• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632Pdt.G2007PA.Amb) Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632Pdt.G2007PA.Amb) Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

i

PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN

WARIS DI PENGADILAN AGAMA

(Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)

Disusun untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

AINA SUFYA FUAIDA

NIM 21108010

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

(2)

ii

KEMENTERIAN AGAMA RI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga

http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail: akademik@stainsalatiga.ac.id Dra. Siti Zumrotun, M. Ag

Dosen STAIN Salatiga

PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Saudara Aina Sufya Fuaida

Kepada Yth,

Ketua STAIN Salatiga di Salatiga

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : Aina Sufya Fuaida

NIM : 21108010

Jurusan : Syari’ah

Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Judul :PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM

PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)

Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Salatiga, Desember 2012 Pembimbing,

(3)

iii SKRIPSI

PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS

DI PENGADILAN AGAMA

(Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)

DISUSUN OLEH

AINA SUFYA FUAIDA

NIM: 21108010

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 14 Desember 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat

guna memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : H. agus waluyo, M. Ag Sekretaris Penguji : Ilyya Muhsin, S.H.I. M.Si Penguji I : Evi Ariyani, S.H.,M.H. Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. Penguji III : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

Salatiga, 14 Desember 2012 Ketua STAIN Salatiga

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Aina Sufya Fuaida NIM : 21108010

Jurusan : Syari’ah

Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, Desember 2012 Yang Menyatakan,

(5)

v MOTTO

Kebenaran pasti akan menang

Tidak ada rencana buruk Tuhan untuk mencapainya

Karena keputusan Tuhan adalah yang terbaik bagi makhluknya

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan skripsi ini kepada:

1. Keluarga saya, terutama Bapak (Sahli Makhfuz) dan Ibu (Nur Anifah) yang

tak henti-hentinya memberikan dukungan dan mengalirkan do’a dalam setiap usaha yang saya lakukan. Keberhasilan ini adalah do’a yang dengan ikhlas dipanjatkannya.

2. Keluarga besar Sulaiman dan keluarga besar Makhfudz

3. Teman-teman yang selalu menginspirasi dan memotifasi. Rina, Muna, Fina,

Siti Fatimah, Ria, dan kawan-kawan lain yang dengan senang hati membantu dalam kelancaran skripsi ini

4. Ilma & Sania sebagai tombo penat J

5. Kepada semuanya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah

(7)

vii

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga Skripsi, dengan judul KONSEP KEADILAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb) telah dapat kami selesaikan. Kami ucapakan terima kasih kepada :

1. Dr. Imam Sutomo M. Ag, selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga (STAIN).

2. Ilyya Muhsin, S.H.I. M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.

3. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dosen pembimbing.

4. Dosen-dosen yang dengan sabar mengampu kelas AHS’08

5. Segenap Hakim, Panitera, serta Pegawai Pengadilan Agama Ambarawa yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

6. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan do’a sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Teman-teman, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya, sehingga saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini sangat dibutuhkan.

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis sendiri pada khususnya. Amin…

(8)

viii ABSTRAK

Sufya Fuaida, Aina. 2012. PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb). Skripsi. Jurusan Syariah. Program Studi Al-Ahwal Al- Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

Kata kunci: Pelaksanaan, Pembagian Waris, Pengadilan Agama

Penelitian dilakukan dengan dasar untuk mengetahui penerapan KHI dalam pembagian waris di Pengadilan Agama dan penerapan terhadap putusan hakimdalam putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Fokus penelitian yang ingin penulis jawab adalah (1) bagaimana pembagian waris dalam perkara nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa (2) bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb (3) bagaimana pelaksanaan putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Untuk menjawab pertanyaan tersebut pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan arsip putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb, wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dan salah satu pihak perkara tersebut. Sumber data lain adalah UU No.3 Th.2006, Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan buku-buku yang mendukung penelitian ini.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa objek sengketa waris yang dimaksud ditetapkan sebagai harta bersama karena tidak ada bukti bahwa harta tersebut telah dibagi. Pembagian waris dilakukan setelah dilakukan pembagian harta bersama. Terhadap dasar-dasar yang telah sesuai dalam putusan, pihak keluarga telah melakukan pembagian waris berdasar putusan.

(9)

ix DAFTAR ISI

JUDUL...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

PENGESAHAN KELULUSAN...iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...iv

MOTTO...v

PERSEMBAHAN...vi

KATA PENGANTAR...vii

ABSTRAK...viii

DAFTAR ISI...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Fokus Penelitian...5

C. Tujuan Penelitian...5

D. Kegunaan Penelitian...5

E. Penegasan Istilah...7

F. Telaah Pustaka………..8

G. Kerangka teori………11

H. Metode Penelitian………...13

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian...13

(10)

x

3. Lokasi Penelitian...14

4. Sumber Data...15

5. Prosedur Pengumpulan Data...16

6. Analisis Data...17

7. Pengecekan Keabsahan Data...17

8. Tahap-tahap Penelitian...18

I. Sistematika Penulisan...18

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Waris dalam Ilmu Faroidh...20

1. Pengertian Waris menurut Kaidah Faroidh...20

2. Rukun dan Syarat Waris...21

3. Golongan ahli waris...29

4. Pembagian Waris Islam...32

B. Konsep Keadilan Faroidh dalam Hukum Positif...34

1. Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia……… 34

2. Pengertian waris menurut UU No 3 tahun 2006 dan KHI…….37

3. Pengadilan agama sebagai pelaksana hukum positif………….39

BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa…..………50

1. Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa...50

B. Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb………54

(11)

xi

3. Gambaran perkara oleh pihak penggugat………..57

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb……….57

BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis terhadap Pembagian Waris dalam Perkara Nomor

632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa………..….70 B. Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan

Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb……….. 70 C. Analisis terhadap Pelaksanaan Putusan Nomor

632/Pdt.G/2007/PA.Amb………...76 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...78 B. Saran...79

DAFTAR PUSTAKA

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia sangat diperlukan mengingat Indonesia adalah bekas negara jajahan, serta hukum yang berkembang dahulu adalah hukum yang mengadopsi dari hukum negara lain. Hukum tersebut dirasa kurang sesuai karena aturan yang mengacu adalah non-Islam sedangkan masyarakat Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Aturan yang berjiwa islami sangat diperlukan oleh masyarakat Islam dalam mencari keadilan sebagai warga negara yang berbangsa dan bernegara.

Hal tersebut sudah ada sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan aturan-aturan dalam pelaksanaan peradilan semakin berkembang, terbukti dengan adanya lembaga peradilan tersendiri bagi warga negara beragama Islam disertai dengan undang-undang yang mengatur dalam pelaksanaan peradilan tersebut. Diantaranya adalah Undang-Undang No. 50 tahun 2009 penyempurnaan dari Undang-undang No. 3 tahun 2006 perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama serta Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang lain yang membahas tentang zakat dan wakaf.

(13)

2

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.

Dengan adanya perkembangan undang-undang yang semakin mendukung dalam pelaksanaan peradilan agama maka penerapan hukum pun harus lebih maksimal. Dalam hal ini telah ada UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama lebih menjamin kedudukan Peradilan Agama dalam lingkungan peradilan. Perubahan-perubahan pasal pun dilakukan untuk mendukung pelaksanaan hukum Islam, seperti penerapan hak opsi dalam perkara waris dan penguatan kedudukan Peradilan Agama. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh hukum Islam yang belum terkodifikasi menjadi undang-undang, baru dalam bentuk instruksi presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991 yang terealisasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

(14)

3

kemudian timbul pertanyaan apakah putusan yang akan penulis lakukan penelitian ini telah menggunakan kaidah hukum islam tersebut atau belum, jika sudah, apakah penerapannya sudah tepat.

Lebih spesifik lagi mengenai penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada perkara waris di Pengadilan Agama Ambarawa dengan putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Berkaitan dengan telah dihapusnya hak opsi dalam perkara waris Islam, maka PA dalam memutuskan perkara juga harus menggunakan hukum Islam agar berimbang antara penghapusan dan pelaksanaan.

Hukum waris yang penulis maksud agar diterapkan secara maksimal di Pengadilan Agama adalah hukum waris islam (faroidh). Jika dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No.3 tahun 2006 “yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.” Maka Pengadilan Agama (PA) bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terhadap fakta-fakta yang ada sesuai kaidah faroidh

juga.

(15)

4

apakah telah sesuai dengan faroidh, dan hukum acara yang diberlakukannya dalam perkara waris tersebut. Pembuktian ini sangat menentukan kualitas putusan, karena kekuatan pembuktian ini mempunyai arti dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu. Apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pula (nebis in idem) (Arto, 1998:265). Karena putusan hakim sagat menentukan sebuah perkara maka pengkajian tentang adil tidaknya putusan tersebut sangat perlu diteliti lagi.

Oleh karena itu peneliti mengambil judul KONSEP KEADILAN FAROIDH DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb) yang kemudian menjadi fokus penelitiannya. Penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana penerapan hukum waris Islam serta hukum acaranya dalam penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama.

B. Fokus Penelitian

Agar penelitian ini mempunyai pembahasan yang menarik dan tidak keluar dari alur yang dibicarakan, maka penelitian ini difokuskan pada:

1. Bagaimana pembagian waris dalam perkara nomor

(16)

5

2. Bagaimana konsep keadilan hukum formil dalam persidangan

pembagian waris di Pengadilan Agama aplikasi terhadap putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb?

C. Tujuan Penelitian

Dari fokus penelitian yang dilakukan, penelitian ini ditujukan untuk: 1. Untuk mengetahui pembagian waris dalam perkara nomor

632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa.

2. Untuk mengetahui konsep keadilan dalam hukum acara serta hukum

materiil terhadap pembagian waris di Pengadilan Agama aplikasi terhadap putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.

D. Kegunaan Penelitian

Terasa kurang bermanfaat jika penelitian yang dilakukan tidak mempunyai kegunaan. Seperti halnya penelitian yang dilakukan penulis, walaupun sederhana akan tetapi diharapkan mempunyai kegunaan seperti yang diharapkan penulis. Yaitu:

1. Bagi akademik

(17)

6

penerapan antara teori dan praktek sangat diperlukan dalam pengembangan mahasiswa.

2. Bagi mahasiswa

Mengetahui dengan jelas pratek beracara di Pengadilan Agama dan penerapannya dalam menerapkan hukum pada suatu perkara. Lebih khusus lagi, agar mahasiswa lebih mendalami pratek hukum waris Islam yang berkaitan dengan pembagian waris, pembagian waris yang kaitannya dengan hukum materiil, hukum formil, dan hukum acara di lingkungan peradilan agama.

3. Bagi masyarakat

Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang hukum, khususnya hukum perdata Islam. Karena dalam kehidupan masyarakat tentunya tidak terlepas dari masalah-masalah atau pratek hukum perdata dalam kehidupannya. Serta agar masyarakat tahu tentang perkembangan undang-undang di Indonesia yang dalam teorinya mengacu pada keadilan bagi masyarakat.

E. Penegasan Istilah

(18)

7

1. Keadilan: pernilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan

apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum (Darmodiharjo, Shidarta, 1999: 164)

2. Faroidh: pengetahuan mengenai pembagian warisan (pusaka orang yang

meninggal) menurut hukum Islam (Poerwadarminta, 2006:328)

3. Pengadilan Agama: bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.

4. Analisis: penyelidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan

sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya (Poerwadarminta, 2006:37).

5. Putusan adalah hasil atau kesimpulan akhir dari suatu pemeriksaan

perkara (Puspa, 1977: 695).

F. Telaah Pustaka

Waris merupakan salah satu bidang perdata Islam. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang penentuan harta waris, ahli waris, dan pembagian waris. Banyak penelitian yang dilakukan mengenai waris yang meliputi hal tersebut. Penelitian yang difokuskan pada bagian waris diantaranya:

- Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Waris Anak Angkat (Nor Fuad Zen:

(19)

8

- Pembagian Warisan dengan Jalan Hibah menurut Pandangan Islam

(Slamet Aryanto: 2009)

Penelitian yang difokuskan pada ahli waris diantaranya:

- Pembagian Harta Warisan bagi Keturunan Punah (Hanik Adityassari:

2009),

- Hak Waris Anak dari Proses Bayi Tabung (Isti Haryanti: 2004), - Bagian Waris Anak dalam Kandungan (Ambar Setiawati: 2004),

- Bagian Waris Anak Luar Nikah menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

(Hartati: 2002).

Penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian waris diantaranya: - Pelaksanaan Hukum Waris dalam Masyarakat Islam (Muhammad Ali

Asad: 2010),

- Hak Opsi dalam Hukum Waris di Indonesia (Nanik Dyah Anggraeni:

2001),

- Faktor-Faktor Penyebab Keengganan Masyarakat Muslim Salatiga untuk

Mengajukan Perkara Waris di Pengadilan Agama (Siti Zumrotun: 2007). Inilah beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai waris.

Kemudian yang peneliti lakukan adalah penelitian mengenai konsep keadilan dalam Pembagian Waris di Pengadilan Agama, yang meliputi hukum materiil, formil, dan hukum acara peradilan agama. Tentang penentuan harta warisan, ahli waris, dan bagian waris menurut kaidah

(20)

9

Hal yang membedakan dengan penelitian sebelumnya, dalam kaitan penerapan faroidh dan hukum positif seperti yang disebutkan dalam penelitian Nanik Dyah Anggraeni (2001) memberi tanggapan tentang hak opsi dalam pelaksanaan hukum waris di Indonesia “karena adanya keinginan sebagian anggota DPR agar hukum waris barat (BW) berlaku bagi umat Islam karena dalam hukum waris Islam saudara yang berlainan agama tidak berhak mendapat waris, serta hukum waris Islam dianggap tidak memberikan keadilan antara laki-laki dan perempuan, dalam hukum waris tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan.”

Nor Fuad Zen (2002) menyimpulkan tentang pelaksanaan wasiat wajibah terhadap anak angkat “hukum Islam memperbolehkan pengankatan anak dengan syarat tidak menimbulkan suatu ikatan kemahramanyang mengakibatkan dapatsaling menghaki dan mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tersebut tetap orang lain dan bukan termasuk ahli waris. Ajaran Islam sangat menjunjung prinsip keadilan dan kemanusiaan, memberikan jalan keluar dalam masalah kewarisan dengan member sebagian harta kepada anak angkat dengan jalan wasiat wajibah. Anak angkat berhak mendapat wasiat wajibah. Dan dalam pemberian wasiat itu harus didahulukan daripada pembagian warisan, tanpa melebihi batas bagian wasiat itu sendiri sebesar 1/3 dari harta peninggalan.”

(21)

10

harus di ajukan ke Pengadilan Agama namun tetap berdasarkan ketentuan hukum waris Islam, adanya pembagian harta sebelum pemilik harta meninggal dunia merupakan solusi terbaik untuk menghindari sengketa setelah pemilik harta meninggal dunia, dan adanya pendapat bahwa penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama sulit dan membutuhkan banyak waktu.”

Muhammad Ali Asad (2010) menyimpulkan mengenai pelaksanaan hukum waris dalam masyarakat Islam dapat dilakukan melalui pembagian warisan atas ketentuan faraidh yang berdasarkan teks Al-Qur’an atau pembagian harta berdasarkan keadilan antara laki-laki dan perempuan dengan jalan hibah pada saat pewaris (orang tua) masih hidup.

(22)

11

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

2. Pasal 2 UU No.7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa peradilan agama

merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari kedilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.

3. Penjelasan umum angka 2 alenia ketiga UU No.7 Tahun 1989

menerangkan bahwa pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh berdasarkan hukum Islam.

(23)

12

Dari ketentuan pasal 2 dan rumusan penjelasan umum angka 2 alenia ketiga UU No.7 Tahun 1989, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama

Islam

b. Perkara perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara

dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut

berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaian berdasarkan hukum Islam (Harahap, 2003: 57).

5. Penjelasan umum angka 1 alenia kedua UU No.3 Tahun 2006

perubahan UU No.7 Tahun 1989 menyatakan bahawa “para pihak sebelum berperkara dapat memepertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. Maka penegasan pada poin 5 huruf c diatas lebih dipertegas pelaksanaannya dengan adanya UU No.3 Tahun 2006.

6. Pasal 193 KHI menegaskan, apabila dalam pembagian harta warisan

diantara para ahli waris dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut sedangkan tidak ada ahli waris ashobah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

(24)

13 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

a. Pendekatan

Penelitian ini berdasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyakat yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi perundang-undangan (Ali, 2009:105). Dalam penelitian ini yang dicari adalah klarifikasi pelaksanaan pembagian waris dengan dasar KHI dan faroidh di Pengadilan Agama Ambarawa.

b. Jenis penelitian

(25)

14 2. Kehadiran Peneliti

Peneliti dalam penelitian ini melakukan wawancara secara langsung ke Pengadilan Agama Ambarawa sebagai sumber pertama yang dapat dimintai keterangan secara jelas sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang dibidang waris Islam. Serta peneliti mengkroscek keadaan sebenarnya silsilah keluarga di keluarga para pihak yang berperkara sebagai bahan analisis putusan Pengadilan Agama Ambarawa dalam penerapan pembagian waris putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian pembagian waris dan acara persidangan dilaksanakan di Pengadilan Agama Ambarawa yang terletak di Jalan Ambarawa-Yogyakarta, Dusun Ngampin, Ambarawa. Peneliti memilih lokasi ini karena Pengadilan Agama Ambarawa adalah salah satu pengadilan agama terdekat dengan tempat tinggal peneliti. Kemudian penelitian juga diadakan di Desa Baran Gembongan, Ambarawa sebagai tempat tinggal salah satu pihak yang berperkara.

4. Sumber Data

Peneliti menggunakan dua sumber data yaitu: a. Data primer

(26)

15 1) Informan

Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah salah satu Hakim Pengadilan Agama Ambarawa yang menangani perkara waris dengan putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Dan Ibu Siti Kalimah sebagai salah satu tergugat yang dirasa oleh peneliti sebagai pihak yang netral meskipun kedudukannya sebagai tergugat.

2) Dokumen

Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Arsip Putusan, yaitu arsip yang isinya tentang surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, putusan sela, relas panggilan, berita acara persidangan, foto kopi bukti tertulis dan putusan. b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen resmi (Ali, 2009:106). Data sekunder dalam penelitian ini adalah: 1) UU No.7 Th.1989 tentang Peradilan Agama.

2) UU No.3 Th.2006 peubahan atas UU No.7 Th.1989 3) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 4) Dan buku-buku yang mendukung penelitian ini.

5. Prosedur Pengumpulan Data

(27)

16

Pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah dokumentasi, wawancara, dan observasi.

a. Dokumentasi

Dokumentasi menjadi kajian pokok penelitian ini, karena penelitian ini bersumber dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Ambarawa. Dokumentasi dilakukan untuk mengamati akta putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Serta mengamati kaidah-kaidah faroidh yang digunakan dalam putusan no: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Penelitian bermula dari mengkaji isi putusan, kemudian tahap berikutnya adalah wawancara dan observasi untuk mengetahui dasar-dasar putusan.

b. Wawancara (interview)

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh pewawancara dengan orang yang diwawancarai dengan maksud untuk mendapatkan suatu kejelasan tetang suatu masalah (Moleong, 2002:135). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada para informan kunci dan informan pangkal. Informan kunci yakni para hakim yang menanggani menangani perkara waris dengan putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb dan Ibu Siti Kalimah sebagai salah satu tergugat yang bersikap netral.

c. Observasi (pengamatan)

(28)

17

pengamatan (Moleong, 2002:126). Pengamatan yang dilakukan adalah dengan mengamati silsilah keluarga dari ahli waris dalam putusan.

6. Analisis Data

Analisis lebih diitik beratkan pada putusan Pengadilan Agama Ambarawa tentang penerapan hukum dan pertimbangan hakimnya. Kemudian mengkoreksi tentang pembagian waris apakah praktek yang ada sudah sesuai dengan kaidah faroidh atau belum mengingat dalam ilmu faroidh terdapat derajat-derajat pewaris, yang mana akan dikroscek oleh peneliti kepada pihak keluarga langsung .

7. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan tehnik trianggulasi data yaitu dengan membandingkan apa yang diperintahkan perundang-undangan tentang pembagian waris dan pembagian waris secara faroidh mutlak melalui kajian pustaka. Serta data yang telah diperoleh dicek kembali kebenaran aslinya ke pihak yang berperkara.

8. Tahap-tahap Penelitian

Tahapan penelitian dalam penelitian ini dengan:

a. Observasi pendahuluan ke Pengadilan Agama Ambarawa dengan

melihat Buku Pantauan Perkara dan memutuskan pengambilan perkara.

(29)

18 c. Pengambilan salinan akta putusan.

d. Observasi di Pengadilan Agama Ambarawa dan salah satu pihak

yang berperkara. e. Analisis.

f. Kesimpulan.

I. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I Pendahuluan. Bab ini berisi: Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian, yang memuat: Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Penelitian, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian. Dan diakhir bagian pendahuluan adalah Sistematika Penulisan.

(30)

19

perkara waris, Asas-Asas Peradilan Agama, Dasar Pembagian waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).

BAB III membahas tentang Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa dan Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. yang

memuat tentang Gambaran Umum Perkara Nomor

632/Pdt.G/2007/PA.Amb, Gambaran Perkara oleh Pihak Tergugat, Gamabaran Perkara oleh Pihak Penggugat, dan Gambaran Perkara terhadap Putusan Hakim.

BAB IV berisi tentang pembahasan. Analisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara No: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb terhadap kaidah

faroid dan hukum formil serta hukum acara yang berlaku.

(31)

20 BAB II

PENGERTIAN DASAR WARIS

A.Konsep Waris Dalam Ilmu Faroidh

1. Pengertian Waris Menurut Kaidah Faroidh

Faroidh adalah bentuk jama’ dari faridhoh yang artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Mawarist adalah bentuk jama’ dari kata mirost yang artinya harta peninggalan dari orang-orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Faroidh dalam arti mawarist, hukum waris-mewaris, dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’.

Asy-Syarbaini dalam kitabnya Aghnil Muhtaj mendefinisikan faroidh

adalah ilmu fiqh yang bersangkut paut dengan pembagian harta pusaka, dan mengetahui perhitungan yang dapat menyampaikan kepada mengetahui hal tersebut dan mengetahui kadar yang wajib dari harta pusaka yang menjadi milik tiap orang yang berhak (Departemen Agama, 1986:2)

(32)

21

berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya) (Ash-Shabuni, 2007:33).

Dalam hal pembagian harta peninggalan atau tirkah pembagian waris diadakan setelah hak-hak yang berhubungan dengan tirkah terpenuhi yaitu kepentinngan pewaris yang meliputi semua biaya yang diperlukan pewaris sejak kematiannya sampai dimakamkan, pembayaran hutang pewaris, melaksanakan wasiat pewaris, serta penentuan ahliwaris. Barulah harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

2. Rukun dan Syarat Waris a. Rukun Waris

Terjadinya waris mewaris ketika terdapat: 1) Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia.

2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima

harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), atau ikatan pernikahan, atau lainnya.

3) Harta warisan, yaitu harta yang secara mutlak dimiliki oleh orang

yang meninggal semasa hidupnya. b. Syarat Waris

(33)

22

1) Meninggalnya seseorang/pewaris, menjadi syarat mutlak terjadinya

waris atau peralihan harta. Jika peralihan harta terjadi ketika seseorang masih hidup maka hal tersebut adalah hibah.

2) Ahli waris dalam keadaan hidup, jika ahli waris telah meninggal

terlebih dahulu maka itu adalah pewaris. Jika ahli waris meninggal bersamaan dengan pewaris, maka para fuqoha menyatakan mereka adalah orang yang tidak mendapat waris.

3) Diketahui posisi para ahli waris, maksudnya adalah mengetahui

silsilah jalur kekeluargaan karena akan berdampak pada bagian-bagian waris yang akan diterimanya.

4) Tidak ada halangan untuk mewaris. 3. Golongan Ahli Waris

Penggolongan ahli awaris dapat diklasifikasikan karena (1) jenis kelamin (2) pembagian yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Berdasarkan Surat An-Nisa 176 yang menyebutkan “…dan jika mereka (ahli waris terdiri atas) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…”, maka dari ayat ini yang dapat diperjelas adalah ketentuan siapa saja yang menjadi ahli waris dari golongan laki-laki dan perempuan.

(34)

laki-23

laki seibu, (8) anak laki dari saudara kandung laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki-laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak. Sedangkan ahli waris golongan perempuan ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.

Dari ahli waris tersebut diatas ketentuan yang pasti adalah pembagian 2:1 terhadap laki-laki berbanding perempuan. Jika ahli waris semua itu ada, maka terdapat ahli waris yang menghalangi hak ahli waris lain. Lebih mudahnya tersaji dalam table berikut

Tabel 2.1 Ahli Waris beserta Penghalannya

No Ahli waris Terhalang oleh

1 Kakek Bapak atau kakek yang lebih dekat

c) Cucu laki-laki dari anak laik-laki 5 Saudara

sebapak

a) Bapak b) Anak

c) Cucu laki-laki dari anak laik-laki d) Saudara sekandung

6 Saudara seibu a) Anak (laki-laki/perempuan) b) Cucu (laki-laki/perempuan) c) Bapak

d) Kakek

(35)

24 dari saudara

laki-laki sekandung

b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak

d) Kakek

e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak 8 Anak laki-laki

dari saudara laki-laki sebapak

a) Anak laki-laki

b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak

d) Kakek

e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak g) Anak saudara sekandung 9 Saudara

sekandung dari bapak

a) Anak laki-laki

b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak

d) Kakek

e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak g) Anak saudara sekandung h) Anak dari saudara sebapak 10 Saudara

sebapak dari bapak

a) Anak laki-laki

b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki c) Bapak

d) Kakek

e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak g) Anak saudara sekandung h) Anak dari saudara sebapak i) Saudara kandung dari bapak 11 Anak dari

paman sekandung

a) 9 orang dari poin 10

b) Saudara sebapak dari bapak

12 Anak lebih dari saudara laki-laki sekandung

a) 9 orang dari poin 10

b) Saudara sebapak dari bapak c) Anak dari paman sekandung 13 Cucu

perempuan dari anak laki-laki

Anak laki-laki

(36)

25

a. Ashabul furudh adalah orang yang bagian-bagian warisnya telah

ditentukan oleh nash Al-Qur’an, hadist, atau ijma’ para ulama.

Bagian-bagian yang telah ditetapkan serta ahli waris yang berhak atas bagian yang telah ditetapkan tersebut tersaji dalam table berikut: Tabel 2.2 Bagian-bagian Ahli Waris

No Bagian Ahli Waris

1 ½ a. Anak perempuan tunggal

b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki c. Saudara perempuan sekandung tunggal d. Saudara perempuan sebapak tunggal

e. Suami jika istri yang meninggal tidak ada anak 2 ¼ a. Suami jika istri yang meninggal punya anak

b. Istri jika suami tidak meninggalkan anak

3 1/8 a. Istri jika suami meninggalkan anak

4 1/3 a. Ibu jika masalah gharawain

b. 2 saudara perempuan atau lebih yang seibu jika tak ada anak atau orang tua

5 1/6 a. Ibu jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki atau

meninggalkan 2 saudara atau lebih

b. Bapak jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki 6 2/3 a. Dua anak perempuan atau lebih jika tak ada anak

laki-laki

b. Dua cucu perempuan dari anak laki-laki jika tak ada anak perempuan

c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih

(37)

26

Tabel 2.3 Bagian-bagian yang ditetapkan secara Individu

No Bagian Ketentuan bagian yang harus diterima 1 Suami a. ½ jika mayat tidak meninggalkan anak

b. ¼ jika mayat meninggalkan anak 2 Istri a. ¼ jika mayat tidak meninggalkan anak

b. 1/8 jika mayat meninggalkan anak

3 Anak laki-laki

a. Sendirian menghabiskan harta

b. Bersama saudara laki-laki harta dibagi rata c. Bila ada waris lain dia mendapatkan sisa harta 4 Anak

perempuan

a. ½ jika sendirian

b. 2/3 jika saudara perempuannya banyak

c. Ashobah jika bersama saudara laki-laki 5 Cucu

laki-laki

a. Jika tak ada waris lain ia menghabiskan harta b. Jika bersama saudaranya dibagi rata

c. Jika bersama saudara perempuannya dia mendapat bagian 2x bagian saudara perempuannya

d. Jika bersama waris lain dia jadi ashobah

6 Cucu perempuan

a. ½ jika seorang diri

b. 2/3 jika saudara perempuannya banyak

c. Ashobah bersama cucu laki-laki d. 1/6 jika bersama-sama anak perempuan

7 Bapak a. 1/6 jika mayat ada anak laki-laki atau cucu laki-laki

b. 1/6 plus sisa jikamaya tak ada anak laki-laki atau

cucu laki-laki dan hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan

c. Ashobah jika tak ada waris lain ashobah

d. 2/3 jika waris hanya ibu dan bapak

e. 2/3 dari sisa jika masalah gharawain

f. Waria terdiri bari ibu dan bapak g. Waris terdiri dari istri, ibu, dan bapak

8 Ibu a. 1/6 jika mayat meninggalkan anak atau cucu atau

saudara

b. 1/3 jika waris hanya ibu dan bapak

c. 1/3 dari sisa jika masalah gharawain

9 Kakek a. 1/6 jika mayat meninggalkan anak cucu laki-laki

b. 1/6 plus sisa jika mayat hanya meninggalkan anak

perempuan atau cucu perempuan c. Semua harta jika sebagai waris tunggal

d. Semua sisa harta setelah dibagikan pada ahli waris

dzawil furudh

10 Nenek a. 1/6 baik ada ahli waris lain atau tidak

b. 1/6 dibagi rata bila nenek lebih dari satu orang

11 Saudara laki-laki

(38)

27

sekandung b. Lebih dari seorang dibagi rata

c. Jika bersama ahli waris dzawil furudh menjadi

a. Menghabiskan semua harta jika sendirian b. Jika lebih dari seorang dibagi rata

c. Jika ada ahli waris dzawil furudh menjadi ashobah

14 Saudara perempuan sebapak

a. ½ bila hanya sendirian

b. 2/3 bila saudara perempuan lebih dari seorang

c. 1/6 bersama seorang saudara perempuan seibu menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashabul furudh

menerima dan mengambil bagian masing-masing (Ash-Shabuni. 2007:60).

(39)

28

Lebih lanjut tentang ashobah yang pertama (ashobah nasabiyah) adalah sebagi berikut. Ashobah nasabiyah ini dibagi menjadi 3:

1) Ashobah bin nafs yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak

tercampuri kaum wania. Ashobah ini mempunyai 4 arah. Pertama, arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya. Kedua, arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya keatas. Ketiga, arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Keempat, arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun seayah, termasuk keturunannya, dan seterusnya (Ash-Shabuni, 2007:63).

2) Ashobah bil ghoirihi ialah setiap ahli waris perempuan yang

mempunyai bagian tertentu (ashabul furudh) yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ashobah bersama-sama dengannya dalam suatu pembagian harta peninnggalan (Departemen Agama, 1986:82).

(40)

29

3) Ashobah ma’al ghoir ialah setiap ahli waris perempuan yang

mempunyai bagian tertentu (saudara perempuan sekandung/seayah) yang membutuhkan ahli waris lain (anak permpuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki) untuk menjadi ashobah, tetapi ahli waris yang dibutuhkan itu tidak bersama-sama dengannya menjadi

ashobah.

c. Dzawil Arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan

dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashabul furudh

dan tidak pula secara ashobah, misalnya bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara pereempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya (Ash-Shabuni, 1995: 145).

4. Asas-Asas Kewarisan a. Asas ijbari

Ijbari: paksaan (Alkalali, 1987:381)

Paksa: melakukan sesuatu atas dasar keharusan, mengerjakan sesuatu yang dianggap wajib meskipun tidak mau. Paksaan: hasil perbuatan memaksa (fajri, senja, _: 609)

(41)

30

1) Peralihan harta, dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang

masih hidup dengan sendirinya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris. Bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadinya peralihan harta tersebut (Lubis & Simanjuntak, 2007:39).

2) Jumlah harta yang beralih, merupakan sesuatu diluar kehendak

pewaris dan ahli waris. Atas dasar telah terdapat hukum yang mengatur dengan jelas bagian-bagian waris orang Islam baik yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadist, ijma’para ulama, serta hukum tertulis yang berkembang di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka peralihan bagian harta yang sudah ditentukan pun memaksa ahli waris untuk menerima bagian tersebut.

3) Kepada siapa harta itu beralih, seperti halnya poin 2, ahlli waris pun

juga sudah ditetapkan dalam hukum waris Islam. Maka mereka yang telah ditunjuk menjadi ahli waris pun tidak dapat menolak atau pun menambahkan daftar ahli waris lain dalam pembagian waris tersebut. b. Asas bilateral

(42)

31 c. Asas individual

Artinya waris hanya dapat diterima secara perorangan, baik itu bayi yang baru lahir atau pun masih di dalam kandungan selama akan terbentuk individu baru. Dalam Al-Qur’an juga mengatur tentang pembagian waris yang menyebutkan bagiannya secara per individu. d. Asas keadilan berimbang

Maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan patrilinial, yang ahli waris tersebut hanyalah keturunan laki-laki saja/garis kebapakan) (Lubis & Simanjuntak, 2007:39).

e. Kewarisan semata akibat kematian

(43)

32

memang dalah syariat Islam dikenal istilah wasiat, tapi ketentuan wasiat ini terpisah sama sekali dengan kewarisan (Manan, 2006:210).

5. Pembagian Waris Islam

Pembagian waris dalam Islam sangat unik karena identik dengan bagian-bagian yang berbentuk pecahan serta penentuan penerimaan setiap ahli waris pun berbeda-beda menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan dengan pewaris. Kedudukan kekerabatan sama akan menerima bagian berbeda ketika ada ahli waris lain, bahkan tidak menerima bagian ketika terhalang oleh ahli waris lain yang lebih dekat.

Dalam praktek pembagian dengan ahli waris dan bagian masing-masing seperti data yang tersaji pada table di atas masih terdapat permasalah pembagian harta waris, yaitu masalah aull dan radd. Aull adalah Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada meski bagian mereka menjadi berkurang.

(44)

33

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:

1. adanya ashhabul furudh 2. tidak adanya 'ashabah 3. ada sisa harta waris.

Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.

Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:

1. anak perempuan

2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki 3. saudara kandung perempuan

4. saudara perempuan seayah 5. ibu kandung

(45)

34

B.Konsep keadilan faroidh dalam Hukum Positif

1. Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia

Masuknya Islam di Indonesia sejak abad ke 7 Masehi dari tahun ketahun mulai berkembang dan dapat diterima baik oleh masyarakat Indonesia. Hal ini karena islam tidak memandang status sosial seseorang, melainkan karena ketaqwaannya. Terlebih lagi dalam kehidupan sehari-hari Islam memberikan ajaran hukum yang jelas baik dari hukum pidana ataupun perdata. Dalam keperdataan, Islam mengajarkan wakaf sebagai salah satu upaya pemberdayaan kemaslahatan umat. Dalam perkawinan, Islam mengajarkan pernikahan yang sehat dan sangat menjungjung perempuan. Dalam perkara waris, Islam mengajarkan sistem kewarisan bilateral yang sudah memberikan ketetapan pasti terhadap bagian-bagian ahli waris.

Hukum masyarakat mulai berkembang dengan kesadaran penerapan hukum Islam. Pada masa kerajaan mulai berkembang pengadilan tahkim bagi orang Islam yang bersengketa. Tahkim lahir dan tumbuh bukan atas dekrit penguasa. Namun demikian sekalipun tahkim merupakan wadah informal, putusan yang dijatuhkannya, diikuti masyarakat sebagai sesuatu yang formal. Buktinya, setiap kali timbul sengketa di tengah-tengah kehidupan masyarakat, selalu mencari penyelesaian dan “tahkim” seorang ulama atau kyai (Harahap, 2003:21).

(46)

35

pada masa kesultanan telah berdiri secara foramal Peradilan Agama serta status ulama memefgang peranan sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hhukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih tetap abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fikih (Harahap, 2003:22).

Perkembangan selanjutnya ketika masa pendudukan VOC di Indonesia. VOC memerankan dalam bidang perdagangan dan pemerintahan, juga menentukan kebijakan dalam hukum dan peradilan. Kebijakan yang dihasilkan tidak berjalan baik di masyarakat karena masyarakat menganggap hal itu tidak selaras dengan ajaran agama islam. Kemudian pada tahun 1642 VOC mengeluarkan Statuta Batavia. Salah satu isinya adalah “mengenai soal hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam, harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari” (Harahap, 2003:22), dan pada tahun 1760 VOC mulai menggunakan kitab hukum yang disebut dengan Compendium Freijer

sebagai rujukan hukum oleh pengadilan dalam masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC. Hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaan pada Hindia Belanda, dan compendium tidak berlaku lagi.

(47)

36

dengan syarat tidak ada penyalahgunaan (Muhibbin&Wahid. 2009:163). Kemudian terhadap putusan pemuka agama tersebut harus diperoleh persetujuan dari pengadilan umum. Inilah masa berkembangnya teori

receptio in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. van Den Berg, yaitu hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jadi bagi orang yang beragama Islam berlaku hukum Islam pula. Teori ini memperoleh landasan hukum melalui Staatsblad 1855 No.2

Sejalan dengan politik Hindia Belanda teori receptio in complexu ini memperoleh perlawanan yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgrounje melalui teori receptie, sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Ke dalam hukum adat bisa masuk elemen hukum Isalm. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan berlaku kalau sudah masuk kedalam dan diterima menjadi hukum adat (diresepsi) (Muhibbin&Wahid. 2009:165). Dengan adanya teori ini kewenangan Pengadilan Agama dirubah dalam Staatsblad 1937 No. 116 yang berusaha menyingkirkan peran hukum Islam. Dalam Staatsblad itu memuat rekomendasi:

- Hukum warisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat

- Mencabut wewenang pengadilan agama (Raad Agama) untuk mengadili

masalah warisan, dan wewenang itu dialihkan kepada Landraad

- Pengadilan agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad

- Putusan pengadilan agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir

(48)

37

Dan kewenangan pengadilan agama dibatasi pada perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan hakim agama Islam, member keputusan perceraian, menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya takilik talak sudah ada, perkara mahar, dan perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami (Muhibbin&Wahid. 2009: 44). Sehingga masalah waris, wakaf, hadhonah menjadi kompetensi Pengadilan Umum.

Tetapi dalam pelaksanaan Staatsblad 1937 No. 116 pengadilan umum masih meminta fatwa kepada hakim pengadilan agama dalam pembagian waris, kemudian barulah hakim pengadilan umum mengeluarkan putusan. Hal ini berjalan hingga Indonesia mempunyai undang-undang tentang peradilan agama, yaitu UU No. 7 Tahun 1989. Dengan adanya undang-undang ini kedudukan peradilan agama dalam sistem peradilan semakin kuat dan mandiri dalam kewenangan mengadilinya. Hukum Islam mulai mendapatkan tempat kembali.

2. Pengertian Waris Menurut UU No 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI)

(49)

38

beragama islam dibidang (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam, (c) wakaf dan shodaqoh”. Kemudian dalam penjelasan pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 mendefinisikan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. KHI pasal 171

Aturan-aturan lain mengenai waris terdapat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 buku II Kompilasi Hukum Islam tentang hukum kewarisan. KHI mendefinisikan Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta:

a. peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang

(50)

39

e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Letak perbedaan antara waris menurut hukum positif dan faroidh

adalah jika dalam faroidh tidak dikenal waris terhadap harta bersama, lain halnya dengan hukum positif di Indonesia. Dalam pasal 96 KHI me/nyebutkan apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersam menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

3. Pengadilan Agama Sebagai Lembaga Pelaksana Hukum Positif a. Pembagian waris menurut KHI

Pada perkara waris di Pengadilan Agama, jangkauan kewenangan mengadili perkara warisan meliputi seluruh bidang hukum waris Islam. Bidang kewarisan yang dimaksud meliputi penentuan siapa-siapa yang memnjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Dalam bukunya, Harahap (2003:149) menerangkan secara ringkas tentang kewenangan tersebut. Yaitu:

1) Terhadap siapa-siapa yang menjadi ahli waris, yang perlu diperhatikan

adalah:

a) Penentuan kelompok ahli waris

(51)

40

Golongan laki terdiri dari ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek..golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.kelompok ahli waris menurut hubungna parkawinan meliputi duda atau janda.

b) Penentuan siapa yang berhak mewarisi c) Penentuan yang terhalang menjadi ahli waris

Diatur dalam pasal 173 KHI yang berbunyi “seorang terhalang menjadi ahli warisapabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetapdihukum karena: (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris, (b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

d) Menentukan hak dan kewajiban ahli waris, terutama kewajiban

yang berkenaan dengan mengurus pemakaman, menyelesaikan utang piutang si pewaris, menyelesaikan wasiat si pewaris, melakukan pembagian harta warisan (harta peninggalan) diantara para ahli waris yang berhak.

2) Penentuan mengenai harta peninggalan

Hal-hal yang termasuk ke dalam masalah penentuan harta peninggalan meliputi segi-segi:

(52)

41

i. Semua harta yang ditinggal pewaris ii. Berupa hak milik kebendaan

iii. Atau hak milik lain yang tidak betupa benda

b) Penentuan besarnya harta warisan ialah penjumlahan dari harta

tirkah ditambah dengan apa yang menjadi haknyadari harta bersama dikurangi biaya keperluan jenazah dan hutang pewaris dan wasiat.

3) Terhadap penentuan bagian masing-masing ahli waris

Aturan yang dipakai dalam pembagian waris di lingkungan peradilan agama mengacu pada bagian-bagian waris yang ditetapkan dalam KHI. Porsi masing-masing ahli waris dalam KHI adalah sebagai berikut:

a) Anak perempuan

- Bila sendiri mendapat ½ bagian

- Bila dua orang atau lebih mendapat 2/3 bagian - Bersama saudara laki-lakinya, bagiannya adalah 2:1 b) Ayah

- Mendapat 1/3 jika pewaris tidak menginggalkan anak - Mendapat 1/6 jika pewaris meninggalkan anak c) Ibu

- Mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara

atau lebih

(53)

42 d) Janda

- Mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak - Bila ada anak mendapat 1/8 bagian

e) Duda

- Mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak - Bila ada anak mendapat ¼ bagian

f) Saudara laki-laki

- Mendapat 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan

ayah

- Bila dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian g) Saudara perempuan seibu

- 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah - Dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian 4) Melaksanakan pembagian harta peninggalan

Dalam masalah pelaksanaan pembagian waris, pembagian dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan dan pembagian berdasarkan permohonan pertolongan. Peran pengadilan dalam pelaksanaan pembagian warisan yaitu:

a) Pembagian berdasarkan putusan pengadilan

(54)

43

i. Putusan yang bersangkutan sudah memperoleh kekuatan hukum

tetap

ii. Putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut

mengandung amar atau diktum yang bersifat condemnatoir. b) Pembagian berdasarkan permohonan pertolongan

Dasar hukum pembagian berdasarkan permohonan pertolongan adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan agama adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan umum. Ketika peradilan umum menggunakan HIR dan RBG, maka peradilan agama pun juga berlaku hukum acara yang sama, yaitu kewenanga Pengadilan Agama melakukan pembagian harta warisan berdasar pasal 236 a HIR dengan syarat dan tata cara:

i. Harta warisan yang hendak dibagi di luar sengketa di pengadilan ii. Ada pemohon minta tolong dilakukan pembagian dari seluruh

ahli waris

Jika pemohon hanya terdiri dari sebagian ahli waris saja, pengadilan tidak bias menggunakan pasal 236 a HIR.

b. Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Perkara Waris 1) Kompetensi pengadilan agama

(55)

44 a) Kompetensi relatif.

Diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Djalil, 2006:138). Wewenang reltif berguna agar seseorang tidak salah tempat (wilayah) dalam mengajukan perkara.

b) Kompetensi absolut

Yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (Djalil, 2006:138). Sesuai aturan UU No.3 Tahun 2006, pasal 49 menerangkan kewenangan pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dibidang perkawin, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Kegunaan dari wewenang absolut adalah agar seseorang tidak salah dalam mengajukan perkara.

2) Asas-asas peradilan agama a) Asas personalita keislaman

(56)

45

agama, dan menjadi wewenang pengadilan umum. Begitu pula dengan hubungan hukumnya juga harus mengunakan hukum Islam.

b) Asas kebebasan

Dasar hukum asas kebebasan tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1970 pasal 1. Dijelaskan bahwa “kekuasaaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Yahya Harahap (2003) memberikan pengertian dari pasal tersebut bahwa:

- kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan

adalah “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan “yudikatif”.

- Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan

fungsi peradilan bertujuan agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan dan agar penyelenggaraan kehidupan bernegara benar-benar berdasarkan hukum, Karen Indonesia adalah negara hukum.

(57)

46

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum dan kebenaran sesuai dengan hati nurani.

c) Asas wajib mendamaikan

Hakim berkewajiban mendamaikan para pihak yang bersengketa karena dalam perdamaian itu tidak ada pihak yang menang dan pihak yang kalah karena perdamaian itu berdasarkan keikhlasan hati para pihak. Ajaran ini mengacu pada ajaran Islam yang menyuruh menyelesaikan perselisihan dengan islah. Kemudian hakim dalam menjalankan profesinya, usaha untuk mendamaikan sebatas dalam memberikan anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberikan bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta kedua belah pihak.

d) Asas sederhana, cepat, biaya ringan

(58)

47

e) Asas persidangan terbuka untuk umum

Maksud dari persidangan terbuka untuk umum adalah memperkenankan setiap pengunjung untuk menghadiri dan mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak membatasi dan tidak melarang siapa saja tanpa kecuali sesuai dengan batas-batas kemampuan ruang sidang. Karena persidangan terbuka untuk umum, maka tujuan dari asas ini adalah agar tidak ada pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Sisi lain kegunaan persidangan terbuka untuk umum sebagai edukasi yang dapat menjadi bahan informasi bagi anggota masyarakat tentang suatu kasus.

Dalam pelaksanaannya tidak semua persidangan terbuka untuk umum. Persidangan terbuka untuk umum dikecualikan pada perkara perceraian dan perkara khusus yang diatur oleh undang-undang. Namun pembacaan putusan pun harus dalam siding yang terbuka untuk umum. Jika dalam persidangan atau pembacaan putusan tidak dilakukan dalam siding terbuka untuk umum, maka mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusan batal demi hukum.

f) Asas legalitas dan persamaan

(59)

48

kepentingan sepihak, maka dari itu fungsi asas persamaan (equality) adalah menyamakan setiap orang yang ada dalam persidangan mempunyai hak dan kedudukan yang sama.

Patokan dalam penerapan asas equality adalah:

1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan

persidangan pengadilan atau equal before the law

2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection

on the law

3) Mendapat perlakuan yang sama dibawah hukum atau equal

justice under the law (harahap, 2003:86). g) Asas aktif memberi bantuan

(60)

49

c. Dasar Pembagian Waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pasal 174

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah:

1) golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara

laki-laki, paman dan kakek.

2) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. 2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 96

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

(61)

50 BAB III PAPARAN DATA

C.Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa

1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa

Sejak hampir 5 abad yang lalu dimasa Pajang Mataram, Kabupaten Semarang telah ada dan waktu itu yang menjadi ibukota adalah Semarang. Pada jaman itu “Gemente ( Kotapraja )” Semarang belum terbentuk.

Sebagai Bupati Semarang yang pertama adalah Ki Pandan Arang II atau dikenal sebagai Raden Kaji Kasepuhan yang dinobatkan pada tanggal 2 Mei 1547 dan berkuasa hingga tahun 1574 serta mendapat pengesahan Sultan Hadiwijaya. Pada masa itu beliau berhasil membuat bangunan yang dipergunakan sebagai pusat kegiatan Pemerintah Kabupaten. Ringkasnya sampailah pada tahun 1906 yaitu pada jaman Pemerintahan Bupati R.M. Soebijono, lahirlah “Gemente ( Kotapraja)” Semarang, sesuai Staatblaad tahun 1906 S.O 120. Pemerintah Kabupaten Semarang dipimpin oleh seorang Bupati dan Pemerintah Kotapraja untuk wilayah Semarang dipimpin oleh seorang Burgenmester. Semenjak itulah terjadi pemisahan antara Kabupaten Semarang dengan Kotapraja Semarang hingga saat ini.

(62)

51

namun kota Semarang adalah Kotamadya yang memiliki Pemerintahan sendiri.

Pada saat berdirinya Kabupaten Semarang Pengadilan Agama untuk wilayah hukum Kabupaten Semarang belum terbentuk, oleh karenanya para pencari keadilan di wilayah Kabupaten Semarang yang akan mengajukan perkara harus ke Pengadilan Agama Salatiga, karena wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.

Ditinjau dari segi Pemerintahan, Kota Semarang sebagai ibukota Kabupaten sangatlah kurang menguntungkan, maka timbulah gagasan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Semarang ke Kota Ungaran yang pada saat itu masih dalam status Kawedanan.

(63)

52

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1983 Tentang Penetapan Status Kota Ungaran sebagai Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II Semarang, yang berlaku peresmiannya tanggal 20 Desember 1983 pada saat Pemerintahan Bupati Ir.Soesmono Martosiswojo ( 1979-1985 ), maka Kota Ungaran secara definitif sebagai Ibukota Kabupaten Semarang.

(64)

53

Pengadilan Agama Ambarawa pada awal berdirinya menempati sebuah gedung yang terletak di Jl. Ki Sarino Mangunpranoto No. 2 Ungaran, dengan luas tanah 1.009 m2 dan luas bangunan 250 m2 dengan status Hak Milik Negara (Departemen Agama). Dalam perkembangannya Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran kemudian dipindah ke

Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

46/BUA-PL/S-KEP/XII/2006, tanggal 13 Desember 2006 Tentang Pengalihan Fungsi Penggunaan Bangunan Kantor Lama Pengadilan Negeri Ungaran di Ambarawa menjadi Kantor Pengadilan Agama Ambarawa yang terletak di JL. Mgr. Soegiyopranoto No. 105 Kelurahan Ngampin, Kecamatan

Ambarawa dengan batas-batas sebagai berikut :sebelah utara : lapangan; sebelah timur : jalan ke lapangan; sebelah selatan : Jalan raya Semarang-Magelang; dan sebelah barat : kebun milik perorangan.

Sejak berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa sudah melalui beberapa pereode kepimpinan, sebagai berikut :

1.Drs. H. Ahmad Ahrory, SH ( Tahun 1983 - 1987 )

2.Drs. H. Ali Muchson, SH ( Tahun 1987 - 1988 )

3.Drs. H. Mafruchin Ismail, SH ( Tahun 1988 - 1997 )

(65)

54

5.Drs. H. Sutjipto, SH ( Tahun 2000 - 2003 )

6.Drs. H. Slamet Djufi, SH ( Tahun 2003 - 2004 )

7.Drs. H. Noorsalim, SH, MH ( Tahun 2004 - 2007 )

8.Dra. Hj. Rokhanah, SH, MH ( Tahun 2007 - 2011 )

9. Drs. Masthur Huda, SH. MH. ( Tahun 2011 - sekarang ) ( http://www.pa-ambarawa.go.id/ diakses hari senin, 26 Nopember 2012)

D.Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.

1. Gambaran Umum Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.

(66)

55

S sebagai suami penggugat telah dinyatakan meninggal pada tanggal 25 Juli 1973 karena sakit yang tercatat dalam Duplikat Surat Kematian No. 474.3/69/IX/2007. Dalam perkawinannya mempunyai 2 orang anak perempuan M binti S (tergugat I) dan SK binti S (tergugat II). Dan pengugat serta tergugat I dan II adalah ahliwaris dari S berdasar Surat Keterangan Ahli Waris Nomor: 600/698 tertanggal 13 September 2007 yang dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Tambakboyo.

2. Gambaran Perkara oleh Pihak Tergugat

Dari pihak tergugat I memberikan pengertian bahwa tanah sengketa tersebut adalah hak miliknya karena penggugat telah mensertifikatkan tanah tersebut atas nama tergugat I dan tergugat II semasa masih remaja atas kemauannya sendiri tanpa paksaan dan mengartikan tanah tersebut bukan lagi harta yang berhak untuk diwarisi oleh penggugat. Dalam rekonpensinya juga menyatakan bahwa pernyataan akan pelepasan hak waris yang telah teragendakan di Kantor Kelurahan Tambakboyo tertanggal 29 Agustus 1991 Nomor 594/67/1991 untuk membuat sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992 dinyatakan sah.

Gambar

Tabel 2.1 Ahli Waris beserta Penghalannya
Tabel 2.2 Bagian-bagian Ahli Waris
Tabel 2.3 Bagian-bagian yang ditetapkan secara Individu

Referensi

Dokumen terkait

(Untuk langkah-langkah perhitungan ketuntasan hasil belajar siswa kelas X-5 lihat Lampiran 23). Berdasarkan kriteria efektivitas pembelajaran yang digunakan pada penelitian

Dalam hal ini perlu dipelajari tentang karakteristik spektrum dari berkas neutron maupun foton gamma dari kedua beam port tersebut, yang selanjutnya akan digunakan sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mempertahankan dan tidak mempertahankan lahan sawah, menaksir proyeksi luas

OEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAVAAN.. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara , Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal

Direktorat Program Diploma IPB 2010. pada MK

Perbedaan hasil penelitian – penelitian terdahulu mengenai faktor – faktor yang berpengaruh terhadap underpricing yang diukur dengan Initial Return (IR) perusahaan mendorong

c. Kondisi lingkungan, dikarenakan etanol mudah menguap, oleh karena itu wadah sampel selalu dalam posisi tertutup.. Sampel yang digunakan adalah ciu hasil produksi

Lengkap, cepat dan benar haruslah ada sistem dan prosedur kerja yang baik di bidang kearsipan (Anwari. Jurnal Madani Edisi I/Nopember 2005). Setiap lembaga atau