• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

2.3 Landasan Teori

2.3.2 Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik merupakan teori sastra yang menolak analisis strukturalisme murni. Analisis strukturisme murni dianggap terlalu kaku, hanya memperlakukan karya sastra sebagai subjek otonom, sehingga melepaskan karya sastra dari dimensi sosial budayanya. Oleh karena itu, Lucien Goldmann mengembangkan teori genetic structuralism dalam bukunya Method in the Sociology of Literature (1980). Model teori sastra ini menggabungkan strukturalisme dengan sosiologi, sehingga tetap menempatkan model analisis struktural sebelum menggunakan model analisis sosiologis.

Teori strukturalisme genetik bermula dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa sebuah karya sastra harus merupakan sebuah keseluruhan yang mempunyai struktur yang konsisten dan koheren, di mana setiap bagian merupakan unsur esensial dan menempati tempat yang layak dan wajib (Teeuw, 1983:23-24).

Pandangan Aristoteles ini dipadukan oleh Goldmann dengan pandangan Georg Lukács (1962) yang memperlakukan karya sastra sebagai refleksi dari sistem yang terbuka dan berprinsip bahwa, “Novel mencerminkan realitas, tidak dengan melukiskan wajah yang hanya tampak pada permukaan, tetapi dengan memberikan kepada kita sebuah pencerminan realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.” (Selden, 1991:27). Bagi Lukács (1976) dalam Sikana (2009:264), ”Tugas pengkritik sastra bukan semata-mata menunjukkan sama ada realitas dalam sesebuah karya sastera sama dengan realisme yang di luar sastera itu, tetapi melihat bagaimana ia berbeza dan sebagainya.” Dengan demikian, sebuah novel akan mencerminkan realitas masyarakat karena pengarang memiliki tugas melibatkan diri dalam masalah yang dihadapi masyarakatnya.

Pandangan Aristoteles yang mengutamakan struktur karya sastra dan pandangan Lukács yang mengutamakan refleksi dalam karya sastra telah melahirkan teori strukturalisme genetik. Filosofi teori ini mulai ditemukan oleh Taine yang menyatakan bahwa, ”Karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan.” (Endraswara, 2003:55). Pandangan Taine ini diperjelas oleh Goldmann dalam Endraswara (2003:57) bahwa karya sastra harus ditempatkan pada konteks historis tempat asal pandangan dunia masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra. Goldmann berpendapat bahwa karya sastra mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan konteks historis berkaitan dengan sistem pemikiran dan pandangan hidup masyarakat. Karya sastra juga mempunyai

kaitan dengan sistem pemerintahan dan gejolak politik yang melahirkan karya-karya tersebut. Bahkan, menurut Sikana (2009:260), dari konteks historis kehidupan masyarakat itu, ”Hipotesis Goldmann sebenarnya memperkenalkan satu unsur baru dalam pembicaraan tentang hubungan antara gejala sastera dengan fenomena ekonomi.”

Pengutamaan struktur karya sastra dan konteks historis dalam strukturalisme genetik bertujuan untuk melihat pandangan dunia sesuai dengan realitas fiksi dan realitas faktual dalam konteks historisnya. Menurut Teeuw (2003:126), hal ini didasarkan pada kenyataan, “…bagi Goldmann pun studi sastera harus dimulai dengan analisis struktur.” Hal ini disebabkan, teks sastra mempunyai structure significative yang bersifat otonom dan imanen, berada dalam kesadaran. Struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya. Atas dasar analisis vision du monde tersebut si peneliti dapat membandingkannya dengan data empiris keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. “Dalam arti ini karya sastera dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetic!) dari latar belakang sosial tertentu.” (Teeuw, 2003:127). Akan tetapi, “Goldmann tidak secara langsung menghubungkan karya sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial yang dominan.” (Ratna, 2004:122).

Untuk mengungkapkan homologi sastra dengan struktur sosial yang melatarbelakangi pemunculannya, Goldmann mengembangkan strukturalisme genetik dengan lima kategori yang saling berkaitan satu sama lain. Kategori itu adalah

strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, serta pemahaman dan penjelasan.

(1) Strukturasi merupakan pemahaman terhadap keseluruhan antarberbagai isi dalam struktur karya sastra yang koheren dan terpadu. Hal ini terungkap dalam The Epistemology of Socioloy (1981), Goldmann memandang karya sastra sebagai ekspresi pandangan dunia secara imajiner dan untuk mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Oleh karena itu, konsep struktur Goldmann bersifat tematik dengan pusat perhatian relasi antartokoh dan tokoh dengan objek sekitarnya (Faruk, 1994:17). Goldmann menggunakan konsep struktur (keseluruhan hubungan antarberbagai unsur isi), mengkhususkan hipotesisnya yang lebih umum, dan menyatakan bahwa ada homologi antara struktur novel klasik dan struktur pertukaran dalam perekonomian bebas. Struktur novel yang akan dideskripsikan sebagai sebuah struturasi pada penelitian ini terdiri atas struktur plot, struktur relasi gender, struktur ruang dan waktu, struktur naratif, dan struktur tematik. Konsep struktur yang menjadi landasan strukturasi dalam strukturalisme genetik ini berdasarkan pada teori struktur fiksi Robert Stanton (2007), struktur naratif Seymour Chatman (1980), dan penerapan strukturalisme terhadap sastra pascakolonial yang dilakukan Faruk (2007). Kelima struktur tersebut akan dijelaskan peneliti menurut urutan penerbitan novel dalam bentuk buku karya Bokor Hutasuhut.

(2) Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta kemanusiaan dapat berbentuk fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual merupakan perilaku libinal sedangkan fakta sosial mempunyai peranan dalam sejarah. Fakta tersebut merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar. Di dalam hal ini, Goldmann sejalan dengan teori psikologi Pieget yang menyatakan, ”Manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal-balik yang saling bertentangan tetapi sekaligus saling isi-mengisi.” Akan tetapi, dalam usaha mencapai keseimbangan pada psoses asimilasi dan akomodasi tersebut dapat mencapai kegagalan apabila berhadapan dengan rintangan. Goldmann mengidentifikasi tiga rintangan berikut ini: (i) kenyataan bahwa sektor kehidupan tertentu tidak menyandarkan dirinya secra integratif dalam struktur yang dielaborasikan; (ii) semakin lama penstrukturan dunia eksternal semakin sukar bahkan semakin tidak mungkin dilakukan; dan (iii) individu-individu dalam kelompok yang bertanggung jawab bagi lahirnya proses keseimbangan telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya sehingga mengganggu keseimbangan dalam proses strukturasi itu (Faruk, 1994:12-14).

(3) Subjek kolektif merupakan subjek fakta kemanusiaan yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu subjek individual sebagai subjek fakta individual dan subjek kolektif sebagai subjek fakta sosial. Goldmann berpandangan bahwa yang melaksanakan fakta kemanusiaan bukan subjek individual melainkan subjek transindividual.

“Subjek trans-individual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.” (Faruk, 1994:14-15).

(4) Pandangan dunia merupakan inti dari teori strukturalisme genetik. Goldmann percaya adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat karena keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1994:15). Akan tetapi, Goldmann tak percaya kepada hubungan langsung (=one- to-one-correspondence) antara unsur dalam novel dan unsur dalam realitas sosial. Hubungan yang ada ialah antara pandangan dunia dalam novel dengan pandangan dunia dalam realitas. Pandangan dunia dalam novel hanya dilihat melalui penyelidikan struktural dan ini dihubungkan secara dialektik dengan pandangan dunia dalam realitas (Junus, 1984:60). Pandangan dunia memiliki makna menyeluruh dari gagasan-gagasan, inspirasi-inspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertanyakannya dengan kelompok sosial lain. Pandangan dunia dalam strukturalisme genetik dapat berkembang sebagai suatu hasil dari situasi sosial ekonomi yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Endraswara, 2003:58). Goldmann menyatakan dalam Pour une sociologie du roman (Paris, 1964) bahwa, di sini ia mengandaikan adanya hubungan langsung antara sistem ekonomi dan bentuk sastra. Bahkan, Goldmann mengkhususkan hipotesisnya yang lebih umum dan menekankan bahwa ada homologi antara

struktur novel klasik dan pertukaran dalam perekonomian bebas (Fokkema dan Ibsch, 1998:166). Pandangan dunia itu sendiri merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Kesadaran yang mungkin ini berbeda dengan kesadaran yang nyata karena kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat (Faruk, 1994:16).

(5) Dialektika pemahaman-penjelasan merupakan bagian akhir dari analisis strukturalisme genetik. “Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari.” Sebaliknya, ”Penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar.” Dengan kata lain, “Pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.” (Faruk, 1994:21). Dengan demikian, pemahaman bertujuan untuk mendeskripsikan realitas fiksi sedangkan penjelasan bertujuan untuk menempatkan realitas fiksi pada realitas faktual dalam konteks historis. Penempatan realitas faktual berupa pandangan dunia dalam proses penafsiran novel karya Bokor Hutasuhut berdasarkan pada nilai budaya masyarakat Batak. Batak dalam konteks ini mengacu pada Batak Toba. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan (1987:133-134) nilai budaya Batak Toba mengandung sistem

sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat sehingga memiliki aspek keseluruhan hidup. Aspek keseluruhan hidup dalam strukturalisme genetik merupakan hal penting untuk memahami bagian-bagian dalam kehidupan yang bersatu padu menjelaskan pandangan dunia suatu masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman dan penjelasan pandangan dunia dalam penelitian ini mengacu pada realitas fiksi dan realitas faktual nilai budaya Batak Toba yang berkaitan dengan masalah kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Kesembilan nilai budaya Batak Toba tersebut berasal dari ungkapan tradisional yang mendasari kehidupan masyarakat Batak, baik Batak Toba maupun Batak Angkola-Mandailing.

Teori strukturalisme genetik yang dirumuskan oleh Goldmann di atas didasarkan pada pemenuhan lima kategori, yakni strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, serta pemahaman dan penjelasan. Di antara kelima kategori tersebut maka pandangan dunia menjadi inti dalam pemahaman dan penjelasan sebuah novel dalam hubungannya dengan realitas faktual masyarakatnya sehingga, ”...mengukuhkan adanya hubungan sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya.” (Faruk, 1994:43). Bahkan, setelah meneliti keunggulan dan kelemahan strukturalisme genetik dapat disimpulkan bahwa, ”Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai- nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat.” Atau dengan kata lain, ”...mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui

kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.” (Ratna, 2004:126).

Berdasarkan sejarah dan kategori-kategori dalam strukturalisme genetik yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan prinsip dasar strukturalisme genetik. Prinsip ini terdiri atas dua hal yang relevan dengan filosofi hermeneutika historis. Menurut Sikana (2009:269), kedua prinsip tersebut adalah: (i) kritikannya bersifat historis, artinya makna yang muncul dapat ditelusuri dari sejarah makna karya tersebut; dan, (ii) adanya konsep tentang pandangan dunia. Kedua prinsip dasar strukturalisme genetik tersebut hanya akan terwujudkan apabila penafsir karya sastra menemukan keseluruhan kehidupan dalam analisis strukturalisme. Dengan demikian, penerapan strukturalisme genetik dimulai dari analisis strukturalisme hingga konteks historis pandangan dunia yang dilakukan dengan lima tahapan sebagaimana diungkapkan oleh Ratna (2004:127) berikut ini: a) meneliti unsur-unsur karya sastra; b) hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra; c) meneliti unsur- unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra; d) hubungan unsur- unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat; dan, e) hubungan karya sastra dengan masyarakat secara keseluruhan.

Kelima tahapan dalam strukturalisme genetik akan memperoleh penguatan dari analisis semiotik terhadap ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam novel karya Bokor Hutasuhut. Sejalan dengan teori yang dikembangkan Goldmann ini, maka pendekatan hermeneutika historis yang dikembangkan oleh Gadamer pun menghubungkan kondisi kekinian dalam teks dengan konteks historis masyarakatnya.

Dengan demikian, pendekatan hermeneutika historis yang mendasari penerapan teori strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut dapat menghasilkan pemahaman yang tepat dan kebenaran yang hakiki terhadap pandangan dunia masyarakat Batak di wilayah yang pernah dinamakan Keresidenan Tapanuli.

Kehadiran strukturalisme genetik yang ditopang oleh analisis strukturalisme dan semiotik dalam memahami dan menjelaskan pandangan dunia manusia Batak menjadi inti dari penelitian terhadap ketiga novel karya Bokor Hutasuhut. Bokor Hutasuhut, sebagai sastrawan Indonesia yang berasal dari Tanah Batak, merupakan sastrawan yang lahir dan memiliki kedekatan dengan kultur Batak, sehingga pandangan dunia tersebut memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, baik sebagai bagian dari etnik sastrawannya maupun sebagai latar belakang kehidupan tokoh cerita dalam novel-novelnya. Pandangan dunia masyarakat Batak tersebut pada hakikatnya tetap menjadi pandangan hidup yang memiliki kedekatan dengan sastrawannya. Dengan demikian, analisis semiotik dan strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut tidak dapat dihindarkan dalam khasanah sastra Indonesia dan dalam kehidupan manusia Batak sebagai bagian yang menyatu dengan etnik sastrawannya.

Dokumen terkait