• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diskriminasi Gender Yang Dialami Oleh Tokoh Gin Dalam Novel “Ginko” Karya Jun’ichi Watanabe"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN PENGERTIAN GENDER

2.1Defenisi Novel

Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita

pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dalam bahasa

Jerman novel disebut novelle dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudian masuk dalam bahasa Indonesia.

Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari pada roman.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:694), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang

dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap

pelaku. Prosa dalam kesusastraan juga disebut sebagai karya fiksi. Karya fiksi

menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat

rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh

sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2).

Menurut Sumardjo (1999:11-12), novel adalah genre sastra yang berupa

cerita, mudah dibaca dan dicerna, juga kebanyakan mengandung unsur suspensi

dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.

Walau bersifat imajiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan

dari fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4)

(2)

sejarah, (2) fiksi biografis / biographical fiction atau novel biografi, jika yang menjadi dasar penulisanfakta biografi seseorang, dan (3) fiksi sains / science fiction atau novel sains, jika yang menjadi dasar penulisannya adalah fakta mengenai ilmu pengetahuan.

Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Ginko”

ini ke dalam novel biografi karena novel ini ditulis berdasarkan fakta biografi

seseorang yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.

Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu

novel populer dan novel serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia

merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan

hiburan pada kita, tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Syarat utama sebuah novel

adalah menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah membacanya.

1. Novel Populer

Novel populer sering juga disebut sebagai novel pop. Kata pop erat

diasosiasikan dengan kata populer. Kayam dalam Nurgiyantoro (1981:82)

mengatakan bahwa istilah pop merupakan istilah baru dalam dunia kesusastraan.

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak

penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel ini menampilkan

masalah-masalah yang aktual dan menzaman, namun hanya sampai pada tingkat

permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara

intens dan tidak berusaha meresapi masalah kehidupan, karena akan dapat

(3)

Novel populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak

memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan

kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal

kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur dan menceritakan

kembali pengalaman itu. Kayam (1981:88) kembali mengungkapkan novel populer

yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena novel

populer memang hanya semata-mata menyampaikan cerita dan tidak berpotensi

mengejar efek estetis melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya.

2. Novel Serius

Berbeda dengan novel populer, novel serius atau novel sastra sanggup

memberikan yang serba kemungkinan. Jika ingin memahami novel sastra

diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.

Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini

disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal.

Disamping memberikan hiburan, novel serius juga memiliki tujuan

memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau mengajaknya untuk

meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan

yang dikemukakan.

Novel serius biasanya berusaha mengungkap sesuatu yang baru dengan

cara yang baru juga. Karena adanya unsur pembaharuan tersebut teks kesastraan

menjadi mengesankan. Oleh karena itu, novel serius tidak akan terjadi sesuatu

(4)

Novel sastra menuntut aktifitas pembaca secara lebih serius, menuntut

pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut

merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Teks

kesastraan sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga menyebabkan

pembaca harus benar-benar mengerahkan konsentrasinya untuk memahami teks

cerita. Luxemburg, dkk (1989:6) mengungkapkan jika cerita bertentangan dengan

pola harapan pembaca, disamping itu juga memiliki kontras yang ironis, hal ini

justru menjadikan teks yang bersangkutan menjadi suatu cerita yang memiliki

kualitas kesusastraan.

Stanton (2007:4) menjelaskan bahwa secara implisit maupun eksplisit

disebutkan bahwa novel serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan

sesuatu yang berguna untuk kita dan bukan hanya memberi kenikmatan. Faktanya,

novel serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya.

Pernyataan ini telah diungkapkan dan dibuktikan oleh banyak orang.

2.2 Setting Novel Ginko

Setiap karya sastra disusun dari unsur-unsur yang menjadikannya sebuah

kesatuan. Salah satu unsur yang sangat mempengaruhi keberadaan karya sastra

adalah unsur intrinsik. Setting merupakan salah satu unsur intrinsik yang terdapat

dalam karya sastra dalam hal ini adalah novel.

Menurut Abraham dalam Nurgiantoro (1995: 216) setting atau latar yang

disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

(5)

Setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: waktu, tempat,

dan sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang

berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya setting berkaitan

dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Setting berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi sastrawan setting cerita

dapat digunakan untuk mengembangkan cerita. Setting cerita dapat digunakan

sebagai penjelas tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh.

Sastrawan juga bisa menggunakan setting cerita sebagai simbol atau lambang bagi

peristiwa yang telah, sedang, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa menggunakan

latar/ setting cerita untuk menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau

atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Bagi pembaca, latar cerita bisa membantu

untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh.

Latar juga bisa membantu pembaca dalam memahami watak tokoh, suasana cerita,

alur, maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita.

1. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan denngan masalah kapan terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut

biasanya dihubungkan dengan waktu factual, waktu yang ada kaitannya atau dapat

dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Oleh sebab itu dalam kaitannya sebagai latar waktu maka dalam novel

‘Ginko’ karya Jun’ichi Watanabe mengambil setting pada awal zaman Meiji yakni

(6)

2. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa

tempat-tempat dengan nama tertentu, inisia tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama

jelas. Dalam novel ‘Ginko’ mengambil latar tempat di beberapa tempat di Jepang,

seperti di Kanto, Tokyo, Kofu, Hokkaido, Sapporo dan lain sebagainya.

Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di tempat-tempat seperti di tepi sungai, rumah sakit,

asrama mahasiswa, kuil, klinik, gereja dan lain-lain.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran kepada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi

maupun nonfiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaaan

hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan

bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh

yang bersangkutan, misalnya rendah, menensgah atau atas.

Sama halnya juga dalam novel “Ginko” ini terdapat ruang lingkup tempat

dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam

hidupnya. Setting peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel ini seluruhnya

terjadi di Jepang dan berlangsung pada tahun 1870-1913.

Pada zaman ini masih dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme yaitu konsep

(7)

zaman Meiji seperti Ogino Gin dalam novel ini untuk berpendidikan tinggi dan

berprofesi sebagai dokter wanita merupakan hal yang hampir mustahil.

Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari pandangan wanita Jepang

modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji, para wanita hanya

berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak diperbolehkan mengurus

anaknya sendiri. Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai diterapkan pada zaman

meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam mendidik anak. Bahkan,

konsep ryousaikenbo ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai

rumah. Dengan maksud bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan

dirawat secara penuh kasih sayang oleh istri atau ibu.

Meskipun wanita Jepang telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun,

tetap saja dilakukan pemisahan kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu

pekerjaan bagi wanita Jepang sangat dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya

dapat sampai SMU. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konsep

ryousaikenbo sebagai awal dari dimulainya ketidakadilan atau diskriminasi

gender bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan

memiliki anak harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta

patuh terhadap segala keputusan suami.

Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus dapat berperan

sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan

keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam

menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua hal tersebut

(8)

Tidak peduli bagaimanapun terdidiknya perempuan kelas menengah tapi

mereka tidak ada peluang di dalam masyarakat untuk menggunakan pendidikan

mereka dalam berbagai cara yang efektif. Seperti halnya, Gin yang hidup di zaman

Meiji yakni zaman dimana perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan yang

lebih tinggi. Hal tersebut karena ada paham dalam masyarakat yakni paham yang

menganggap bahwa wanita harus tinggal di rumah dan tugas wanita yaitu urusan

rumah tangga dan merawat anak dan suami. Sehingga Gin harus berjuang untuk

bisa kuliah dan menjadi dokter wanita pertama.

2.3Biografi Jun’ichi Watanabe

Jun’ichi Watanabe dilahirkan di Hokkaido, Jepang, pada tahu 1933. Dia

mulai tertarik menulis saat menempuh sekolah menengah. Ketika menjadi

mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, dia bereksperimen dengan tulis

menulis dan mulai mempublikasikan tulisannya di sejumlah majalah sastra.

Setelah lulus sebagai dokter, dia membuka praktik sebagai ahli bedah

ortopedi, tapi kemudian dia mengundurkan diri dan hijrah ke Tokyo untuk

menekuni dunia kepenulisan. Sejal tahun 1969, dia merintis karir sebagai penulis

seutuhnya

Sejumlah karyanya berupa novel biografis dan terkadang berlatar dunia

kedokteran. Selain Hanauzumi yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk Indonesia yang judulnya menjadi Ginko, novelnya yang populer adalah Shitsuraken (A Lost Paradise) yang menjadi buku laris di Jepangdan berbagai negara di Asia. Dia telah menulis lebih dari 50 novel dan banyak diantaranya yang

(9)

Dia juga meraih sejumlah penghargaan dalam bidang sastra dan

kepenulisan, antara lain hadiah Naoki 1970 untuk novel Hikari to kage dan hadiah Eiji Yoshikawa tahun 1979 untuk novel Toki rakujitsu.

2.4 Pengertian Gender 2.4.1 Konsep Gender

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan

dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil.

Perbedaan ini sangat penting, karena selama ini sering kali mencampur adukan

ciri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan bukan kodrat (gender).

Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau

perbedaan jenis kelamin (Sugiarti, 2008: 4). Untuk memahami kata gender, harus

dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin. Secara sruktur biologis atau jenis

kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing

memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan.

Laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ

peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak bekumis, karena

keduanya memiliki hormon yang berbeda.

Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis

melekat pada jenis kelamin tertentu, (2008: 4). Seks berarti perbedaan laki-laki dan

perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi

(10)

Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki

dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga

lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan

(Sugiarti, 2008: 5).

Konsep gender menurut Sugihastuti tidak jauh berbeda dengan yang

diungkapkan oleh Fakih, yakni konsep gender adalah suatu sifat yang melekat

pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial

maupun kultural, (2004: 8). Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang

dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke

waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Dengan demikian gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung

jawab antara laki-laki dan perempuan yang dilekatkan masyarakat dalm suatu

kultur. Namun berhubung kultur dalam masyarakat mengalami perubahan dan

perkembangan, maka sifat-sifat yang dilekatkan oleh masyarakat juga mengalami

(11)

Tabel : Perbedaan Gender dan Seks

No Karakteristik Seks Gender

1 Sumber Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2 Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3 Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah

laku)

4 Sifat Kodrat, tertentu, tidak

dapat dipertukarkan.

Harkat, martabat dapat

dipertukarkan.

5 Dampak Terciptanya nilai-nilai

kesempurnaan, kedamaian

yang menguntungkan

kedua belah pihak.

Terciptanya norma/

ketentuan tentang pantas/

tidak pantas dan sering

merugikan salah satu

pihak.

6 Keberlakuan Sepanjang masa, dimana

saja, tidak mengenal

perbedaan kelas.

Dapat berubah, musiman

dan berbeda antar kelas.

Selain yang dicantumkan diatas, perbedan gender dan jenis kelamin juga

dapat dilihat sebagai berikut: kemampuan wanita untuk melahirkan anak dan

menyusui, dan kemampuan pria unuk menghasilkan sperma, merupakan ciri-ciri

biologis wanita dan pria yang dicakup oleh konsep jenis kelamin. Sebaliknya,

perbedaan-perbedaan yang lazim berlaku dalam banyak masyarakat di muka bumi

(12)

nafkah dan wanita mengurus anak, merupakan perbedaan-perbedaan yang

diciptakan oleh kebudayaan, sehingga hal-hal ini dapat berubah mengikuti

perubahan perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sebagai suatu konsep teoritis, ada dua aspek konsep gender yang perlu

diperhatikan. Pertama, gender merupakan konsep relasional. Seperti dikatakan

oleh Melani Budianta (1998: 6), gender sebagai suatu konsep relasional artinya

gagasan tentang pria tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang wanita.pendekatan

yang berwawasan gender akhirnya mengoreksi kecenderungan sementara kaum

feminis yag memfokuskan perhtian pada masalah wanita saja.

Kedua, seperti dikatakan oleh Tamanoi (1990: 17), gender sebagai konsep

relasional mencakup hubungan antara pria dan wanita dalam setiap lapisan

maupun kelompok masyarakat. Maksudnya, hubungan antara pria dan wanita bisa

saja berbeda pada lapisan masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

2.4.2 Ideologi Gender

Ideologi merupakan suatu sistem keyakinan yang digunakan orang untuk

menerangkan, menjelaskan, dan membenarkan tingkah lakunya serta menafsirkan

dan menilai tingkah laku orang lain. Ideologi gender merupakan seperangkat

keyakinan yang mengatur partisipasi orang-orang dalam orde gender (Sugihastuti

dan Hadi, 2007: 49). Orde gender merupakan sistem alokasi yang didasarkan pada

ketentuan jenis kelamin mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan larangan,

batasan dan kemungkinan, serta kekuatan dan subordinasi. Dengan ideologi gender

(13)

Ideologi gender mengatur perbedaan sifat laki-laki dan perempuan, keadilan, sifat

alamiah, asal-muasal, dan berbagai aspek orde gender.

Menurut Saptari dan Holzner, ideologi gender adalah seperangkat aturann

nilai, stereotipe yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih

dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Ideologi ini

terbentuk di berbagai tingkat, negara, komunitas dan disosialisasikan melalui

pranata-pranata sosial yang dikuasai dan dikendalikan oleh kelompok-kelompok

yang berkuasa (1997: 202).

Melalui konstruksi sosial, ideologi gender kemudian dijadikan sebuah

norma yang mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan harus bersikap,

berpenampilan, berprilaku dan mengatur kesetaraan antara perempuan dan

laki-laki dengan prinsip yang lebih equal. Artinya, jika ada ideologi dalam budaya

masyarakat yang memihak kepada yang “serba laki-laki” atau yang “serba

perempuan”, maka disebut ideologi bias gender.

Ideologi bias gender adalah ideologi dimana norma, keyakinan, adat

kebiasaan, dan nilai-nilai lazimnya masih serba laki-laki atau serba perempuan,

sehingga ketika menemuka fenomena yang tidak sesuai norma yang “serba

laki-laki” (patriarkhi), dianggap menyimpang. Inilah kesalahan mengukur perempuan dari perspektif laki-laki, bukan perspektif manusia. Ideologi gender saat ini

sedang menjadi warna perjuangan para feminis melalui kerangka budaya

kelompok masyarakat secara kelembagaan maupun melalui kerangka budaya

secara perorangan.

Gerakan gender tidak hanya medekonstruksi posisi perempuan yang hanya

(14)

konsep bahwa perempuan dapat bekerja di sektor publik. Sektor publik dimaksud

baik menyangkut sektor ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan.

2.4.3 Ketidakadilan Gender

Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara, laki-laki maupun

perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama.

Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya

saling melengkapi. Namun dalam perjalanan manusia, banyak terjadi perubahan

peran dan status atas keduanya, terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama

kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan akhirnya berdampak pada

terciptanya perlakuan diskriminatif atau ketidakadilan terhadap salah satu jenis

kelamin. Selanjutnya, muncul istilah gender yang mengacu kepada perbedaan

peran antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran

dan status tadi bik secara sosial maupun budaya.

Aplikasi dan implikasi gender di masyarakat belum sesuai dengan yang

diharapkan, karena masih sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya setempat.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak

melahirkan ketidakadilan gender. Namun, perbedaan gender ini dalam beberapa

hal akan mengantarkan pada ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum

laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih, 2004: 12).

Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan

(15)

Berikut berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dingkapkan oleh Fakih (2004:

13-23).

a. Peminggiran / Marginalisasi

Marginalisasi atau peminggiran adalah kondisi dimana terjadinya

peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus pekerjaan utama yang

berakibat pemiskinan. Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi.

Proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan sesungguhnya

banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki

dan perempuan. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin

tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Banyak studi telah

dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang

menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan.

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga

terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.

Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi di rumah tangga dalam bentuk

diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi

juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.

b. Anggapan tidak penting / Subordinasi

Subordinasi atau anggapan tidak penting adalah anggapan bahwa salah satu

jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan

dengan jenis kelamin lainnya.

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap

(16)

perempuan tidak bisa memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan

perempuan pada posisi yang tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis

pekerjaan tertentu.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk

yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Misalnya saja

diskriminasi secara subordinasi yang diderita oleh kaum perempuan pada sektor,

pekerjaan misalnya presentase jumlah pekerja perempuan, penggajian, pemberian

fasilitas, serta beberapa hak-hak perempuan yang berkaitan dengan kodratnya

belum terpenuhi.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa

semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan

menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki.

Keyakinan gender ternyata ikut menyumbangkan diskriminasi terhadap posisi

perempuan disegala bidang pekerjaan.

c. Pelabelan / Stereotipe

Secara umum stereotipe atau pelabelan merupakan suatu penandaan atau

pelabelan terhadap kelompok tertentu. Biasanya pelabelan ini selalu berakibat

pada ketidakadilan sehingga dinamakan pelabelan negatif. Salah satu jenis

stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Misalnya saja

penandaan bahwa laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa,

sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional dan

(17)

Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak

stereotipe yang dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial

tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.

Masyarakat juga memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan

adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum

perempuan dinomorduakan.

d. Beban kerja berlebih / Double Burden

Double burden atau beban kerja berlebih adalah perlakuan terhadap salah

satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak

dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.

Dengan berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan

pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan

mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun perkembangan perempuan

tidaklah mengubah peranan yang lama yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga.

Maka dari itu perkembangan peranan perempuan ini sifatnya menambah, dan

umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan

pembangunan. Untuk itu maka beban kerja perempuan terkesan berlebih.

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan

rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua

pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.

Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama

(18)

perempuan harus bekerja lebih untuk mencari nafkah, maka ia memikul beban

kerja ganda atau berlebih.

e. Kekerasan / Violence

Violence atau kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada

dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu

jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang

disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam

masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena budaya

dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk

memenangkan perbedan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan sering

kali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.

Kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarki yang

berkembang di masyarakat (Sugiarti, 2008: 18). Menurut Fakih (2004: 17-20)

banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan

gender, diantaranya:

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Hal ini terjadi jika seseorang melakukan paksan untuk

mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.

(19)

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation).

Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh

suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat

dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di

satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara

juag menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh

masyarakat, namun pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang.

Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan

nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan

dijadikan objek demi keuntungan seseorang.

Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana. KB dibanyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap

perempuan.

Ketujuh, jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang taau menyentuh bagian tubuh tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dn

kesempatan tanpa kerelaan dari si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi

di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum.

(20)

1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar kepada seseorang dengan cara

yang dirasakan sangat ofensif.

2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor.

3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau

pribadinya.

4. Menyentuh atau menyenggol bagian dari tubuh seseorang.

Dalam penelitian ini digunakan analisis gender agar penulis lebih

memahami suatu bentuk ketidakadilan dan kaitannya dengan sistem sosial yang

lebih luas. Di dalam menganalisis dengan menggunakan kajian gender, penulis

harus mampu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur

yang tidak adil, dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan

mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut.

Oleh sebab itu berdasarkan atas metode penelitian tersebut diatas penulis

berusaha menjadikannya pedoman untuk dapat menganalisis pembahasan pada bab

III yang didalamnya mencakup tentang bagaimana bentuk diskriminasi gender

Gambar

Tabel : Perbedaan Gender dan Seks

Referensi

Dokumen terkait

Larutan hidrotermal yang melewati batuan, ketika berinteraksi atau kontak dengan batuan tersebut maka larutan hidrotermal akan membawa ion-ion atau kation-kation yang

Dalam Penelitian dibahas tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaku Kejahatan yang Mempunyai Gangguan Kejiwaan. Berdasarkan Pasal 44 KUHP, tidak dipidana pelaku

Sebagai perwujudan dari beberapa kebijakan dan strategi dalam rangka mencapai setiap tujuan dan sasaran strateginya, maka langkah operasionalnya harus dituangkan ke dalam

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 tahun 201I tentang Organisasi dan Tata kerja Universitas Negeri Yogyakartal.. Keputusan N,ltnteri

ABSTRACT: Morphological variables such as phytomass, plant height, leaf area, number of leaves, have been used to express the influence of mineral nutrients on plant growth

dalam diri kita, jika kita masih merasa lapar akan Tuhan, kita tak perlu mencari dengan panik di.. sembarang

Faktor-faktor yang diuji dalam penelitian ini adalah status perusahaan, kepemilikan institusional, leverage, profitabilitas dan tipe industri.. Data yang digunakan dalam

Sebagian besar (54%) responden yang mengalami kejadian bendungan ASI di Wilayah BPS Ny. Titik Ekawati, S.ST, Desa Kintelan Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto. Ada