• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Perempuan dalam Mempertahankan Hidup

Bagan 5.1 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi Perjuangan Perempuan

5.3.1.2 Perjuangan Perempuan dalam Mempertahankan Hidup

Dalam mempertahankan hidup, manusia harus memenuhi kebutuhan primer. Perjuangan perempuan dalam mempertahankan hidup di jaman orde baru dapat dilihat dalam novel Enrok melalui tokoh Simbok, sedangkan perjuangan perempuan dalam mempertahankan hidup di jaman reformasi melalui tokoh Arimbi dan Tutik yang dapat dilihat dalam novel 86, dan Nurani dalam novel Maryam.

Keadaan Simbok yang miskin menyebabkan dia harus bekerja keras. Suaminya tidak pernah memberi uang. Untuk mempertahankan hidup Simbok melakukan pekerjaan apa saja. Setiap hari Simbok ke pasar. Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-pedagang di pasar. Dari hasil pekerjaannya, Simbok memperoleh upah berupa singkong, ketan, atau baju. Jika tidak ada pekerjaan, Simbok mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang oleh pemiliknya. Kehidupan Simbok sangat memprihatinkan yang dapat dilihat dari kutipan berikut ini,

Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan, kalau tidak ya mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang penjualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-pedagang itu. Pekerjaan apapun dilakukan. Imbalannya singkong, ketan, dan pernah sekali waktu baju. Sayangnya, tak ada satu pun yang memberi upah entrok

Entrok memang terlalu mewah untuk aku dan Simbok. Apa yang masih dipikirkan seorang perempuan kere buta huruf dengan tanggungan seorang anak selain hanya makan? Suaminya, yang konon adalah bapakku, minggat entah kemana. Sejak kapan dia pergi aku juga tak ingat. Samar- samar aku hanya mengingat Bapak meninggalkan kami waktu aku pertama kali bisa mengangkat panci yang airnya mendidih dari pawon. (En, 2010:17).

Sebenarnya Simbok memiliki suami, namun suaminya tidak pernah memberinya uang. Suaminya tidak mau bekerja. Suaminya hanya menunggu makanan yang disajikan oleh Simbok. Ketika Simbok demam panas dan tidak bisa ke pasar untuk bekerja, suaminya memukulinya. Dia seperti orang yang kesurupan karena tidak ada makanan. Jika Simbok tidak bekerja, berarti mereka tidak bisa makan. Sejak peristiwa itu suaminya pergi dan tidak pernah kembali lagi. Simbok pasrah menjalani hidupnya. Sebagai seorang wanita Jawa, Simbok hanya bisa nrimo. Setelah suaminya pergi, Simbok harus bekerja lagi untuk memenuhi

kebutuhan hidup dirinya dan anaknya, Marni. Hal ini dapat dilihat pada kutipan novel berikut,

Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya. Dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesenggukan. Laki- laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali lagi (En, 2010: 7-18).

Arimbi bekerja sebagai PNS untuk mempertahankan hidup di Jakarta. Dengan gaji yang pas-pasan Arimbi hanya bisa mengontrak sebuah kamar di daerah kumuh. Gajinya setiap bulan habis untuk membayar listrik, ongkos ke kantor, biaya makan sehari-hari, sewa kamar, dan mengirimkan sedikit uang belanja untuk orang tuanya di kampung. Arimbi menyisakan sedikit uangnya untuk ditabung dan tabungan itu akan habis setiap tahunnya untuk keperluan pulang ke kampung di saat lebaran. Hal ini dapat dilihat dari kutipan novel berikut,

Bapak dan ibu Arimbi di kampung bangga setengah mati pada anaknya yang sekarang tinggal di Jakarta ini. Kepada setiap orang dia mengatakan anak perempuannya sekarang jadi pegawai kantor pengadilan di Jakarta. Satu kantor bersama jaksa dan hakim. Padahal kenyataannya Cuma menjadi juru ketik dan tukang fotocopy. (86, 2011:12)

Tutik bekerja kepada Cik Aling dan Bu Danti sebagai pembantu di dalam penjara. Selain itu, sebagai kepala kamar, Tuti juga sering mendapat uang tambahan dari teman sekamarnya. Tuti berasal dari Ponorogo. Kemiskinan yang menimpa keluarganya, membuat dia nekat bekerja sebagai wanita penghibur, hingga dia memiliki seorang anak tanpa ayah. Kemudian, Tuti berangkat ke

Jakarta dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setiap bulan Tutik mengirim uang ke kampung untuk biaya orang tua dan anaknya. Sampai akhirnya dia masuk penjara, Tuti berusaha bekerja apa saja, asalkan dia bisa mengirim uang untuk keluarganya yang dapat dilihat pada kutipan berikut,

… Empat tahun lalu dia berangkat ke Jakarta, jadi pembantu dari anak seorang tetangga yang tinggal di Ibukota. Digaji 300.000 sebulan, tiga kali lipat dari upahnya saat dia jadi pembantu di desa. Demi uang yang berlipat, dia tinggalkan anaknya yang saat itu baru umur sepuluh bulan bersama ibunya. Suaminya sudah tak jelas ada dimana. Memang sebenarnya mereka tak pernah menikah. Hanya ketemu beberapa kali saat Tutik disuruh majikannya belanja ke pasar. Laki-laki itu kenek bus yang biasa ia tumpangi. “Pancen dasar tukang ngerayu, siang-siang diajak nyoblos ning mburi pasar.” Katanya pada Arimbi. (86, 2011:175).

Nuraini bekerja sebagai penjual sarung di pantai Kuta untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Nuraini mempunyai enam orang anak. Dia juga terlahir dari keluarga miskin. Dia pernah bekerja sebagai TKI ke Arab Saudi, namun kehidupannya tetap juga tidak berubah. Ketika dia berangkat ke luar negeri, justru suaminya kawin lagi dan mempunyai anak dari istrinya yang baru. Nuraini tidak bisa hanya mengharapkan uang dari suaminya, apalagi tanggungan suaminya sudah semakin banyak. Berikut ini adalah kutipan yang mendukung peristiwa tersebut,

“Majikanku baik. Alhamdulillah. Tidak seperti yang di berita-berita itu,” jelas Nur. Setiap bulan Nur mengirimkan semua gajinya ke rumah. Sebelumnya, suaminya sudah membuka rekening di BRI kecamatan. Suaminya yang setiap bulan mengambil uang kirimannya. Dengan uang itu seluruh keperluan keluarganya dibiayai. Makan dan sekolah anak-anaknya. Dengan uang itu juga, rumah ibu Nur bias sedikit diperbaiki. Punya penghasilan tetap setiap bulan dari pekerjaan istrinya membuat suami Nur yang memang tak akrab dengan laut semakin malas untuk melaut (My, 2012:200-201).

Fatimah bekerja di sebuah restoran di bagian menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu hotel. Pekerjaan ini baru saja didapatkannya sekitar tiga bulan lalu.

Sebelumnya, dia sudah banyak memasukkan lamaran ke tempat lain, tetapi tidak ada yang menerimanya dengan bekal hanya ijazah SMA dan pengalaman apa-apa. Dia bekerja delapan jam sehari. Kadang dari pagi sampai sore, terkadang dari siang sampai malam, bergantian dengan pegawai lainnya. Libur satu kali setiap minggu pada hari Rabu dengan gaji Rp. 600.000,- per bulan. Penghasilan ini cukup untuk kebutuhan hidupnya dan sedikit-sedikit ikut menyumbang keperluan rumah, yang dapat dilihat pada petikan novel berikut ini,

Maryam paham. Ia pun akan demikian kalau menjadi bapaknya. Hanya Fatimah yang ikut mereka pulang. Fatimah harus bekerja hari ini. Ia akan memakai baju Maryam lalu menuju tempat kerjanya. Aku harus tetap bekerja untuk mempertahakan hidup, juga agar bisa membantu keluarga dan tetangga-tetangga, pikir Fatimah (My, 2012:232).