• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemaknaan Semiotik Tingkat Kedua

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

2. Pemaknaan Semiotik Tingkat Kedua

1. Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.” Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu.

“Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.”

”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217)

Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Arimbi memberikan uang sogok agar dia bisa mendapat keringanan hukuman. Aparat keamanan bisa disogok untuk melancarkan semua urusan.

2. Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang- orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang- orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain.

“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?”

“Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183) Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Marni berhadapan dengan orang- orang yang memiliki kekuasaan. Secara konotatif “orang-orang yang memiliki kekuasaan” mengandung makna “pejabat pemerintahan”. Sudah menjadi rumor yang beredar di masyarakat bahwa jika berurusan dengan pejabat pemerintahan, apalagi aparat keamanan, semua masalah bisa diatasi dengan

uang. Dengan mengatasnamakan mengayomi masyarakat, mereka justru memeras dibandingkan menolong.

3. “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan- atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.”

“Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja.

“Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119).

Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa jika ada uang segala urusan akan beres. Marni menuntut keadilan. Namun, dia tidak berdaya sehingga dia harus masuk dalam lingkaran permainan aparat tersebut.

4. Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249).

Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Bapak Gubernur tidak berani mengambil keputusan untuk mengembalikan pengungsi pengikut Ahmadiyah ke rumah mereka. Mereka hanya memendam kemarahan itu, tetapi mereka sangat sakit hati mendengar perkataan Bapak Gubernur. Maryam nenuntut keadilan sesuai dengan UUD 1945 pasal 29, bahwa setiap warga negara berhak untuk melaksanakan keyakinan dan kepercayaan sesuai dengan agamanya masing-masing.

5. Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.

Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah

mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini?

Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275).

Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Maryam menuntut keadilan kepada Bapak Gubernur terpilih dari segi sisi kemanusiaan. Dari sisi kemanusiaan, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

5.3 Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky Madasari

Perjuangan perempuan yang tergambar dalam ketiga novel Okky Madasari meliputi perjuangan dalam bidang ekonomi, perjuangan dalam bidang keyakinan, dan perjuangan dalam bidang hukum yang akan dijelaskan satu persatu. Berikut ini adalah tabel perjuangan perempuan dalam novel Okky Madasari.

No. Bidang Perjuangan Bentuk Perjuangan

1. Ekonomi

Perempuan sebagai Pelaku Bisnis Perjuangan dalam Mempertahankan Hidup

Perjuangan dalam Meningkatkan Taraf Hidup

2. Keyakinan Kejawen

Ahmadiyah

3. Hukum Perjuangan Perempuan dalam

Mencari Keadilan

Tabel 5.1 Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky Madasari 5.3.1 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi

Pasca tahun 1960-an, terjadi perubahan dari kondisi masyarakat sebelumnya. Perempuan tidak lagi duduk manis dan rumah dan mengerjakan tugas-tugas domestik yang rutin dan diwariskan sejak turun-temurun. Realitas

sosial masyarakat yang berubah itu ditandai dengan banyaknya kaum perempuan yang menempuh pendidikan sekolah menengah umum atau yang sederajat. Bahkan tidak sedikit yang terus belajar sampai ke perguruan tinggi. Dengan persentasi tamatan pendidikan minimal SMP yang makin meningkat, kini perempuan bisa mengerjakan hal-hal produktif yang dapat membantu ekonomi keluarganya. Tidak ada hambatan yang signifikan di masyarakat bagi perempuan yang hendak bekerja, bahkan saat ini masyarakat justru menginginkan anak perempuan mereka bisa bekerja.

Merebaknya kaum perempuan bekerja, juga dirasakan di dalam ketiga novel Okky Madasari. Mereka bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja, tetapi mereka juga berjuang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Dengan bekerja mereka berjuang untuk mengubah nasib. Adapun bentuk