralism theories in this research is part of historical hermeneutic approach, espesially in finding homology event of literature in relation to the daily life of Batak Toba society. Therefore, icon, index, and symbol which determined the whole events in the life of that society are depicted.

Three novels by Bokor Hutasuhut become the samples of this research are through text and literature tests. Every text is identified on a novel structure, hermeneutical facts, collective subject, and world view which are applied as life foundation for story figures. The identification results are devided into three texts and are homologized to the cultural values which are applied as the philosophy of Batak Toba society life. The observation through the fiction and the factual realities are formulated world view of Batak Toba on the relationship, religion, hagabeon, law, improvement, conflicts, hamoraon, hasangapon, and protection in the area of civil war, and Japanese colonization, Netherland military agression, and the sociopolitical of old order period.

Batak Toba society could perform a part of world view which is contained in the values of Batak Toba culture because of the Mulajadi Na Bolon’s provisions, the Almighty God, that there are always family crisis, war, natural disaster, even the betrayal which completely disturb the realization of Batak Toba word view.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah yang telah memberi kemudahan dan kemurahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Tesis ini penulis beri judul “Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis”. Tesis ini membicarakan nilai budaya Batak Toba sebagai realitas fiksi dan realitas faktual yang menjadi konteks historis peristiwa kehidupan dalam novel Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, dan Pantai Barat karya Bokor Hutasuhut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masyarakat Batak Toba tetap menunjukkan sikap religius dalam usaha merealisasikan nilai budayanya. Kepercayaan religi itu diperlihatkan masyarakat sesuai dengan keyakinan masing-masing, baik terhadap ajaran Mulajadi Na Bolon, Kristen, maupun Islam. Setiap sistem religi memiliki masa pertumbuhan dan persebaran yang menjaga harmoni sosial dalam diri setiap orang Batak Toba.

Penyelesaian tesis ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan bantuan materi dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan tesis ini.

Medan, Juni 2009 Penulis,

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaikan tesis ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor USU (Universitas Sumatera Utara), Medan.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Pascasarjana USU beserta Staf Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Drs. Umar Mono, M. Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan USU beserta Dosen dan Staf Administrasinya.

4. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Utama dan Kepala Balai Bahasa Medan yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini serta memberikan dorongan dan motivasi untuk terus melanjutkan pendidikan. 5. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang telah

mengajarkan banyak hal tentang sastra, mitra berdiskusi selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini, serta bersedia meminjamkan buku-bukunya.

(9)

7. Dr. Sugiono selaku Dosen dan Kepala Bagian Pengembangan Pusat Bahasa yang telah memberikan dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.

8. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang menjabat Dekan Fakultas Sastra USU Medan.

9. Bapak Bokor Hutasuhut selaku sastrawan yang menulis novel bahan penelitian ini.

10. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S. dan para sastrawan yang meluangkan waktu membantu penulis melacak keberadaan novel Pantai Barat terbitan Marwilis, Malaysia.

11. Orang tua penulis, Ayahanda Parnak dan Ibunda Giyah yang dengan tulus mengalirkan doa dan kasih sayangnya.

12. Keluarga penulis yaitu suami tercinta Saiful, S.S. yang banyak mentransformasikan dan mendiskusikan ilmu sastra dengan perhatian dan kasih sayang, kedua anak penulis yaitu ananda terkasih Farah Oktavia Hidayat dan ananda tersayang Muhammad Farhan Hidayat yang selalu berdoa dan penuh kasih sayang memotivasi penulis untuk mencapai kesuksesan dalam karier dan pendidikan.

13. Keluarga besar penulis yaitu mertua, ipar, kakak-kakak beserta adik-adik yang banyak memberikan motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan pendidikan. 14. Sahabat mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana

(10)

15. Teman seprofesi penulis di Balai Bahasa Medan dan Pusat Bahasa Jakarta.

16. Staf Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, yang membantu penulis melengkapi dokumen tentang Bokor Hutasuhut dan karyanya.

17. Staf Administrasi Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU dan semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini

Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki dan kemudahan jalan hidup bagi kita. Amin.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rosliani

Tempat, Tanggal Lahir : Dolok Sinumbah, 6 Desember 1972 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Sumber Bangun, Gang Langgar No. 92, Harjosari II, Marindaldalam, Medan Amplas 20147 Pendidikan Formal :

1. SD Negeri No. 4 (091578) Dolok Sinumbah, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun (Tamat 24 Mei 1985)

2. SMP Swasta PTP VII Dolok Sinumbah, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun (Tamat 11 Juni 1988)

3. SMEA Negeri Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun (Tamat 1 Juni 1991) 4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 29 Juni 1996) 5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2007)

Pendidikan Nonformal :

1. Diklusemas Komputer Tingkat Paket Perkantoran di Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Abad-21, Medan (2002)

2. Diklat Prajabatan Golongan III Departeen Dalam Negeri Angkatan V Tahun 2004 di Medan (2004)

3. Pembekalan Calon Peneliti Pusat Bahasa dan Balai/Kantor Bahasa (Angkatan I) di Jakarta (2006)

4. Pelatihan Metodologi Penelitian bagi Tenaga Peneliti Bidang Pendidikan Pusat dan Daerah di Bogor (2006)

(12)

Pekerjaan :

1. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pesantren Ahmad Syarif, Medan (1996-1998)

2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMK Swasta Medan Area (1997-1999) 3. Kepala Tata Usaha SMA Swasta Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Medan

(1998)

4. Asisten Dosen Luar Biasa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (1996-1999)

5. Pengajar Bahasa Indonesia di Akademi Teknik Elektro Medik, Yayasan Binalita Sudama, Medan (Sejak 2002)

6. Pengajar Bahasa Indonesia di Akademi Kesehatan Lingkungan, Yayasan Binalita Sudama, Medan (2002-2005)

7. PNS Balai Bahasa Medan (Sejak 2003)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ……… 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Akademis ... 6

1.3.2 Tujuan Praktis ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL ... 10

2.1 Kajian Pustaka ... 10

2.1.1 Kepustakaan Penelitian ... 10

2.1.2 Kepustakaan Konseptual ... 13

(14)

2.3 Landasan Teori ... 20

2.3.1 Semiotik ... 20

2.3.2 Strukturalisme Genetik ... 24

2.4 Model Penelitian ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Metode Penelitian ... 39

3.2 Lokasi Penelitian ... 42

3.3 Sumber Data ... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.5 Teknik Analisis Data ... 45

3.6 Keabsahan Penelitian ... 45

BAB IV DESKRIPSI REALITAS FIKSI NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT ... 47

4.1 Pengantar Hasil Temuan Realitas Fiksi ... 47

4.2 Novel Penakluk Ujung Dunia Karya Bokor Hutasuhut ... 50

4.2.1 Struktur Novel ... 50

4.2.2 Fakta Kemanusiaan ... 73

4.2.3 Subjek Kolektif ... 79

4.2.4 Pandangan Dunia ……… 83

4.3 Novel Tanah Kesayangan Karya Bokor Hutasuhut ……… 87

4.3.1 Struktur Novel ... 87

4.3.2 Fakta Kemanusiaan ... 105

4.3.3 Subjek Kolektif ... 108

4.3.4 Pandangan Dunia ... 112

4.4 Novel Pantai Barat Karya Bokor Hutasuhut ... 116

4.4.1 Struktur Novel ... 116

(15)

4.4.3 Subjek Kolektif ... 140

4.4.4 Pandangan Dunia ... 143

BAB V DESKRIPSI REALITAS FAKTUAL NILAI BUDAYA BATAK TOBA ... 147

5.1 Pengantar Hasil Temuan Realitas Faktual ... 147

5.2 Nilai Budaya Batak Toba ... 155

BAB VI PANDANGAN DUNIA MASYARAKAT BATAK TOBA BERDASARKAN REALITAS FIKSI DAN REALITAS FAKTUAL ... 186

6.1 Pengantar Analisis Penjelasan Konteks Historis ... 186

6.2 Analisis Pandangan Dunia Masyarakat Batak Toba ... 194

6.2.1 Pandangan Dunia tentang Kekerabatan ... 194

6.2.2 Pandangan Dunia tentang Religi ... 203

6.2.3 Pandangan Dunia tentang Hagabeon ... 210

6.2.4 Pandangan Dunia tentang Hukum ... 213

6.2.5 Pandangan Dunia tentang Kemajuan ... 218

6.2.6 Pandangan Dunia tentang Konflik ... 227

6.2.7 Pandangan Dunia tentang Hamoraon ... 233

(16)

6.2.9 Pandangan Dunia tentang Pengayoman ... 241

6.3 Konstekstualisasi ... 246

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 249

7.1 Kesimpulan ... 249

7.2 Saran ………. 252

(17)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1. Indeksional Perangkat Kebesaran Raja dan Pemuka Masyarakat di

Kerajaan Marga Berdasarkan Nama/Gelar, Ciri-ciri, dan Jabatan ... 67 2. Kronologi Rangkaian Peristiwa Berkaitan dengan Indeks Mimpi

Ronggur ... 76 3. Ikonitas Struktur Naratif Novel PB Karya Bokor Hutasuhut Berdasarkan

Hari Kedatangan dan Peristiwa di Kota Sibolga ... 133 4. Alasan Pindah Orang Batak Menurut Faktor Pendorong dari Daerah

(18)

DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman 1. Model Aplikasi Semiotik dan Strukturalisme Genetik dengan

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Biografi dan Foto Bokor Hutasuhut ... 259

2. Halaman Sampul Depan Novel Karya Bokor HutasuhutSurat Marwilis Publisher kepada Bokor Hutasuhut ... 266

3. Surat Marwilis Publisher kepada Bokor Hutasuhut ... 267

4. Surat H.B. Jassin kepada Bokor Hutasuhut ... 269

5. Surat Bokor Hutasuhut kepada H.B. Jassin ... 270

6. Surat Bokor Hutasuhut kepada Ras Siregar ... 271

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Latar Belakang Penelitian

(21)

Pemunculan Bokor Hutasuhut sebagai sastrawan melanjutkan dominasi sastrawan Sumatera Utara di Indonesia. Sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara merupakan peletak dasar kesusastraan modern Indonesia, baik dalam menghadirkan novel susastra maupun novel roman picisan. Novel yang ditulis Merari Siregar, S. Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Mochtar Lubis memberi corak baru susastra Indonesia sedangkan novel yang ditulis oleh Matu Mona, Joesoef Sou’yb, Hamka, dan A. Damhoeri memberi corak baru roman picisan Medan. Novel susastra dan roman picisan tersebut menggambarkan realitas fiksi dan realitas faktual dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam lingkungan pedesaan maupun perkotaan.

(22)

Kedekatan realitas fiksi dengan realitas faktual menjadikan novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut sebagai novel susastra yang penting dalam era otonomi Provinsi Sumatera Utara. Apalagi, Bokor Hutasuhut termasuk sastrawan yang peduli mengungkapkan kultur Batak dengan tetap mengutamakan estetika sastra dalam karyanya. Hal itu diakui oleh W.S. Rendra pada pengantar cetakan kedua novel PUD, “Ia sangat sadar bahwa ia sedang menyelami dan melukiskan kehidupan masyarakat Batak yang unik tradisional kepada pembaca sastra modern pada umumnya. Ketelitiannya di dalam melukiskan detail-detail ia gabungkan dengan rasa harmoni seni dalam bercerita mengenai watak manusia, plot, segi memandang persoalan sebagai sastrawan modern.” Oleh karena itu, novel karya Bokor Hutasuhut, ”…bukanlah sekedar laporan anthtropolis-akademis, tetapi suatu karya sastra segar dengan latar belakang pengaruh tradisi kebudayaan Batak.”

(23)

Batak, maka pengalaman masa kecil dan kehidupan daerah zamannya menjadi sumber yang subur untuk diceritakan.”

Sejalan dengan pendapat di atas, maka kehidupan dalam novel karya Bokor Hutasuhut berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Batak di wilayah yang pada masa kolonial bernama Keresidenan Tapanuli. Kehidupan tersebut ditampilkan pengarang dengan berbagai persoalan kehidupan yang berkaitan dengan nilai budaya Batak, sehingga novel tersebut dapat menjadi dokumentasi sosial masyarakat Batak. Novel PUD umpamanya, menurut Sumardjo (2003b:10), “Novel ini bukan berisi khayalan tentang daerah-daerah ‘perawan’ di tanah Batak. Ini laporan pengalaman dengan meminjam kisah mitos.” Dengan demikian, penelitian terhadap homologi realitas fiksi dalam novel karya Bokor Hutasuhut dengan realitas faktual masyarakat Batak menjadi penting untuk direalisasikan dalam penelitian ini.

(24)

Akan tetapi, penelitian yang representasif terhadap homologi realitas fiksi (kenyataan hidup dalam karya sastra) dengan realitas faktual (kenyataan hidup dalam kehidupan sehari-hari) dalam konteks novel karya Bokor Hutasuhut dengan Batak tidak ditemukan dalam penerbitan yang dilakukan oleh ahli sastra Indonesia, baik di Kota Medan maupun di Kota Jakarta. Bahkan, Jakob Sumardjo yang mengulas kondisi masyarakat Indonesia dalam Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977 hanya mencatat penerbitan novel PUD dan TK tanpa menjadikan novel tersebut sebagai bagian dari pembahasannya. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa penelitian terhadap novel karya Bokor Hutasuhut merupakan sesuatu yang penting untuk mengungkap kehidupan masyarakat Batak di dalam novel tersebut.

Meskipun terdapat kesulitan untuk melacak penerbitan ulasan yang lengkap terhadap novel karya Bokor Hutasuhut, pemahaman dan penjelasan terhadap penerbitan novel PUD, TK, dan PB yang lengkap masih terdapat pada tulisan H.B. Jassin di Mimbar Indonesia, Jakarta (1966). Akan tetapi, ulasan yang dilakukan oleh H.B. Jassin belum menyentuh aspek pandangan dunia tokoh-tokoh cerita dalam ketiga novel tersebut. H. B. Jassin lebih menitikberatkan ulasan terhadap tema, latar, dan watak tokoh cerita dalam ketiga novel tersebut dengan menggunakan bahasa jurnalistik. Dengan demikian, pengungkapan pandangan dunia dalam novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan kaidah ilmiah dalam penelitian ini merupakan paradigma baru dalam memahami dan menjelaskan novel karya Bokor Hutasuhut.

(25)

Sumatera Utara. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan hermeneutika historis yang mendasari analisis semiotik dan strukturalisme genetik dalam penelitian ini memberi dimensi ilmiah yang sesuai dengan nilai budaya masyarakat yang menjadi latar belakang kelahiran novel tersebut. Dengan demikian, penelitian ini merupakan bagian dari usaha untuk memajukan perkembangan sastra di Kota Medan dan menghasilkan ulasan yang berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak.

1.6 Rumusan Masalah Penelitian

Permasalahan yang muncul dalam menganalisis novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut dapat dirumuskan sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah realitas fiksi yang membangun keutuhan novel Bokor Hutasuhut?

(2) Bagaimanakah realitas faktual yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat Batak dalam novel Bokor Hutasuhut?

(3) Bagaimanakah pandangan dunia tokoh cerita dalam novel karya Bokor Hutasuhut pada konteks historis pandangan dunia masyarakat Batak?

1.7 Tujuan Penelitian 1.7.1 Tujuan Akademis

(26)

(1) Mendeskripsikan realitas fiksi dalam membangun keutuhan novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik.

(2) Mendeskripsikan nilai-nilai budaya Batak yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat dalam novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan teknik analisis dokumen.

(3) Menganalisis pandangan dunia, vision du monde, dalam kehidupan masyarakat Batak di Tapanuli sebagaimana tergambar pada teks novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik.

1.7.2 Tujuan Praktis

(27)

1.8 Manfaat Penelitian 1.8.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang diharapkan dari hasil penelitian terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut meliputi tiga hal berikut ini.

(1) Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan pendekatan hermeneutika historis dengan menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik dalam sastra Indonesia, khususnya pada novel karya sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara.

(2) Hasil penelitian ini dapat menjadi model penerapan teori semiotik dan strukturalisme genetik untuk mengungkapkan pandangan dunia masyarakat Batak berdasarkan nilai-nilai budaya Batak yang menjadi dasar pandangan dunia masyarakat Batak, terutama berdasarkan novel karya sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara.

(3) Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian, baik penelitian ilmu sastra maupun penelitian ilmu-ilmu lain yang memerlukan realitas fiksi dalam memaparkan kehidupan faktual manusia, terutama manusia Batak.

1.8.2 Manfaat Praktis

(28)

(1) Hasil penelitian ini memberikan informasi kepada masyarakat tentang pola hidup masyarakat Batak di wilayah yang pada masa kolonial bernama Keresidenan Tapanuli, khususnya wilayah yang menjadi latar novel karya Bokor Hutasuhut, yakni Kabupaten Toba Samosir dan Kota Sibolga.

(2) Hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara untuk mengoptimalkan potensi sumber daya manusia Batak untuk keberhasilan pembangunan nasional dalam era otonomi daerah.

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Kepustakaan Penelitian

H.B. Jassin sebagai kritikus dan dokumentator sastra Indonesia menempatkan novel Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, dan Pantai Barat karya Bokor Hutasuhut sebagai novel yang penuh dengan gambaran kehidupan masyarakat Batak. H.B. Jassin termasuk sastrawan yang memperoleh kesempatan pertama menerima novel-novel yang ditulis oleh Bokor Hutasuhut. Setelah membaca novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut, H.B. Jassin menemukan persoalan tanah dan ekonomi sebagai masalah utama dalam kehidupan tokoh cerita novel-novel tersebut.

Hasil penelitian H.B. Jassin terhadap novel karya Bokor Hutasuhut terbit sebagai artikel “Bokor Hutasuhut Pengarang Romantik” pada Lembaran Seni dan Kebudayaan Mimbar Indonesia, Jakarta (1966). Pada novel PUD dan TK, H.B. Jassin menemukan kesamaan persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh ceritanya, yakni masalah tanah. Jassin (1966:22) mengatakan, “Dan tidaklah kebetulan apabila Bokor dalam kedua novelnja, Penakluk Udjung Dunia dan Tanah Kesajangan, mengambil tanah sebagai pokok persoalan.”

(30)

hal ini Jassin (1966:22) mengatakan, “Tjerita Tanah Kesajangan bermain dimasa Djepang, tatkala perang Dai Tooa, dikalangan nelajan dan petani, disuatu kampung dinegeri Batak, dengan orang²nja jang penuh vitalita.”

Di dalam novel PB, H.B. Jassin menemukan persoalan ekonomi mendasari kehidupan tokoh cerita novel tersebut. Tentang novel ketiga Bokor Hutasuhut ini, Jassin (1966:24) mengatakan, “Diluar sudut masalah hubungan antara manusia, Bokor djuga menjoroti latar belakang hubungan ekonomi daerah Barat (Sibolga-Tapanuli) dan daerah Timur (Medan-Sumatra Timur). Daerah Barat tambah lama kian mundur, karena saingan daerah Timur, para buruh jang muda² pindah dari Barat ke Timur.” Menurut H.B. Jassin, cerita novel ini bermain kira-kira masa pemberontakan PRRI-Permesta dengan menghadirkan trauma pembunuhan dan pemerkosaan oleh gerombolan di satu sisi dan di sisi lain menceritakan perjuangan kaum buruh untuk mendapat legitimasi politis dan kesejahteraan dari para tengkulak.

(31)

Kemudian, Taufik Abriasyah menilai novel PUD mengandung banyak pesan Bokor Hutasuhut yang sarat petuah. Pesan-pesan yang menyiratkan pandangan dunia tentang bahaya judi, kemerdekaan hati, dan tekad yang membaja terdapat dalam novel ini. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut ini. “Kalau berjudi bagimu sangat baik. Agar kau tahu dan menyadari bahaya main judi. Pesanku padamu janganlah dulu bunuh diri. Kelak aku membawa berita padamu bahwa tanah habungkasan telah kutemui. Kau boleh pindah ke sana dan kau kembali menjadi orang merdeka.” (Abriasyah, 1989:6).

Bokor Hutasuhut sebagai pengarang memberikan latar belakang penulisan novelnya. Dari proses kreatif yang terdapat pada sampul belakang novel PUD terbitan kedua dapat diketahui bahwa novel tersebut merupakan hasil dari kebiasaan Bokor Hutasuhut mengikuti ayahandanya sebagai mubaliq Islam di Tanah Batak. Pada halaman belakang novel PUD yang menjelaskan proses kreatif itu tertulis penegasan, “Dia suka ikut menyusup hutan belantara, mendaki bukit dan lembah Bukit Barisan. Menyusup melewati Pintu Pohan, Parhitean, naik ke Tangga dan tembus ke Simalungun. Juga kembali melalui Dairi ke Tanah Samosir.”

(32)

Batak tentang kepahlawanan Ronggur yang membuka daerah-daerah baru bagi rakyatnya, yakni di Asahan Labuhan Batu. Ini sekali lagi menunjukkan kecintaan Bokor Hutasuhut atas akar budayanya sendiri.”

2.1.2 Kepustakaan Konseptual

Teori strukturalisme genetik yang menjadi fokus utama penelitian ini memperoleh tempat dalam analisis teks sastra Indonesia. Publikasi terapan teori dengan fokus analisis pandangan dunia ditemukan pada penelitian Puji Santoso (2006). Peneliti Pusat Bahasa ini menerbitkan hasil analisis pandangan dunia Darmanto Jatman berdasarkan kumpulan puisi Sori Gusti terbitan LIMPAD, Semarang (2002). Dengan memusatkan perhatian hanya pada aspek vision du monde, Puji menemukan pandangan dunia Darmanto dalam aspek maut, tragedi, cinta, harapan, kekuasaan, loyalitas, makna dan tujuan hidup, serta hal-hal yang transendental. Delapan pandangan hidup sebagai dasar kehidupan itu berkaitan dengan lakuan tokoh yang tercatat dalam sejarah keimanan dan dongengan, terutama berdasarkan pandangan dunia Nasrani dan Jawa.

(33)

yang tertanam kuat sebagai bagian dari karakter manusia Indonesia. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa mitos gotong-royong semakin lama semakin kehilangan mitosnya karena tidak dilandasi oleh nilai solidaritas sosial; mitos aja dumen, jangan mentang-mentang, menjadi penghambat kemajuan; mitos reformasi dan reformis terus berjuang mengubah mitos-mitos lama; mitos bangsa Indonesia yang ramah tamah dalam realitas faktual berubah jadi tidak ramah; dan, mitos mahasiswa sebagai kekuatan moral ternyata terancam pudar dalam kehidupan modern Indonesia.

(34)

2.2 Konsep Dasar

Bahasa, teks, sastra, dan hermeneutika merupakan rangkaian istilah yang menyatu dan tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, penggunaan filosofi yang tepat merupakan hal mendasar untuk memahami dan menjelaskan rangkaian istilah tersebut. Di dalam hal ini, pemaknaan terhadap bahasa, teks, dan sastra akan menjadi seperangkat konsep dasar pendekatan hermeneutika historis. Konsep dasar inilah yang akan mendasari penerapan teori strukturalisme genetik terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut.

(35)

Bahasa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini merupakan bahasa dalam teks-teks tertulis. Teks itu merupakan teks-teks hasil kreativitas pengarang yang mengandung pandangan dunia masyarakatnya. Teks pada konteks ini ditempatkan dalam terminologi sastra dan kondisi sosial budaya yang menyertai kelahiran karya tersebut. Pada konteks ini, “Teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Dalam praktek ilmu sastra, kita membatasi diri pada teks-teks tertulis.” (Luxemburg, dkk., 1989:86). Hal ini semakin dipertegas oleh Chatman yang menyatakan bahwa, ”Objek ilmu sastra (poetica) adalah cerita atau teks, termasuk di dalamnya bahasa.” (Ratna, 2004:257).

(36)

Kedudukan sastra yang penting dalam sejarah peradaban membuat penafsiran terhadap sastra harus diletakkan pada konteks historis. Di dalam hal ini, novel sebagai salah satu jenis karya sastra tampil sebagai sesuatu yang otonom dan tidak terikat dengan kehendak penulisnya lagi. Hal ini menjadi bagian awal pemahaman sastra secara hermeneutik sebagaimana ditegaskan oleh Gadamer yang menyatakan, ”Makna sesebuah karya sastera tidaklah dibatasi oleh hasrat penulis; apabila karya itu berpindah daripada konteks budaya atau sejarah kepada yang lain, makna-makna baru yang mungkin tidak dijangkaukan oleh penulis atau audien sezamannya timbul.” (Eagleton, 1988:78).

(37)

benar. Kegagalan untuk mencapai keselarasan ini berarti kegagalan dan pemahaman itu.”

Proses penafsiran teks sastra berdasarkan pendekatan hermeneutika historis menjadikan kedudukan pengarang atau penulis teks sejajar dengan penafsir teks. Penempatan penafsir, pengarang, dan teks sastra seperti ini berdasarkan pada kenyataan bahwa sebenarnya sastrawan yang menciptakan novel, karya sastra, bukanlah penafsir ideal terhadapnya. Dengan tegas Gadamer (2004:232) mengatakan, “Sebagai seorang penafsir, dia tidak mempunyai prioritas otomatik sebagai otoritas terhadap orang yang hanya menerima karyanya. Dia, sejauh dia mencerminkan pada karya sendiri, adalah pembaca itu sendiri. Makna yang dia, sebagaimana pembaca, berikan pada karyanya tidak otomatif. Satu-satunya kriteria penafsiran adalah makna dari penciptaannya, apa yang ia maksudkan.” Akan tetapi, “Pengarang dilihat dalam konteks teori ini haruslah memiliki tanggung-jawab moral terhadap masyarakatnya.” (Sikana, 2009:269).

(38)

teks-teks itu didasarkan pada, “...struktur-struktur mental trans-individual’ milik kelompok-kelompok (atau kelas-kelas) khusus.” (Selden, 1991:37).

Dengan menempatkan pengarang atau penulis teks sebagai penafsir teks maka penafsir dan teks merupakan unsur utama dalam proses penafsiran teks. Gadamer mengatakan di dalam proses penafsiran ini telah, “...terjadi interaksi antara penafsir dan teks, di mana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya.” (Rahardja, 2008:93). Akan tetapi, Gadamer mengingatkan penafsir untuk berusaha melepaskan diri dari prasangka dengan menjaga jarak estetis antara penafsir dengan teks, terutama teks yang memiliki kedekatan emosional dengan penafsir teks. Secara filosofis, Gadamer (2004:592) mengatakan bahwa, “...tidak ada pemahaman yang bebas dari semua prasangka-prasangka, betapapun kehendak pengetahuan kita harus diarahkan untuk menghindari perbudakan mereka.”

(39)

proses penafsiran teks. Dengan demikian, penafsir memiliki ruang untuk menghadirkan kebaruan dan kebenaran sebagai hasil proses pemahaman bahasa teks sebuah karya sastra.

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Semiotik

Novel berjudul PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut yang menjadi pusat penelitian ini menggambarkan kehidupan masyarakat dengan menggunakan bahasa Indonesia, kecuali novel PB yang terbit dalam edisi bahasa Malaysia. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kajian sosiologi sastra yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.” (Wellek dan Austin Warren, 1989:109). Dengan demikian, pemahaman awal terhadap isi karya sastra tetap berkaitan dengan kemampuan menafsirkan bahasa dalam karya sastra –novel- tersebut. Bidang ini menjadi bidang kajian semiotik sebagaimana ditegaskan dalam pernyataan berikut ini, “Titik perhatian linguistik adalah bahasa [verbal], sedangkan semiotik memusatkan perhatiannya pada tanda yang mencakupi aspek verbal [bahasa] dan nonverbal [misalnya gambar, warna, gerak tubuh, dan gejala alam].” (Hoed, 2008:75)

(40)

komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan.” (Ratna, 2004:111). Pesan kebudayaan tersebut menempatkan semiotik sebagai salah satu teori yang digunakan peneliti untuk mengungkapkan pandangan dunia masyarakat Batak dalam novel karya Bokor Hutasuhut. Penggunaan semiotik dalam mendekati pemahaman teks sastra ini sesuai pendapat Jonathan Culler (1981) dalam Teeuw (2003:118) yang menyatakan bahwa, “Tugas semiotik bukanlah mendeskripsikan tanda-tanda tertentu, melainkan ‘to describe those convention that underlie evens the most ‘natural’ modes of behavior and representation” (memberikan konvensi-konvensi yang melandasi ragam perilaku dan pembayangan yang paling ‘wajar’ sekalipun). Dengan demikian, ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, yaitu harus menganggap sastra sebagai sistem tanda.

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotik yang dikembangkan Charles Sanders Pierce. Pierce merumuskan perbedaan tiga sistem tanda dalam hubungan pemaknaan antara pembaca dengan hal yang ditunjukkannya. Ketiga sistem tanda itu adalah ikon, indeks, dan simbol sebagaimana dijelaskan oleh Eagleton (1988:111), Ratna (2004:114-115), Sukada (1987:36), dan, Zoest (1990:8-9) berikut ini.

(41)

ikonis, artinya urutan tersebut sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjukkannya. Akan tetapi, apabila urutan itu dibalik maka lenyaplah ikonitas berurutannya. Singkatnya, menurut Eagleton, dalam ikonik terdapat lambang yang menyerupai benda yang diwakilinya (misalnya, foto seseorang).

(2) Indeks, yakni suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, baik berkaitan dengan dunia luar sebagai intertekstual maupun sebagai intratekstual. Contoh indeksional adalah asap sebagai tanda adanya api. Bahkan, semua tanda yang menyebabkan kita menoleh, yang mengejutkan, menggoncangkan, menyentuh, melukai, menggerakkan hati kita, atau membuat kita marah termasuk tanda indeksikal. Dengan kata lain, indeks merupakan lambang yang melalui cara-cara tertentu dihubungkan dengan benda yang diwakilinya (misalnya, bintik dengan campak).

(42)

(1993:120), hal ini disebabkan, “Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional.” Penafsiran terhadap simbol –di samping ikon dan indeks yang relevan- akan mendasari analisis strukturalisme genetik. Artinya, setiap pemahaman terhadap fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia dalam novel karya Bokor Hutasuhut tetap didasarkan pada konvensi simbol yang digunakan masyarakat Batak. Hal ini relevan dengan pendekatan hermeneutika historis yang memandang ungkapan dalam sastra secara semiotik, “…tidak dapat dipandang sebagai tanda (sign) dalam arti yang lazim dipahami orang, tetapi tanda simbolik, artinya tanda yang menyiratkan makna yang lebih dalam dan tinggi dari makna yang dapat ditangkap dengan pemahaman bersahaja.” (Abdul, 2004:93).

Gelang yang dipakai tokoh Tio dalam novel PUD karya Bokor Hutasuhut, umpamanya, merupakan simbolisasi perbudakan dalam kebudayaan Batak. Gelang yang dipakai oleh Tio inilah yang dicampakkan oleh Ronggur sehingga Tio tidak diperlakukan lagi sebagai budak belian. Simbol “gelang” ini dalam analisis semiotik akan menjadi salah satu dasar analisis strukturalisme genetik untuk mengungkapkan pandangan dunia masyarakat Batak. Secara khusus, pandangan dunia tersebut akan ditempatkan dalam sistem nilai budaya yang mendasari kehidupan masyarakat Batak, baik pada konteks realitas faktual maupun realitas fiksi dalam novel karya Bokor Hutasuhut.

(43)

sebagai struktur dan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca (Sukada, 1987:44). Pengarang dan pembaca pada konteks pendekatan hermeneutika historis ditempatkan pada konteks penafsir di luar teks sehingga kaitan yang akan dijelaskan adalah kaitan antara realitas dan sastra. Dengan demikian, proses penafsiran tetap mendahulukan pemahaman teks sebagai sebuah struktur. Model penafsiran teks ini sejalan dengan proses penafsiran dengan menggunakan teori strukturalisme genetik yang tetap mengutamakan pemahaman struktur teks sebelum menganalisis pandangan dunia dalam konteks historis masyarakatnya.

2.3.2 Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik merupakan teori sastra yang menolak analisis strukturalisme murni. Analisis strukturisme murni dianggap terlalu kaku, hanya memperlakukan karya sastra sebagai subjek otonom, sehingga melepaskan karya sastra dari dimensi sosial budayanya. Oleh karena itu, Lucien Goldmann mengembangkan teori genetic structuralism dalam bukunya Method in the Sociology of Literature (1980). Model teori sastra ini menggabungkan strukturalisme dengan sosiologi, sehingga tetap menempatkan model analisis struktural sebelum menggunakan model analisis sosiologis.

(44)

Pandangan Aristoteles ini dipadukan oleh Goldmann dengan pandangan Georg Lukács (1962) yang memperlakukan karya sastra sebagai refleksi dari sistem yang terbuka dan berprinsip bahwa, “Novel mencerminkan realitas, tidak dengan melukiskan wajah yang hanya tampak pada permukaan, tetapi dengan memberikan kepada kita sebuah pencerminan realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.” (Selden, 1991:27). Bagi Lukács (1976) dalam Sikana (2009:264), ”Tugas pengkritik sastra bukan semata-mata menunjukkan sama ada realitas dalam sesebuah karya sastera sama dengan realisme yang di luar sastera itu, tetapi melihat bagaimana ia berbeza dan sebagainya.” Dengan demikian, sebuah novel akan mencerminkan realitas masyarakat karena pengarang memiliki tugas melibatkan diri dalam masalah yang dihadapi masyarakatnya.

(45)

kaitan dengan sistem pemerintahan dan gejolak politik yang melahirkan karya-karya tersebut. Bahkan, menurut Sikana (2009:260), dari konteks historis kehidupan masyarakat itu, ”Hipotesis Goldmann sebenarnya memperkenalkan satu unsur baru dalam pembicaraan tentang hubungan antara gejala sastera dengan fenomena ekonomi.”

Pengutamaan struktur karya sastra dan konteks historis dalam strukturalisme genetik bertujuan untuk melihat pandangan dunia sesuai dengan realitas fiksi dan realitas faktual dalam konteks historisnya. Menurut Teeuw (2003:126), hal ini didasarkan pada kenyataan, “…bagi Goldmann pun studi sastera harus dimulai dengan analisis struktur.” Hal ini disebabkan, teks sastra mempunyai structure significative yang bersifat otonom dan imanen, berada dalam kesadaran. Struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya. Atas dasar analisis vision du monde tersebut si peneliti dapat membandingkannya dengan data empiris keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. “Dalam arti ini karya sastera dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetic!) dari latar belakang sosial tertentu.” (Teeuw, 2003:127). Akan tetapi, “Goldmann tidak secara langsung menghubungkan karya sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial yang dominan.” (Ratna, 2004:122).

(46)

strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, serta pemahaman dan penjelasan.

(47)

(2) Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta kemanusiaan dapat berbentuk fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual merupakan perilaku libinal sedangkan fakta sosial mempunyai peranan dalam sejarah. Fakta tersebut merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar. Di dalam hal ini, Goldmann sejalan dengan teori psikologi Pieget yang menyatakan, ”Manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal-balik yang saling bertentangan tetapi sekaligus saling isi-mengisi.” Akan tetapi, dalam usaha mencapai keseimbangan pada psoses asimilasi dan akomodasi tersebut dapat mencapai kegagalan apabila berhadapan dengan rintangan. Goldmann mengidentifikasi tiga rintangan berikut ini: (i) kenyataan bahwa sektor kehidupan tertentu tidak menyandarkan dirinya secra integratif dalam struktur yang dielaborasikan; (ii) semakin lama penstrukturan dunia eksternal semakin sukar bahkan semakin tidak mungkin dilakukan; dan (iii) individu-individu dalam kelompok yang bertanggung jawab bagi lahirnya proses keseimbangan telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya sehingga mengganggu keseimbangan dalam proses strukturasi itu (Faruk, 1994:12-14).

(48)

“Subjek trans-individual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.” (Faruk, 1994:14-15).

(49)

struktur novel klasik dan pertukaran dalam perekonomian bebas (Fokkema dan Ibsch, 1998:166). Pandangan dunia itu sendiri merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Kesadaran yang mungkin ini berbeda dengan kesadaran yang nyata karena kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat (Faruk, 1994:16).

(50)

sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat sehingga memiliki aspek keseluruhan hidup. Aspek keseluruhan hidup dalam strukturalisme genetik merupakan hal penting untuk memahami bagian-bagian dalam kehidupan yang bersatu padu menjelaskan pandangan dunia suatu masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman dan penjelasan pandangan dunia dalam penelitian ini mengacu pada realitas fiksi dan realitas faktual nilai budaya Batak Toba yang berkaitan dengan masalah kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Kesembilan nilai budaya Batak Toba tersebut berasal dari ungkapan tradisional yang mendasari kehidupan masyarakat Batak, baik Batak Toba maupun Batak Angkola-Mandailing.

(51)

kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.” (Ratna, 2004:126).

Berdasarkan sejarah dan kategori-kategori dalam strukturalisme genetik yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan prinsip dasar strukturalisme genetik. Prinsip ini terdiri atas dua hal yang relevan dengan filosofi hermeneutika historis. Menurut Sikana (2009:269), kedua prinsip tersebut adalah: (i) kritikannya bersifat historis, artinya makna yang muncul dapat ditelusuri dari sejarah makna karya tersebut; dan, (ii) adanya konsep tentang pandangan dunia. Kedua prinsip dasar strukturalisme genetik tersebut hanya akan terwujudkan apabila penafsir karya sastra menemukan keseluruhan kehidupan dalam analisis strukturalisme. Dengan demikian, penerapan strukturalisme genetik dimulai dari analisis strukturalisme hingga konteks historis pandangan dunia yang dilakukan dengan lima tahapan sebagaimana diungkapkan oleh Ratna (2004:127) berikut ini: a) meneliti unsur-unsur karya sastra; b) hubungan unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra; c) meneliti unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra; d) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat; dan, e) hubungan karya sastra dengan masyarakat secara keseluruhan.

(52)

Dengan demikian, pendekatan hermeneutika historis yang mendasari penerapan teori strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut dapat menghasilkan pemahaman yang tepat dan kebenaran yang hakiki terhadap pandangan dunia masyarakat Batak di wilayah yang pernah dinamakan Keresidenan Tapanuli.

Kehadiran strukturalisme genetik yang ditopang oleh analisis strukturalisme dan semiotik dalam memahami dan menjelaskan pandangan dunia manusia Batak menjadi inti dari penelitian terhadap ketiga novel karya Bokor Hutasuhut. Bokor Hutasuhut, sebagai sastrawan Indonesia yang berasal dari Tanah Batak, merupakan sastrawan yang lahir dan memiliki kedekatan dengan kultur Batak, sehingga pandangan dunia tersebut memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, baik sebagai bagian dari etnik sastrawannya maupun sebagai latar belakang kehidupan tokoh cerita dalam novel-novelnya. Pandangan dunia masyarakat Batak tersebut pada hakikatnya tetap menjadi pandangan hidup yang memiliki kedekatan dengan sastrawannya. Dengan demikian, analisis semiotik dan strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut tidak dapat dihindarkan dalam khasanah sastra Indonesia dan dalam kehidupan manusia Batak sebagai bagian yang menyatu dengan etnik sastrawannya.

2.4 Model Penelitian

(53)
(54)

Bagan 2.1: Model Aplikasi Semiotik dan Strukturalisme Genetik dengan Pendekatan Hermeneutika Historis Terhadap Novel Karya Bokor Hutasuhut

(55)

Keterangan:

Hubungan langsung dalam Penafsir yang memiliki proses memahami teks

P

kedudukan setara dengan

penulis teks

Hubungan langsung dalam Faktor penghubung teks proses menerima kebenaran dengan setiap unsur pemahaman teks intrinsik dan ekstrinsik

Ikon, Indeks, Simbol

Hubungan langsung dalam Ruang lingkup wilayah proses homologi pandangan pemahaman dan

dunia penjelasan

(56)

sehingga kedudukan novelis tersebut dapat disejajarkan dengan kedudukan pembaca/penafsir dalam menafsirkan sebuah novel.

Penafsir dalam mendekati teks berupa novel memiliki dua kepentingan, yaitu kepentingan pemahaman dan kepentingan kebenaran dalam hermeneutika historis. Pemahaman novel yang ditentukan oleh strukturasi bagian dan keseluruhan isi teks yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran isi teks. Untuk itu, penafsir menggunakan teori semiotik yang mendasarkan diri pada analisis ikon, indeks, dan simbol yang tersedia dalam novel. Analisis ketiga sistem tanda ini akan mengawali analisis strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut, baik dalam pemahaman realitas fiksi maupun penjelasan realitas faktual.

(57)
(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian terhadap novel karya Bokor Hutasuhut akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. “Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.” (Ratna, 2004:47). Metode kualitatif yang digunakan dalam strukturalisme genetik mengadopsi tawaran Albrecht dalam Faruk (1988), yaitu metode sosial historis atau metode sejarah dengan tipe deskriptif (Endraswara, 2003:56). Metode sejarah digunakan untuk menjelaskan pandangan dunia masyarakat Batak dalam konteks historis sedangkan metode deskriptif digunakan untuk memahami struktur karya sastra.

(59)

demikian supaya dapat memahami tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa waktu yang lampau.” (Sigit, 2003:243).

Sebaliknya, metode penelitian deskriptif hanya melaporkan keadaan yang sesungguhnya ada. Penelitian deskriptif yang tipikal ialah untuk mengetahui sikap, pendapat (opini), informasi demografi, keadaan, dan prosedur (Sigit, 2003:223-224). Dengan demikian, “Penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Seperti penelitian sejarah tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang telah terjadi, demikian pula penelitian deskriptif tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang sementara terjadi, dan hanya dapat mengukur apa yang ada (exists).” (Sevilla, dkk., 2006:71).

(60)

Tradisi

Kepentingan Praktis Bahasa Kultur

Pemaknaan

KEBENARAN

TEKS

P

A

Konteks Historis

Bagan 3.1 : Hermeneutika Historis Hans Georg Gadamer

(61)

kebenaran yang tepat terhadap teks novel karya Bokor Hutasuhut sesuai dengan konteks historisnya.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut dipusatkan di dua kota sebagai pusat kesastraan pengarangnya. Kedua kota tersebut adalah Medan dan Jakarta.

(1) Kota Medan. Tempat yang menjadi lokasi penelitian adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Balai Bahasa Medan, dan Perpustakaan Wilayah Sumatera Utara.

(2) Kota Jakarta. Tempat yang menjadi lokasi penelitian adalah Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan Perpustakaan Pusat Bahasa.

3.3 Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer berupa novel sedangkan sumber data skunder berupa sumber-sumber tertulis yang membicarakan karya-karya Bokor Hutasuhut dan keadaan masyarakat Batak. Dari kedua sumber data itu maka sumber data primer menjadi acuan utama dalam menemukan pandangan dunia masyarakat Batak. Sumber data primer tersebut terdiri atas tiga buah novel karya Bokor Hutasuhut.

(62)

Jakarta (1988). Novel ini terbit dalam seri “Pustaka Kita” sebagai novel cetakan kedua. Cetakan pertama novel ini diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta (1964). Sumber data penelitian ini menggunakan novel PUD cetakan kedua yang diberi kata pengantar oleh W.S. Rendra dan desain kulit oleh Sriwidodo. Novel ini berukuran 13 x 19,8 cm dan terdiri atas 200 halaman, termasuk delapan halaman bagian pengantar dan dua halaman bagian akhir buku yang memuat daftar makna istilah bahasa Batak yang terdapat dalam novel tersebut.

(2) Novel Tanah Kesayangan karya Bokor Hutasuhut. Novel TK yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel cetakan pertama yang diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jalan Gunung Sahari 84, Jakarta (1965). Akan tetapi, hak cipta novel ini bertahun 1960 sebagai bukti bahwa novel ini telah lama disetujui penerbitannya. Novel ini terbit dalam Seri D-43 sebagai inisial bacaan untuk orang dewasa dan dimulai oleh pernyataan UNTUK BUNDA pada bagian pengantar. Novel ini terbit dengan ukuran 13,7 x 18 cm dan memiliki tebal 188 halaman, termasuk enam halaman bagian pengantar dan empat halaman promosi buku pada bagian akhir buku.

(63)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang berkaitan dengan novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut dan pandangan dunia masyarakat Batak dilakukan dengan teknik dokumentary-historical. Teknik pengumpulan data ini hanya memusatkan perhatian pada pengumpulan data berupa data archival, dokumen pribadi (termasuk sejarah pribadi), dokumen privacy (sangat pribadi seperti agenda harian, surat, dan berkas rahasia), dan dokumen publik (media massa dan kepustakaan).

(64)

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut yang sesuai dengan metode historis dan deskripsi adalah teknik analisis dokumen. Penelitian ini merupakan penyelidikan untuk mengumpulkan informasi melalui pengujian novel dengan teknis analisis dokumen atau analisis isi (content analysis). Metode analisis isi memberi perhatian pada isi pesan (Ratna, 2004:49). Dengan kata lain, “Analisis dokumen ialah mempelajari apa yang tertulis dan dapat dilihat dari dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen itu dapat berwujud buku pelajaran (textbook), karangan, surat-kabar, novel, iklan, gambar, dan sebaganya.” (Sigit, 2003:240).

Analisis dokumen dalam meneliti novel karya Bokor Hutasuhut meliputi tiga tahap, yaitu: (i) menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel karya Bokor Hutasuhut; (ii) menganalisis dokumen yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya Batak, baik berkaitan dengan pengarang maupun masyarakatnya; (iii) menganalisis relevansi struktur novel dengan konteks historis Batak untuk menemukan pandangan dunia masyarakat Batak. Ketiga tahap ini akan diproses dalam pendekatan hermeneutika historis sehingga dihasilkan kebenaran pandangan dunia yang representatif dalam teori semiotik dan strukturalisme genetik.

3.6 Keabsahan Penelitian

(65)
(66)

BAB IV

DESKRIPSI REALITAS FIKSI NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT

4.1 Pengantar Hasil Temuan Realitas Fiksi

Setelah mengadakan penelitian terhadap novel karya Bokor Hutasuhut, maka novel Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, dan Pantai Barat memiliki struktur yang khas. Struktur novel tersebut menggambarkan realitas fiksi atau kenyataan hidup hasil rekaan pengarang, baik memiliki kemiripan maupun kemungkinan kemiripan dengan realitas faktual atau kenyataan hidup sehari-hari masyarakat. Berdasarkan struktur novel ini akan dideskripsikan fakta kemanusiaan yang dilakukan oleh subjek transindividual, sehingga ditemukan pandangan dunia tokoh cerita dalam novel tersebut. Struktur novel sebagai sebuah strukturasi, yang berkaitan dalam membangun sesuatu yang utuh, akan dimulai dari pengungkapan struktur plot, kemudian struktur relasi gender, struktur ruang dan waktu, struktur naratif, dan struktur tematik.

(67)

according to whether the protagonist’s situation improved or declined.” (Aristoteles membedakan antara alur yang fatal dan keberuntungan menurut apakah situasi protagonis meningkat atau menurun). Dengan demikian, pendeskripsian struktur alur tersebut akan memperlihatkan protagonis yang sangat baik, tidak begitu jahat, atau luar biasa baiknya.

Kedua, struktur relasi gender. Struktur relasi gender merupakan istilah yang mengacu kepada analisis penokohan dan karakteristik. Analisis ini lebih menekankan kepada hubungan antartokoh laki-laki dengan perempuan. Hubungan tersebut ditentukan oleh tindakan nyata tokoh cerita, baik dalam pemunculan maupun peniruannya. Menurut Chatman (1980:108), “In the Greek, the emphasis is on action, not on the men performing the action…Action comes first; it is the object of imitation.” (Dalam bahasa Yunani, penekanan terdapat pada tindakan… Tindakan muncul dahulu; yang merupakan objek peniruan). Dengan demikian, relasi gender itu ditentukan oleh tindakan nyata tokoh cerita dalam menghadapi persoalan kehidupan, baik bersifat individual maupun kolektif.

(68)

Keempat, struktur naratif. Di dalam struktur naratif, penanda atau yang ditandai terdiri dari tiga hal, yaitu kejadian, sifat, dan gambaran pelataran. Kedudukan penanda atau yang ditandai diungkapkan Chatman (1980:25) berikut ini, ”The signifiants or signifiers are those elements in the narrative statement (whatever the medium) that can stand for one of these three, thus any kind of physical or mental action for the first, any person (or, indeed, eny entity that can be personalized) for the second, and any evocation of place for the third.” (Penanda merupakan elemen-elemen dalam pernyataan narasi (apapun mediumnya) yang dapat menjadi wakil salah satu dari ketiganya, meskipun itu jenis tindakan fisik atau mental, orang (atau, tentu saja, suatu entitas yang dapat dipersonalisasikan), yang kedua, dan setiap pembentukan tempat untuk yang ketiga). Ketiga penanda atau yang ditandai ini diungkapkan dalam bentuk sudut pandang orang pertama atau sudut pandang orang ketiga. Struktur naratif ini menjadi medium pengarang untuk menampakkan kekuasaan diri atau menyamarkan kehadiran dirinya.

(69)

berkaitan dengan protagonis, waktu penceritaan yang relatif lama, maupun masalah yang banyak menimbulkan konflik pada tokoh cerita yang lain.

Setelah deskripsi temuan penelitian menampilkan struktur novel tersebut di atas sebagai sebuah strukturasi, maka deskripsi temuan penelitian akan menganalisis fakta kemanusian, subjek kolektif, dan pandangan dunia menurut judul novel. Analisis fakta kemanusiaan dan subjek kolektif akan mengacu pada tindakan tokoh dan relasi gender, baik secara individual maupun kolektif. Dari tindakan tokoh cerita tersebut akan terlihat kesadaran para tokoh mewujudkan pandangan dunianya. Di sinilah ditemukan pandangan dunia tokoh cerita, terutama pandangan dunia sebagai perwujudan dari kelompok masyarakat pendukungnya.

4.2 Novel Penakluk Ujung Dunia Karya Bokor Hutasuhut 4.2.1 Struktur Novel

Struktur novel PUD karya Bokor Hutasuhut yang akan dideskripsikan pada temuan penelitian ini adalah stuktur plot, struktur relasi gender, struktur ruang dan waktu, struktur naratif, dan struktur tematik. Kelima struktur novel tersebut dideskripsikan berikut ini sebagai bagian dari keseluruhan isi teks. Dengan demikian, pendeskripsian salah satu struktur novel merupakan bagian yang menyatu dengan pendeskripsian struktur yang lain pada novel tersebut.

(1) Struktur Plot

(70)

Kerajaan Marga. Semua laki-laki telah hadir, kecuali Ronggur. Padahal para raja sudah hadir untuk membicarakan Ama ni Boltung yang tewas dibunuh warga kampung lain. Ronggur tidak bermaksud mengabaikan simbolisasi pemukulan gong, melainkan memikirkan sebab dan solusi peristiwa itu. Ronggur berpendapat, pembunuhan itu disebabkan oleh keterbatasan lahan dan air untuk persawahan. Oleh karena itu, sesuai cerita nenek moyang dalam pustaka, maka warga harus mengikuti aliran Sungai Titian Dewata untuk mencari tanah habungkasan, daerah baru tempat perluasan marga. Akan tetapi, Raja Panggonggom menolak usul Ronggur dan mengingatkan warga, bahwa Sungai Titian Dewata merupakan jalan arwah, tempat bersemayam Mulajadi Na Bolon.

Setelah raja menolak usul Ronggur, maka raja pun mengumumkan perang terhadap marga yang membunuh Ama ni Boltung. Apalagi, orang suruhan yang mereka utus secara adat telah diusir dari perkampungan tersebut. Ronggur pun sadar bahwa dia harus membela kehormatan marganya, sehingga dia pun menyatakan diri ikut berperang dan untuk sementara mengabaikan usulnya. Bahkan, Ronggur memimpin pasukan marganya memenangkan setiap tahapan perang dan menyelamatkan Raja Panggonggom dari serangan musuh. Setelah kemenangan mereka raih, maka raja memberi hak kepada Ronggur untuk menjadi Raja Ni Huta Muda di kampung marga yang mereka kalahkan dan menjadikan Tio, wanita tawanannya sebagai budak untuk membantu ibunya yang sudah tua.

(71)

kampungnya, sehingga mengkhawatirkan ibunya. Umpamanya, dia tidak mau martandang ke rumah paman mencari jodoh, sehingga dia dapat menjadi Raja Ni Huta. Dia pun tidak memperlakukan Tio seperti warga memperlakukan para budaknya. Bahkan, Tio menjadi temannya membicarakan tanah habungkasan. Menanggapi hasrat anak tunggalnya, Ibu Ronggur menyarankan agar anak laki-lakinya itu menanyakan riwayat ayahnya kepada mantan datu bolon kerajaan. Mantan datu itu mengisahkan perjalanan mereka menemukan daerah perluasan marga dengan cara mengikuti aliran Sungai Titian Dewata yang berakhir dengan kematian sahabatnya, Ayah Ronggur.

Berdasarkan keterangan mantan datu kerajaan, Ronggur membulatkan tekad untuk mewujudkan mimpi dan keyakinannya menemukan daerah perluasan marga. Bersama Tio, Ronggur pergi ke hutan di salah satu lekuk danau. Mereka mencari pohon meranti batu untuk membuat perahu yang agak besar dan mempunyai dasar lebih datar dari perahu biasa, agar dapat mengikuti arus sungai yang deras, menggila. Arus yang deras itu telah memporakporandakan cadik yang digunakan mantan datu bolon dan ayahnya. Perbuatan Ronggur dan Tio menantang bahaya di hutan tersebut tidak mendapat tanggapan warga kerajaannya, bahkan terkesan mulai menyisihkannya dari pergaulan warga Kerajaan Marga.

(72)

Ronggur tidak diakui lagi sebagai anggota kerajaan dan kehilangan marga serta seluruh hak hidupnya di kerajaan itu. Kemudian, tanah pusakanya disita kerajaan, kebutuhan ibunya ditanggung kerajaan, dan warga tidak boleh membantu kalau tidak ingin kehilangan hak-hak kemargaannya. Ronggur bergeming meskipun hanya Tio, ibunya, dan mantan datu bolon kerajaan yang mendukung tekadnya. Dari ketiga orang itu, hanya Tio yang ikut dalam pelayaran mencari daerah perluasan marga dengan mengikuti aliran Sungai Titian Dewata.

Perjalanan mencari tanah habungkasan pun dimulai Ronggur dan Tio. Selama dalam perjalanan, mereka mulai menyadari keadaan yang sebenarnya. Warga kerajaan melaksanakan keputusan raja. Bahkan, warga kampung lain yang memiliki kepercayaan sama dengan mereka tidak mau bertatapan dengannya lagi. Akan tetapi, dalam kesedihan itu muncullah Lolom, sahabatnya. Lolom yang menanggung utang akibat kalah judi membujuk Ronggur agar membawanya menuju kematian. Lolom menduga Ronggur ingin membawa Tio menuju alam kematian di ujung Sungai Titian Dewata. Karena tidak diizinkan oleh Ronggur, maka Lolom meneriakkan gunjingan warga yang menganggap Ronggur menghamili Tio. Untuk menutup rasa malu itu, maka mereka sengaja mencari mati dengan cara melanggar kepercayaan nenek moyang terhadap Sungai Titian Dewata.

(73)

Arus sungai yang deras terus menyeret perahu hingga mereka menemukan bias cahaya dan celah dinding yang melebar, tinggi, serta curam. Di saat itulah, Ronggur tersadar dan mengikuti teriakan Tio agar menghentikan laju perahu dengan cara melemparkan tali pengait ke tonjolan tebing batu. Kemudian, mereka mendaki tebing tepi sungai yang diselimuti kabut tebal dengan suara menggemuruh dari arus sungai yang menuju sebuah air terjun, Sampuran Harimau.

Di tengah angin dingin, berkabut, dan pandangan yang terbatas, Runggur dan Tio nyaris putus asa. Mereka tidak dapat menentukan siang atau malam dengan pasti akibat kabut demikian tebal. Mereka pun mengangkat perahu dari sungai di bawah tebing dan memikul perahu itu menuruni bukit yang curam. Di tengah keletihan yang mendera, Ronggur memerdekakan Tio dari status budak dengan cara membuang gelang, simbol budak belian yang dikenakan Tio karena kalah perang. Kemudian, Ronggur dan Tio bersujud memohon ampun atas keangkuhan mereka melanggar peraturan Mulajadi Na Bolon dan meminta agar mereka disatukan Mulajadi Na Bolon sebagai suami-istri yang saling mencintai, hidup atau mati.

(74)

mengikuti arus sungai hingga mencapai pantai dengan air laut yang asin, tidak seperti air Danau Toba di kampung halamannya.

Di tanah habungkasan itu, Ronggur dan Tio memulai hidup baru hingga memperoleh seorang anak laki-laki. Ronggur pun teringat pada ibu dan mantan datu bolon kerajaan yang menanti kebenaran mimpinya, sehingga dia dan istrinya berniat mewartakan keberhasilannya. Perjalanan pulang ke kampung halaman pun mereka siapkan. Hasil yang diperoleh dari tanah habungkasan dibawa sebagai bukti keberhasilannya. Perjalanan pulang itu ternyata tidak dapat dinikmati ibunya yang meninggal dunia tak lama setelah kepergiannya. Bahkan, Ronggur dan pengikutnya ditangkap dan akan dihukum mati. Raja dan datu bolon kerajaan tidak ingin kepercayaan nenek moyang tentang Sungai Titian Dewata dirusak oleh keberhasilan Ronggur membuktikan bahwa Sungai Titian Dewata tidak berakhir di ujung dunia.

Di saat kritis itulah, mantan datu bolon kerajaan meyakinkan orang melarat dan orang buruan tentara kerajaan untuk membebaskan Ronggur dan rombongannya, sebab hanya Ronggur yang mengetahui jalan menuju tanah habungkasan. Gong pun dipalu, sidang kerajaan digelar, raja pun memerintahkan putranya bersama putra Raja Nabegu dan putra Raja Ni Huta untuk memimpin laskar marga mengejar rombongan Ronggur. Entah mengapa, Ronggur sengaja membiarkan laskar marga mengikuti jalan yang mereka tempuh selama tujuh hari lamanya.

(75)

Dewata tidak berakhir di ujung dunia dan tanah habungkasan berada di bawah bukit tempat mereka berada. Di saat terjepit itu, putra Raja Ni Huta berusaha melawan meski akhirnya tewas terkena tombak Ronggur.

Akhirnya, laskar marga mengakui kekalahannya dan menerima kenyataan bahwa ucapan Ronggur terbukti kebenarannya. Mereka pun pulang mewartakan kebenaran yang ditemukan oleh Ronggur. Sejak saat itu orang-orang di Kerajaan Marga dan kerajaan lain pun mengikuti Ronggur mendirikan perkampungan di Asahan, Labuhan Batu, Simalungun, dan daerah-daerah yang jauh dari tepi Danau Toba. Berdasarkan realitas fiksi tersebut, peristiwa kehidupan dalam novel PUD karya Bokor Hutasuhut menampilkan Ronggur sebagai protagonis yang luar biasa baiknya dalam dimensi waktu yang bergerak maju dengan sesekali mengalihkan perhatian pada peristiwa masa lalu bersama warga di Kerajaan Marga.

(2) Struktur Relasi Gender

(76)

perempuan yang merdeka, sehingga menjadi beban pikiran ibunya. Bahkan, dalam hubungan kekerabatan yang lebih luas, Ronggur menjadi simbol pembebas perbudakan di Kerajaan Marga.

Perlakuan Ronggur terhadap Tio telah mencemaskan ibunya. Secara adat, seorang budak seperti Tio tidak boleh ditempatkan sebagai teman oleh pemiliknya, tidak boleh makan bersama semeja dengan pemiliknya, dan tidak boleh memanggil pemiliknya dengan menyebut namanya. Hal itu semua dilanggar oleh Ronggur, sehingga menimbulkan pergunjingan di kalangan warga bahwa relasi gender antara Ronggur dan Tio merupakan perbuatan yang tidak bermoral. Akan tetapi, status sosial Ronggur sebagai Raja Ni Huta Muda membuat warga tidak berani mengatakannya secara terus terang kepada Ronggur. Bahkan, para raja yang lain tidak mempersoalkan perilaku Ronggur yang memperlakukan Tio tidak seperti warga yang memiliki budak belian. Hanya Ibu Ronggurlah yang cemas terhadap sikap putranya terhadap Tio, budak beliannya, dalam kesetaraan gender.

“Tentu Ronggur sudah digoda setan. Sudah diizinkannya seorang budak belian makan bersama,sekarang diberinya pula keizinan pada seorang budak belian menyebut namanya. Apakah dia tidak tahu tentang martabatnya yang begitu tinggi? O, Mula Jadi Na Bolon, lindungilah anakku dari godaan setan.” Perempuan tua itu serasa dipukul kepalanya dan ulu hatinya. Napasnya sesak. Tapi, dengan tersengal-sengal dan berusaha mengangkat kepala, dia menatap Tio, lalu:

“Aku tahu bahwa perangaimu baik, Tio. Tapi, kau tidak sepantasnya menyebut namanya. Jangan lagi sebut namanya. Penuhilah permintaanku ini. Bagaimana kalau tetangga mendengar kau menyebut namanya di depanku” Maukah kau memenuhi permintaanku ini?” (PUD:48-49)

(77)

berakhir sesuai kehendak Mulajadi Na Bolon, sehingga Ibu Ronggur hanya dapat berserah diri kepada yang Mahakuasa atas perilaku putranya. Keteguhan hati Ibu Ronggur tersebut mengejutkan mantan datu kerajaan yang dianggap sebagai penyebab kematian Ayah Ronggur. Ibu Ronggur ternyata tidak pernah menceritakan sebab kematian dan di mana kuburan Ayah Ronggur. Bahkan, Ibu Ronggur meminta Ronggur menanyakan secara langsung perihal ayahnya kepada mantan datu kerajaan. Di sini terlihat profil Ibu Ronggur yang mencerminkan seorang tokoh religius, sabar, dan tidak pendendam. Hal itu terlihat dari pengakuan Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, mantan datu bolon kerajaan.

”Anakku, selama ini kupikir, ibumu mendendam padaku. Lalu mengalirkan dendam itu ke tubuhmu. Kemudian kau membenci aku, atau berusaha untuk menuntut balas. Kiranya, ibumu tidak mau menceritakan. Dan, tidak menanamkan dendam ke dadamu. maafkan kesalahan itu.” (PUD:51)

(78)

jalan yang menyimpang dari ketentuan adat dan religi. Di bawah ini dikutip contoh situasi musyawarah di Kerajaan Marga yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan.

Di Sopo Bolon, Ronggur telah dinantikan kerajaan yang lengkap. Segala Raja Ni Huta dari tiap kampung yang didiami marga mereka telah ada di sana. Dia terus tahu, sidang kerajaan akan diadakan hari itu. Raja Panggonggom sudah duduk di tempat dengan wajah murung, pertanda warta yang kurang baik. Di kiri kanan Raja Panggonggom, duduk berjajar Raja Partahi, Raja Namora, Raja Nabegu. Di belakang mereka, duduk para Raja Ni Huta. Hanya Raja Ni Huta dari induk kampung marga yang duduk sejajar dengan Raja Panggonggom. Pada tempat tertentu, hadir pula Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Diapit oleh para tua kampung, yang selalu dipanggil menghadiri sidang kerajaan, bila yang hendak dibahas hal penting. (PUD:84)

Meskipun Raja Panggonggom tetap mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan, pemunculan simbol perlawanan terhadap keputusan adat tetap muncul dalam diri Ronggur. Bahkan, simbol perlawanan ini mendapat dukungan dari tokoh religius, sabar, dan tidak pendendam dalam diri Ibu Ronggur. Relasi gender ini menguatkan tekad Ronggur untuk menghapuskan simbol perbudakan dalam diri Tio. Dengan demikian, Ronggur tampil sebagai simbol pembebas perbudakan dengan cara membuang gelang yang menjadi simbol budak dalam diri warga Kerajaan Marga dan kerajaan yang takluk padanya.

(3) Struktur Ruang dan Waktu

Gambar

Tabel 1 : Indeksional Perangkat Kebesaran Raja dan Pemuka Masyarakat di Kerajaan Marga Berdasarkan Nama/Gelar, Ciri-ciri, dan Jabatan
Tabel 3 :  Ikonitas Struktur Naratif Novel PB Karya Bokor Hutasuhut   Berdasarkan Hari Kedatangan dan Peristiwa di Kota Sibolga
Tabel 4 :  Alasan Pindah Orang Batak Menurut Faktor Pendorong dari Daerah Asal dan Faktor Penarik dari Daerah Tujuan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: (1) Perencanaan pembelajaran guru Bahasa Inggris dalam meningkatkan prestasi belajar siswa pada

KARTU INVENTARIS BARANG (KIB) E ASET TETAP

Kami ingin mengetahui pelaksanaan proses pernbelajaran berbasis kompetensi pada mata diklat program produktif bidang keahlian Tata Busana, baik yang bersifat teori dzn

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di instalasi farmasi harus melibatkan tenaga kefarmasian dalam pengendalian

Dalam peningkatan hafalan Al- Qur’an siswa melaui Wafa di SDIT Bina. Insan Mulia Wlingi Blitar, maka dari pengalaman selama

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui kasih karunia- Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja

lainnyamelemah. perhatian dibentuk oleh faktor eksternal atau faktor internal. faktor eksternal adalah stimuli diperhatikankarena mempunyai sifat-sifat yang menonjol antara lain

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MOD EL PEMBELAJARAN INKUIRI TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR ASPEK KETERAMPILAN PROSES SISWA KELAS IV D I SEKOLAH ALAM CIKEAS.. Universitas