BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Paradigma dan Metode Penelitian
Penelitian terhadap ketiga novel Okky ini menggunakan paradigma
konstruktivisme. Menurut Guba dan Yvonna S. Lincoln (2009:135-137),
paradigma konstruktivisme dibangun oleh dasar ontologi yang relativisme, yaitu
realitas adalah konstruksi sosial. Kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh aktor sosial. Dasar epistemologi
konstruktivisme adalah transaksional/subjektivitas di mana pemahaman tentang
realitas, atau temuan penelitian adalah hasil interaksi peneliti dengan objek studi.
Sedangkan dasar aksiologi konstruktivisme menyangkut kepentingan ilmu
pengetahuan terhadap masyarakatnya.
Secara metodologis paradigma konstruktivisme menerapkan metode
hermeneutika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama
dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per
orang, sedangkan metode kedua membandingkan dan menyilangkan pendapat
orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu
konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian hasil akhir dari
suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif
dan spesifik mengenai hal-hal tertentu (Salim, 2006:72).
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik
bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya
kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat
pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam
novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat
yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani
tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya
bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam
Ratna, 2011: 6).
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik
bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya
kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat
pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam
novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat
yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani
tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya
bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam
Ratna, 2011: 6).
Jadi, untuk menganalisis realitas dalam novel, penelitian ini menggunakan
metode hermeunetika dan metode deskripsi. Metode hermeneutika mengutamakan
pemakai bahasa tersebut. Di dalam hal ini, novel sebagai genre sastra yang
menggunakan bahasa menjadi sumber data penafsiran kehidupan dengan medium
bahasa. Ratna (2004:45) mengatakan bahwa, “Karya sastra perlu ditafsirkan sebab
di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat
banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.”
Metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitik dan metode deskriptif komparatif. Menurut Ratna (2004:35),
metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis. Sebaliknya, metode deskriptif komparatif
dilakukan dengan cara menguraikan dan membandingkan fakta-fakta kehidupan
masyarakat sebagai suatu realitas fiksi dan realitas sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dalam
paradigma konstruktivisme dengan metode hermeneutika dan deskriptif. Metode
hermeneutika dipilih untuk menafsirkan kehidupan dan peradaban manusia
dalam novel. Sebaliknya, metode deskriptif yang dipilih adalah deskriptif analitik
dan deskriptif komparatif. Deskriptif analitik akan digunakan untuk menganalisis
realitas fiksi dan realitas sosial dalam ketiga novel Okky. Sebaliknya, metode
deskriptif komparatif akan digunakan untuk membandingkan realitas fiksi dengan
realitas sosial. Dengan demikian, tindakan dan kejadian dalam novel sumber data
penelitian tidak hanya bergantung pada teks semata-mata melainkan juga pada
3.3 Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data skunder.
Sumber data primer merupakan data yang berasal dari tiga novel karya Okky
Madasari. Ketiga novel yang menjadi data primer penelitian ini merupakan novel
yang menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga novel tersebut adalah:
1. Judul buku : Entrok
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2010
Cetakan : Pertama
Ukuran buku :20 cm x 13,5 cm
Tebal buku : 282 halaman
ISBN : 878-979-22-5598-8
Warna kulit : Kuning bercampur hijau
Desain kulit : gambar belakang seorang perempuan sedang
mengenakan BH
2. Judul buku : 86
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama
Ukuran buku :20 cm x 13,5 cm
Tebal buku : 256 halaman
ISBN : 978-979-22-6769-3
Warna kulit : kuning
Desain kulit : Gambar angka 86 dengan bingkisan, mobil, rumah,
dan uang di dalamnya.
Penghargaan : Lima besar Anugerah Sastra Khatulistiwa Award
2011 yang dijadikan data dua dalam penelitian ini.
3. Judul buku : Maryam
Pengarang : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2012
Cetakan : pertama
Ukuran buku :20 cm x 13,5 cm
Tebal buku : 280 halaman
ISBN : 978-979-22-6769-3
Warna kulit : biru laut
Desain kulit : gambar seorang perempuan dengan sebuah uamh
Penghargaan : pemenang Anugerah Sastra Khatulistiwa Award
2011
Sumber data sekunder berupa data pendukung yang diperoleh dari
buku-buku, internet, dokumen, wawancara dan catatan lain. Juga dari diskusi-diskusi
dan seminar-seminar yang dilakukan. Adapun sumber data dalam penelitian ini
dapat dilihat pada bagan berikut:
Bagan 3.1 Sumber Data Penelitian
Data primer merupakan data yang berbentuk teks tertulis yang berasal dari novel
Entrok, 86, dan Maryam. Teks novel Entrok, 86, dan Maryam digunakan untuk
menjawab masalah struktur naratif dan perjuangan perempuan. Sedangkan data
sekunder dalam penelitian ini berupa buku, dokumen, internet, hasil-hasil
seminar, dan wawancara. Sumber tertulis berupa buku, dokumen, dan internet, Data Sekunder
Data Primer
Wawancara dengan 4 orang informan Buku, dokumen,internet,
dan hasil-hasil diskusi Novel Entrok, 86, dan
Maryam
seeta hasi-hasil seminar yang berkaitan dengan latar sosial penciptaan ketiga
novel tersebut dan berkaitan dengan bidang ekonomi, keyakinan, dan hukum.
Wawancara dilakukan untuk melihat realitas yang terdapat dalam novel
dan dihubungkan dengan realitas sosial dalam kehidupan nyata. Informan dalam
penelitian ini berjumlah 4 orang yaitu, orang yang penghasilan istrinya lebih
tinggi dari suaminya, pengacara, penganut Ahmadiah, dan bekas narapidana.
Wawancara ini dilakukan pada hari Senin, 16 Maret 2015 dan hari Selasa 17
Maret 2015. Daftar wawancara disajikan dalam lampiran dan selanjutnya data
penelitian disarikan dalam bentuk bagan yang dapat dilihat di bawah ini,
Bagan 3.2 Data Penelitian
Data Sekunder Data Primer
Jawaban dari 4 informan tentang realitas sosial dan
perjuangan perempuan Teks berupa kalimat
tentang struktur naratif dan perjuangan dari sumber data tertulis Teks berupa kalimat
tentang struktur naratif dan perjuangan perempuan dalam novel
ketiga novel Okky
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dan
penelusuran data online. Kedua metode pengumpulan data ini dilaksanakan sesuai
urutan berikut ini.
(1) Metode analisis isi. Metode ini digunakan untuk menganalisis isi atau teks
novel Entrok, 86, dan Maryam. Setiap kata, frasa, dan kalimat yang berkaitan
dengan struktur naratif dan perjuangan perempuan diberi tanda dan dijadikan
sebagai data dalam penelitian ini. Pemaknaan terhadap teks menggunakan
metode hermeneutika atau penafsiran.
(2) Metode library research. Metode ini digunakan untuk menelusuri buku-buku
dan dokumen lain yang terkait dengan pelitian ini.
(3) Metode wawancara. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
wawancara semistruktur (semistructured interview). Menurut Kriyantono
(2006:101-102), wawancara ini dikenal juga dengan nama wawancara terarah
atau wawancara bebas terpimpin. Di dalam berwawancara, pewawancara
berpedoman pada daftar pertanyaan tertulis tetapi memungkinkan mengajukan
pertanyaan secara bebas yang terkait dengan permasalahan. Oleh karena itu,
peneliti bertindak sebagai pewawancara dengan berpedoman pada daftar
pertanyaan dan situasi wawancara. Artinya, daftar pertanyaan dapat
mengalami pengembangan sesuai kelengkapan informasi yang disampaikan
oleh narasumber. Metode wawancara ini dilakukan untuk menambah
informasi tentang realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Wawancara
dari suaminya, pengacara, penganut Ahmadiah, dan bekas narapidana.
Wawancara ini dilakukan pada hari Senin, 16 Maret 2015 dan hari Selasa 17
Maret 2015.
(4) Metode penelusuran data online. Penelusuran secara online untuk melihat
peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan realitas yang terdapat
di dalam novel, misalnya peristiwa pengusiran jamaah Ahmadiyah di Lombok
dan tempat penampungan mereka di gedung Transito. Menurut Bungin
(2007:125), pengumpulan data secara online memerlukan pemahaman
teknologi informasi komunikasi. Hal ini disebabkan data yang akan ditemukan
harus dilacak dengan perangkat teknologi informasi komunikasi. Berdasarkan
kemampuan pengaksesan perangkat teknologi ini dilakukan pencarian dari
Google ke berbagai situs penyedia data online. Dari Google pengaksesan
diarahkan pada dua media sosial penyedia data online, yaitu
www.wikipedia.org dan Google Books. Sebaliknya, www.wikipedia.org
merupakan penyedia data yang dapat diunduh secara bebas. Meskipun
demikian, apabila data yang diperlukan dalam penelitian ini tidak ditemukan
pada wikipedia maka dilakukan penelusuran ke berbagai situs yang dapat
diakses dan diunduh secara bebas, terutama situs penyedia data sastra feminis
Pengaksesan dan pengunduhan dilakukan secara bertahap, yakni sejak bulan
3.4 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dokumen dianalisis dengan
teknik analisis dokumen atau analisis isi. Hal ini disebabkan penelitian ini
merupakan penyelidikan untuk mengumpulkan informasi melalui pengujian
novel. Menurut Ratna (2004:49), metode analisis isi memberi perhatian pada isi
pesan. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan oleh Sigit (2003:240),
“Analisis dokumen ialah mempelajari apa yang tertulis dan dapat dilihat dari
dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen itu dapat berwujud buku pelajaran
(textbook), karangan, surat-kabar, novel, iklan, gambar, dan sebagainya.” Di
dalam penelitian ini, dokumen yang dijadikan bahan penelitian berupa novel yang
didukung oleh dokumen lain, yakni artikel jurnal/surat kabar, peta, gambar, dan
Bagan 3.3 : Kerangka Tahapan Analisis Data
Berikut ini adalah penjelasan tahapan analisis data dalam meneliti novel
Okky Madasari. Hal ini meliputi enam tahap, yaitu sebagai berikut: NOVEL
Realitas Sosial
Teori Feminisme Teori
Chatman
Perjuangan Perempuan Struktur
Penceritaan
Perjuangan Perempuan dalam bidang
hukum
Perjuangan Perempuan dalam bidang
Keyakinan Realitas
Fiksi
Perjuangan Perempuan dalam bidang
Ekonomi
(1) Mengklasifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis struktur naratif ketiga
novel Okky Madasari menurut bentuk dan substansi struktur naratif. Ketiga
novel dideskripsi dan dianalisis realitas fiksinya menurut urutan jenis struktur
naratif dan urutan tahun penerbitan pertama novel tersebut. Dengan demikian,
setiap novel dianalisis struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender,
struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi.
(2) Mengklasifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis realitas sosial yang
relevan dengan realitas fiksi ketiga novel tersebut. Realitas sosial difokuskan
pada pengakuan pengarang terhadap materi cerita yang menjadi latar belakang
kehidupan tokoh cerita dalam novel tersebut.
(3) Merumuskan temuan penelitian sesuai dengan pemaparan realitas fiksi dan
realitas sosial ketiga novel tersebut. Temuan dikelompokkan pada dua aspek,
yaitu (i) struktur penceritaan dan (ii) wacana feminisme. Struktur penceritaan
berhubungan dengan cara pengarang menceritakan kehidupan tokoh-tokoh
cerita dalam novel. Sebaliknya, wacana feminisme berhubungan dengan
perjuangan para tokoh perempuan dalam bidang ekonomi, hukum, dan
keyakinan dalam novel yang terdapat pada realitas fiksi dan realitas historis
ketiga novel tersebut.
(4) Menganalisis struktur penceritaan realitas fiksi dan realitas sosial ketiga novel
karya Okky Madadsari.
(5) Menganalisis masalah perjuangan tokoh perempuan dalam novel yang
berkaitan dengan bidang hukum, ekonomi, dan keyakinan. Setiap masalah
(6) Menyimpulkan hasil analisis penelitian ini dan melihat temuan dalam analisis
perjuangan. Penarikan simpulan didasarkan pada rumusan masalah yang
dideskripsikan dan dianalisis pada paparan data, temuan penelitian, dan
pembahasan temuan penelitian. Penyimpulan hasil analisis penelitian ini
dilengkapi oleh saran yang relevan dengan penelitian feminisme terhadap
BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
4.1Paparan Data
Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data yang terdiri dari tiga buah
novel karya Okky Madasari. Ketiga novel itu adalah Entrok, 86, dan Maryam.
Ketiga novel tersebut diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh PT
Gramedia Pustaka Utama. Entrok dterbitkan tahun 2010, 86 tahun 2011, dan
Maryam tahun 2012. Ketiga novel tersebut dijadikan sumber data utama dalam
penelitian ini. Pemaparan data penelitian dilakukan dengan memasukkan semua
data yang ditemukan di dalam teknik pengumpulan dan teknik analisis data ke
dalam tabel yang berhubungan dengan masalah penelitian.
4.1.1 Paparan Data Realitas Fiksi
4.1.1.1 Paparan Data Realitas Fiksi Novel Entrok
Paparan data realitas fiksi novel Entrok terdiri dari empat unsur, yaitu
struktur plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai
meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur
fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi
narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Fiksi Unsur Teks
Lima tahun aku telah melakukan segala cara.
Orang-orang berseragam loreng hijau dengan pistol di pinggang dan bersenapan tinggi datang ke rumah Marni. Komandan tentara itu datang menagih uang setoran keamanan. Biar usaha Marni tidak ada yang mengganggu. Setiap dua minggu sekali tentara ini akan datang ke rumah Marni dan Marni harus menyediakan uang buat mereka. Saat itu Marni sudah berprofesi sebagai rentenir. Dia meminjamkan uang kepada warga yang membutuhkan dengan bunga pinjaman 10%.
3.Konflik mulai meningkat
Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah pada ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. (En: 55-56)
memuncak Marni sudah tidak punya keinginan lagi menahan mereka. Hatinya belum ikhlas menerima pernikahan itu. Biarlah dia tidak melihat Rahayu, agar dia tidak terus-terusan menyesali kebodohan anaknya itu. Anak yang selalu didoakan supaya bisa sekolah tinggi-tinggi, bisa menjunjung martabat orangtua, malah berbuat seenaknya sendiri. Dia ingin anaknya menjadi insinyur dan bekerja di pabrik gula, justru menjadi gundik.
5.Pemecah masalah
Rahayu pulang ke kampungnya setelah keluar dari penjara. Dia disambut gembira oleh ibunya. Ibunya sudah melupakan semua pertengkaran diantara mereka. Marni merasa seolah-olah hidupnya gairah kembali. Rahayu juga sudah mencairkan segala perbedaan pandangan yang terjadi diantara mereka selama ini. Dia menurut saja, ketika ibunya mau mengawinkan dia. 6. Penyelesaian “Aku di sini terus, Ibu. Menemani Ibu setiap
hari,” bisikku sambil mengelus-elus punggungnya. “Lihat ini kamar Ibu. Aku
berbagai tulisan itu. Aku sudah meminta Taufik untuk mengabarkan peristiwa hari ini ke semua koran. Biar kematian kami disaksikan oleh orang-orang seluruh negeri. Tentara-tentara itu datang. Salah seorang diantara mereka berteriak di corong pengeras suara. Masih ada waktu sepuluh menit untuk segera meninggal desa ini. Tak ada yang apa yang terjadi setelah itu. (En:253-254) 2.Relasi Gender. Hari itu Teja pulang ke rumah simbok.
Jadilah kami tinggal bertiga di gubuk itu. Simbok memasang papan membagi gubuk kami menjadi dua bagian. Bagian depan dari pintu masuksampai cagak, menjadi tempat untukku dan Teja, simbok menempati sisanya yang dekat dengan pawon ....
Malam ini tidur tak sekedar rutinitas penutup hari, melainkan saar pelepas seluruh keinginan dan kepemilikan. Tidur kami menjadi simbol bagaimana pencapaian manusia dalam mendapatkan apa yang diinginkan.
Aku kesakitan, dia kegirangan. Aku mengerang, dia senang. Aku menangis, dia tertawa penuh kemenangan. Aku menerawang, dia telah pulas. (En: 48-49) Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang kami dapat, dia juga tidak pernah meminta. Dia juga tidak tahu apa saja dagangan yang harus dikulak, berapa harganya, dijual berapa. Yang dia tahu hanya mengangkat goni di punggung. Bedanya, dulu di pasar Ngranget, sekarang keliling desa. Yang penting bagi Teja, bisa membeli tembakau linting setiap hari. (En: 49)
...Dia Kyai Hasbi.
perempuan yang ada di sini. Istri keduanya kadang mengingatkanku pada ibu. Begitu lincah, begitu sigap, mengatur segala kebutuhan padepokan. Istri ketiganya baru dinikahinya tiga bulan lalu. Dia temanku sendiri. Arini. Aku dan Amri yang memperkenalkan mereka. arini yang sedang sebatang kara dan butuh tempat beerlabuh. Kyai Hasbi meminangnya. Sekarang Arini, sebagaimana aku dan Amri, melkengkapi apa yang perlu diketahui santri-santri. Berhitung, berpolitik, hingga mengerti bahasa selain yang ada di kitab dan selain yang setiap hari mereka gunakan. (En: 213)
3. Struktur ruang dan waktu
1.Struktur ruang Di rumah, Simbok biasa mengumbar dadanya. Dia hanya memakai kain yang
“Itu lho, Mbok. Kain buat nutup susuku, biar kenceng seperti punya Tinah.” punya entrok. Bentuknya kayak apa aku juga tidak tahu. Tidak pakai entrok juga tidak apa-apa. Susuku tetap bisa diperas to. Sudah, nggak usah neko-neko. Kita bisa makan saja syukur,” kata Simbok. (En: 16-17)
“...memasuki tahun 1980, rumah kami sudah dua kali lipat lebar sebelumnya. Awal tahun ini, orang-orang Singget sedang luar biasa gembira. Tiang-tiang besi berdiri di pinggir jalan desa. Kabel-kabel terbentang. Sudah ada listrik di Singget. Rumah-rumah yang hanya sebelumnya diterangi lampu teplok, sekarang terang benderang dengan lampu warna putih atau kuning” (En: 89-90).
injak basah oleh embun. Ayam berkokok
Tabel 4.1 Data realitas fiksi novel Entrok
4.1.1.2 Paparan Data Realitas Fiksi Novel 86
Paparan data realitas fiksi novel 86 terdiri dari empat unsur, yaitu struktur
plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai
meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur
fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi
narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Fiksi
Unsur Teks
1. Struktur plot 1. Pengenalan Setiap pukul setengah tujuh pagi, gang kecil tanpa nama ini menjadi seperti pasar. Orang-orang bersedakan, berjalan cepat-cepat, berbut mencari celah agar bisa lebih ke depan. Sesekali terdengar teriakan meminta yang berjalan lambat mempercepat langkah.
Bau minyak wangi murahan bercampur dengan bau got. Di tiga atau empat rumah petak, pada jam seperti ini, selalu ada ibu-ibu yang sedang mencatur anak mereka di depan pintu, berak beralas koran, lalu dibuang ke dalam got.
hidup Arimbi di mulai. Berjalan di antara orang-orang yang sama tanpa mengenal nama. Dimulai dari langkah pertamanya keluar dari rumah kontrakan, lalu 250 langkah menuju jalan raya,
Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman SD mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya. “Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas
“Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya. “Ya aturaran desa.” (86, 2011: 60)
3. Konflik mulai meningkat
”...Arimbi merasakan sesak di dadanya. Selama itu ia akan hidup dalam tahanan. Tapi diam-diam ada rasa puas yang tipis bermain-main dalam benaknya. Hakim itu tak bisa dibeli. Perempuan itu dihukum lebih berat darinya” (86, 1011: 170). 4. Konflik
memuncak
muda. Duit segitu buat bebas cepat ya nggak ada apa-apanya. Ya terserah, kalau nggak mau. Tunggu saja dua tahun lagi.” (86, 2011: 217) 6. Penyelesaian ...Sesak. Sakit. Tapi tak tahu itu apa. Arimbi tak
mengeluarkan air mata. Ia juga tak tahu hendak melakukan apa. Semua yang ada di sekelilingnya hanya seperti ruang hampa yang tak memiliki makna. Dia seperti tersesat di tempat gelap. Dia menyerah. Tak mau bersusah-susah mencari celah.
Suara jeritan menyadarkannya. Anaknya terbangun. Tangisan anaknya semakin keras. Arimbi tersadar. Ia bergegas ke kamar, selalu terlihat modis meski menggunakan seragam. Sepatu dan tasnya selalu berganti setiap dua hari sekali, menyesuaikan dengan warna seragam yang dipakainya. Mukanya putih mengilap dengan tata rias yang lengkap. Pemulas mata, perona pipi, lipstik hingga pulasan maskara dan pembuat bingkai mata, semuanya terpoles sempurna. Rambutnya yang sebahu disasak sebagian, tepat di bagian samping dan atas. Tak pernah ia lupa memakai kalung, giwang, dan cincin. Ada yagn berhias intan, ada yang mutiara, ada juga yang emas kuning polos tanpa hiasan apa pun. (86, 2011: 26)
Beberapa kali Bu Danti megajak Wahendra saat ada urusan di luar kantor. Wahendra yang punya banyak teman, juga sering membawa temannya ke kantor, mengenalkannya pada Bu Danti. (86, 2011: 28-29)
2. Relasi Gender.
Arimbi mulai membongkar tumpukan kertas di mejanya. Itu semua baha-bahan yang harus diketik ulang, di rapikan, dan di-fotocopy. Arimbi membaca kertas-kerta itu sekilas. Memilih mana yang lebih dahulu dikerjakan. Dia melirik jam, sudah jam setengah dua belas. Jam satu nanti akan ada sidang yang akan diikutinya. Sambil menguap, Arimbi mengambil satu berkas yang sudah ditandai dengan kata “segera” oleh Bu Danti. (86: 27)
Mereka bercinta berkali-kali dalam sehari. Tengah malam sebelum tidur, pagi-pagi sebelum Ananta berangkat kerja, dan sore hari setelah Ananta tiba di rumah. Pada hari tertentu mereka makan siang bersama. Ananta sengaja pulang, lalu makan di kamar. Setelah makan mereka menjadi awal perubahan itu. Keturnan keluarga ini tidak akan lagi mengurusi tanah, bekerja dengan baju penuh kotoran setiap hari. Melalui Arimbi, keluarganya akan memasuki golongan baru. Golongan orang-orang terpelajar yang terhormat. Orang-rang yang bekerja dengan pakaian bersih, bertangan halus tanpa otot-otot yang menonjol, berkulit bersih karena terus berada di dalam ruangan. Arimbi menjadi orang
Bus kembali berjalan pelan-pelan menuju arah selatan, lalu terjebak dalam barisan kenderaan yang sedikit pun tak bisa bergerak. Di depan sana, ada kerumunan orang membawa spanduk dan poster dengan bermacam-macam tulisan. Ada juga gambar raksasa orang berseragam jaksa. Salah satu matanya ditutup dengan spidol warna hitam. Jaksa dalam gambar itu menjadi bajak laut. Di bawah gambar, tulisan “Jaksa Agung” dicoret, diganti dengan “Bajak Agung”.
Arimbi meratap dalam hati. Lengkaplah sudah hari ini menjadi hari buruk baginya. Kopaja ini tak akan bergerak sampai demonstrasi selesai. Dan dia akan tetap bersedak-desakan terpanggang matahari yang sedang garang-garangnya. Minyak wangi dan deodoran tidak akan bisa lagi mengalahkan bau apek dan lengket badan sisa keringat yang keluar selama di dalam kopaja. (86: 24-25)
Pintu yang mereka sandari terbuka. Orang-orang berebut masuk kereta. Ada yang tua ada yang masih anak-anak, laki-laki dan perempuan. Satu-dua orang memang seperti penumpang. Berbaju rapi dan membawa tas besar. Sisanya adalah pedagang dan peminta-minta. Mereka berebutan berjalan di lorong, menawarkan nasi bungkus yang sudah dingin, minuman, rokok, dan kacang goreng. Sebagian lainnya menyodorkan tangan ke setiap penumpang. Berdiam lama kalau tak diberi, hingga akhirnya orang yang dimintai merasa tak enak dan terpaksa memberi. Ada yang sebisanya memainkan ecek-ecek atau menyanyikan lagu meski tak terdengar suaranya. Tak beranjak ke bebas, tanpa ada sekat-sekat waktu yang menjadi mesin penggerak atas semua yang dilakukannya. Dua hari itu, jam setengah tujuh pagi tidak lagi menjadi awal kehidupan Arimbi.” (86: 11)
“...Arimbi mulai mengemas barang-barangnya mulai jam empat. Diam-diam dia segera meninggalkan mejanya, menyusul Anisa yang selalu pulang lebih dahulu darinya. Ananta sudah menunggu di depan pagar. Mereka tiba di rumah saat hari masih terang. Di kamar Arimbi mereka
Tabel 4.2 Data realitas fiksi novel 86
4.1.1.3 Paparan Data Realitas Fiksi Novel Maryam
Paparan data realitas fiksi novel Maryam terdiri dari empat unsur, yaitu
struktur plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai
meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur
fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi
narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Fiksi Unsur Teks
1. Struktur plot 1. Pengenalan “Januari 2005 Apa yang diharapkan orang yang terbuang pada sebuah kepulangan? Ucapan maaf, ungkapan kerinduan, atau tangis kebahagiaan?...Sudah lewat lima tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di pulau ini” (My:13).
terjadi. Keduanya saling ngotot, tak mau mengalah. Rifki hilang kesabaran. Ditonjoknya muka calon mertua. (My: 20)
2. Keadaan mulai berkonflik
...Baru kemudian, ketika Alam datang, Maryam kembali merasakan apa yang dirasakannya saat mulai dekat dengan Gamal. Maryam juga sengaja membanding-bandingkan keduanya. Wajah mereka yang hampir mirip, sifat dan perilaku yang serupa dan nama mereka yang tak jauh berbeda: Gamal dan Alam. Maryam jatuh cinta. Satu-satnya yang dia pikirkan adalah jangan sampai yang baru didapatnya itu terlepas. Ia tak mau lagi mengulang masa-masa kehampaan yang melelahkan ketika kehilangan Gamal. Dengan Alam, dia tak mau berpikir apa-apa lagi, selain ingin berdua selamanya. (My: 25)
Alam mengiba. Memohon pengertian dan kasihan dari bunya. Ia berjanji akan membawa Maryam ke jalan yang benar. “Bukankah justru itu kemuliaan seorang laki-laki?”
Pertanyaan Alam membuat ibunyapenuh keharuan. Perempuan itu luluh. Ia percaya pada anak kesayangannya. Lagi pula dua minggu ini ia melihat sendiri bagaimana Alam yang dirundung kerisauan. Tak sampai hati dia membiaarkan Alam seperti itu berkepanjangan. Ia yakin, Alam akan membawa Maryam ke jalan yang seharusnya. Tapi dia mengajukan syarat. Ia ingin bertemu Maryam dan bicara dengannya lebih dulu. Alam mengiyakan. (My: 39)
Maryam menolak keduanya.ia memilih pergi. Masing-masing menyimpan amarah. Maryam menikah dengan Alam tanpa memberitahu orang tuanya lagi. Semua sudah cukup jelas, pikirnya.
Pada akhir tahun 2000, seorang wali nikah dari Kantor Urusan Agama menikahkan mereka. Maryam sah menjadi isri Alam. Ia jadikan Alam sebagai satu-satunya imam dan panutan. Ditinggalkannya semua yang dulu ia yakini... (My: 40)
3. Konflik mulai meningkat
bahkan merasa semuanya hanya pengulangan. Peristiwa yang sama. Hanya waktu dan tempatnya yang berbeda. Namun, saat pandangannya bertemu dengan bapak dan ibunya, Maryam tahu ini bukanlah pernikahan yang dahulu. ...Ia bergerak cepat untuk membuat bayangan itu segera pergi. Mengikuti petunjuk penghulu untuk beersalaman, minta restu pada orang tua mereka. saat itulah air matanya mengalir deras. Menyatu dengan air mata bapak dan ibunya. Lalu bertemu dengan air mata ibu Umar. (My: 163-164)
4. Konflik memuncak
“Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah kami sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka. Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada memberi tanggapan. Semua menunggu suami-suami mereka mengambil keputusan.
“Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman kembali berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pergi?!”
“Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!” sambung yang lainnya.
Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kam sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My: 226-227)
“Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi soeot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati” (My: 249).
aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat
“Rusuh sekali tadi di TV. Orang-orang bentrok di Monas.” Kata Zulkhair. “Gara-garanya ada yagn mau membela kita,” lanjutnya.
Zulkhair lalu menceritakan yang dilihatnya. Dimulai dari sekelompok orang-orang yang datang membawa berbagai tulisan untuk membela Ahmadiyah. Lalu kedatangan kelompok lain yang sejak dulu memang tak mau ada Ahmadiyah. Lalu gambar televisi dipenuhi pukulan, tendangan, teriakan, dan orang-orang terluka.
“Masih ramai di TV sekarang. Semua berita tentang itu terus,” kata Zulkhair. (My: 269) 6. Penyelesaian “Januari 2011 Saya Maryam Hayati. Ini surat
ketiga yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok.... Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? (My: 273-275) memberitahu orangtuanya lagi. Semua sudah jelas, pikirnya” (My: 40).
Maryam memiliki kecantikan khas permpuan dari daerah timur. Kulit sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis tebal dan bibir agak tebal yang selalu kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam sejak kecil selalu dibiarkan panjang memebihi punggung dan selalu dibiarkan tergerai. Di luar segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang cerdas dan ramah. (My: 24)
ITS. Orangnya ganteng. Kulitnya putih, jauh
Sesaat kemudian terdengar suara berisik dari arah jalan. Barisan orang-orang muncul. Memasuki jalan kecil. “Usir! Usir!” teriak mereka.
Terdengar bunyi „brak‟ dan „klontang‟. Mereka melempar sesuatu ke rumah yang dilewati. Rumah orang tua Maryam nomor empat dari ujung jalan. Itu artinya mereka akan segera sampai.semua orang kini berdiri bersiap-siap. Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam mengunci dari dalam. Hanya laki-laki yang ada di luar. (My:224-225)
Gamal benar-benar tak pulang. Bapak-ibunya telah putus asa mencari. Datang ke kampus. Bertemu dosen-dosen dan mahasiswa-mahasiswa. Tak ada yang tahu soal Gamal. Lagi pula, semua teman seangkatannya sudah jarang berada di kampus. Semua sibuk mengerjakan tugas akhir, bahkan banyak yang sudah lulus. Orang tuanya juga datang ke
termasuk kampung Gegerung. Sekitar satu setengah kilometer jauhnya dari perkampungan utama Gegarung, dipisahkan oleh sawah-sawah padi dan sungai”. (My: 83)
2. Struktur waktu
Januari 2005. Apa yang diharapkan oleh orang yang terbuang pada sebuah kepulangan?ucapan maaf, uangkapan kerinduan, atau tangis kebahagiaan?
Tidak semuanya bagi Maryam. Ia pulang tanpa membawa harapan. Ia bahkan tak punya bayangan apa yang akan dijumpainya di kampung halaman. Ia tak berpikir apakah kedatangannya amasih ada yang menantikan, atau malah akan menghidupkan kembali sisa kemarahan. Ia juga tidak tahu apa yang akan dilakukannya di sana. Akankah ia hanya singgah sesaat lalu segera kembali terbang entah ke mana atau akankah ia tinggal selamanya? Entahlah ... Ia hanya ingin pulang. Itu saja. (My: 13)
...Ada juga yang tak butuh waktu terlalu lama untuk membeli. Mereka tersentuh oleh wajah memelas anak itu. Cepat-cepat membeli artinya juga segera bisa menikmati liburan mereka tanpa diganggu oleh pedagang kecil itu lagi. Karena jika tidak, anak itu akan mengikutinya sampai dagangan itu dibeli. Semua anak yang melihat akhinya mengikuti cara itu. Maryam pun demikian, tak peduli apa yang dikatakan turis-turis itu. Tak mengambil hati pada apa yang mereka katakan, yang penting barang harus terjual. Anak-anak senang tiap hari mendapat uang. Jauh lebih senang lagi pemilik toko yang memasok barang. (My, 2012:189) 4. Struktur
4.1.2 Paparan Data Realitas Sosial
4.1.2.1 Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok
Paparan data realitas sosial novel Entrok terdiri dari empat unsur, yaitu
kehidupan spiritual masyarakat Jawa, Kemiskinan, Buruh Perempuan, dan rezim
Orde Baru. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Sosial Uraian untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan.
“Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata
Ibu. (En, 2010: 55-56)
2. Kemiskinan “...aku melihat ada beberapa yang tidur di los itu. Kata Teja, mereka pedagang yang tiap hari tidur di pasar. Pedagang-pedagnang itu kebanyakan perempuan seumuran Simbok. Mereka tidak pernah memakai entrok, apalagi berniat membelinya” (En, 2010: 22).
“...Simbok masih tidur saat aku beranjak ke pancuran di belakang rumah. Didekatnya ada jumbleng. Siapa tahu sakitnya karena aku mau buang kotoran” (En, 2010:30). 3. Buruh
Perempuan
Hari berganti hari, aku dan Simbok masih tetap mengupas singkong, diupahi dengan singkong. Alih-alih membeli entrok, uang sepeserpun belum pernah kuterima. Pernah suatu kali kuberanikan diri meminta upah uang kepada Nyai Dimah, tapi langsung ditolak oleh Nyai Dimah. Kata Nyai Dimah, ia tidak mampu mengupahi uang. Lagi pula di pasar ini semua buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Dia menyuruhku bekerja di tempat lain jika tidak percaya.Nyai Dimah memang benar. Kepada siapa pun aku bekerja di pasar ini, aku akan diupahi dengan bahan makanan ...(En, 2010:29- 30).
“...Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di depan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan menggendong tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.” (En, 2010: 22). 4. Rezim orde baru “Pak Kyai, sampeyan dengar apa kata orang ini? Mereka semua yang ada di sini sudah jadi pembangkang. Semuanya sudah jadi orang-orang komunis. Sampeyan ada di sini dan tidak melakukan apa-apa?”
“Aku tidak ada urusan dengan hal seperti itu. Kami di sini hanya mau mendidik anak-anak. Titik.”
“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan m engangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa jadi kalian selamat. Tapi hari in seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersamaorang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (En, 2010: 226).
Tabel 4.4: Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok
4.1.2.2 Paparan Data Realitas Sosial Novel 86
Paparan data realitas sosial novel 86 terdiri dari dua unsur, yaitu praktik
suap dan peredaran narkoba di penjara. Paparan data tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut,
No. Realitas Sosial Uraian
1. Praktik suap “Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno.
Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman SD mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya.
“Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas Narno. “Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong bayar 40 juta?” Narno mengangguk
“Bayar ke siapa?” “Ya ke desa. Buat kas.”
“Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya. “Ya aturaran desa.” (86,2010: 60)
“jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.”
(86, 2011:217). 2. Peredaran
narkoba di penjara
Tutik sudah tiga tahun di penjara. Asalnya dari Wonogiri, lebih tua tiga tahun dari Arimbi. Karena merasa berasal dari daerah yang berdekatan, sejak awal dia selalu ramah dan baik pada Arimbi. Sesekali mereka berdua berbicara dalam bahasa Jawa.... (86, 2011: 175)
Tabel 4.5 Data Realitas Sosial Novel 86
4.1.2.3 Paparan Data Realitas Sosial Novel Maryam
Paparan data realitas sosial novel Maryam terdiri dari tiga unsur, yaitu
diskriminasi dan kekerasan, kontroversi Ahmadiyah di Indonesia, dan kaum
marginal. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Realitas Sosial Uraian
1. Diskriminasi dan kekerasan
Duabelas bulan telah membentuk kebiasaan. Dari anak-anak sampai orang tua. Tak ada lagi yang menyebut tentang Gegarung. Tak ada lagi tangisan kesedihan mengingat harta benda kini telah hilang. Semua orang menahan diri, sabar, dan berserah diri. mereka sadar tak ada yang bisa dilakukan selain menjalani apa yang ada. Kamar-kamar tersekat kain itulah tempat mereka kini. Tiga kompor di dekat kamar mandi dan setumpuk piring itulah dapur mereka bersama.kamar mandi, tempat cuci baju, dan satu ruangan di samping bangunan utama yang digunakan untyk salat bersama. Itulah hidup mereka. ...
Cerita yang sama diulang-ulang. Rentetan peristiwa di Gegerung hingga bagaimana mereka bertahan sampai sekarang. Pak Khairuddin yang selalu diajak mendampingi Zulkhair. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sejak di Gerupuk, pengungsian di masjid organisasi, pindah ke Gegerung, hingga sekarang tinggal di Transito. Zulkhair menambahinya dengan berbagai tuntutan dan permintaan. Tamu-tamu pulang dengan meniggalkan harapan besar di benak semua orang. Harapan tentang perubahan, harapan untuk segera kembali pulang ke rumah, dan hidup normal. Lagi-lagi kabar baik itu tak pernah datang. Waktu terus berjalan, tamu-tamu pun terus berdatangan, harapan tetap ditanam, tapi inilah yang namanya kenyataan (My: 250-251).
2. Kontroversi Ahmadiyah di Indonesia
“Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah kami sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka.
“Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman kembali berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pergi?!
“Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!” sambung yang lainnya.
Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kam sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My, 2012: 226-227) 3. Kaum marginal “Rusuh sekali tadi di TV. Orang-orang bentrok di Monas.”
Kata Zulkhair. “Gara-garanya ada yagn mau membela kita,” lanjutnya.
Zulkhair lalu menceritakan yang dilihatnya. Dimulai dari sekelompok orang-orang yang datang membawa berbagai tulisan untuk membela Ahmadiyah. Lalu kedatangan kelompok lain yang sejak dulu memang tak mau ada Ahmadiyah. Lalu gambar televisi dipenuhi pukulan, tendangan, teriakan, dan orang-orang terluka.
“Masih ramai di TV sekarang. Semua berita tentang itu terus,” kata Zulkhair. (My: 269)
Tabel 4.6 Data Realitas Sosial Novel Maryam
4.1.3 Paparan Data Perjuangan Perempuan
4.1.3.1 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi terdiri dari
tiga unsur, yaitu perempuan sebagai pelaku bisnis, mempeetahankan hidup, dan
meningkatkan taraf hidup. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. Perjuangan
“Di sini malah aman. Lihat sendiri, kamarku jadi pabrik sabu -sabu,” katanya sambil terbahak-bahak. “Di sini, enggak perlu kucing-kucingan lagi. Yang penting setoran lancar, semua aman. Delapan enaaam!”
pernah ada penyitaan.
Di hari-hari tertentu ada orang-orang yang datang mengambil sabu-sabu. Mereka inilah yang akan mengedarkan ke banyak orang. Tugas Tutik yang menimbang, memebungkus, dan membagikan kepada orang-orang itu. Umi dan Watik hanya
Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan, kalau tidak ya mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang penjualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-pedagang itu. Pekerjaan apapun dilakukan. Imbalannya singkong, ketan, dan pernah sekali waktu baju. Sayangnya, tak ada satu pun yang memberi upah entrok. Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya. Dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesenggukan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali lagi (En, 2010: 17-18).
3. Meningkatkan taraf hidup
Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan Anisa. Bu Danti menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya. Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86, 2011: 49.
Tabel 4.7: Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
4.1.3.2 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang keyakinan terdiri dari
dua unsur, yaitu kejawen dan Ahmadiyah. Paparan data tersebut dapat dilihat pada
No. Perjuangan kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada
kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil
beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!”
...
Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan
ubo rampenya di kamarnya. Di taruh di meja samping lemari
kaca, beralas baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua (En, 2010: 55-56).
Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95).
Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang menziarahinya.
Ibu mendengarkan semua itu dengan antusias.ia sangat percaya upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam, membawa panggang ke makam penguasa desa, dan selametan setiap hari kelahiran (En, 2010:92).
yang akan mereka lakukan di Gunung Kawi. Mereka akan tirakat di sekitar makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo. Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95).
Masih pagi begini tak banyak orang yang datang ke rumah Pak Kyai. Aku dan Teja langsung masuk rumah, menemuinya yang sedang melinting tembakau. Aku minta padanya agar Rahayu diberi doa keselamatan. Kuceritakan semua yang diceritakan Rahayu. Kyai Noto mendengarkan sambil mengisap tembakaunya.
Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semadi dan membuat jampi-jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132).
2. Ahmadiyah “Ini kampung saya. Lahir di sini. Bapak, ibu, sampai buyut semua lahir dan meninggal di sini,” kata seorang perempuan yang ditanyai.
„Tapi bagaimana kalau selamanya tak bisa pulang ke rumah?” tanya wartawan.
Yang ditanyai diam. Semua orang yang mendengar juga diam. ...
Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?” Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan. “Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan.
Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My, 2012: 272)
Tabel 4.8 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
4.1.3.3 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang hukum yaitu,
perjuangan perempuan dalam mencari keadilan. Paparan data tersebut dapat
No. Perjuangan
Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain.
“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?”
“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183)
“Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan-atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.”
“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.
“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119).
Akan kukejar keadilan sampai ke mana pun. Orang paling bodoh saja tahu harta yang kukumpulkan dengan susah payah itu semua milikku. Lha bagaimana ceritanya, orang yang sama sekali tidak kukenal sekarang akan mendapatkan separoh dari hartaku ini? Dan bagaimana bisa aku yang mencari semuanya malah tidak mendapat apa-apa? Walaupun Rahayu itu anakku, bagaimana bis mereka membagi milikku semau mereka. Biarkan aku sendiri yang mengatur kepada siapa aku memberikan hartaku ini.apakah itu pada Rahayu atau orang lain.
Aku menemui komandan Sumardi di markasnya. Siapa lagi yang lebih berkuasa setelah lurah-lurah itu? Hanya mereka orang-orang yang berseragam, orang-orang negara. Pada laki-laki yang telah mengambil satu hektar tanahku ini, kucaritakan semua yang kualami. Aku meminta padanya untuk dicarikan jalan keadilan (En, 2010:196).
Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu.
“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.”
”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217)
Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal. “Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar. (My, 2012:247)
Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”
Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249). Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?
Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275).
Tabal 4.9 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
4.2Analisis Realitas Fiksi
Realitas fiksi yang dideskripsikan dan dianalisis dalam penelitian ini
didasarkan pada cerita dan wacana. Pola cerita didasarkan pada bentuk dan
substansi struktur plot; struktur fisik, ras, dan relasi gender; serta struktur ruang
dan waktu, sedangkan wacana didasarkan pada bentuk dan substansi struktur
deskripsi dan analisis ini merupakan kondisi objektif yang ada dalam novel karya
Okky Madasari yang menjadi sumber data penelitian ini.
4.2.1 Realitas Fiksi Novel Entrok 4.2.1.1Struktur Plot Novel Entrok
Struktur plot sebagai sebuah penceritaan pada hakikatnya terbagi atas tiga
bagian, yaitu bagian permulaan, pertengahan, dan bagian akhir suatu cerita.
Struktur plot ini akan menentukan apakah cerita beralur maju atau beralur
mundur. Oleh karena itu, sinopsis yang menggambarkan pergerakan tokoh harus
dideskripsikan dengan cermat, sehingga dapat diidentifikasi perubahan arah
berkaitan dengan karakter protagonis dalam menjalani kehidupannya. Menurut
Chatman (1980:85), ”Aristotle distinguished between fortunate and fatal plots,
according to whether the protagonist‟s situation improved or declined.”
(Aristoteles membedakan antara alur yang fatal dan keberuntungan menurut
apakah situasi protagonis meningkat atau menurun). Dengan demikian,
pendeskripsian struktur plot tersebut akan memperlihatkan protagonis yang sangat
baik, tidak begitu jahat, atau luar biasa baiknya.
Plot cerita yang digunakan dalam novel Entrok adalah beralur mundur.
Novel Entrok diceritakan dalam delapan bagian. Setiap bagian menampilkan
tindakan dan kejadian yang berkaitan satu sama lain. Karena novel ini beralur
mundur maka pada bagian pertama novel ini akan berkaitan dengan bagian
kedelapan. Bagian pertama mengambil judul Setelah Kematian. Peristiwa ini
Rahayu yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Hubungan keduanya adalah
hubungan anak dan ibu dan hubungan mereka sudah membaik.
4.2.1.11 Tahap Pengenalan
Novel Entrok dibuka oleh Okky Madasari dengan memperkenalkan
Rahayu dan Sumarni atau Marni yang memiliki ikatan hubungan anak dan ibu.
Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti tentang kehidupan
ini, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya
sama-sama korban orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata dan
akhirnya kalah. Kehidupan Marni sudah tidak punya jiwa lagi. Marni mengalami
gangguan kejiwaan sedangkan Rahayu selama lima tahun harus berjuang untuk
mendapatkan hidupnya kembali. Pola pengenalan ini sekaligus menjadi penutup
dalam cerita ini. Pola pengenalan cerita ini antara lain sebagai berikut:
Kau mengerti semuanya. Tapi Kenapa kau tak mau berkata apa-apa? kau hanya bicara tentang sesuatu yang tak pernah kumengerti. Aku juga sering mendengarmu berbicara dengan orang lain yang juga tidak kuketahui. Kenapa tidak denganku?
Lima tahun aku telah melakukan segala cara. Kuhitung hari demi hari dengan keringat yang telah kauberikan padaku. Hanya itu yang membuatku terus bertahan. Kau mengajariku tentang harapan. Dan aku yakin inilah harinya. Akan kubawakan apa yang paling kau inginkan. Aku sudah mendapatkannya.
“Ibu, lihat ini, bu. KTP-ku baru. Lihat...lihat...sama seperti punya ibu.”
“Apa ini?”
“Ka Te Pe, Bu! Ka Te Pe!”
“Tape? Aku mau buat tape. Mbok... Simbok...ayo ke pasar, Mbok. Kita cari telo!”
Tahap pengenalan alur dalam cerita ini dipaparkan pengarang dengan
bergerak mundur ke belakang yang mengisahkan kembali tentang kehidupan
Sumarni menjelang menginjak remaja. Ini ditandai dengan klausa “Kumulai
ceritaku saat aku kenal dunia di luar Simbok”(En, 2010:15). Marni dilahirkan saat
jaman perang di desa Singget. Ini diketahuinya dari cerita Simboknya. Dia sendiri
tak pernah melihat itu semua. Yang dia tahu, tiba-tiba ada yang berbeda di
dadanya. Lama-kelamaan Marni merasa tidak nyaman dengan dadanya. Jika dia
lari kedua gumpalan yang ada di dadanya terguncang-guncang. Dia heran melihat
Tinah, anak pamannya yang dadanya terlihat kencang. Lalu Tinah menjelaskan
karena dia memakai entrok atau BH.
Marni berharap dia akan memiliki entrok tersebut. Lalu ia meminta kepada
ibunya, tetapi ibunya tidak tahu apa itu entrok. Ibunya juga tidak memilikinya.
Untuk membeli entrok ibunya juga tidak pernah mempunyai uang. Demi untuk
mendapatkan entrok akhirnya Marni ikut ibunya bekerja mengupas ubi di pasar
Ngranget. Hanya Nyai Dimah yang mau menawarkan mereka bekerja. Sebagai
upahnya mereka mendapatkan ubi. Pekerja wanita tidak mendapatkan duit sebagai
upah sedangkan pekerja pria diupah dengan uang. Akhirnya ia memutuskan
bekerja seperti yang dilakukan oleh kaum pria. Ia bekerja sebagai kuli angkat
barang. Dia membuat suatu perubahan besar dalam tatanan masyarakatnya bahwa
perempuan juga bisa mengerjakan pekerjaan kaum lelaki.
Marni bekerja sebagai kuli angkat barang. Setelah beberapa lama bekerja,
Marni memiliki uang. Dengan uang tersebut dia membeli sebuah entrok. Dia
malam hari dia bermimpi bahwa dia memiliki entrok bermacam-macam. Peristiwa
ini dapat dilihat pada kutipan novel berikut:
Pagi itu aku terbangun dengan kecewa. Segala keindahan dan kebahagiaan itu kenapa hanya ada dalam mimpi? Aku ingin punya entrok berenda. Entrok sutra bertahtakan intan dan permata. Aku ingin semua orang kagum, menatap dengan iri. Aku juga ingin ada orang yang membuatku merasa begitu bahagia. Mengantarkanku ke kerajaan yang indah.
Sepanjang perjalanan ke pasar, aku terus memikirkan mimpi itu. Entrok yang baru saja kumiliki tak lagi memberi kebahagiaan. Hari ini kali pertama aku memakai entrok ke pasar. Semuanya terasa biasa saja. Kenapa rasanya lebih bahagia saat dalam mimpi? (En, 2010:41)
Keinginan muncul ketika Marni melihat tabungannya sudah banyak. Ia
ingin bakulan (jualan) tetapi tidak di pasar, melainkan jualan keliling kampung.
Ia membelanjakan sebagain uangnya dan dia mulai berjualan. Setiap hari dia
berangkat bersama ibunya ke Pasar Ngranget membeli barang dagangan, lalu
pulang dan mampir ke setiap rumah yang ada di sepanjang jalan dan di seluruh
desa Singget.
Teja yang bekerja sebagai kuli panggul ingin melamarnya. Marni juga
merasa dia mencintai Teja. Lalu mereka menikah. Setelah menikah Teja tidak lagi
bekerja sebagai kuli panggul di pasar Ngranget, tetapi dia setiap hari membawa
barang jualan menemani Marni. Jadi, barang jualan mereka menjadi lebih banyak
dibanding ketika Marni masih berjualan sendiri. Tempat yang mereka kelilingi
juga semakin banyak. Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang diperoleh
dan juga tidak pernah meminta. Harga barang yang dijual juga dia tidak tahu,
yang dia tahu hanya mengangkat goni yang berisi barang jualan di pundak. Yang
4.2.1.1.2 Tahap Keadaan Mulai Berkonflik
Keadaan mulai berkonflik eksternal ketika orang-orang berseragam loreng
hijau dengan pistol di pinggang dan bersenapan tinggi datang ke rumah Marni.
Komandan tentara itu datang menagih uang setoran keamanan. Biar usaha Marni
tidak ada yang mengganggu. Setiap dua minggu sekali tentara ini akan datang ke
rumah Marni dan Marni harus menyediakan uang buat mereka. Saat itu Marni
sudah berprofesi sebagai rentenir. Dia meminjamkan uang kepada warga yang
membutuhkan dengan bunga pinjaman 10%.
Hari demi hari kehidupan Marni semakin meningkat. Rahayu, anak
mereka sudah berusia sepuluh tahun ketika para tentara itu pertama kali datang ke
rumah Marni. Rahayu iri kepada para tentara itu. Setiap kali datang, ibunya selalu
memberi mereka uang. Selama dua puluh tahun Rahayu selalu mendengar ibunya
bercerita tentang sulitnya mencari uang. Tentang cerita jaman dahulu, saat dia
berjalan kaki ke pasar Ngranget, hidupnya yang melarat, sampai-sampai tidak bisa
beli BH. Ibunya selalu mengulangi cerita itu disertai keinginan agar anaknya bisa
sekolah, biar bisa jadi pegawai. Ibunya tidak peduli, dia harus mencari uang
dengan susah payah agar anaknya, Rahayu bisa sekolah yang tinggi.
4.2.1.1.3 Tahap Konflik Mulai Memuncak
Konflik mulai meningkat saat Rahayu tidak mengerti melihat ibunya
masih tekun mengurusi uang recehan yang dikumpulkannya setiap hari. Rahayu
juga tidak mengerti tentang ibunya yang tetap percaya kepada arwah leluhur dan
Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa yang memberi mereka rezeki. Peristiwa di atas
sejalan dengan kutipan pada novel berikut ini:
Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah pada tengah malam. Lalu dudk sendirian di bangku di bawah pohon asem di depan rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan mata, lalu komat-kamit.
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. (En, 2010: 55-56)
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui
sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tidak pernah
dia mengenal Tuhan. Dia mempertahankan hidup dengan caranya sendiri.
Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Dia merasa tidak bersalah
karena dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh.
Tahun 1977 akan diadakan Pemilu lagi. Pak RT datang ke rumah Marni
meminta sumbangan untuk partai pemerintah. Walaupun Marni mengatakan dia
tidak punya uang, namun Pak RT tetap memaksa. Seperti biasa, Pak RT
mengatakan bahwa ini adalah partai pemerintah, sambil menunjukkan map warna
kuning. Semua warga haus memenangkan partasi tersebut, yang tidak mendukung
partai ini berarti orang PKI. Mau tidak mau Marni harus menyumbang.
Pencoblosan dilakukan pada tanggal 2 Mei 1977. Seperti lima tahun yang lalu,
partai berwarna kuning ini menang.
Memasuki tahun 1980, listrik sudah mulai masuk ke desa Singget. Pak
pergi ke Pasar Gede Madiun untuk membali TV. Hanya Koh Cayadi pemilik toko
Cahaya yang menjual TV karena Televisi dianggap barang mewah yang hanya
bisa dibeli oleh orang-orang tertentu.koh Cayadi tahu bahwa yang membeli TV
bukan orang sembarangan, maka dia melayani mereka dengan sangat ramah.
Marni dilayani Koh Cayadi dengan baik. Mereka bercerita panjang lebar tentang
keluarga, usaha, sampai kepada kepercayaan mereka kepada leluhur yang ikut
membantu kelancaran usaha. Ternyata Koh Cayadi seorang menganut leluhur
juga. Dia menawarkan kepada Marni untuk ikut berjiarah ke Gunung Kawi dan
Marni menyetujuinya.
Kepulangan Marni diantar oleh orang-orang Cina menjadi pembicaraan
orang-orang Singget. Apalagi Marni pulang setelah Jumat Legi. Sudah sejak dulu
orang-orang Tionghoa suka ke Gunung Kawi setiap Jumat Legi untuk mencari
pesugihan. Orang-orang Singget juga menuduh Marni mencari pesugihan. Di
sekolah Rahayu mendapat olok-olok baru, tidak hanya anak lintah darat tetapi
juga anak tuyul. Mereka membicarakannya di mana-mana, tetapi pada malam hari
tetap menonton TV di rumah Rahayu.
Marni membeli kenderaan roda empat. Dari hasil panen tebu dan cicilan
piutang orang, akhirnya dia bisa membeli mobil pikap bekas. Marni berniat minta
bantuan Koh Cayadi. Namun, ketika dia datang ke rumah Koh Cayadi, di sana ada
beberapa orang tentara. Mereka melarang Marni masuk. Dari Ellen, Marni
mengetahui bahwa Koh Cayadi sering pergi secara diam-diam ke Kelenteng dan
memberi sumbangan. Padahal, Kelenteng itu sudah ditutup sejak terjadi
Pada kampanye putaran teakhir, pak Lurah datang ke rumah Marni. Dia
mau meminjam pikap Marni untuk arak-arakan ke kabupaten. Tetapi naas bagi
Marni, mobilnya tabrakan dan jatuh ke sungai. Bejo, supir Marni meninggal
dunia. Mobil Marni ditahan di kantor polisi. Untuk mengeluarkannya, dia harus
membayar denda karena mobilnya sudah mencelakakan orang lain.
Kematian Bejo dianggap sebagai tumbal pesugihan. Marni tidak berdaya
dituduh seperti itu. Seberat-berat musibah yang dialaminya Marni tetap percaya
bahwa Mbah Ibu Bumi Pabap Kuasa akan menolongnya. Dia berdoa suapaya
diberi ketenangan dan kemudahan rezeki agar bisa menyrkolahkan anaknya
setinggi-tingginya untuk menebus penyesalan dirinya yang menjadi orang bodoh
dan tidak kenal huruf.
Rahayu memilih kuliah di Jogja. Sejak kepergian Rahayu, Marni merasa
kesepian. Apalagi Teja sering tidak pulang karena selingkuh. Marni diam saja
mendengar cerita tentang Teja, yang penting Teja tidak menikah lagi. Sudah
setahun Rahayu tidak pulang ke kampungnya. Setelah kuliah dua tahun, dia tidak
tertarik lagi dengan kuliahnya. Dia sibuk berorganisasi dan pengajian kampus.
Saat candi Borobudur dibom bulan Januari 1985. Rahayu dan teman-temannya
sedang melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat. Mereka melatih guru-guru
ngaji. Para tentara yang menyelidiki kasus pemboman ini, curiga kepada Rahayu
dan teman-temannya karena mereka tidak melaporkan kegiatan mereka. Akhirnya