• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabal 4.9 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum

4.2 Analisis Realitas Fiks

4.2.2 Realitas Fiksi Novel 86 1 Struktur Plot Novel

4.2.2.3 Struktur Ruang dan Waktu Novel

4.2.2.3.2 Struktur Waktu

Novel ini juga menggunakan penanda waktu hari, bulan dan tahun. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur bekerja bagi Arimbi. Hari itu dipergunakan Arimbi untuk bersantai di kamar kosnya. “... Hari Sabtu dan Minggu semunya menjadi sedikit berbeda. Saat semuanya begitu cair dan bebas, tanpa ada sekat- sekat waktu yang menjadi mesin penggerak atas semua yang dilakukannya. Dua hari itu, jam setengah tujuh pagi tidak lagi menjadi awal kehidupan Arimbi.” (86, 2011: 11)

Senin pertama Juli adalah hari buruk bagi Arimbi. Listrik padam, air di bak mandi kosong. Arimbi pergi ke kantor tidak mandi. Di jalan dia terjebak macet sampai dua jam. “...Semuanya cukup lengkap untuk menyebut hari ini sebagai hari buruk bagi Arimbi. Hari Senin yang dibenci semua orang, hari Senin yang biasanya penuh pekerjaan, dan hari Senin yang selalu penuh kemacetan di setiap ruas jalan” (86,2011: 21).

Penanda tahun dapat dilihat di awal cerita yang menggunakan angka tahun 2004. Pada saat itu Arimbi sudah bekerja empat tahun. Rutinitas Arimbi dimulai sejak dia bekerja empat tahun yang lalu. Tanggal 10 Juli 2004 terjadi sebuah kasus pemukulan sumi terhadap istrinya. istrinya menolak berhubungan badan karena sedang sakit. Lalu suaminya menampar istrinya. Arimbi mengikuti kasus persidangan ini di bulan Februari. Pengarang tidak mencantumkan tahun persidangan itu dugelar. Namun, bisa diprediksi bahwa sidang itu diadakan tahun 2005.

Di samping penggunaan penanda hari dan bulan, novel ini juga menggunakan penanda waktu, seperti pagi, siang, sore, dan malam. Secara keseluruhan, penanda waktu pagi dan malam mendominasi struktur waktu cerita. Penanda waktu yang lain juga digunakan tetapi waktu penggunaan tidak terus- menerus, bergantung pada keperluan.

Penanda waktu pagi dan malam dipergunakan secara bersamaan untuk mengawali dan menutup aktivitas Arimbi setiap hari kerja ketika dia masih bekerja di Kantor Pengadilan. Waktu malam dihabiskan Arimbi du rumah kontrakannya dengan menonton TV dan istirahat. Dia tidak pernah keluar rumah.

Waktu malam juga dipergunakan untuk berjalan-jalan, bercengkrama, makan, dan menghabiskan malam bersama, setelah Arimbi mengenal Ananta. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan Arimbi setiap hari sebagai berikut:

Di gang kecil ini setiap jam setengah tujuh pagi hidup Arimbi dimulai. Berjalan diantara orang-orang yang sama tanpa mengenal nama. Dimulai dari langkah pertamanya keluar dari rumah kontrakan, lalu 250 langkah menuju jalan raya, menunggu bus kecil yang pada beberapa bagiannya mulai berkarat.

Di gang kecil ini juga, saat hari mulai gelap, hidup Arimbi berakhir. Ia berada di antara orang-orang yang muncukl di pinggir jalan raya. Melangkah cepat-cepat, berebut mencari celah, mengulang kembali yang terjadi pada pagi hari. Bau minyak wangi murahan telah berganti dengan bau kecut dan penyuk. Muka-muka yang tadi pagi berbedak dan berlipstik merah menjadi penuh minyak. (86, 2011:10)

Penanda waktu siang dapat dilihat dari aktivitas Arimbi untuk makan siang dan menghadiri jadwal persidangan jika ada. Jam dua belas Arimbi meninggalkan pekerjaannya dan menuju ke kantin untuk makan siang. Jam satu siang Arimbi memasuki ruang sidang. “... Jam menunjukkan angka satu lewat lima menit saat tiga orang hakim muncul dari pintu di belakang Arimbi. Ruang sidang yang tadinya penuh dengungan kini senyap” (86: 33).

Penanda waktu sore dipergunakan pengarang untuk mengakhiri pekerjaan Arimbi di kantor setelah Arimbi mengenal Ananta. Jam tiga sore, pikiran Arimbi sudah meloncat-loncat melewati pagar pengadilan. Dia sudah tidak konsentrasi lagi mengerjakan pekerjaan kantornya. “...Arimbi mulai mengemas barang- barangnya mulai jam empat. Diam-diam dia segera meninggalkan mejanya, menyusul Anisa yang selalu pulang lebih dahulu darinya. Ananta sudah menunggu di depan pagar. Mereka tiba di rumah saat hari masih terang. Di kamar Arimbi mereka menonton TV berdua” (86: 90).

4.2.2.4 Struktur Transmisi Narasi

Struktur transmisi narasi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan teknik yang dpergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya kepada pembaca. Dengan teknik ini, pembaca dapat menerima dan menghayati gagasan pengarang. Struktur transmisi narasi secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu persona pertama dengan gaya “aku” dan persona ketiga dengan gaya “dia” dengan berbaghai variasinya.

Novel 86 dibangun oleh struktur transmisi narasi orang ketiga. Pengarang memilih Arimbi, untuk melukiskan panasnya permainan kasus suap yang tidak hanya di tempat dia bekerja yaitu di kantor pengadilan tetapi di berbagai tempat di sekitar kehidupan Arimbi. Pengarang memilih tokoh yang lugu, khususnya Arimbi yang berasal dari kampung yang masih polos. Dia menrima komisi karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap bulan. Gaji PNS tidak mencukupi. Pelukisan dari sudut pandang orang yang buta politik, justru memberikan efek yang lain, walaupun pelukisannya sederhana seperti yang ada di dalam pemikiran Arimbi.

Pengarang menggunakan struktur transmisi narasi orang ketiga “dia” sebagai pengamat. Pengarang menumpahkan perhatian hanya pada tokoh Arimbi tentang yang dilihat, di dengar, dirasakan, dan dialami Arimbi. Arimbi merupakan fokus dan pusat kesadaran cerita. Tokoh cerita yang lainnya seperti Bu Danti, Ananta, dan Tutik, tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh Arimbi. Berbagai peristiwa dan tindakan yang diceritakan

disajikan lewat pandangan Arimbi yang sekaligus berfungsi sebagai filter bagi pembaca.

Struktur transmisi narasi yang dipilih oleh Okky dalam novel ini, menyebabkan pengarang menjadi objektif. Narator bahkan hanya menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar atau yang hanya dapat dijangkau oleh indra saja. Narator seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk merekam dan mengabadikan suatu objek yang dalam cerita ini diwakili oleh kehidupan Arimbi. Narator telah memaparkan seluruh yang dilihatnya melalui kehidupan Arimbi, namun untuk sampai kepada hal-hal yang kadar ketelitiannya harus diperhitungkan, diserahkan pengarang kepada pembaca.

Narator tidak memberikan komentar yang bersifat subjektif terhadap persitiwa dan tindakan Arimbi dan tokoh-tokoh lainnya. Narator hanya berlaku sebagai pengamat, melaporkan sesuatu yang dialami atau dijalani oleh Arimbi yang menjadi fokus atau pusat arus kesadaran cerita. Narator sama kedudukannya dengan pembaca, dia berada di luar cerita.

4.2.3 Realita Fiksi Novel Maryam