• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paparan Data Perjuangan Perempuan

4.1.3.1 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi

Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi terdiri dari tiga unsur, yaitu perempuan sebagai pelaku bisnis, mempeetahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, No. Perjuangan Perempuan Uraian 1. Perempuan sebagai pelaku bisnis

“Di sini malah aman. Lihat sendiri, kamarku jadi pabrik sabu- sabu,” katanya sambil terbahak-bahak. “Di sini, enggak perlu kucing-kucingan lagi. Yang penting setoran lancar, semua aman. Delapan enaaam!”

Arimbi tertawa mendengarnya. Sekarang dia paham, dan sudah bisa membayangkan. Dari sel inilah segala urusan sabu-sabu dikendalikan. Berbagai serbuk obat-obatan yang jadi bahan didatangkan dari luar. Orang-orang yang dari dulu jadi langganan Cik Aling belanja bahan mengantar ke penjara. Petugas-petugas yang sudah mendapat jatah bulanan, membuka pintu lebar-lebar. Kalaupun sesekali ada pemeriksaan, paling hanya berakhir dengan senyuman, tanpa

pernah ada penyitaan.

Di hari-hari tertentu ada orang-orang yang datang mengambil sabu-sabu. Mereka inilah yang akan mengedarkan ke banyak orang. Tugas Tutik yang menimbang, memebungkus, dan membagikan kepada orang-orang itu. Umi dan Watik hanya membantu di dalam kamar. Dan sekarang Arimbi dan Ananta juga menjadi bagian dari tangan-tangan itu. Sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta. (86, 2011: 204-205)

2. Mempertahankan hidup

Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan, kalau tidak ya mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang penjualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-pedagang itu. Pekerjaan apapun dilakukan. Imbalannya singkong, ketan, dan pernah sekali waktu baju. Sayangnya, tak ada satu pun yang memberi upah entrok. Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya. Dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesenggukan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali lagi (En, 2010: 17-18).

3. Meningkatkan taraf hidup

Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan Anisa. Bu Danti menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya. Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86, 2011: 49.

Tabel 4.7: Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi

4.1.3.2 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang keyakinan terdiri dari dua unsur, yaitu kejawen dan Ahmadiyah. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,

No. Perjuangan Perempuan

Uraian

1. Kejawen Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.

...

Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!”

...

Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua (En, 2010: 55-56).

Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95).

Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang menziarahinya.

Ibu mendengarkan semua itu dengan antusias.ia sangat percaya upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam, membawa panggang ke makam penguasa desa, dan selametan setiap hari kelahiran (En, 2010:92).

yang akan mereka lakukan di Gunung Kawi. Mereka akan tirakat di sekitar makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo. Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95).

Masih pagi begini tak banyak orang yang datang ke rumah Pak Kyai. Aku dan Teja langsung masuk rumah, menemuinya yang sedang melinting tembakau. Aku minta padanya agar Rahayu diberi doa keselamatan. Kuceritakan semua yang diceritakan Rahayu. Kyai Noto mendengarkan sambil mengisap tembakaunya.

Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semadi dan membuat jampi-jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132).

2. Ahmadiyah “Ini kampung saya. Lahir di sini. Bapak, ibu, sampai buyut semua lahir dan meninggal di sini,” kata seorang perempuan yang ditanyai.

„Tapi bagaimana kalau selamanya tak bisa pulang ke rumah?” tanya wartawan.

Yang ditanyai diam. Semua orang yang mendengar juga diam. ...

Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?” Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan. “Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan.

Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My, 2012: 272)

Tabel 4.8 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan

4.1.3.3 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum

Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang hukum yaitu, perjuangan perempuan dalam mencari keadilan. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,

No. Perjuangan Perempuan Uraian 1. Perjuangan perempuan dalam mencari keadilan

Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang- orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang- orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain.

“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?”

“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183)

“Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan-atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.”

“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.

“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119).

Akan kukejar keadilan sampai ke mana pun. Orang paling bodoh saja tahu harta yang kukumpulkan dengan susah payah itu semua milikku. Lha bagaimana ceritanya, orang yang sama sekali tidak kukenal sekarang akan mendapatkan separoh dari hartaku ini? Dan bagaimana bisa aku yang mencari semuanya malah tidak mendapat apa-apa? Walaupun Rahayu itu anakku, bagaimana bis mereka membagi milikku semau mereka. Biarkan aku sendiri yang mengatur kepada siapa aku memberikan hartaku ini.apakah itu pada Rahayu atau orang lain.

Aku menemui komandan Sumardi di markasnya. Siapa lagi yang lebih berkuasa setelah lurah-lurah itu? Hanya mereka orang-orang yang berseragam, orang-orang negara. Pada laki- laki yang telah mengambil satu hektar tanahku ini, kucaritakan semua yang kualami. Aku meminta padanya untuk dicarikan jalan keadilan (En, 2010:196).

“Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.”

Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu.

“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.”

”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217)

Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal. “Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar. (My, 2012:247)

Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”

Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249). Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.

Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?

Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275).