• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Hukum

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

2. Pemaknaan Tingkat Kedua

4.2.3 Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Hukum

1. Pemaknaan Semiotik Tingkat Pertama

1. “Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.” Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu.

“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.”

”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217)

Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Arimbi akan bebas dari penjara bulan Desember jika Arimbi mau membayar Rp. 15.000.000,-. Jika Arimbi menyanggupi maka namanya akan diusulkan pada bulan Agustus dan akan bebas pada bulan Desember. Hal ini ditandai dengan kalimat “Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu

tergantung kita yang ada di lapangan ini.” Juga kalimat “Biaya semuanya

bersih 15 juta.”

2. Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang- orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang- orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain.

“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?”

“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183) Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Sumarni berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai kuasaan dan senjata. Marni harus mengorbankan satu hektar kebun tebunya jika dia mau dibantu. Jika tidak Marni akan dipenjara. Penandanya adalah “Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.”

“Berapa?”

“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.”

3. “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan- atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.”

“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.

“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119).

Secara heuristik paragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa aparat meminta uang tebusan sebesar satu juta rupiah. Uang tebusan itu dipergunakan untuk menebus mobil Sumarni yang ditahan di kantor polisi karena kecelakaan yang mengakibatkan kematian Bejo dan korban lainya yang luka-luka dan patah tulang. Penandanya adalah kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.

4. Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal. “Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar. (My, 2012:247)

Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara Bapak Gubernu seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata

Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249).

Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Bapak Gubernur menganjurkan para pengikut Ahmadiyah untuk meninggalkan keyakinan mereka. Hal ini membuat wajah Maryam, Umar, dan Pak Zul memerah menahan amarah. Penandanya adalah “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan

keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata

Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati.

5. Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.

Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?

Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275) .

Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa melalui surat yang dikirimnya kepada Bapak Gubernur, Maryam meminta bantuan agar mereka bisa kembali pulang ke rumah mereka. Mereka tidak meinta apa-apa. Mereka hanya ingin membesarkan anak-anak mereka di rumah sendiri dan hidup normal. Penandanya adalah Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal.

Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.