• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Tinjauan Teori-Teori

2.1.3 Konsep Deindustrialisasi

Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan peranan sektor manufaktur baik dalam kontribusi jumlah output maupun kontribusi jumlah pekerja dalam sebuah perekonomian. Definisi deindustrialisasi sendiri memiliki banyak interpretasi. Tabel 3 berisi beberapa definisi deindustrialisasi beserta sumbernya.

Tabel 3 Beberapa definisi deindustrialisasi berdasarkan sumbernya

Sumber Definisi Deindustrialisasi

a. Blackaby (1979) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan nilai tambah riil sektor manufaktur atau penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional.

b. Singh (1982) diacu dalam Jalilian dan Weiss(2000)

Ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan nilai ekspor yang mencukupi dalam membiayai impornya untuk mencapai kondisi full-employment dalam perekonomian.

c. Rowthorn dan Wells (1987) diacu dalam IMF(1997)

Penurunan proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.

d. Bazen dan Thirlwall (1989) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur baik secara absolut maupun relatif terhadap total pekerja.

e. World Bank (1994) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan tidak sementara kontribusi sektor manufaktur yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lebih lambat.

f. Rowthorn dan Coutts (2004)

Penurunan kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian nasional.

g. Wikipedia (2009) Proses perubahan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh semakin berkurangnya kapasitas atau aktivitas industri pada suatu daerah atau negara, khususnya untuk industri berat (heavy industry) atau industri manufaktur.

Lanjutan Tabel 3

Sumber Definisi Deindustrialisasi

h. Cairncross (1982) dan Lever (1991) diacu dalam Wikipedia (2009)

h. 1.Penurunan output sektor manufaktur atau penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur (definisi ini bisa menimbulkan salah interpretasi ketika terjadi penurunan output atau jumlah pekerja sektor manufaktur secara sementara ataupun penurunan tersebut merupakan bagian dari siklusnya).

h. 2.Pergeseran sektor manufaktur menuju sektor jasa sehingga sektor manufaktur memiliki proporsi output atau jumlah pekerja terhadap total output atau pekerja yang lebih kecil dibanding sektor jasa (definisi ini bisa menyebabkan salah interpretasi misalnya pergeseran sektor manufaktur ke sektor jasa terjadi tapi secara absolut ouput atau jumlah pekerja sektor manufaktur tetap meningkat). h. 3.Penurunan proporsi output sektor manufaktur

pada neraca perdagangan luar negeri (external trade) sehingga perekonomian gagal menciptakan keseimbangan pada neraca perdagangan luar negerinya (nilai ekspor lebih kecil dibandingkan nilai impornya).

h. 4.Suatu kondisi dimana neraca perdagangan mengalami defisit secara terus menerus sehingga dapat mengganggu proses produksi barang manufaktur dalam negeri dan pada akhirnya akan terjadi penurunan output sektor manufaktur tersebut dalam perekonomian.

Teori-teori yang menjelaskan tentang deindustrialisasi telah berkembang sejak lama. Rowthorn dan Wells (1987) yang diacu dalam IMF (1997) membedakan definisi deindustrialisasi menjadi dua macam yaitu deindustrialisasi positif dan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi positif merupakan sebuah konsekuensi dari sebuah perekonomian yang telah mengalami kedewasaan (maturity). Deindustrialisasi negatif mengindikasikan adanya performa yang buruk dari sebuah perekonomian. Deindustrialisasi negatif tersebut merupakan

efek sekaligus penyebab dari performa buruk sebuah perekonomian. Deindustrialisasi negatif merupakan efek dari performa buruk sebuah perekonomian karena jika perekonomian memburuk maka akan menurunkan tingkat konsumsi dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi khususnya sektor manufaktur. Sebaliknya, deindustrialisasi negatif juga merupakan penyebab memburuknya perekonomian karena penurunan tingkat produksi dapat menyebabkan penurunan tingkat pendapatan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat.

Rowthorn (1992) menganggap bahwa teori Marx tentang penurunan profit industri dapat disebutkan sebagai awal mula teori deindustrialisasi. Teori tersebut menyebutkan bahwa inovasi teknologi dapat membuat proses produksi menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Pada saat yang bersamaan, inovasi teknologi dapat menyebabkan pengurangan jumlah pekerja karena pekerja dapat digantikan dengan mesin sehingga kapasitas penggunaan kapital meningkat. Jika diasumsikan pekerja dapat memberikan nilai tambah baru, maka semakin besar penggunaan kapital akan menghasilkan nilai tambah dan surplus yang lebih kecil dibandingkan penambahan pekerja. Rata-rata profit industri akan menurun dalam jangka panjang. Implikasinya adalah bagi sebuah industri, disamping melakukan inovasi teknologi sebagai investasi kapital perlu juga mengembangkan kemampuan pekerjanya sebagai investasi human kapital untuk mengantisipasi terjadinya deindustrialisasi negatif.

Pitelis dan Antonakis (2003) mengemukakan bahwa perkembangan sektor manufaktur dapat dicirikan dengan produktivitasnya yang tinggi. Tingginya produktivitas sektor manufaktur, dengan asumsi ceteris paribus, akan menyebabkan penurunan biaya relatif untuk memproduksi barang manufaktur sehingga harga barang manufaktur bisa lebih murah. Hal inilah yang bisa menyebabkan proporsi nilai tambah sektor manufaktur menurun dengan asumsi demand terhadap barang manufaktur dan jasa bersifat inelasitis. Perkembangan selanjutnya adalah pengurangan aktivitas sektor manufaktur karena sebagian proses produksinya dilakukan dengan cara outsourcing atau dikontrakkan menyebabkan turunnya proporsi nilai tambah sektor manufaktur tanpa

memperburuk kondisi perekonomian. Deindustrialisasi ini memberikan dampak positif bagi sektor manufaktur karena produktivitasnya yang tinggi.

Pengertian lain dari deindustrialisasi bisa dilihat dari sisi pekerja. Bazen dan Thirlwall (1989) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000) menyebutkan bahwa fokus terhadap pekerja sektor manufaktur ini dilakukan karena sangat berguna untuk melihat peningkatan pendapatan pada level produktivitas pekerja tertentu dan hubungan antara industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan pengertian deindustrialisasi yang dikemukakan (lihat Tabel 3) dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi positif tidak menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan sebaliknya deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran.

Reisman (2002) menemukan bahwa inflasi turut berkontribusi dalam terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi lebih mahal dan profit yang diharapkan menjadi berkurang. Selain itu, perubahan struktur perekonomian oleh peraturan pemerintah juga bisa menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Menurut Bluestone dan Harrison (1982) serta Logan dan Swanstrom (1990), terobosan di bidang transportasi, komunikasi dan teknologi informasi menyebabkan perusahaan manufaktur akan berpindah ke lokasi yang lebih murah dan lokasi sebelumnya (pusat kota) ditempati oleh sektor jasa dan aglomerasi finansial.

Singh (1977) menyatakan bahwa untuk menganalisis adanya industrialisasi dan deindustrialisasi dalam kasus perekonomian terbuka, tidak cukup hanya dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan harus menganalisis juga interaksi dengan negara lainnya. Pada negara berkembang di awal tahap pertumbuhannya, kontribusi sektor pertanian pada balance of payment sama atau lebih besar daripada kontribusi sektor manufaktur. Pada saat pendapatan perkapita meningkat pada level middle-income countries, peranan sektor manufaktur menjadi sangat penting. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya demand terhadap produk manufaktur, dimana jika tidak dapat dipenuhi dari pasar domestik maka akan dipenuhi melalui impor sehingga akan mengubah kondisi neraca perdagangan. Sedangkan pada negara maju, kontribusi sektor manufaktur

saat ini sangat kecil (baik terhadap GDP maupun terhadap total pekerja) dan sektor ekspor utama adalah knowladge-based services.

Dokumen terkait