• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deindustrialisasi di Indonesia 1983 – 2008: Analisis dengan Pendekatan Kaldorian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deindustrialisasi di Indonesia 1983 – 2008: Analisis dengan Pendekatan Kaldorian"

Copied!
406
0
0

Teks penuh

(1)

 

DIAH ANANTA DEWI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

 

ABSTRACT

DIAH ANANTA DEWI. Deindustrialization in Indonesia 1983 – 2008: A Kaldorian Approach. Under direction of D. S. PRIYARSONO and TITI KANTI LESTARI.

Indonesian manufacturing sector has showed signs of deindustrialization since 2002. It has experienced a decline in the share of manufacturing employment. This research uses Kaldor's growth law to analyze the role of manufacturing sector in supporting economic growth in Indonesia. Kaldor's first law states that “manufacturing is the engine of growth”. The results showed that since the industrialization process, manufacturing sector has become the engine of economic growth. Further analysis analyze the role of manufacturing sector during the de-industrialization process. This analysis use Kaldor's first law. The result showed that the decline in growth of manufacturing value added can cause economic growth decline. This mean that deindustrialization in Indonesia has a negative impact on economic growth or deindustrialization in Indonesia is a negative phenomenon. Factors that cause de-industrialization process in Indonesia are the decline in fixed capital investment, trade balance, imports of raw materials, exports to USA and the increased imports of capital goods, imports of consumption goods, exports to Japan, exports to Singapore, imports from China.

(3)

 

DIAH ANANTA DEWI. Deindustrialisasi di Indonesia 1983–2008: Analisis dengan Pendekatan Kaldorian. Dibimbing oleh D. S. PRIYARSONO dan TITI KANTI LESTARI.

Hukum pertama dari teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966) diacu dalam Dasgupta dan Singh (2006) menyebutkan bahwa sektor manufaktur merupakan mesin pertumbuhan bagi suatu negara atau wilayah. Teori tersebut memicu banyak negara untuk melakukan industrialisasi agar didapatkan pertumbuhan ekonomi yang positif bagi negaranya. Ternyata pada negara-negara maju terjadi fenomena deindustrialisasi (deindustrialization) pada beberapa periode terakhir yang terlihat dari proporsi pekerja dan proporsi nilai tambah sektor manufaktur yang menurun. Rowthorn dan Wells (1987) diacu dalam IMF (1997) berargumentasi bahwa terjadinya deindustrialisasi pada negara maju merupakan deindustrialisasi positif karena merupakan sebuah konsekuensi dari proses pembangunan pada sebuah sistem perekonomian yang telah maju. Kitson dan Michie (1997) menyebutkan bahwa deindustrialisasi bisa juga sebagai pertanda lemahnya perekonomian suatu wilayah. Deindustrialisasi yang memberi dampak negatif tersebut, yang disebut juga dengan deindustrialisasi negatif, ditandai dengan rendahnya trade balance, produktivitas, pendapatan nasional dan standar hidup masyarakatnya.

Proses industrialisasi di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1980 (Dasril, 1993). Berdasarkan empat kriteria negara industri dalam Ruky (2008) dan kriteria UNIDO (united nations industrial development organization) dapat disimpulkan bahwa hingga tahun 2008 proses industrialisasi di Indonesia belum selesai. Bertentangan dengan kenyataan tersebut, fenomena yang terjadi pada perekonomian Indonesia memperlihatkan dengan jelas tanda-tanda terjadinya proses deindustrialisasi. Proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja mengalami pertumbuhan yang negatif sejak tahun 2002. Selain itu, pertumbuhan output sektor manufaktur dan komposisi sektor manufaktur dalam PDB (produk domestik bruto) terlihat menurun sejak tahun 2005. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peranan sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian, mengidentifikasi apakah Indonesia mengalami proses deindustrialisasi yang menuju ke arah positif atau negatif, dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia.

(4)

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor manufaktur menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian. Pertumbuhan sektor manufaktur memicu pertumbuhan sektor selain manufaktur sehingga pada akhirnya pertumbuhan PDB akan tumbuh lebih pesat. Proses deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2002 cenderung menuju ke arah yang negatif. Deindustrialisasi negatif ini salah satunya ditandai dengan rendahnya trade balance. Deindustrialisasi yang terjadi bukanlah dampak alamiah dari proses pembangunan yang sangat maju melainkan lebih disebabkan oleh guncangan (shock) terhadap perekonomian Indonesia.

Guncangan terhadap perekonomian Indonesia yang pengaruhnya signifikan terhadap terjadinya deindustrialisasi ditunjukkan dengan analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan deindustrialisasi dalam penelitian ini adalah proporsi pekerja sektor manufaktur dalam total pekerja. Faktor-faktor tersebut turunnya investasi modal tetap, menurunnya kinerja perdagangan luar negeri, turunnya nilai impor bahan baku, dan membanjirnya produk impor dari China dan impor barang-barang konsumsi di pasar domestik. Berkurangnya investasi modal tetap berdampak pada berkurangnya demand produk manufaktur jenis barang modal. Keadaan ini bisa bertambah buruk terhadap sektor manufaktur Indonesia jika terdapat peningkatan investasi modal tetap akan tetapi barang modal tersebut didapatkan dari impor.

Turunnya trade balance ataupun openness turut menyumbang penurunan proporsi pekerja sektor manufaktur. Hal ini menandakan bahwa secara umum proses deindustrialisasi di Indonesia disebabkan oleh turunnya foreign demand terhadap produk manufaktur Indonesia. Terlebih lahirnya negara industri baru seperti China dan Korea Selatan semakin memperlemah daya saing Indonesia. China memiliki keunggulan dalam hal harga produk yang relatif lebih rendah dibandingkan Indonesia dan Korea Selatan berhasil menaikkan daya saing industri manufakturnya dengan standar internasional.

Meningkatnya impor barang modal dan barang konsumsi turut menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Peningkatan impor barang modal menyebabkan demand produk manufaktur lokal jenis barang modal akan berkurang dan juga peningkatan impor barang modal menyebabkan tenaga manusia semakin tergantikan oleh mesin produksi. Ketersediaan bahan baku impor ternyata juga sangat penting bagi kelangsungan hidup industri manufaktur Indonesia. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis bahwa impor bahan baku mempunyai hubungan jangka panjang yang positif dengan proporsi pekerja sektor manufaktur. Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa ekspor ke tiga negara partner terbesar yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Singapura mempunyai hubungan jangka panjang dengan proporsi pekerja sektor manufaktur. Hal ini menyebabkan guncangan permintaan ekspor ke tiga negara tersebut bisa menyebabkan deindustrialisasi.

(5)

 

Saran yang direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah pemerintah dan masyarakat perlu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan industri manufaktur baik bagi skala besar, sedang, kecil dan mikro. Saran ini direkomendasikan mengingat bahwa sektor manufaktur memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan deindustrialisasi negatif. Peningkatan produktivitas pekerja perlu dilakukan agar pendapatan pekerja dapat meningkat sehingga dapat meningkatkan demand terhadap produk manufaktur Indonesia dengan syarat peningkatan pendapatan tersebut digunakan untuk mengkonsumsi produk manufaktur lokal.

(6)

 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

 

DEINDUSTRIALISASI DI INDONESIA 1983 – 2008:

ANALISIS DENGAN PENDEKATAN KALDORIAN

DIAH ANANTA DEWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

 

(9)

 

NRP : H151080374

Disetujui

Komisi Pembimbing

D. S. Priyarsono, Ph.D. Ketua

Dr. Titi Kanti Lestari, SE, MCom. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

 

PRAKATA

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Topik atau isu penelitian ini terangkum dalam judul “Deindustrialisasi di Indonesia 1983 – 2008: Analisis dengan Pendekatan Kaldorian”. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang utamanya bersumber dari Badan Pusat Stastistik (BPS).

Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada D. S. Priyarsono, Ph.D. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Titi Kanti Lestari selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, masukan dan motivasi yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor atas kerja sama dan motivasi yang diberikan selama penulis melaksanakan kuliah di IPB. Selain itu, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Rusman Heriawan sebagai Kepala BPS yang telah memberi kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, anak, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian penulis tetap mengharapkan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan juga memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan.

Bogor, Maret 2010

(11)

 

Penulis dilahirkan di Situbondo, Jawa Timur pada tanggal 25 Maret 1980 dari ayah Sukarto dan ibu Muani. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis melalui pendidikan dasarnya di SDN 1 Dawuan Situbondo pada tahun 1986-1992. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Situbondo. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan menengah atasnya di SMU 1 Situbondo. Pendidikan kedinasan diploma IV ditempuh penulis di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana pada program studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Penulis lulus dari pendidikan pascasarjana pada tahun 2010. Pendidikan pascasarjana dapat diikuti penulis karena penulis mendapat beasiswa dari Badan Pusat Statistik (BPS).

(12)

xi 

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Tinjauan Teori-Teori ... 9

2.1.1 Sektor Manufaktur sebagai Mesin Pertumbuhan (Pendekatan Kaldorian) ... 9

2.1.2 Perubahan Struktural (Structural Change) ... 14

2.1.3 Konsep Deindustrialisasi ... 18

2.1.4 Model Deindustrialisasi ... 22

2.2 Tinjauan Empiris ... 26

2.2.1 Deindustrialisasi pada Negara-Negara OECD ... 26

2.2.2 Deindustrialisasi di Sub-Saharan Africa ... 32

2.2.3 Deindustrialisasi di India ... 33

2.2.4 Deindustrialisasi pada Negara Berkembang ... 34

2.2.5 Deindustrialisasi di Indonesia ... 37

2.2.6 Penelitian Lain yang Mendukung ... 38

4.1 Peranan Sektor Manufaktur dalam Perekonomian Indonesia ... 61

4.1.1 Perkembangan Dukungan Pemerintah terhadap Sektor Manufaktur Indonesia ... 61

4.1.2 Analisis Peranan Sektor Manufaktur Indonesia dengan Pendekatan Kaldorian ... 64

(13)

xii   

Deindustrialisasi di Indonesia ... 75

4.3.1 Pendapatan Per Kapita ... 77

4.3.2 Investasi Modal Tetap ... 80

4.3.3 Trade Balance dan Openness ... 80

4.3.4 Impor Barang Modal, Bahan Baku dan Barang Konsumsi ... 81

4.3.5 Ekspor ke Beberapa Negara Tujuan Utama ... 82

4.3.6 Impor dari China ... 83

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

5.1 Kesimpulan ... 85

5.2 Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(14)

xiii   

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Kondisi perekonomian Indonesia berdasarkan kriteria negara

industri (persen) ... 4

2 Dinamika industrialisasi di Indonesia tahun 2003-2008 (persen) .. 5

3 Beberapa definisi deindustrialisasi berdasarkan sumbernya ... 18

4 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis deindustrialisasi di negara-negara OECD ... 27

5 Ringkasan analisis deindustrialisasi oleh Dasgupta dan Singh (2006) ... 35

6 Nama variabel dan satuannya yang digunakan dalam penelitian ... 44

7 Pertumbuhan sektor manufaktur dan Pertumbuhan PDB pada beberapa periode ... 65

8 Hasil uji stasioneritas variabel-variabel dalam persamaan Hukum Kaldor I, II dan III ... 67

9 Hasil uji stasioneritas variabel-variabel dalam analisis hubungan pertumbuhan 9 sektor perekonomian dengan pertumbuhan PDB .. 69

10 Hasil analisis regresi linear berganda hubungan pertumbuhan nilai tambah 9 sektor perekonomian dengan pertumbuhan PDB tahun 1983-2008 ... 69

11 Perbandingan hasil analisis Hukum Kaldor I pada dua periode analisis ... 72

12 Hasil uji stasioneritas variabel-variabel dalam persamaan (3.33) .. 76

(15)

xiv   

1 Proporsi pekerja sektor manufaktur dan jasa terhadap total pekerja dibeberapa negara maju (persen) ... 1

2 Proporsi nilai tambah sektor manufaktur dan jasa dalam PDB atas dasar harga berlaku di beberapa negara maju (persen) ... 2

3 Perbandingan pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan 2000 dengan pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur tahun 1960– 2008 (persen) ... 6

4 Output relatif untuk beberapa waktu permulaan industrialisasi (persen) ... 17

5 Proporsi pekerja sektor pertanian, manufaktur dan jasa terhadap total pekerja (persen) ... 25

6 Proporsi output sektor manufaktur terhadap real output (persen) .. 26 7 Perkembangan neraca pembayaran AS dan Inggris 1965-2003 ... 31

8 Kerangka pemikiran konseptual ... 42

9 Langkah analisis data time series dalam penelitian ... 47 10 Contoh hubungan dua variabel yang tidak stasioner dalam analisis

time series tetapi keduanya berkointegrasi ... 54 11 Perkembangan kebijakan industri nasional ... 62

12 Perkembangan neraca perdagangan Indonesia tahun 2002-2008 ... 75

13 Perkembangan impor barang modal dan barang konsumsi Indonesia tahun 2002-2008 ... 82

(16)

xv   

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Data dari Variabel-Variabel yang Digunakan ... 93

2 Rangkuman Hasil Analisis Regresi Variabel-Variabel yang Digunakan dengan Intercept dan Trend ... 101 3 Hasil Pengolahan EViews 6.0 untuk Hukum Kaldor I dengan

Periode Analisis 1983-2008 ... 102

4 Hasil Pengolahan EViews 6.0 untuk Hukum Kaldor II dan III dengan Periode Analisis 1983-2008 ... 105

5 Hasil Pengolahan EViews 6.0 untuk Persamaan (4.8) ... 109

6 Hasil Pengolahan EViews 6.0 untuk Hukum Kaldor I dengan Periode Analisis 1983-2001 dan 2002-2008 ... 110

7 Hasil Pengujian Lag Optimal ... 116 8 Hasil Pengolahan EViews 6.0 untuk Uji Kointegrasi ... 164

(17)

xvi   

(18)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966, 1967) yang diacu dalam Dasgupta dan Singh (2006) menyebutkan bahwa sektor manufaktur merupakan mesin pertumbuhan bagi suatu negara atau wilayah. Adanya teori tersebut memicu banyak negara untuk melakukan industrialisasi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat, akan tetapi ternyata di negara-negara maju terjadi fenomena deindustrialisasi (deindustrialization) pada beberapa periode terakhir ini. Fenomena deindustrialisasi tersebut digambarkan dari penurunan proporsi pekerja di sektor manufaktur terhadap total jumlah pekerja. Hal tersebut bisa dilihat pada Gambar 1. Selain dilihat dari proporsi pekerja sektor manufaktur, fenomena deindustrialisasi tersebut juga dapat dilihat dari proporsi nilai tambah sektor manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB). Perkembangan proporsi nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB pada

beberapa negara maju dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: IMF (1997)

(19)

Sumber: IMF (1997)

Gambar 2. Proporsi nilai tambah sektor manufaktur dan jasa dalam PDB atas dasar harga berlaku di beberapa negara maju (persen)

Rowthorn dan Wells (1987) diacu dalam IMF(1997) berargumentasi bahwa terjadinya deindustrialisasi pada negara-negara maju merupakan sebuah konsekuensi dari proses pembangunan di sebuah sistem perekonomian yang telah maju. Konsep deindustrialisasi tersebut dapat diartikan bahwa peran dominan sektor manufaktur pada suatu wilayah yang maju digantikan oleh sektor jasa. Fenomena deindustrialisasi seperti ini biasa disebut dengan deindustrialisasi positif.

(20)

3

ekonomi tersebut bisa sustain jika permintaan (demand) produk manufaktur minimal sesuai dengan jumlah yang diproduksi. Selain demand produk manufaktur yang memadai, capital stock dan pendidikan keterampilan dasar juga harus diperhatikan karena proses kumulatif selanjutnya akan memerlukan adanya keunggulan kompetitif produk manufaktur tidak hanya dalam hal harga produk, tapi juga dalam hal kualitas produk, pelayanan pelanggan dan peningkatan teknologi.

1.2 Perumusan Masalah

Proses industrialisasi di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1980 (Dasril 1993). Kesimpulan tersebut didapatkan dengan argumen bahwa permintaan antara mengalami peningkatan pesat pada akhir tahun 1980. Kriteria negara industri menurut Ruky (2008) adalah:

1. Proporsi nilai output sektor pertanian terhadap PDB di bawah 15 persen. 2. Proporsi jumlah pekerja sektor primer terhadap total jumlah pekerja kurang

dari 20 persen.

3. Jumlah penduduk perkotaan minimal 60 persen dari total jumlah penduduk. 4. Rasio nilai tambah bruto (NTB) sektor manufaktur terhadap PDB lebih dari 30

persen.

Berdasarkan keempat kriteria tersebut Indonesia masih belum termasuk dalam kategori negara industri (Tabel 1). Pada Tabel 1 terlihat hanya satu kriteria yang dipenuhi yaitu kriteria pertama. Kriteria kedua sampai keempat belum terpenuhi dan dapat disimpulkan bahwa proses industrialisasi di Indonesia belum selesai.

United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) mengelompokkan negara menjadi empat kelompok berdasarkan rasio NTB sektor manufaktur terhadap PDB (Ruky 2008). Pengelompokan tersebut adalah:

1. Negara non industri adalah negara yang memiliki rasio NTB sektor manufaktur terhadap PDB kurang dari 10 persen.

2. Negara dalam proses industrialisasi adalah negara yang memiliki rasio NTB sektor manufaktur terhadap PDB antara 10 persen sampai dengan 20 persen. 3. Negara semi industri adalah negara yang memiliki rasio NTB sektor

(21)

4. Negara industri adalah negara yang memiliki rasio NTB sektor manufaktur terhadap PDB lebih dari 30 persen.

Tabel 1 Kondisi perekonomian Indonesia berdasarkan kriteria negara industri (persen)1 1. Proporsi NTB sektor pertanian

terhadap PDB < 15 15.60 14.60 13.66 a)

2. Proporsi jumlah pekerja sektor primer terhadap total jumlah pekerja b)

< 20 45.74c) 44.92 41.35

3. Proporsi jumlah penduduk perkotaan terhadap total jumlah penduduk d)

> 60 42.0 48.3 51.7e)

4. Proporsi NTB sektor

manu-faktur terhadap PDB > 30 27.75 28.08 27.87 f)

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), diolah Keterangan:

a)Angka sangat sementara b)Hasil Sakernas

c)Tanpa Provinsi Maluku

d)Hasil Sensus Penduduk 2000 dan Supas 2005 e)Angka Prediksi

f) Angka sangat sementara

Berdasarkan kriteria UNIDO tersebut, Indonesia termasuk ke dalam negara semi industri. Tahun 2002 UNIDO menempatkan Indonesia di peringkat industrialisasi terbawah di antara negara-negara ASEAN. Tahun sebelumnya yaitu tahun 2000, Indonesia mempunyai peringkat industrialisasi ke 38, sedangkan Malaysia berada pada peringkat 15, Thailand berada pada peringkat 23, dan Filipina berada pada peringkat 25 (Tempo Interaktif, Selasa 8 Maret 2005). Sebagai catatan, UNIDO melakukan survei secara berkala dengan responden 400 negara berkembang.

Fenomena yang terjadi pada perekonomian Indonesia terutama sejak tahun 2002 memperlihatkan dengan jelas tanda-tanda terjadinya proses deindustrialisasi.

Pertumbuhan kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja sejak tahun 2002 telah mengalami pertumbuhan negatif. Sedangkan pertumbuhan

1

(22)

5

output sektor manufaktur dan komposisi output sektor manufaktur dalam PDB terlihat menurun sejak tahun 2005. Fakta tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Dinamika industrialisasi di Indonesia tahun 2003–2008 (persen)

Indikator Tahun

a)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 1.Proporsi pekerja sektor

manu-faktur terhadap total pekerja 12.40 11.81 12.27 12.46 12.38 12.24 2.Pertumbuhan pekerja sektor

manufaktur -6.06 -4.76 3.90 1.55 -0.64 -1.13 3.Proporsi output sektor

manu-faktur terhadap PDBb) 28.25 28.07 27.41 27.54 27.06 27.87 4.Pertumbuhan output sektor

manufakturc) 5.33 6.38 4.60 4.59 4.67 3.66 - Migas 0.82 -1.95 -5.67 -1.66 -0.06 -0.33

- Bukan Migas 5.97 7.51 5.86 5.27 5.15 4.05

Sumber: BPS, diolah Keterangan:

a) Untuk tahun 2007 adalah angka sementara dan untuk tahun 2008 adalah angka sangat sementara

b) Berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku c) Berdasarkan PDB atas dasar harga konstan 2000

Ruky (2008) menjelaskan bahwa deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia diikuti dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah, penurunan nilai tambah sektor manufaktur, penurunan tingkat investasi, proporsi nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, dan juga lemahnya hubungan antara sektor pertambangan dan penggalian dengan industri pengolahannya. Deindustrialisasi seperti ini memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian.

(23)

dasar harga konstan tahun 2000 dengan pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2008.

Sumber: BPS, diolah

Gambar 3 Perbandingan pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan 2000 dengan pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur tahun 1960–2008 (persen)

Berdasarkan fakta yang ada, dirumuskan beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana peranan sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia selama tahap industrialisasi jika dianalisis dengan pendekatan Kaldorian?

2. Apakah Indonesia mengalami proses deindustrialisasi yang menuju ke arah positif atau negatif?

3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah sesuai dengan perumusan masalahnya, yaitu:

1. Mengkaji peranan sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia selama tahap industrialisasi berdasarkan analisis dengan pendekatan Kaldorian.

2. Mengidentifikasi apakah Indonesia mengalami proses deindustrialisasi yang menuju ke arah positif atau negatif.

3. Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia.

‐20.00 ‐10.00 0.00 10.00 20.00 30.00

1961 1963 1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

(24)

7

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan pandangan yang bersifat obyektif terhadap fenomena deindustrialisasi di Indonesia.

2. Memberikan saran kepada pembuat kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan industri di masa mendatang.

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menganalisis fenomena deindustrialisasi di Indonesia. Ruang lingkup wilayah penelitian ini hanya mencakup wilayah Indonesia. Tahun analisis yang digunakan adalah dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2008. Penggunaan

tahun analisis tersebut mempertimbangkan bahwa proses industrialisasi di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1980. Data yang digunakan merupakan data triwulanan.

(25)
(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori-Teori

Beberapa teori yang ditinjau untuk mendukung penelitian ini adalah teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan dengan pendekatan Kaldorian, perubahan struktural (structural change), definisi deindustrialisasi dan model deindustrialisasi.

2.1.1 Sektor Manufaktur sebagai Mesin Pertumbuhan (Pendekatan Kaldorian)

Teori pertumbuhan Kaldor digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis peranan sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia sejak Indonesia mengalami proses industrialisasi. Analisis dengan pendekatan Kaldorian dapat mengidentifikasi apakah sektor manufaktur telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Apabila sektor manufaktur menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, hal ini berarti bahwa perekonomian secara keseluruhan yang terdiri dari

berbagai jenis aktivitas ekonomi digerakkan oleh sektor manufaktur.

Hukum Kaldor dalam konteks fenomena deindustrialisasi dapat digunakan sebagai penentu apakah deindustrialisasi yang terjadi merupakan fenomena positif atau negatif. Deindustrialisasi yang merupakan fenomena positif artinya proses pembangunan ekonomi telah mencapai tahap yang matang (mature) dan ditandai dengan kuatnya pengaruh sektor manufaktur dalam menggerakkan perekonomian. Deindustrialisasi yang merupakan fenomena negatif ditandai dengan kurang kuatnya pengaruh sektor manufaktur dalam menggerakkan perekonomian dan hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai output atau jumlah pekerja sektor manufaktur yang tidak disertai dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Pendapatan per kapita yang tinggi mencirikan bahwa suatu wilayah telah mencapai tahap pembangunan ekonomi yang matang (mature).

(27)

sedangkan neoklasik hanya menganalisisnya dari sisi supply. Kaldor percaya bahwa tidak cukup memformulasikan sebuah teori pertumbuhan hanya berdasarkan pada sebuah sektor perekonomian karena kondisi supply dan demand setiap sektor berbeda. Pada sisi demand, Kaldor menyatakan bahwa elastisitas pendapatan terhadap demand untuk produk manufaktur lebih besar dibanding produk pertanian dan kurang lebih sama untuk sektor jasa. Pada sisi supply, sektor manufaktur mempunyai potensi pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dibandingkan sektor jasa.

Model pertumbuhan Kaldor juga berbeda dengan teori pertumbuhan endogen (endogenous growth theory). Menurut Knell (2004), teori pertumbuhan endogen mempunyai hipotesis dasar bahwa pertumbuhan output dibatasi oleh supply pekerja dan kapital, sedangkan model pertumbuhan Kaldor mempunyai hipotesis dasar bahwa pertumbuhan output dibatasi oleh banyaknya demand. Model pertumbuhan Kaldor sangat menekankan pentingnya perluasan pasar, yang menggambarkan peningkatan demand, dalam menjelaskan adanya increasing returns to scale. Hubungannya adalah ketika demand semakin meningkat, dibutuhkan output yang lebih banyak sehingga dengan adanya pengaruh perubahan teknologi dan technological learning pada output maka proses produksi akan terus mengalami increasing returns to scale.

Kaldor’s growth law menerangkan hubungan antara pertumbuhan sektor-sektor industri, pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan total output. Kaldor’s growth law tersebut adalah:

1. Pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (pertumbuhan output) berhubungan positif dengan pertumbuhan sektor sekunder terutama sektor manufaktur. Hukum pertama ini lebih terkenal dengan istilah “manufacturing is the

engine of growth” dan diformulasikan dalam persamaan regresi sebagai berikut.

(2.1)

(28)

11

yaitu semakin besar selisih pertumbuhan sektor manufaktur dengan pertumbuhan sektor selain manufaktur maka pertumbuhan total output semakin cepat. Hubungan tersebut diformulasikan dalam persamaan regresi sebagai berikut.

(2.2)

dengan adalah pertumbuhan sektor selain manufaktur. Kaldor juga

menambahkan argumentasi yang dapat menguatkan hukum Kaldor yang pertama yaitu pertumbuhan sektor selain manufaktur juga dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor manufaktur. Argumentasi ini diformulasikan dalam persamaan regresi sebagai berikut.

(2.3)

Terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan keeratan hubungan antara pertumbuhan sektor manufaktur dan pertumbuhan output (Libanio dan Moro 2007). Alasan pertama adalah pertumbuhan output dan pekerja sektor manufaktur menyebabkan terjadinya transfer pekerja dari sektor yang mempunyai produktivitas rendah, karena sektor ini memiliki surplus pekerja, menuju sektor manufaktur yang mempunyai produktivitas lebih tinggi. Hasil proses transfer ini adalah peningkatan produktivitas pada semua sektor perekonomian dan hanya sedikit atau bahkan tidak menyebabkan dampak negatif pada sektor primer. Kaldor (1967) yang diacu dalam Felipe (1998) menyebutkan bahwa proses ini disebut sebagai transisi dari perekonomian yang bersifat immature menuju perekonomian yang bersifat mature dan hal ini merupakan pertanda bahwa proses pembangunan telah memasuki tahap

intermediate. Alasan kedua adalah adanya static increasing returns pada sektor manufaktur yang berhubungan dengan economies of scale internal to firm dan adanya dynamic increasing returns pada sektor manufaktur yang berasal dari proses ‘learning by doing’, ‘inducedtechnological change, economies of scale external to firm.

(29)

a. Pada saat proses produksi sektor manufaktur mengalami peningkatan, terdapat aliran pekerja dari sektor selain manufaktur, yang memiliki pengangguran terselubung (disguised unemployment) dan surpus pekerja, menuju sektor manufaktur sehingga produktivitas sektor selain manufaktur mengalami peningkatan produktivitas (dengan asumsi bahwa sumber daya sektor selain manufaktur tersebut memiliki opportunity cost yang kecil). Berdasarkan hal tersebut, implikasinya adalah semakin cepat pertumbuhan sektor manufaktur, yaitu sebelum pertumbuhannya mengalami diminishing returns, maka proses transfer pekerja menjadi semakin cepat.

b. Kegiatan sektor manufaktur memiliki backward linkage dan forward linkage yang lebih besar dibanding sektor-sektor lainnya.

c. Sektor industri khususnya sektor manufaktur mempunyai sifat static increasing returns yang berasal dari ukuran dan skala produksinya dan sifat dynamic increasing returns karena bisa mengalami proses learning by doing dalam proses produksinya.

d. Adanya kendala neraca pembayaran (balance-of-payments) yang diperlonggar akan menyebabkan pertumbuhan output dan sektor selain manufaktur semakin cepat jika pertumbuhan sektor sekunder semakin cepat.

2. Produktivitas pekerja sektor manufaktur berhubungan positif dengan pertumbuhan output sektor manufaktur itu sendiri. Hubungannya lebih cenderung kepada pertumbuhan output sektor manufaktur yang mempengaruhi pertumbuhan produktivitas pekerja sektor manufaktur. Hukum Kaldor kedua ini disebut juga dengan Verdoorn’s Law atau Kaldor-Verdoorn Law.

Verdoorn’s Law biasanya digunakan untuk membuktikan adanya static increasing returns dan dynamic increasing returns yang merupakan kunci penting pada model pertumbuhan circular and cummulative causation dalam analisis Kaldorian (Kaldor 1970, Dixon dan Thirlwall 1975 diacu dalam Libanio dan Moro 2007). Argumentasinya adalah dengan tingkat pertumbuhan

(30)

13

paribus harga barang per unit akan turun. Harga barang per unit yang menjadi relatif murah ini akan meningkatkan daya saing (competitiveness) dan pada akhirnya akan meningkatkan output melalui peningkatan permintaan ekspor.

Knell (2004) menyebutkan bahwa terdapat tiga rumus dasar untuk

Kaldor-Verdoorn Law dan berasal dari persamaan dasar berikut.

(2.4)

dengan adalah pertumbuhan output, adalah pertumbuhan output per pekerja (produktivitas pekerja) dan adalah pertumbuhan pekerja. Verdoorn menyatakan bahwa pertumbuhan produktivitas berhubungan linier dan positif dengan pertumbuhan output. Berdasarkan pernyataan tersebut didapatkan rumus pertama dari Kaldor-Verdoorn Law yaitu:

(2.5)

dikenal dengan koefisien Verdoorn dan koefisien ini bisa menjelaskan

adanya pertumbuhan demand (perluasan pasar) dan perubahan struktural.

Rumus kedua didapatkan dari pandangan lain Kaldor mengenai hubungan antara pertumbuhan output dan produktivitas pekerja. Rumus kedua tersebut adalah:

(2.6)

Kaldor menyebutkan bahwa persamaan (2.6) tersebut telah memadai untuk mengetahui adanya static increasing returns atau dynamic increasing returns. Jika < 1 dan signifikan secara statistik maka perekonomian dalam kondisi

dynamic increasing returns. Jika = 1 dan signifikan secara statistik maka proses pertumbuhan dapat dikatakan mengikuti model pertumbuhan Solow tanpa peningkatan teknologi. Jika tidak signifikan secara statistik maka

Kaldor mendeskipsikan perekonomian sebagai nihilistic.

Rumus Kaldor-Verdoorn Law ketiga berasal dari pernyataan Cripps dan Tarling (1973) yang diacu dalam Knell (2004). Mereka menyatakan bahwa persamaan (2.5) dan (2.6) harus diuji secara simultan dengan menggunakan persamaan berikut.

(2.7)

(31)

terjadi misleading ketika terdapat hubungan yang negatif dari kedua variabel tersebut.

3. Produktivitas sektor selain manufaktur berhubungan positif dengan pertumbuhan output sektor manufaktur. Hukum ini lebih intuitif dan berdasarkan pada argumentasi bahwa sektor selain manufaktur memiliki

diminishing returns to scale.

2.1.2 Perubahan Struktural (Structural Change)

Perubahan struktural dalam perekonomian merujuk pada perubahan struktur perekonomian yang mendasar dalam jangka panjang, bukan hanya perubahan

struktur dalam lingkup mikro dan dalam jangka pendek. Struktur perekonomian yang dimaksud adalah formasi sektor/industri dalam suatu perekonomian. Contoh perubahan struktural adalah perekonomian subsisten yang mengalami industrialisasi sehingga kontribusi dominan sektor pertanian bergeser ke sektor manufaktur.

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan struktural sangatlah berbeda untuk masing-masing wilayah. Perubahan struktural bisa disebabkan antara lain oleh:

1. dampak dari suatu kebijakan

2. perubahan sumber daya, penduduk dan keadaan sosial yang bersifat permanen

Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi

Gollin et. al. (2002) menunjukkan model perubahan struktural dapat menjawab dua pertanyaan penting mengenai proses industrialisasi. Pertanyaan tersebut adalah mengapa proses industrialisasi pada setiap negara mempunyai waktu permulaan yang berbeda-beda dan mengapa pada beberapa negara proses tersebut berjalan lambat. Implikasi penting dari model perubahan struktural tersebut adalah pertumbuhan produktivitas sektor pertanian merupakan kunci penting proses pertumbuhan.

Model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan neoklasik

(32)

15

Gollin et al. (2002) menyatakan bahwa proses pembangunan berhubungan dengan adanya perubahan struktural. Pada model ini diasumsikan fungsi utilitas dari sebuah rumah tangga mengikuti Stone-Geary variety.

(

)

( )

a : konsumsi barang hasil pertanian pada periode t

t

c : konsumsi barang hasil non pertanian pada periode t

Nilai utilitas seumur hidup ditunjukkan dengan persamaan (2.9) berikut.

(

)

Berdasarkan persamaan (2.8) dan (2.9) dapat disimpulkan bahwa ketika hasil produksi sektor pertanian mencapai a, kelebihan tenaga kerja sektor pertanian yang ada akan berpindah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Hal ini menandakan bahwa keadaan sektor pertanian mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja untuk sektor non pertanian. Model pertumbuhan neoklasik menunjukkan

bahwa sektor non pertanian memproduksi sejumlah output (Ymt) dengan menggunakan kapital (Kmt) dan tenaga kerja (Nmt).

A : total-factor-productivity (TFP) m

γ : tingkat perubahan teknologi

Persamaan (2.10) merupakan modifikasi fungsi produksi yaitu dengan menambahkan αNmt agar suatu perekonomian yang tidak mempunyai kapital fisik

dapat melakukan akumulasi kapital. Setiap negara diasumsikan mempunyai TFP (Am) berbeda-beda dan nilainya ditentukan oleh faktor kebijakan dan institusi

yang mempengaruhi kegiatan sektor non pertanian. Sebaliknya, parameter γm dan

α diasumsikan sama untuk semua negara. Parameter γm diasumsikan sebagai

(33)

(dalam hal ini adalah sektor manufaktur) dapat digunakan untuk konsumsi atau investasi (Xmt) sehingga fungsi stok kapital untuk sektor manufaktur adalah

sebagai berikut.

(

)

mt mt

mt K X

K +1 = 1−δ + (2.11)

Sektor pertanian menghasilkan sejumlah output (Yat) hanya dengan menggunakan sebuah input produksi yaitu tenaga kerja (Nat). Pada model ini

diasumsikan penambahan input yang berupa tanah tidak akan mempengaruhi hasil akhir. Selain itu, model ini mengasumsikan terdapat dua macam teknologi yang dapat digunakan pada sektor pertanian. Kedua macam teknologi tersebut adalah: a. Teknologi tradisional

Penggunaan teknologi tradisional akan menghasilkan a buah barang

pertanian pada satu periode waktu. b. Teknologi modern

Penggunaan teknologi akan menghasilkan sejumlah output sektor pertanian (Yat) seperti dirumuskan pada persamaan (2.12) berikut.

(

)

at

Asumsi yang digunakan untuk Aa dan γa sama dengan yang diasumsikan

untuk sektor non pertanian.

Output yang diperoleh dari sektor pertanian diasumsikan hanya digunakan untuk konsumsi, sehingga jumlah konsumsi barang hasil pertanian terbatas atYat.

Solusi untuk competitive equilibrium melalui dua langkah. Langkah pertama yaitu menentukan alokasi tenaga kerja setiap sektor untuk setiap periode. Berdasarkan fungsi utilitas rumah tangga maka pada awalnya semua tenaga kerja

akan dialokasikan ke sektor pertanian sampai . Ketika kondisi ini tercapai maka produksi sektor pertanian akan menggunakan teknologi modern untuk menggantikan teknologi tradisional yang selama ini digunakan dan hal ini menyebabkan tenaga kerja sektor pertanian berpindah ke sektor manufaktur

dengan kecepatan . Sehingga:

,

(34)
(35)

mengalami proses industrialisasi yang berjalan lambat perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat memicu peningkatan produktivitas sektor pertaniannya.

2.1.3 Konsep Deindustrialisasi

Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan peranan sektor manufaktur baik dalam kontribusi jumlah output maupun kontribusi jumlah pekerja dalam sebuah perekonomian. Definisi deindustrialisasi sendiri memiliki banyak interpretasi. Tabel 3 berisi beberapa definisi deindustrialisasi beserta sumbernya.

Tabel 3 Beberapa definisi deindustrialisasi berdasarkan sumbernya

Sumber Definisi Deindustrialisasi

a. Blackaby (1979) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan nilai tambah riil sektor manufaktur atau penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional.

b. Singh (1982) diacu dalam Jalilian dan Weiss(2000)

Ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan nilai ekspor yang mencukupi dalam membiayai impornya untuk mencapai kondisi full-employment dalam perekonomian.

c. Rowthorn dan Wells (1987) diacu dalam IMF(1997)

Penurunan proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.

d. Bazen dan Thirlwall (1989) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur baik secara absolut maupun relatif terhadap total pekerja.

e. World Bank (1994) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000)

Penurunan tidak sementara kontribusi sektor manufaktur yang dapat menurunkan efisiensi ekonomi dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lebih lambat.

f. Rowthorn dan Coutts (2004)

Penurunan kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian nasional.

(36)

19

Lanjutan Tabel 3

Sumber Definisi Deindustrialisasi

h. Cairncross (1982) dan Lever (1991) diacu dalam Wikipedia (2009)

h. 1.Penurunan output sektor manufaktur atau penurunan jumlah pekerja sektor manufaktur (definisi ini bisa menimbulkan salah interpretasi ketika terjadi penurunan output atau jumlah pekerja sektor manufaktur secara sementara ataupun penurunan tersebut merupakan bagian dari siklusnya).

h. 2.Pergeseran sektor manufaktur menuju sektor jasa sehingga sektor manufaktur memiliki proporsi output atau jumlah pekerja terhadap total output atau pekerja yang lebih kecil dibanding sektor jasa (definisi ini bisa menyebabkan salah interpretasi misalnya pergeseran sektor manufaktur ke sektor jasa terjadi tapi secara absolut ouput atau jumlah pekerja sektor manufaktur tetap meningkat). h. 3.Penurunan proporsi output sektor manufaktur

pada neraca perdagangan luar negeri (external trade) sehingga perekonomian gagal menciptakan keseimbangan pada neraca perdagangan luar negerinya (nilai ekspor lebih kecil dibandingkan nilai impornya).

h. 4.Suatu kondisi dimana neraca perdagangan mengalami defisit secara terus menerus sehingga dapat mengganggu proses produksi barang manufaktur dalam negeri dan pada akhirnya akan terjadi penurunan output sektor manufaktur tersebut dalam perekonomian.

(37)

efek sekaligus penyebab dari performa buruk sebuah perekonomian. Deindustrialisasi negatif merupakan efek dari performa buruk sebuah perekonomian karena jika perekonomian memburuk maka akan menurunkan tingkat konsumsi dan pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi khususnya sektor manufaktur. Sebaliknya, deindustrialisasi negatif juga merupakan penyebab memburuknya perekonomian karena penurunan tingkat produksi dapat menyebabkan penurunan tingkat pendapatan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat.

Rowthorn (1992) menganggap bahwa teori Marx tentang penurunan profit industri dapat disebutkan sebagai awal mula teori deindustrialisasi. Teori tersebut

menyebutkan bahwa inovasi teknologi dapat membuat proses produksi menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Pada saat yang bersamaan, inovasi teknologi dapat menyebabkan pengurangan jumlah pekerja karena pekerja dapat digantikan dengan mesin sehingga kapasitas penggunaan kapital meningkat. Jika diasumsikan pekerja dapat memberikan nilai tambah baru, maka semakin besar penggunaan kapital akan menghasilkan nilai tambah dan surplus yang lebih kecil dibandingkan penambahan pekerja. Rata-rata profit industri akan menurun dalam jangka panjang. Implikasinya adalah bagi sebuah industri, disamping melakukan inovasi teknologi sebagai investasi kapital perlu juga mengembangkan kemampuan pekerjanya sebagai investasi human kapital untuk mengantisipasi terjadinya deindustrialisasi negatif.

Pitelis dan Antonakis (2003) mengemukakan bahwa perkembangan sektor manufaktur dapat dicirikan dengan produktivitasnya yang tinggi. Tingginya produktivitas sektor manufaktur, dengan asumsi ceteris paribus, akan menyebabkan penurunan biaya relatif untuk memproduksi barang manufaktur sehingga harga barang manufaktur bisa lebih murah. Hal inilah yang bisa menyebabkan proporsi nilai tambah sektor manufaktur menurun dengan asumsi

(38)

21

memperburuk kondisi perekonomian. Deindustrialisasi ini memberikan dampak positif bagi sektor manufaktur karena produktivitasnya yang tinggi.

Pengertian lain dari deindustrialisasi bisa dilihat dari sisi pekerja. Bazen dan Thirlwall (1989) diacu dalam Jalilian dan Weiss (2000) menyebutkan bahwa fokus terhadap pekerja sektor manufaktur ini dilakukan karena sangat berguna untuk melihat peningkatan pendapatan pada level produktivitas pekerja tertentu dan hubungan antara industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan pengertian deindustrialisasi yang dikemukakan (lihat Tabel 3) dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi positif tidak menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran dan sebaliknya deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan

bertambahnya jumlah pengangguran.

Reisman (2002) menemukan bahwa inflasi turut berkontribusi dalam terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi lebih mahal dan profit yang diharapkan menjadi berkurang. Selain itu, perubahan struktur perekonomian oleh peraturan pemerintah juga bisa menyebabkan terjadinya deindustrialisasi. Menurut Bluestone dan Harrison (1982) serta Logan dan Swanstrom (1990), terobosan di bidang transportasi, komunikasi dan teknologi informasi menyebabkan perusahaan manufaktur akan berpindah ke lokasi yang lebih murah dan lokasi sebelumnya (pusat kota) ditempati oleh sektor jasa dan aglomerasi finansial.

Singh (1977) menyatakan bahwa untuk menganalisis adanya industrialisasi dan deindustrialisasi dalam kasus perekonomian terbuka, tidak cukup hanya dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan harus menganalisis juga interaksi dengan negara lainnya. Pada negara berkembang di awal tahap pertumbuhannya, kontribusi sektor pertanian pada balance of payment sama atau lebih besar daripada kontribusi sektor manufaktur. Pada saat pendapatan perkapita meningkat pada level middle-income countries, peranan sektor manufaktur menjadi sangat penting. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya

demand terhadap produk manufaktur, dimana jika tidak dapat dipenuhi dari pasar domestik maka akan dipenuhi melalui impor sehingga akan mengubah kondisi

(39)

saat ini sangat kecil (baik terhadap GDP maupun terhadap total pekerja) dan sektor ekspor utama adalah knowladge-based services.

2.1.4 Model Deindustrialisasi

Bagian ini mengadopsi IMF Working Paper (IMF 1997) dan model ini menunjukkan bahwa deindustrialisasi merupakan proses alami dari sebuah pertumbuhan ekonomi dan bisa terjadi walaupun tanpa adanya perdagangan dengan negara-negara lainnya. Model ini didasarkan pada ketiga fakta berikut: 1. Demand untuk produk makanan mempunyai elastisitas pendapatan yang

inelastis (Engel’s Law).

2. Real demand untuk produk jasa meningkat seiring dengan peningkatan pendatan nasional riil.

3. Produktivitas pekerja di sektor jasa mempunyai peningkatan yang lebih kecil dibanding sektor manufaktur ataupun industri secara keseluruhan.

Asumsi awal yang digunakan sebagai penyederhanaan adalah perekonomian dianggap tertutup.

Konsumsi produk makanan (dari sektor pertanian) untuk setiap orang diasumsikan tetap. Jumlah populasi (L) juga diasumsikan tetap dan semuanya diasumsikan sebagai pekerja.

bL

Ya = (2.15)

Huruf b pada persamaan (2.15) merupakan sebuah konstanta. Output sektor jasa merupakan bagian dari real output.

cY

(40)

23

Produktivitas Pekerja

Asumsi yang digunakan adalah:

1. Peningkatan produktivitas pekerja sektor jasa lebih rendah dibanding sektor manufaktur.

2. Peningkatan produktivitas pekerja sektor manufaktur dan pertanian sama. 3. Peningkatan produktivitas diasumsikan sama sepanjang waktu.

4. Output per pekerja pada t = 0 diasumsikan sama. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka:

t sektor pertanian, manufaktur dan jasa. λ adalah indeks pertumbuhan produktivitas.

Output per pekerja juga dapat dirumuskan sebagai:

a

Dari persamaan (2.15) sampai dengan (2.18) didapatkan:

[

t t

]

(41)

c

Persamaan (2.22) mengindikasikan bahwa rata-rata pertumbuhan produktivitas akan menurun mendekati pertumbuhan produktivitas yang dicapai sektor jasa. Hal tersebut merupakan ilustrasi dari teori asymtotic stagnancy dimana pertumbuhan ekonomi dibatasi oleh produktivitas sektor jasa (Baumol et al 1989 dalam IMF 1997).

Employment Share

a

P , Pi, dan Ps merupakan proporsi pekerja sektor pertanian, manufaktur dan jasa

dalam total pekerja.

Berdasarkan persamaan (2.24) dan (2.25), jika t mendekati tak hingga maka:

0

a

P Pi →0 Ps →1

Pada saat tak hingga (infinity), kontribusi pekerja sektor pertanian dan sektor manufaktur akan konvergen menuju nol dan kontribusi pekerja sektor jasa akan konvergen menuju satu. Walaupun telah didapatkan kesimpulan ini, akan tetapi masih dibutuhkan analisis lebih lanjut mengenai sektor manufaktur.

The Share of Industry

Jika persamaan (2.25) di-difference terhadap waktu maka akan didapatkan:

dt

(42)

25

λα mengindikasikan tingkat penurunan kontribusi pekerja sektor pertanian dan

) 1 ( ) 1

(λ− αPsPs mengindikasikan peningkatan kontribusi pekerja sektor jasa. Pada

negara miskin nilaiPa cukup besar, maka pertidaksamaan (2.29) terpenuhi dan

kontribusi pekerja sektor industri akan meningkat (dPi dt>0). Proses

pembangunan selanjutnya bisa menurunkan Pa dan pertidaksamaan (2.29) akan

berubah tanda menjadi “<” sehingga pada saat ini kontribusi pekerja sektor industri akan mulai menurun. Gambar 5 menunjukkan perubahan kontribusi pekerja untuk sektor pertanian, industri dan jasa berdasarkan waktu dan pendapatan per kapita.

Kontribusi output sektor manufaktur terhadap real output total adalah

( )

Gambar 5 Proporsi pekerja sektor pertanian, manufaktur dan jasa terhadap total pekerja (persen)

Kontribusi output sektor manufaktur ini meningkat dengan cepat pada tahap awal pembangunan dan seiring perjalanan waktu akan konvergen menuju batas atas

tertentu (Gambar 6). Oleh karena itu, pada perekonomian yang telah maju kontribusi output sektor manufaktur menjadi stabil pada titik tertentu sedangkan proporsi pekerja yang bekerja di sektor manufaktur semakin berkurang karena produktivitas sektor ini semakin meningkat.

(43)

Sumber: IMF (1997)

Gambar 6 Proporsi output sektor manufaktur terhadap real output (persen)

2.2 Tinjauan Empiris

Beberapa studi empiris tentang deindustrialisasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian tersebut diantaranya sebagai berikut. Bagian 2.2.1 sampai dengan 2.2.7 membahas penelitian khusus tentang deindustrialisasi sedangkan sisanya merupakan penelitian lain yang dapat mendukung analisis penulis tentang deindustrialisasi.

2.2.1 Deindustrialisasi pada Negara-Negara OECD

IMF Working Paper (IMF 1997) yang berjudul “Deindustrialization: Causes and Implications” menyatakan bahwa deindustrialisasi bukan merupakan fenomena negatif, tapi merupakan konsekuensi dari dinamika industri pada sebuah negara yang telah maju. Negara-negara yang menjadi fokus penelitian adalah 21 negara dari 23 negara OECD (negara industri berdasarkan World Economic Outlook). Negara yang tidak dimasukkan dalam analisis adalah Luxemburg dan Iceland. Data yang digunakan mencakup beberapa titik waktu yaitu tahun 1963, 1970, 1975, 1980, 1985, 1990 dan 1994.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya deindustrialisasi di negara-negara OECD adalah pertumbuhan produktivitas relatif, neraca perdagangan (trade balance), investasi, dan beberapa faktor lainnya. Produktivitas relatif dihitung berdasarkan produktivitas sektor manufaktur dibagi dengan produktivitas sektor jasa. Variabel dependen yang digunakan adalah proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja dalam satuan persen. Metode analisis yang digunakan adalah regresi data panel. Tulisan tersebut menggunakan beberapa persamaan regresi data panel dalam analisisnya. Kesimpulan dari beberapa

(44)

27

simulasi yang dilakukan didapatkan empat faktor yang dapat menjelaskan terjadinya deindustrialisasi di negara-negara industri. Tabel 4 merupakan ringkasan hasil analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di negara-negara OECD dengan periode analisis tahun 1970 - 1994. Pertumbuhan produktivitas relatif adalah faktor yang pengaruhnya paling penting dalam menjelaskan terjadinya deindustrialisasi di negara-negara OECD.

Tabel 4 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis deindustrialisasi di negara-negara OECD

Jenis Variabel Nama Variabel

Variabel dependen Kontribusi (share) pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen)

Variabel independen

1.Pertumbuhan produktivitas relatif

2.Pangsa neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor) dalam PDB

3.Pangsa investasi dalam PDB 4.Faktor lainnyaa)

a) Faktor lainnya adalah perubahan pola konsumsi, perubahan kontrak kegiatan yang sebelumya dilakukan di sektor manufaktur ke sektor jasa, efek perdagangan North-South dan pengaruh faktor lain yang tidak teridentifikasi.

Tanda positif (+) dan negatif (-) yang terletak di sebalah kanan variabel independen menandakan arah hubungan antara variabel dependen dan independen.

Tulisan tersebut juga membahas implikasi dari adanya deindustrialisasi. Pada saat proses deindustrialisasi terus berlanjut, produktivitas total akan tumbuh berdasarkan pertumbuhan produktivitas sektor jasa (sesuai dengan persamaan (2.22)). Hal ini menyebabkan peningkatan standar hidup selanjutnya akan dipengaruhi oleh pertumbuhan produktivitas sektor jasa. Deindustrialisasi juga mengimplikasikan bahwa peranan serikat perdagangan (trade unions) dapat berubah pada perekonomian yang telah maju. Perubahan peranan tersebut terjadi dalam hal penentuan standar upah pekerja. Pada perekonomian yang telah maju, serikat perdagangan sulit menentukan standar upah sektor jasa yang tepat karena sektor jasa terdiri dari bermacam-macam aktivitas dan masing-masing aktivitas memerlukan kemampuan pekerja yang berbeda-beda.

(45)

Deindustrialization” juga memfokuskan analisis deindustrialisasi di 18 negara OECD dengan periode 1963–1994 dengan metode regresi data panel. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui seberapa penting peranan faktor internal, yaitu produktivitas dan struktur demand, dalam menjelaskan fenomena deindustrialisasi. Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah:

log log ∑ (2.31)

log log ∑ (2.32)

log log log log ∑ (2.33)

log log log (2.34)

log log log ∑ (2.35)

log log log ∑ (2.36)

, , , ; , , , , (2.37)

Keterangan:

= produktivitas pekerja sektor manufaktur relatif terhadap produktivitas pekerja total semua sektor perekonomian

= harga barang manufaktur relatif terhadap indeks harga umum

= proporsi nilai tambah riil sektor manufaktur terhadap PDB riil

= proporsi jumlah pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja

= pendapatan per kapita

= variabel-variabel lain yang ditambahkan untuk melihat pengaruh perdagangan luar negeri dan faktor internal lainnya

Persamaan (2.34) akan berlaku jika unit pengukurannya tepat.

(46)

29

Variabel LDCIMP digunakan untuk mengetahui efek kompetisi barang manufaktur yang berasal dari negara dengan tingkat upah rendah pada negara maju. Satu variabel yang ditambahkan lagi adalah persentase nilai bruto investasi modal tetap domestik (FIXCAP) terhadap PDB. Alasan memasukkan variabel ini karena investasi barang modal bersifat manufacturing-intensive sehingga semakin banyak investasi akan menyebabkan demand terhadap produk manufaktur menjadi lebih besar dibanding demand produk selain manufaktur.

Hasil penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a. Peningkatan pendapatan per kapita dapat meningkatkan produktivitas pekerja sektor manufaktur. Hasil ini sesuai dengan Engel’s Law dimana peningkatan pendapatan perkapita meningkatkan demand terhadap produk manufaktur dan hal ini pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan produktivitas pekerja sektor manufaktur.

b. Tingkat harga relatif barang manufaktur utamanya dipengaruhi oleh perubahan produktivitas pekerja sektor manufaktur. Semakin tinggi produktivitas pekerja sektor manufaktur maka harga relatif barang manufaktur akan semakin rendah.

c. Elastisitas demand terhadap produk manufaktur bernilai di atas satu untuk negara miskin dan akan menurun ketika negara itu menjadi negara kaya. Hal ini berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan keeratan hubungan antara variabel OUTSHARE dan Y.

d. Pengaruh harga relatif barang manufaktur terhadap demand barang manufaktur tidak pasti. Pernyataan ini berdasarkan hasil analisis yang berbeda ketika metode analisis yang digunakan berbeda.

e. Persentase pekerja sektor manufatur terhadap total pekerja akan terus meningkat pada tahap awal pertumbuhan dan akan menurun pada saat pendapatan per kapita mencapai level yang tinggi.

f. Variabel FIXCAP mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap EMPSHARE dan OUTSHARE. Hal tersebut bisa disebabkan oleh pengaruh investasi modal tetap dapat dirasakan setelah beberapa periode setelah

(47)

g. Variabel perdagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap produktivitas pekerja sektor manufaktur, harga relatif barang manufaktur, persentase nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB, dan persentase pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja.

Kesimpulan umum yang didapat dari penelitian tersebut adalah deindustrialisasi yang terjadi pada beberapa negara maju lebih disebabkan oleh faktor internal perekonomiannya yaitu produktivitas dan struktur demand.

Jurnal yang ditulis oleh Rowthorn dan Coutts (2004) dengan judul “ De-industrialisation and the balance of payments in advance countries” juga berfokus pada negara-negara OECD juga. Penelitian ini mendefinisikan deindustrialisasi

sebagai penurunan kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja. Pada jurnalini dijelaskan apa yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi pada negara-negara maju. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah adanya spesialisasi, perubahan pola konsumsi yang mengacu pada Engel’s Law, produktivitas pekerja sektor manufaktur yang tinggi, perdagangan internasional dan investasi.

Jumlah negara yang dicakup dalam analisis sebanyak 23 negara dengan tahun analisis dari tahun 1963 sampai dengan tahun 2002. Metode ekonometrik yang digunakan adalah regresi data panel. Model dasar regresi data panel yang digunakan adalah:

log log ∑ (2.38)

Variabel EMPSHARE merupakan kontribusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja, Y adalah pendapatan per kapita, dan Z adalah variabel lain. Variabel lain yang turut mempengaruhi EMPSHARE tersebut adalah TRADEBAL, LDCIMP, OPEN, IMPCHINA, FIXCAP, dummy negara. Variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur pengaruh perdagangan internasional antara lain

(48)

31

persamaan regresi dalam bentuk persentase terhadap PDB atas dasar harga berlaku.

Hasil analisisnya sesuai dengan penelitian IMF (1998) dimana faktor internal mempunyai pengaruh lebih dominan dalam menjelaskan terjadinya deindustrialisasi. Faktor internal tersebut antara lain pendapatan per kapita dan investasi. Peningkatan pendapatan per kapita berhubungan dengan elastisitas

demand terhadap produk manufaktur, produktivitas dan perubahan harga relatif barang manufaktur. Pengaruh perdagangan luar negeri cukup signifikan tapi relatif kecil jika dibandingkan pengaruh faktor internal terhadap terjadinya deindustrialisasi.

Selain itu, jurnal ini juga membahas secara khusus kasus deindustrialisasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Pada kedua negara ini terjadinya deindustrialisasi justru dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Rowthorn dan Coutts (2004) membandingkan produktivitas dan perdagangan internasional dari kedua negara ini. Produktivitas yang diukur dengan log output per kapita di AS secara umum lebih besar dibanding dengan di Inggris. Sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2003, produktivitas di kedua negara semakin meningkat. Perbandingan kondisi balance of payments (neraca pembayaran) antara AS dan Inggris dapat dilihat pada Gambar 7. Perkembangan neraca pembayaran pada kedua negara tersebut relatif sama yaitu mulai defisit pada awal tahun 1980-an.

Gambar 7 Perkembangan neraca pembayaran AS dan Inggris 1965 – 2003

B

a

lance of payments

(% te

rh

ad

ap

PD

B)

(49)

Penelitian IMF (1997), IMF (1998) serta Rowthorn dan Coutts (2004) menunjukkan bahwa deindustrialisasi yang terjadi pada negara-negara OECD adalah deindustrialisasi positif yang merupakan konsekuensi dari proses pembangunan yang telah maju sehingga tidak menimbulkan efek yang buruk bagi kondisi perekonomian. Deindustrialisasi yang terjadi pada negara maju tersebut lebih diakibatkan oleh faktor internalnya dibandingkan faktor eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah pendapatan per kapita dan investasi. Pendapatan per kapita berhubungan dengan elastisitas demand terhadap produk manufaktur dan produktivitas sektor manufaktur. Tingginya tingkat produktivitas sektor manufaktur berdampak baik pada perkembangan sektor selain manufaktur. Hal ini

sejalan dengan hukum pertumbuhan Kaldor yang menyebutkan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur dapat menjadi pemicu bagi pertumbuhan sektor lainnya sehingga didapatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Faktor eksternal yang berupa hubungan perdangan luar negeri turut menyebabkan terjadinya deindustrialisasi akan tetapi pengaruhnya sangat kecil dibandingkan faktor internalnya.

2.2.2 Deindustrialisasi di Sub-Saharan Africa

Penelitian yang dilakukan Jalilian dan Weiss (2000) bertujuan menganalisis terjadinya deindustrialisasi di Sub-Saharan Africa (SSA). Negara yang dicakup dalam analisis tersebut adalah 86 negara termasuk 16 negara SSA dengan periode waktu tahun 1975 sampai dengan tahun 1993. Akan tetapi pada beberapa persamaan regresi hanya menggunakan 65 negara karena keterbatasan data yang tersedia. Metode analisisnya menggunakan pendekatan regresi data panel. Model dasar yang digunakan adalah:

MANVA = f (GDP, POP, POL, N, DV) (2.39) + + + - ?

MANSH = f (GDPCP, POP, POL, N, DV) (2.40) + + + - ?

Keterangan:

MANVA = nilai tambah sektor manufaktur

MANSH = proporsi nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB

(50)

33

GDPCP = PDB per kapita POP = total penduduk

POL = variabel kebijakan perdagangan luar negeri yang menggambarkan keterbukaan hubungan perdagangan luar negeri

N = ukuran sumber daya alam (natural resource endowment) yang didekati dengan proporsi nilai ekspor komoditas primer terhadap total nilai ekspor

DV = beberapa variabel dummy untuk memebedakan karakteristik regional atau negara dan karakteristik periode waktu tertentu

Uji formal deindustrialisasi oleh Jalilian dan Weiss (2000) mengikuti aturan

berikut:

a. Jika menggunakan persamaan (2.40) maka suatu negara atau wilayah mengalami deindustrialisasi jika proporsi nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB lebih kecil daripada nilai prediksinya dan juga penyimpangannya itu terus bertambah sepanjang waktu.

b. Jika menggunakan persamaan (2.39) maka suatu negara atau wilayah mengalami deindustrialisasi jika nilai tambah sektor manufaktur lebih kecil daripada nilai prediksinya dan juga penyimpangannya itu terus bertambah sepanjang waktu.

Jalilian dan Weiss (2000) menggunakan residual dari persamaan regresi data panel untuk melihat penyimpangan variabel MANSH dan MANVA dari nilai prediksinya. Negara yang mempunyai outlier residual bernilai negatif artinya mengalami under-industrialized dan yang memiliki outlier residual bernilai positif artinya mengalami over-industrialized. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 16 negara SSA terdapat 7 negara yang memiliki outlier residual bernilai negatif dan terus berkembang sepanjang waktu. Negara yang memiliki outlier residual bernilai negatif tersebut dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi negatif.

2.2.3 Deindustrialisasi di India

(51)

di India. Latar belakang penelitian tersebut adalah adanya fenomena beberapa di negara berkembang seperti pertumbuhan sektor jasa yang lebih cepat dibanding sektor manufaktur, munculnya gejala deindustrialisasi yang diikuti dengan rendahnya pendapatan per kapita, penurunan jumlah pekerja di sektor formal dan meluasnya sektor informal.

Penelitian Dasgupta dan Singh (2005) menggunakan Kaldorian Framework dalam menganalisis peranan sektor pertanian, manufaktur dan jasa. Model regresi

cross-section yang digunakan terdiri dari:

log log (2.41)

log log (2.42)

log log (2.43)

log log log (2.44)

Persamaan (2.41) sampai dengan (2.43) digunakan untuk menganalisis hukum Kaldor pertama. Persamaan (2.44) digunakan untuk menganalisis hukum Kaldor kedua dan ketiga. Unit analisis dibagi menjadi dua. Kelompok pertama adalah 30 negara berkembang dengan tahun analisis 1980, 1990, dan 2000. Kelompok kedua adalah 29 negara bagian India dengan tahun analisis 1993/1994 dan 1999/2000 dan juga memisahkan antara sektor manufaktur yang terdaftar (registered manufacturing) dan tidak terdaftar (un-registered manufacturing). Hasil analisis sepenuhnya mendukung hukum pertumbuhan Kaldor utamanya sektor manufaktur adalah mesin bagi pertumbuhan ekonomi. Alasan mengapa pertumbuhan sektor jasa yang relatif cepat disebabkan oleh pertumbuhan sektor manufaktur yang

mempengaruhi pertumbuhan sektor jasa. Contoh sektor jasa yang sangat erat hubungannya dengan sektor manufaktur adalah sektor perdagangan dan transportasi. Menurut Dasgupta dan Singh (2005) pertumbuhan sektor jasa di bidang pengembangan teknologi informasi bukanlah dipengaruhi akan tetapi mempengaruhi pertumbuhan sektor manufaktur.

2.2.4 Deindustrialisasi pada Negara Berkembang

(52)

35

Deindustrialisasi yang terjadi di negara berkembang diikuti dengan level pendapatan yang rendah, peningkatan jumlah pengangguran, dan perluasan sektor informal dengan sangat cepat. Dasgupta dan Singh (2006) menggunakan enam persamaan untuk menganalisis terjadinya deindustrialisasi dengan unit analisis 48 negara untuk periode 1990–2000. Persamaan-persamaan tersebut dianalisis menggunakan metode regresi data panel. Tabel 5 adalah ringkasan ketujuh persamaan beserta hasil analisisnya.

Tabel 5 Ringkasan analisis deindustrialisasi oleh Dasgupta dan Singh (2006)

Jenis analisis Hasil analisis

Pertumbuhan sektoral dan PDB dalam analisis Kaldorian (Kaldor’s dor’s second and third law)

- Koefisien regresi untuk tidak signifikan secara statistik Keterangan:

: pertumbuhan PDB (persen)

: perumbuhan nilai tambah sektor manufaktur (persen) : perumbuhan nilai tambah sektor pertanian (persen) : perumbuhan nilai tambah sektor jasa (persen)

: perumbuhan produktivitas pekerja (persen)

: perumbuhan pekerja sektor selain manufaktur (persen) : perumbuhan pekerja sektor pertanian (persen)

: kontibusi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (persen) : bentuk logaritma natural dari PDB

: bentuk kuadrat dari

: proporsi gross fixed capital dalam PDB (persen)

Gambar

Gambar 1  Proporsi pekerja sektor manufaktur dan jasa terhadap total  pekerja di beberapa negara maju (persen)
Gambar 2. Proporsi nilai tambah sektor manufaktur dan jasa dalam PDB  atas dasar harga berlaku di beberapa negara maju (persen)
Tabel 1   Kondisi  perekonomian  Indonesia berdasarkan kriteria negara  industri (persen) 1 Indikator  Syarat  negara  industri  Kondisi perekonomian Indonesia  2000 2005 2008  1
Gambar 3 Perbandingan pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan 2000  dengan pertumbuhan nilai tambah sektor manufaktur tahun  1960–2008 (persen)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis present valued selama periode 2008 hingga 2012 perbandingan harga pasar dengan nilai intrinsiknyamenghasilkan posisi saham dari perusahaan

ANALISIS PENILAIAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR SEKTOR CONSUMER GOODS DENGAN PENDEKATAN EVA ( ECONOMIC VALUE ADDED) DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2O10-2013

ANALISIS SEKTOR BASIS EKONOMI DALAM PENENTUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN SOLOK DENGAN

Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antar sektor terhadap kesembilan sektor perekonomian di Provinsi Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

Hasil analisis menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2006 dan 2010 tidak terjadi perubahan struktur pada perekonomian Jawa Timur, sektor-sektor ekonomi tidak menunjukkan

Hasil analisis menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2006 dan 2010 tidak terjadi perubahan struktur pada perekonomian Jawa Timur, sektor-sektor ekonomi tidak

Hasil analisis menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2006 dan 2010 tidak terjadi perubahan struktur pada perekonomian Jawa Timur, sektor-sektor ekonomi tidak

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur perekonomian Indonesia dengan menyelidiki sektor-sektor utama pada seluruh provinsi di Indonesia,