• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1.2.1 Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok

Paparan data realitas sosial novel Entrok terdiri dari empat unsur, yaitu kehidupan spiritual masyarakat Jawa, Kemiskinan, Buruh Perempuan, dan rezim Orde Baru. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,

No. Realitas Sosial Uraian

1. Kehidupan spiritual

masyarakat Jawa

Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah pada tengah malam. Lalu dudk sendirian di bangku di bawah pohon asem di depan rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan mata, lalu komat-kamit.

Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. (En, 2010: 55-56)

2. Kemiskinan “...aku melihat ada beberapa yang tidur di los itu. Kata Teja, mereka pedagang yang tiap hari tidur di pasar. Pedagang- pedagnang itu kebanyakan perempuan seumuran Simbok. Mereka tidak pernah memakai entrok, apalagi berniat membelinya” (En, 2010: 22).

“...Simbok masih tidur saat aku beranjak ke pancuran di belakang rumah. Didekatnya ada jumbleng. Siapa tahu sakitnya karena aku mau buang kotoran” (En, 2010:30). 3. Buruh

Perempuan

Hari berganti hari, aku dan Simbok masih tetap mengupas singkong, diupahi dengan singkong. Alih-alih membeli entrok, uang sepeserpun belum pernah kuterima. Pernah suatu kali kuberanikan diri meminta upah uang kepada Nyai Dimah, tapi langsung ditolak oleh Nyai Dimah. Kata Nyai Dimah, ia tidak mampu mengupahi uang. Lagi pula di pasar ini semua buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Dia menyuruhku bekerja di tempat lain jika tidak percaya.Nyai Dimah memang benar. Kepada siapa pun aku bekerja di pasar ini, aku akan diupahi dengan bahan makanan ...(En, 2010:29- 30).

“...Berat satu jun yang berisi penuh air sama saja dengan satu goni berisi singkong. Tidak ada laki-laki yang mengambil air, katanya itu urusan perempuan. Ya jelas lebih enak nguli daripada ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara mengambil air tidak pernah dapat apa-apa.” (En, 2010: 37).

“...Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di depan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan menggendong tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.” (En, 2010: 22). 4. Rezim orde baru “Pak Kyai, sampeyan dengar apa kata orang ini? Mereka semua yang ada di sini sudah jadi pembangkang. Semuanya sudah jadi orang-orang komunis. Sampeyan ada di sini dan tidak melakukan apa-apa?”

“Aku tidak ada urusan dengan hal seperti itu. Kami di sini hanya mau mendidik anak-anak. Titik.”

“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan m engangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa jadi kalian selamat. Tapi hari in seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersamaorang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (En, 2010: 226).

Tabel 4.4: Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok

4.1.2.2 Paparan Data Realitas Sosial Novel 86

Paparan data realitas sosial novel 86 terdiri dari dua unsur, yaitu praktik suap dan peredaran narkoba di penjara. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,

No. Realitas Sosial Uraian

1. Praktik suap “Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno.

Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman SD mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya.

“Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas Narno. “Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong bayar 40 juta?” Narno mengangguk

“Bayar ke siapa?” “Ya ke desa. Buat kas.”

“Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya. “Ya aturaran desa.” (86,2010: 60)

“jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.”

“Gede banget, Bu! Mana ada tahanan yang sanggup bayar uang segitu? Paling Cuma orang-orang elite itu saja yang bisa.”

(86, 2011:217). 2. Peredaran

narkoba di penjara

Tutik sudah tiga tahun di penjara. Asalnya dari Wonogiri, lebih tua tiga tahun dari Arimbi. Karena merasa berasal dari daerah yang berdekatan, sejak awal dia selalu ramah dan baik pada Arimbi. Sesekali mereka berdua berbicara dalam bahasa Jawa.... (86, 2011: 175)

Tabel 4.5 Data Realitas Sosial Novel 86

4.1.2.3 Paparan Data Realitas Sosial Novel Maryam

Paparan data realitas sosial novel Maryam terdiri dari tiga unsur, yaitu diskriminasi dan kekerasan, kontroversi Ahmadiyah di Indonesia, dan kaum marginal. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,

No. Realitas Sosial Uraian

1. Diskriminasi dan kekerasan

Duabelas bulan telah membentuk kebiasaan. Dari anak-anak sampai orang tua. Tak ada lagi yang menyebut tentang Gegarung. Tak ada lagi tangisan kesedihan mengingat harta benda kini telah hilang. Semua orang menahan diri, sabar, dan berserah diri. mereka sadar tak ada yang bisa dilakukan selain menjalani apa yang ada. Kamar-kamar tersekat kain itulah tempat mereka kini. Tiga kompor di dekat kamar mandi dan setumpuk piring itulah dapur mereka bersama.kamar mandi, tempat cuci baju, dan satu ruangan di samping bangunan utama yang digunakan untyk salat bersama. Itulah hidup mereka. ...

Cerita yang sama diulang-ulang. Rentetan peristiwa di Gegerung hingga bagaimana mereka bertahan sampai sekarang. Pak Khairuddin yang selalu diajak mendampingi Zulkhair. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sejak di Gerupuk, pengungsian di masjid organisasi, pindah ke Gegerung, hingga sekarang tinggal di Transito. Zulkhair menambahinya dengan berbagai tuntutan dan permintaan. Tamu-tamu pulang dengan meniggalkan harapan besar di benak semua orang. Harapan tentang perubahan, harapan untuk segera kembali pulang ke rumah, dan hidup normal. Lagi-lagi kabar baik itu tak pernah datang. Waktu terus berjalan, tamu- tamu pun terus berdatangan, harapan tetap ditanam, tapi inilah yang namanya kenyataan (My: 250-251).

2. Kontroversi Ahmadiyah di Indonesia

“Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah kami sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka.

Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada memberi tanggapan. Semua menunggu suami-suami mereka mengambil keputusan.

“Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman kembali berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pergi?!

“Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!” sambung yang lainnya.

Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kam sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My, 2012: 226-227) 3. Kaum marginal “Rusuh sekali tadi di TV. Orang-orang bentrok di Monas.”

Kata Zulkhair. “Gara-garanya ada yagn mau membela kita,” lanjutnya.

Zulkhair lalu menceritakan yang dilihatnya. Dimulai dari sekelompok orang-orang yang datang membawa berbagai tulisan untuk membela Ahmadiyah. Lalu kedatangan kelompok lain yang sejak dulu memang tak mau ada Ahmadiyah. Lalu gambar televisi dipenuhi pukulan, tendangan, teriakan, dan orang-orang terluka.

“Masih ramai di TV sekarang. Semua berita tentang itu terus,” kata Zulkhair. (My: 269)

Tabel 4.6 Data Realitas Sosial Novel Maryam