• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabal 4.9 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum

4.3 Analisis Realitas Sosial

4.3.1 Realitas Sosial Novel Entrok

4.3.1.4 Rezim Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang menggantikan Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966–1998. Dalam jangka waktu tersebut banyak peristiwa yang terjadi mengisi lembar-lembar sejarah Orde Baru. Pada masa Orde Baru kekuasaan sering digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan uang. Tidak

hanya Presiden dan pejabat tinggi negara, orang-orang yang mempunyai jabatan di daerah pun memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri sehingga terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan yang berujung dengan korupsi. Bahkan aparat keamanan yang seharusnya bertugas untuk melindungi, ikut melakukan praktik penyalahgunaan kekuasaan dengan cara memeras uang rakyat dengan dalih sebagai uang keamanan.

Realitas sosial termuat dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Pengarang mengambil fakta sejarah pada zaman Orde Baru di Indonesa pada era tahun 1950–1999 sebagai latar dalam novelnya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru dengan teknik penceritaan tertentu yang menyebabkan pembaca dapat merasakan kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru.

Isi novelnya mempunyai kedekatan dengan fakta sejarah, yaitu masa Orde Baru. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru diangkat dalam novel Entrok, misalnya peristiwa pemboman stupa di Borobudur, kemenangan partai kuning (Golkar) pada pemilu awal di Indonesia, dan praktik-praktik pemerasan oleh tentara terhadap rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuasaan.

Novel ini memang memiliki nilai dokumenter khususnya dalam ranah politik. Dengan mudah ketika membaca Entrok kita akan menemukan kronik dari berbagai peristiwa politik yang terjadi di tahun 1950-1999. Misalnya soal Pemilu yang mengharuskan pemilih untuk memilih lambang tertentu, peristiwa peledakan candi Borobudur, petrus (pembunuhan misterius), polemik waduk kedungombo,

dan lain-lain. Ini mengingatkan akan sejarah dan peristiwa sosial dan politik masa lampau yang mungkin nyaris dilupakan.

Salah satu contoh adalah kisah penggusuran sebuah kampung untuk dijadikan proyek bendungan. Walau tak disebutkan secara jelas kisah ini akan mengingatkan kita akan waduk Kedungombo. Di kisah ini akan terlihat dengan jelas bagaimana lagi-lagi tentara dikerahkan untuk menekan penduduk desa yang hendak mempertahankan tanahnya agar mau pindah. Cap sebagai kampung PKI kembali menjadi senjata ampuh untuk menakut-nakuti masyarakat agar mau pindah”. Hal ini tergambar dalam novel seperti kutipan berikut:

“Pak Kyai, sampeyan dengar apa kata orang ini? Mereka semua yang ada di sini sudah jadi pembangkang. Semuanya sudah jadi orang- orang komunis. Sampeyan ada di sini dan tidak melakukan apa-apa?”

“Aku tidak ada urusan dengan hal seperti itu. Kami di sini hanya mau mendidik anak-anak. Titik.”

“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan m engangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa jadi kalian selamat. Tapi hari in seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersamaorang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (En, 2010: 226)

Pemboman candi Borobudur yang dilakukan seorang habib yang buta yag kemudian ditangkap dalam bus di Probolinggo (laporan utamanya ada di Tempo edisi Maret 1985). Juga Kedung Ombo (Kyai yag dimaksud di sini kemungkinan besar adalah mengambil ego Romo Mangun yang menyusup tengah malam ke Kedung dengan beberapa aktivis dan menyamar sebagai guru sekolah membawa peralatan tulis, baca di bunga rampai 70 tahun Romo Mangun terbitan Pustaka Pelajar, 1995). Juga beberapa preman yang mati, adalah latar peristiwa Petrus (penembakan misterius).

Selain latar tempat dan sosial budaya, latar politik menjadi keadaan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung mampu mempengaruhi pola pikir tokoh utama dalam bentuk pandangan hidup. Latar politik dalam teks dapat dibagi ke dalam tiga zaman pemerintahan yang berbeda, yaitu zaman Orde Lama (1950– 1959), zaman Orde Baru (1966–1989), dan awal-awal Reformasi (1999). Peristiwa dalam novel ini tidak terlalu vulgar menceritakan tentang bentuk pemerintahan Orde Lama itu sendiri, tetapi hanya bermain di wilayah efek yang ditimbulkan.

Memasuki tahun 1970-an, ditandai pula dengan pergantian bentuk pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada zaman peralihan ini kemiskinan tetap menjadi kondisi yang sulit diatasi. Selain itu, efek yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah sangat dirasakan oleh Sumarni dan Rahayu. Pada masa ini, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh oknum penguasa terhadap rakyat biasa menjadi gambaran yang sering ditonjolkan dalam beberapa peristiwa. Kondisi lain yang menyaran pada kondisi zaman Orde Baru adalah kesewenang-wenangan dalam hal hukum. Hukum tidak ditegakkan secara benar. Seseorang bisa dihukum hanya karena ia adalah seorang Tionghoa yang masih rajin ke kelenteng, seperti yang dialami oleh Koh Cahyadi.

Walaupun kebencian terhadap keturunan Tionghoa oleh keturunan pribumi di Indonesia berawal di era Hindia Belanda, Orde Baru menghasut terciptanya undang-undang anti-China menyusul usahanya menghapuskan total faham komunisme (karena negara China menganut faham komunisme). Walaupun stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk Tionghoa-Indonesia kala itu)

adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok memperparah keadaan dengan menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk kolom kelima (simpatisan rahasia) komunis.

Hubungan diplomatik Indonesia dengan China diputus dan Kedutaan Besar China di Jakarta dibakar oleh massa. Undang-undang baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini termasuk pelarangan tanda-tanda Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan lain, penutupan sekolah bahasa Cina, pengadopsian nama yang terdengar "Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan wihara Buddha. Masa pemerintahan Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen- sentimen serupa.

Kesewenang-wewenangan oknum penguasa dapat dilihat dari beberapa peristiwa seperti sekelompok orang yang sedang main kartu ditangkat oleh petugas. Saat mereka diinterogasi di kantor Koramil, salah seorang dari mereka buang angin, kemudian mereka dihukum dengan direndam dan disiksa di kali Manggis. Dengan dalih uang keamanan, Sumarni harus menyetor sebagain keuntungan dari hasil jualannya kepada para tentara setiap dua minggu sekali. Koh Cahyadi yang dicap sebagai PKI bersembunyi di rumah Sumarni, ketika tertangkap, Sumarni juga ikut terseret dalam kasus tersebut. Sumarni dituduh telah menyembunyikan tawanan politik. Karena tidak ingin masuk penjara, Sumarni harus merelakan satu hektar sawahnya untuk para tentara tersebut.

Peristiwa lain adalah ketika Marni berseteru dengan istri simpanan Teja. Pada peringatan seratus hari wafatnya Teja, datang seorang perempuan dengan seorang anak ke rumah Marni mengaku sebagai istri Teja dan anaknya. Mereka meminta harta warisan supaya dibagi dua. Dia minta bantuan kepada Komandan Sumadi. Sumadi meminta seperempat dari harta Marni. Marni menyerah, daripada dia harus kehilangan setengah hartanya. Seperti kutipan berikut, “...Masalah Endang Sulastri telah selesai. Sesuai janjiku, seperempat hartaku menjadi milik Sumadi.Ya, komandan itu menjadi kaya mendadak. Setelah mendapat satu hektar sawahku, sekarang dia mendapat lagi tanah dan setumpuk kayu jati, yang nilainya sama dengan seperempat dari yang kupunyai” (En, 2010:199).

Firdaus (2005:27) mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru terlihat lebih mementingkan kelompok atau golongan tertentu tanpa memperhatikan nasib rakyat. Undang-undang yang responsive dibuat menjadi konservatif. Dengan demikian dalam pelaksanaannya sering terjadi permasalahan dan pertikaian, terutama dalam masalah pembebasan tanah yang nyata-nyata tidak proporsional dan merugikan rakyat.

Likuidasi dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (dan organisasi terkaitnya) telah menghilangkan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. PKI juga merupakan salah satu Partai Komunis terbesar di Komintern, dengan sekitar 3 juta anggota. Seiring dengan upaya berikutnya oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dengan membersihkan para loyalis Soekarno dari parlemen, pemerintahan sipil di Indonesia secara efektif telah berakhir.

Faham anti-komunisme kemudian menjadi ciri khas rezim Orde Baru Soeharto dalam 32 tahun selanjutnya.

Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personil militer sebagai bagian dari doktrin "dwifungsi" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya ("Golkar"). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (PDI dan PPP) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa.

Selain zaman Orde Lama dan Orde Baru, novel ini juga mengambil latar pada awal-awal Reformasi. Kondisi yang mencolok pada zaman ini adalah adanya perubahan perlakuan pemerintah terhadap orang-orang yang dulu (pada zaman Orde Baru) menyandang gelar PKI atau mantan tahanan politik (tapol). Kondisi itu memberikan perubahan pula pada tokoh Rahayu sebagai mantan tahanan politik dengan cap PKI. Sebagai mantan tahanan politik, ia menjadi terkucilkan dari pergaulan masyarakat. Puncaknya adalah ketika ia gagal menikah hanya gara- gara cap ET (Eks Tahanan Politik) yang tertera di KTP-nya dan Rahayu lansung dicap PKI. Hal itulah yang membuat tokoh Sumarni terguncang jiwanya dan akhirnya menjadi gila.

Berikut ini peristiwa-peristiwa realitas sosial yang terlibat langsung dalam perceritaan novel Entrok.

No. Peristiwa Sejarah Tempat Terjadi Tahun Terjadi 1. Pemboman Candi Borobudur Jawa Tengah 1985 2. Pemilihan Umum yang

dimenangkan oleh partai Golkar

Seluruh Indonesia 1970-1995

3. Pemutusan hubungan

diplomatik dengan Cina

Seluruh Indonesia 1970

4. Pengucilan terhadap PKI Seluruh Indonesia 1970-1999 5. Pembunuhan misterius Seluruh Indonesia 1983 6. Polemik waduk Kedung

Ombo

Magelang 1987

Tabel 4.10 Peristiwa Sejarah yang Terjadi pada Masa Orde Baru dalam Novel Entrok

4.3.2 Realitas Sosial Novel 86