• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan sebagai Pelaku Bisnis

Bagan 5.1 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi Perjuangan Perempuan

5.3.1.1 Perempuan sebagai Pelaku Bisnis

Perjuangan perempuan sebagai pelaku bisnis dapat dilihat dalam novel Entrok melalui tokoh Sumarni dan Nyai Dimah. Sedangkan dalam novel 86 melalui tokohArimbi, Bu Danti, dan Cik Aling. Kemudian dalam novel Maryam melalui tokoh Maryam, Fatimah, Bu Umar, dan Nuraini. Dengan penggambaran tokoh para perempuan yang terjun ke dunia usaha, Okky ingin memperlihatkankan para perempuan yang dapat berperan di dua arena yang berbeda, di rumah sebagai makhluk domistik dan di luar rumah sebagai pengusaha atau pekerja. Di rumah, mereka harus menjalankan peran-peran domistiknya mengurus rumah tangga, melayani suami, dan mengurus dan mendidik anak, tetapi ketika di luar rumah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menjalankan perannya perannya sebagai pengusaha.

Sumarni dalam novel Enrok, memperjuangkan hidupnya sebagai pelaku bisnis. Marni yang buta huruf mempunyai pemikiran maju. Impiannya akan memiliki entrok telah membawa perubahan dalam hidupnya. Marni mulai mencari kehidupan di luar dari ranah domistik. Setelah Marni menikah dengan Teja, yaitu seorang kuli angkat barang, Marni mulai berpikir untuk menjadi seorang pebisnis. Dia berjualan dari rumah ke rumah, membawa barang dagangan yang dipesan oleh pelanggannya. Dia memulai usahanya dari bawah hingga akhirnya dia menjadi seorang pengusaha yang turut diperhitungkan di kampungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini,

“Laris dagangannya, Mbakyu?” tanyanya pada Ibu. “Ya, syukur, Pak. Namanya juga rezeki.”

“Rezeki itu nggak dating sendirito, Mbakyu… rezeki harus dicari.” “Iya, Pak.” (En, 2010:62).

Sebelumnya Marni berjualan sebagi pedagang sayuran keliling. Dia memulai pekerjaan ini sebelum menikah dengan Teja. Dia mendapatkan modal dari hasil tabungannya selama dia bekerja sebagai kuli angkat barang di Pasar Ngranget. Awalnya dia menjual sayuran sepanjang jalan yag dilewatinya dari Singget ke Pasar Ngranget dan seluruh desa Singget, seperti yang dapat dilihat pada kutipan berikut,

Begitulah yang kulakukan setiap hari. Berangkat dari rumah bersama Simbok ke Pasar Ngranget. Membeli barang dagangan, lalu pulang lagi. Mampir ke setiap rumah yang ada di sepanjang jalan dan di seluruh Singget.

Tak butuh waktu lama aku sudah punya langganan-langganan tetap. Ada Bu Jujuk, istri pesuruh kantor kecamatan, Bu Ningsih yang suaminya juragan bata, tiga istri guru, juga semua istri pejabat kelurahan. Meski masih banyak pembeli lainnya, mereka inilah yang selalu belanja tiap hari. Mereka juga sering menitip dibawakan belanja sesuai kemauan mereka (En, 2010:45).

Sumarni juga berprofesi sebagai rentenir. Di kampung Singget belum ada orang yang berpikir seperti Marni. Ide ini muncul ketika Yu Minah meminjam uang kepada Ibu untuk membeli obat buat anaknya yang sedang sakit sebesar lima ribu rupiah. Karena Yu Minah tidak mempunyai uang, maka hutang tersebut dicicil setiap hari sebesar seratus rupiah selama tujuh puluh lima hari. Sejak itu, banyak orang yang meminjam uang kepada Marni yang dapat dilihat pada kutipan berikut,

Ibu menyerahkan uang lima ribu pada Yu Minah. Yu Minah harus mengembalikan 7.500 yang akan dicicil selama 75 hari. Setiap hari, Yu Minah membayar seratus pada Ibu.

Hari berganti hari, entah bagaimana awalnya, makin banyak orang yang meminjam uang pada Ibu. Ibu yang niatnya mendapat untung dari jualan barang, kini mengambil keuntungan dari uang yang dipinjam orang- orang. Toh tak berbeda jauh. Mereka sedang butuh uang, bukan barang. Sementara Ibu bakulan, yang mencari keuntungan dengan memutar uangnya. Entah dengan memakainya untuk kulakan barang atau meminjamkannya pada orang begitu saja (En, 2010:68-69).

Nyai Dimah juga dalam novel Entrok, memperjuang hidupnya sebagai pelaku bisnis. Untuk menghidupi keluarganya, Nyai Dimah berjualan gaplek di pasar Ngranget. Pemikiran Nyai Dimah lebih maju dari penjual singkong lainnya. Kebanyakan pedangang lain, masih menjual singkong-singkong itu apa adanya, tanpa diolah. Harganya tidak jauh berbeda dengan harga yang dibeli dari petani, sehingga keuntungan yang mereka peroleh sedikit. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,

Jualan singkong sudah bertahun-tahun menjadi pekerjaan Nyai Dimah, perempuan yang mempekerjakan kami. Dia membeli singkong dari petani-petani yang mengantar ke pasar. Nyai Dimah yang sudah menunggu di losnya tinggal membayar, lalu menunggu orang-orang seperti Simbok mengupas dan mengolah menjadi gaplek. Orang-orang datang membeli gaplek yang sudah jadi. Gaplek dicampur sambal dan daun singkong adalah makanan yang luar biasa enak. Kulit singkong bias dijual lagi untuk makanan sapi atau kambing (En, 2010:24).

Nyai Dimah mengolah singkong tersebut menjadi gaplek. Singkong dikupas, lalu dibelah-belah menjadi bagian yang kecil, lalu dijemur supaya kering. Singkong yang sudah kering ini disebut gaplek. Orang-orang datang membeli gaplek yang sudah jadi. Nyai Dimah membeli singkong dari pedagang, lalu singkong tersebut diolah menjadi gaplek. Nyai Dimah mempekerjakan Simbok sebagai pengupas singkong. Sebagai upahnya, Simbok diberi singkong. Hal ini didukung oleh kutipan di bawah ini,

Tidak semua penjual singkong di pasar ini sepintar Nyai Dimah, bisa mengolah singkong menjadi gaplek sebelum dijual. Kebanyakan pedagang masih menjual singkong-singkong itu apa adanya. Harganya tak berbeda jauh dengan harga beli dengan petani, sehingga keuntungan yang didapat ala kadarnya (En, 2010: 24).

Dari hasil menjual gaplek, Nyai Dimah bisa membangun rumah yang terbuat dari batu bata dan genteng dari tanah liat. Sesuatu yang luar biasa, jika

dibandingkan dengan rumah lain, yang masih berdinding gedek dan beratap daun pohon kelapa. Kedua anak Nyai Dimah juga berjualan gaplek. Kios mereka berjauhan. Kios Nyai Dimah berada di depan, sedangkan kios anaknya berada di tengah dan di belakang yang dapat dilihat dari petikan novel berikut ini,

Dari duit gaplek, Nyai Dimah bias membangun rumah bata dan bergening tanah liat. Sesuatu yang luar biasa dibandingkan rumah kami yang berdinding gedek dan beratap daun pohon kelapa.

Dua anak Nyai Dimah juga berjualan gaplek di pasar ini. Lapak mereka berjauhan. Kalau orang masuk dari pintu depan pasar, lapak Nyai Dimah yang akan dijumpai. Sementara kalau masuk dari belakang, yang berbatas langsung dengan sungai, akan langsung bertemu penjual gaplek yang laki-laki yang tak lain anak pertama Nyai Dimah. Anak perempuannya berjualan di tengah pasar, bersebelahan dengan penjual dawet dan ampyang (En, 2010:24-25).

Sosok perempuan pelaku bisnis lainnya adalah Arimbi. Dalam novel tersebut, Arimbi berperan sebagai pedagang di rumahnya setelah dia keluar dari penjara. Mulanya Arimbi berdagang kecil-kecilan hingga akhirnya barang dagangannya menjadi banyak. Dia menjual segala barang kebutuhan harian rumah tangga. Dari hasil jualannya tersebut, Arimbi bisa membayar angsuran rumah dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Penghasilan suaminya dipergunakan untuk membayar hutang dan biaya pengobatan ibunya yang mengidap penyakit ginjal. Setiap minggu ibunya harus cuci darah. Penghasilan suaminya habis untuk orangtuanya, sehingga Arimbi mencari alternatif lain menjadi pelaku bisnis. Hal ini didukung oleh kutipan novel berikut,

Awalnya hanya tetangga sebelah rumah yang belanja ke tokoh Arimbi. Lalu dari mulut ke mulut menyebar, dan pembeli tip hari terus bertambah. Dua hari sekali Arimbi belanja. Selain membeli dagangan yang sudah habis, ia juga membeli barang yang dicari orang tapi belum ada ditokonya.

Setiap keuntungan disimpan Arimbi di laci khusus. Uang pokok disimpan di tempat lain…(86, 2011:234).

Bu Danti menjadi pelaku bisnis bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, tetapi untuk mencari status dan prestise. Bu Danti sebagai ketua panitera di kantor pengadilan, mempunyai peluang yang besar sebagai pelaku bisnis dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi para terdakwa, sehingga dia disebut sebagai makelar kasus. Dari makelar kasus ini, Bu Danti dapat membeli sebuah rumah mewah, mobil mewah, dan hampir setiap bulan berlibur dengan anak-anaknya. Setiap pergantian tahun, mereka pergi berlibur ke luar negeri yang dapat dilihat pada kutipan berikut,

“Dari Bu Danti ya?” Tanya Pak Made. Iya, Pak. Ibu minta ditandatangani.”

Pak Made mengulurkan tangan meminta kertas-kertas yang dipegang Arimbi. Arimbi menyerahkan dan berkata, “Maaf, Pak, belum dijilid. Baru selesai diketik.”

Pak Made tak berkata apa-apa. Dia menandatangani cepat-cepat. Lalu mengulurkannya lagi pada Arimbi dan berkata,” Bu Danti dimana?”

“Masih di Bali, Pak. Ada seminar.”

Pak Made menjawab, “Jalan-jalan terus dia ya.” (86, 2011:101- 102).

Cik Aling menjadi pelaku bisnis sebagai pengedar narkoba sejenis sabu- sabu dari balik penjara. Cik Aling dibantu oleh beberapa nara pidana lainnya meracik narkoba di dalam penjara. Dia mendatangkan bahannya dari luar dengan bantuan kepala penjara dan sipir penjara. Mereka meracik, menimbang, dan mengemas bahan tersebut. Setelah dikemas, sabu-sabu siap untuk diedarkan.

Sebelum masuk penjara, Cik Aling juga berjualan sabu-sabu. Dia berhati- hati, dalam setiap gerak langkahnya selalu diawasi oleh polisi. Cik Aling tidak takut pada polisi. Asalkan setoran lancar, dia tetap aman. Hingga suatu hari dia

dipergoki oleh wartawan dan akhirnya masuk penjara. Di dalam penjara, justru Cik Aling lebih leluasa mengedarkan sabu-sabu tersebut, seperti kutipan berikut,

“Di sini malah aman. Lihat sendiri, kamarku jadi pabrik sabu- sabu,” katanya sambil terbahak-bahak. “Di sini, enggak perlu kucing- kucingan lagi. Yang penting setoran lancar, semua aman. Delapan enaaam!”

Arimbi tertawa mendengarnya. Sekarang dia paham, dan sudah bisa membayangkan. Dari sel inilah segala urusan sabu-sabu dikendalikan. Berbagai serbuk obat-obatan yang jadi bahan didatangkan dari luar. Orang-orang yang dari dulu jadi langganan Cik Aling belanja bahan mengantar ke penjara. Petugas-petugas yang sudah mendapat jatah bulanan, membuka pintu lebar-lebar. Kalaupun sesekali ada pemeriksaan, paling hanya berakhir dengan senyuman, tanpa pernah ada penyitaan (86, 2011: 204).

Cik Aling mempunyai beberapa orang kurir yang siap mengedarkan narkoba tersebut di luar penjara. Dia merekrut anggota baru dengan menjerat mereka dengan meminjamkan uang terlebih dahulu. Setelah mereka terikat hutang, mau tidak mau mereka harus melakukan yang diperintahkan Cik Aling. Salah satu contoh adalah Ananta, suami Arimbi. Arimbi yang membutuhkan uang untuk keperluan berobat ibunya, terpaksa harus menyuruh Ananta untuk membantu Cik Aling. Dari hasil berjualan sabu-sabu ini, Cik Aling bisa hidup tenang dan nyaman di penjara, juga bisa membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,

Di hari-hari tertentu ada orang-orang yang datang mengambil sabu- sabu. Mereka inilah yang akan mengedarkan ke banyak orang. Tugas Tutik yang menimbang, membungkus, dan membagikan kepada orang- orang itu. Umi dan Watik hanya membantu di dalam kamar. Dan sekarang Arimbi dan Ananta juga menjadi bagian dari tangan-tangan itu.sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta (86, 2011:205).

Setelah Pak Ali meninggal dunia, Bu Ali melanjutkan usaha suaminya mengurus madu dan susu kuda Sumbawa. Bu Ali adalah ibunya Umar. Mereka

mempunyai peternakan kuda dan lebah. Dalam menjalankan bisnisnya Bu Ali dibantu oleh Umar. Untuk mengurus peternakan diserahkan kepada Umar, sedangkan untuk pemasaran dilakukan oleh Bu Ali. setelah Umar menikah dengan Maryam, Bu Ali tidak lagi mengurus penjualan madu dan susu. Semua diserahkannya kepada Umar dan Maryam. Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara Bu Ali dan Umar sebagai berikut,

“Lumayan juga usaha seperti ini ya, Bu?”

Bu Ali mengangguk, “Ya. Lumayan, tapi mana ngerti kita, ke Moyo saja kita malah tak pernah.”

Bu Ali dan Umar tertawa bersama. (My, 2012:138)

Maryam terjun ke dunia bisnis setelah menikah dengan Umar. Dia membantu pekerjaan suaminya. Dalam keseharian, Maryam dan Umar berbagi peran. Maryam mencatat semua uang masuk dan uang keluar dan membuat pembukuan. Maryam membuat nama merek dagang mereka. setiap kemasan madu diberi nama Em‟s Sumbawa Honey dan Em‟s Sumbawa Horse Milk untuk susu. Maryam mengirimkan contoh ke supermarket-supermarket dan restoran- restoran yang ada di Lombok, Bali, dan Jawa. Ada yang menanggapi dan minta dikirimkan seratus kemasan untuk dijual. Dengan bantuan Maryam, usaha mereka semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari penggalan novel berikut,

Dalam keseharian, Maryam dan Umar berbagi peran. Maryam ikut membantu usaha Umar. Mencatat semua uang masuk dan uang keluar, membuat pembukuan modern yang sebelumnya hanya mengandalkan ingatan. Ia juga berkelana di internet, mencari-cri peluang untuk memperluas pengiriman susu dan madu. Maryam juga yang mengusulkan agar mereka membuat merek dagang. Menempelkannya pada setiap kemasan agar semakin dikenal (My, 2012:214).

Nuraini sebagai pelaku bisnis karena untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan suaminya tidak menentu, terkadang pergi

ke laut. Mereka mempunyai enam orang anak. Suaminya bukan orang yang tinggal di pinggir laut, oleh karena itu dia menjadi nelayan sebisanya saja. Hasil yang diperoleh juga tidak banyak sehingga dia tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.

Untuk membantu suaminya, Nur berjualan kain sarung khas Lombok. Dia menawarkan dagangannya kepada para turis sampai ke Kuta. Kadang-kadang dia mendapat hasil yang banyak, terkadang juga tidak mendapat apa-apa. Nur menjalani kehidupan ini dengan ikhlas. Dari hasil berjualan kain tersebut dia tidak berharap banyak yang penting bisa menyekolahkan anaknya yang dapat dilihat pada kutipan berikut ini,

Maryam terkejut mendengarnya. Jarang ada pedagang yang menanyakan nama pembelinya. Jangan-jangan orang ini kukenal, pikir Maryam. Maryam memperhatikan perempuan itu lekat-lekat. Rambutnya digelung sembarangan. Kausnya yang putih terlihat dekil. Sarung yang dikenakan, motif bunga-bunga merah, sudah terlihat pudar. Maryam tersenyum saat menyadari ia memang kenal dengan perempuan itu. Walaupun usia sudah banyak mengubah wajah itu, dan waktu telah banyak menghapus ingatan, masih ada yang dikenali Maryam dari perempuan itu.

“Nur…” sapa Maryam. Perempuan itu Nuraini. Tetangganya di Gerupuk. Mereka seumuran. Teman sejak kecil (My, 2012:191).