• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Konsep Keadilan Faroidh dalam Hukum Positif

1. Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia

Masuknya Islam di Indonesia sejak abad ke 7 Masehi dari tahun ketahun mulai berkembang dan dapat diterima baik oleh masyarakat Indonesia. Hal ini karena islam tidak memandang status sosial seseorang, melainkan karena ketaqwaannya. Terlebih lagi dalam kehidupan sehari-hari Islam memberikan ajaran hukum yang jelas baik dari hukum pidana ataupun perdata. Dalam keperdataan, Islam mengajarkan wakaf sebagai salah satu upaya pemberdayaan kemaslahatan umat. Dalam perkawinan, Islam mengajarkan pernikahan yang sehat dan sangat menjungjung perempuan. Dalam perkara waris, Islam mengajarkan sistem kewarisan bilateral yang sudah memberikan ketetapan pasti terhadap bagian-bagian ahli waris.

Hukum masyarakat mulai berkembang dengan kesadaran penerapan hukum Islam. Pada masa kerajaan mulai berkembang pengadilan tahkim bagi orang Islam yang bersengketa. Tahkim lahir dan tumbuh bukan atas dekrit penguasa. Namun demikian sekalipun tahkim merupakan wadah informal, putusan yang dijatuhkannya, diikuti masyarakat sebagai sesuatu yang formal. Buktinya, setiap kali timbul sengketa di tengah-tengah kehidupan masyarakat, selalu mencari penyelesaian dan “tahkim” seorang ulama atau kyai (Harahap, 2003:21).

Terhadap penyelesaian perkara, hukum yang digunakan adalah kitab-kitab fiqh. Hukum Islam telah diangkat menjadi hukum formal dan hukum materiil dalam perkara perkawinan, hibah wakaf, dan warisan. Walaupun

35

pada masa kesultanan telah berdiri secara foramal Peradilan Agama serta status ulama memefgang peranan sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hhukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih tetap abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fikih (Harahap, 2003:22).

Perkembangan selanjutnya ketika masa pendudukan VOC di Indonesia. VOC memerankan dalam bidang perdagangan dan pemerintahan, juga menentukan kebijakan dalam hukum dan peradilan. Kebijakan yang dihasilkan tidak berjalan baik di masyarakat karena masyarakat menganggap hal itu tidak selaras dengan ajaran agama islam. Kemudian pada tahun 1642 VOC mengeluarkan Statuta Batavia. Salah satu isinya adalah “mengenai soal hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam, harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari” (Harahap, 2003:22), dan pada tahun 1760 VOC mulai menggunakan kitab hukum yang disebut dengan Compendium Freijer

sebagai rujukan hukum oleh pengadilan dalam masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC. Hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaan pada Hindia Belanda, dan compendium tidak berlaku lagi.

Pada tahun 1808 dikeluarkan Intstruksi Pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati, yang isinya bahwa terhadap urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan, pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan,

36

dengan syarat tidak ada penyalahgunaan (Muhibbin&Wahid. 2009:163). Kemudian terhadap putusan pemuka agama tersebut harus diperoleh persetujuan dari pengadilan umum. Inilah masa berkembangnya teori

receptio in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. van Den Berg, yaitu hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jadi bagi orang yang beragama Islam berlaku hukum Islam pula. Teori ini memperoleh landasan hukum melalui Staatsblad 1855 No.2

Sejalan dengan politik Hindia Belanda teori receptio in complexu ini memperoleh perlawanan yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgrounje melalui teori receptie, sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Ke dalam hukum adat bisa masuk elemen hukum Isalm. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan berlaku kalau sudah masuk kedalam dan diterima menjadi hukum adat (diresepsi) (Muhibbin&Wahid. 2009:165). Dengan adanya teori ini kewenangan Pengadilan Agama dirubah dalam Staatsblad 1937 No. 116 yang berusaha menyingkirkan peran hukum Islam. Dalam Staatsblad itu memuat rekomendasi:

- Hukum warisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat

- Mencabut wewenang pengadilan agama (Raad Agama) untuk mengadili masalah warisan, dan wewenang itu dialihkan kepada Landraad

- Pengadilan agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad

- Putusan pengadilan agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir verklaaring dari ketua Landraad (Harahap, 2003:23).

37

Dan kewenangan pengadilan agama dibatasi pada perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan hakim agama Islam, member keputusan perceraian, menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya takilik talak sudah ada, perkara mahar, dan perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami (Muhibbin&Wahid. 2009: 44). Sehingga masalah waris, wakaf, hadhonah menjadi kompetensi Pengadilan Umum.

Tetapi dalam pelaksanaan Staatsblad 1937 No. 116 pengadilan umum masih meminta fatwa kepada hakim pengadilan agama dalam pembagian waris, kemudian barulah hakim pengadilan umum mengeluarkan putusan. Hal ini berjalan hingga Indonesia mempunyai undang-undang tentang peradilan agama, yaitu UU No. 7 Tahun 1989. Dengan adanya undang-undang ini kedudukan peradilan agama dalam sistem peradilan semakin kuat dan mandiri dalam kewenangan mengadilinya. Hukum Islam mulai mendapatkan tempat kembali.

2. Pengertian Waris Menurut UU No 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Sebelum UU No 3 Tahun 2006, waris telah menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam UU No 7 Tahun 1989 pasal 49 disebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

38

beragama islam dibidang (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam, (c) wakaf dan shodaqoh”. Kemudian dalam penjelasan pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 mendefinisikan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. KHI pasal 171

Aturan-aturan lain mengenai waris terdapat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 buku II Kompilasi Hukum Islam tentang hukum kewarisan. KHI mendefinisikan Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta:

a. peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang

39

e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Letak perbedaan antara waris menurut hukum positif dan faroidh

adalah jika dalam faroidh tidak dikenal waris terhadap harta bersama, lain halnya dengan hukum positif di Indonesia. Dalam pasal 96 KHI me/nyebutkan apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersam menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

3. Pengadilan Agama Sebagai Lembaga Pelaksana Hukum Positif a. Pembagian waris menurut KHI

Pada perkara waris di Pengadilan Agama, jangkauan kewenangan mengadili perkara warisan meliputi seluruh bidang hukum waris Islam. Bidang kewarisan yang dimaksud meliputi penentuan siapa-siapa yang memnjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Dalam bukunya, Harahap (2003:149) menerangkan secara ringkas tentang kewenangan tersebut. Yaitu:

1) Terhadap siapa-siapa yang menjadi ahli waris, yang perlu diperhatikan adalah:

a) Penentuan kelompok ahli waris

Pasal 174 KHI menyebutkan kelompok ahli waris menurut hubungan darah terdiri dari golongan laki-laki dan perempuan.

40

Golongan laki terdiri dari ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek..golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.kelompok ahli waris menurut hubungna parkawinan meliputi duda atau janda.

b) Penentuan siapa yang berhak mewarisi c) Penentuan yang terhalang menjadi ahli waris

Diatur dalam pasal 173 KHI yang berbunyi “seorang terhalang menjadi ahli warisapabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetapdihukum karena: (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris, (b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

d) Menentukan hak dan kewajiban ahli waris, terutama kewajiban yang berkenaan dengan mengurus pemakaman, menyelesaikan utang piutang si pewaris, menyelesaikan wasiat si pewaris, melakukan pembagian harta warisan (harta peninggalan) diantara para ahli waris yang berhak.

2) Penentuan mengenai harta peninggalan

Hal-hal yang termasuk ke dalam masalah penentuan harta peninggalan meliputi segi-segi:

41

i. Semua harta yang ditinggal pewaris ii. Berupa hak milik kebendaan

iii. Atau hak milik lain yang tidak betupa benda

b) Penentuan besarnya harta warisan ialah penjumlahan dari harta

tirkah ditambah dengan apa yang menjadi haknyadari harta bersama dikurangi biaya keperluan jenazah dan hutang pewaris dan wasiat.

3) Terhadap penentuan bagian masing-masing ahli waris

Aturan yang dipakai dalam pembagian waris di lingkungan peradilan agama mengacu pada bagian-bagian waris yang ditetapkan dalam KHI. Porsi masing-masing ahli waris dalam KHI adalah sebagai berikut:

a) Anak perempuan

- Bila sendiri mendapat ½ bagian

- Bila dua orang atau lebih mendapat 2/3 bagian - Bersama saudara laki-lakinya, bagiannya adalah 2:1 b) Ayah

- Mendapat 1/3 jika pewaris tidak menginggalkan anak - Mendapat 1/6 jika pewaris meninggalkan anak c) Ibu

- Mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih

42 d) Janda

- Mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak - Bila ada anak mendapat 1/8 bagian

e) Duda

- Mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak - Bila ada anak mendapat ¼ bagian

f) Saudara laki-laki

- Mendapat 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah

- Bila dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian g) Saudara perempuan seibu

- 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah - Dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian 4) Melaksanakan pembagian harta peninggalan

Dalam masalah pelaksanaan pembagian waris, pembagian dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan dan pembagian berdasarkan permohonan pertolongan. Peran pengadilan dalam pelaksanaan pembagian warisan yaitu:

a) Pembagian berdasarkan putusan pengadilan

Termasuk fungsi kewenagan Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas eksekusi. Eksekusi dapat dilakukan dengan syarat:

43

i. Putusan yang bersangkutan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap

ii. Putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut mengandung amar atau diktum yang bersifat condemnatoir. b) Pembagian berdasarkan permohonan pertolongan

Dasar hukum pembagian berdasarkan permohonan pertolongan adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan agama adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan umum. Ketika peradilan umum menggunakan HIR dan RBG, maka peradilan agama pun juga berlaku hukum acara yang sama, yaitu kewenanga Pengadilan Agama melakukan pembagian harta warisan berdasar pasal 236 a HIR dengan syarat dan tata cara:

i. Harta warisan yang hendak dibagi di luar sengketa di pengadilan ii. Ada pemohon minta tolong dilakukan pembagian dari seluruh

ahli waris

Jika pemohon hanya terdiri dari sebagian ahli waris saja, pengadilan tidak bias menggunakan pasal 236 a HIR.

b. Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Perkara Waris 1) Kompetensi pengadilan agama

Dalam lingkungan peradilan, pada masing-masing lingkungan terdapat kompetensi untuk membedakan kekuasaan mengadilinya. Kompetensi itu terdiri dari kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

44 a) Kompetensi relatif.

Diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Djalil, 2006:138). Wewenang reltif berguna agar seseorang tidak salah tempat (wilayah) dalam mengajukan perkara.

b) Kompetensi absolut

Yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (Djalil, 2006:138). Sesuai aturan UU No.3 Tahun 2006, pasal 49 menerangkan kewenangan pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dibidang perkawin, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Kegunaan dari wewenang absolut adalah agar seseorang tidak salah dalam mengajukan perkara.

2) Asas-asas peradilan agama a) Asas personalita keislaman

Merupakan asas pertama yang wajib dalam lingkungan peradilan agama. Karena dalam penerapan asas ini kedua belah pihak harus beragama Islam. Jika salah satu pihak tidak beragama Islam, sengketa tidak dapat ditundukkan kepada lingkungan peradilan

45

agama, dan menjadi wewenang pengadilan umum. Begitu pula dengan hubungan hukumnya juga harus mengunakan hukum Islam.

b) Asas kebebasan

Dasar hukum asas kebebasan tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1970 pasal 1. Dijelaskan bahwa “kekuasaaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Yahya Harahap (2003) memberikan pengertian dari pasal tersebut bahwa:

- kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan “yudikatif”.

- Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan bertujuan agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan dan agar penyelenggaraan kehidupan bernegara benar-benar berdasarkan hukum, Karen Indonesia adalah negara hukum.

Juga dapat diartikan tujuan utama kemerdekaan yang diberikan kepada badan peradilan agar para pejabat fungsional (para hakim) yang memeriksa dan memutus perkara benar-benar

46

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum dan kebenaran sesuai dengan hati nurani.

c) Asas wajib mendamaikan

Hakim berkewajiban mendamaikan para pihak yang bersengketa karena dalam perdamaian itu tidak ada pihak yang menang dan pihak yang kalah karena perdamaian itu berdasarkan keikhlasan hati para pihak. Ajaran ini mengacu pada ajaran Islam yang menyuruh menyelesaikan perselisihan dengan islah. Kemudian hakim dalam menjalankan profesinya, usaha untuk mendamaikan sebatas dalam memberikan anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberikan bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta kedua belah pihak.

d) Asas sederhana, cepat, biaya ringan

Makna dan tujuan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, bukan hanya menitik beratkan unsur kecepatan dan biaya ringan serta pemeriksaan perkara yang sederhana dalam arti asal-asalan. Asas ini dipergunakan untuk menerapkan keseimbangan antara fungsi proses pemeriksaan yang cepat tetapi hukum yang diterapkan tidak pas, dan keseimbangan antara kegunaan penerapan hukum yang pas tetapi dengan waktu yang tidak dapat dipastikan putusan tersebut.

47

e) Asas persidangan terbuka untuk umum

Maksud dari persidangan terbuka untuk umum adalah memperkenankan setiap pengunjung untuk menghadiri dan mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak membatasi dan tidak melarang siapa saja tanpa kecuali sesuai dengan batas-batas kemampuan ruang sidang. Karena persidangan terbuka untuk umum, maka tujuan dari asas ini adalah agar tidak ada pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Sisi lain kegunaan persidangan terbuka untuk umum sebagai edukasi yang dapat menjadi bahan informasi bagi anggota masyarakat tentang suatu kasus.

Dalam pelaksanaannya tidak semua persidangan terbuka untuk umum. Persidangan terbuka untuk umum dikecualikan pada perkara perceraian dan perkara khusus yang diatur oleh undang-undang. Namun pembacaan putusan pun harus dalam siding yang terbuka untuk umum. Jika dalam persidangan atau pembacaan putusan tidak dilakukan dalam siding terbuka untuk umum, maka mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusan batal demi hukum.

f) Asas legalitas dan persamaan

Asas legalitas dan persamaan adalah asas penting dalam terciptanya keadilan, karena keadilan akan tercapai jika dilaksanakan menurut hukum yang berlaku. Dan hukum akan berlaku maksimal jika penerapannya tidak tercampuri oleh

48

kepentingan sepihak, maka dari itu fungsi asas persamaan (equality) adalah menyamakan setiap orang yang ada dalam persidangan mempunyai hak dan kedudukan yang sama.

Patokan dalam penerapan asas equality adalah:

1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before the law

2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law

3) Mendapat perlakuan yang sama dibawah hukum atau equal justice under the law (harahap, 2003:86).

g) Asas aktif memberi bantuan

Asas ini berlaku dengan syarat sifat hukumnya antara imperative dn anjuran, pemberianbantuan terbatas padamebantu membuat gugatan bagi yang buta huruf, member pengarahan tatacara izin “prodeo”, menyarankan penyempurnaan surat kuasa, menganjurkan perbaikan surat gugatan, member penjelasan alat bukti yang sah, memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban, bantuan memanggil saksi secara resmi, member bantuan upaya hukum, memberi penjelasan tatacara verzet dan rekonvensi, serta mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian

49

c. Dasar Pembagian Waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 174

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah:

1) golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

2) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. 2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 96

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama

50 BAB III

Dokumen terkait