• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabal 4.9 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum

4.3 Analisis Realitas Sosial

4.3.2 Realitas Sosial Novel 86 1 Praktik Suap

4.3.2.2 Peredaran Narkoba di Penjara

Peredaran narkoba tidak hanya dilakukan di lingkungan masyarakat, tetapi juga dari balik penjara. Tidak sedikit pengedar yang masih beroperasi kendati sedang menjalani hukuman di balik penjara. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendeteksi, sekitar 60 persen peredaran narkoba di Indonesia ternyata dikendalikan dari balik “hotel prodeo”. Sesuai data BNN, setiap tahun hampir pasti ada pengungkapan peredaran narkotika dari balik penjara. Misalnya, pada 2012 ada tujuh narapidana Nusakambangan yang terbukti menjadi otak peredaran narkotika 3,9 kg di Depok.

Hal yang sama dilakukan oleh Cik Aling melalui novel 86. Cik Aling mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara dengan dibantu oleh para

sipir dan orang-orang kepercayaan Cik Aling. Penggambaran yang ada di dalam novel itu pada sesungguhnya adalah relaitas sosial yang ada di alam nyata, seperti beberapa peristiwa berikut.

Pada 2013 seorang terpidana berinisial FI alias JF yang mendekam di Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan, juga terbukti menyuruh seorang kurir berinisial BL untuk mendistribusikan sabu-sabu dan heroin di DKI Jakarta. Barang bukti yang diambil dari BL adalah 190 gram sabu-sabu dan 0,4 gram heroin.

Tahun lalu atau 2014 terungkap pengendalian peredaran narkotika dari penjara yang lebih besar. Dua terpidana dari Lapas Pontianak bernama Jacky Chandra dan Koei Yiong alias Memey terbukti menyuruh kurir bernama Nuraini untuk menyelundupkan 5 kg sabu- sabu dari Malaysia ke Indonesia. Humas BNN AKBP Slamet Pribadi menjelaskan, yang paling baru adalah kasus Sylvester Obiekwe yang menyuruh kurir bernama Dewi yang ke dapatan membawa 7.622 gram sabu-sabu. Namun, semua pengungkapan itu belum seberapa. Pasalnya, BNN mendapati angka 60 persen peredaran narkotika dikendalikan dari penjara itu karena memang sekarang sedang memantau. Menurut Slamet Pribadi, cara pengendalian penjualan narkoba setiap pengedar hampir sama. Dengan menggunakan alat komunikasi, pengedar menghubungi setiap jaringannya. Mulai kurir hingga bos narkoba. Mereka berupaya mengungkap peredaran narkotik dari hulu hingga hilir.

Yang lebih mengkhawatirkan, sebenarnya penjara juga menjadi tempat perekrutan bagi pengedar baru narkoba. Salah satu modusnya, pengedar lama

menjerat para pengguna narkoba yang lagi meringkuk di tahanan. Pengedar tersebut memberikan bantuan uang kepada pengguna itu. Lalu, setelah bebas, pengguna tersebut menjadi kaki tangan pengedar yang masih berada di dalam penjara. Mereka menjerat dengan hutang.

Modus yang sama yang dilakukan oleh Tuti terhadap Arimbi dalam novel 86. Tuti menjerat Arimbi dengan minjamkan uang. Arimbi membutuhkan uang untuk biaya ibunya yang menderita penyakit ginjal. Setiap dua minggu sekali ibunya harus cuci darah. Mula-mula Tuti meminjamkan uangnya kepada Arimbi. Tuti memahami benar bahwa Arimbi membutuhkan uang setiap bulan untuk biaya cuci darah ibunya, akhirnya Tuti memperkenalkan Arimbi kepada Cik Aling. Cik Aling adalah bandar narkoba yang berada di dalam penjara. Dia mengedarkan narkoba dari balik penjara dengan bantuan aparat dan kurir.

Arimbi yang terikat dengan kebutuhan untuk pengobatan ibunya, akhirnya menyetujui untuk mengedarkan narkoba melalui sumainya, Ananta. Awalnya, Ananta menolak. Namun, karena dibujuk oleh Arimbi, tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat, dan bakti kepada orang tua, akhirnya Ananta bersedia. Anata menjadi kurir dalam peredaran narkoba. Pertama-tama, dia hanya mengantar pesanan di kawasan kota Jakarta saja, namun kemudian dia juga mengantar pesanan sampai ke Surabaya dan Bali. Dengan modus untuk memenuhi kebutuhan, mereka terjerat dalam jaringan pengedaran narkotika.

Ada juga cara lain yang baru terungkap. Yaitu, pengedar yang memiliki alat komunikasi (HP) berkenalan dengan orang lain melalui media sosial. Kenalan

tersebut dimintai bantuan untuk mengedarkan narkoba. ”Semua ini harus dihentikan,” tegasnya.

Pengedar yang masih mengendalikan peredaran narkoba itu menyebar hampir di semua penjara Indonesia. BNN belum bisa mengungkapkan penjara mana saja yang terpidananya masih menjalankan bisnis haram tersebut. Kalau penjaranya diungkap, tentu para pengedar di balik penjara lebih waspada dan bisa menghilangkan bukti-bukti yang sudah diketahui BNN. Jumlah penjara se- Indonesia sekitar 365. BNN berjanji akan mengungkap semuanya satu per satu. BNN tidak sendirian dalam mengungkap pengedar narkoba dari balik penjara. Banyak sipir yang membantu dengan memberikan informasi. Tentunya para sipir ini yang benar-benar mengetahui kondisi di dalam penjara.

Sementara itu, Kepala BNN Komjen Anang Iskandar menuturkan, para pengedar juga memandang bahwa penjara merupakan tempat bisnis yang menggiurkan. Sebab, para pengguna sudah jelas ada di sana, makanya, penjara itu juga disasar untuk bisnis mereka. Pernah suatu kali di salah satu penjara di Jakarta terdapat kepala lapas yang sangat protektif dan tegas. Narkoba tidak bisa beredar di lapas tersebut. Hasilnya, suatu kali ada 150 napi kasus narkoba yang sakau atau ketagihan. Hal ini tentu membuat penjara itu menjadi sangat gaduh. Sedemikian beratnya upaya menghentikan peredaran narkotik ini.

Vonis mati Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 11 September 2004 tidak membuat Silvester Obiekwe alias Mustofa, 50, tobat. Meski berada di dalam sel di Lapas Nusakambangan, warga negara Nigeria itu tetap bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi. Rekam jejak kejahatan Mustofa di dunia

narkoba cukup mencengangkan. Dia kali pertama ditangkap pada 2004 karena menyelundupkan 1,2 kilogram (kg) heroin ke Indonesia. Dia pun divonis hukuman mati. Selama menunggu eksekusi, dia dikirim ke LP Pasir Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah. Bukannya memperbaiki diri, dia malah semakin menjadi-jadi.

Pada 2012, aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) membongkar penyelundupan 2,4 kg sabu-sabu (SS) dari Papua Nugini. Kurir tersebut ditangkap. Di antaranya, Imam dan Mulyadi. Ternyata, mereka adalah kaki tangan Mustofa. Pada 2014, Mustofa kembali dijemput aparat BNN karena disebut sebagai otak penyelundupan 6,5 kg sabu-sabu di Tanjung Perak, Surabaya. Dua kurirnya, Alex dan Niko, dibekuk. BNN menangkap kurir jaringan Mustofa, yakni perempuan bernama Dewi, dengan barang bukti 7.622 gram sabu-sabu.

Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar menyatakan, meski terdakwa sudah divonis mati, tiga kasus terakhir tetap diproses. Misalnya, kasus pada 2012 dan 2014, berkas Silvester sudah P-21 alias lengkap. Namun, sampai saat ini, dua kasus tersebut belum disidangkan, mungkin karena terdakwa sudah divonis maksimal pada 2004.

Petugas BNN menjemput Andi dan Silvester yang mendekam di blok A1 16. Mereka kemudian dibawa ke BNN pusat Jumat (30/1). Dari sel tahanan, aparat menyita sebuah ponsel dan peranti penguat sinyal. Dua alat itu digunakan tersangka untuk berkomunikasi dengan kurir di luar penjara. Sementara itu, Kasubdit Komunikasi Dirjen Pemasyarakatan Akbar Hadi menuturkan, pihaknya mendukung upaya BNN dalam menindak bandar yang masih bermain meski

dalam masa tahanan. Dia menjelaskan masih ada kelemahan di rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan. Terutama terkait dengan teknologi, yakni tidak mempunyai alat penyadap.

4.3.3 Realitas Sosial Novel Maryam