• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Teori Keadilan Sosial

1. Konsep Keadilan Sosial Menurut Para Ahli

Dalam masyarakat Yunani “homogen” keadilan ialah sebuah keutamaan politik agar warga masyarakat hidup sesuai dengan posisi dan kodratnya masinmasing, dalam kehidupan social modern yang hiterogen keadilan ialah prinsip rasional yang mengendalikan tindakan politik untuk menjamin kesatuan, kesetabilan, dan kelenggengan masyarakat. Menurut Aristoteles politik dianggap

16 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 6.

kelanjutan etika, pada zaman modern hubungannya seperti yang dikatakan Nozick: “filsafat moral menyiapkan latar-belakang untuk dan pagar bagi filsafat hukum.”

Dengan kata lain, filsafat politik ialah masalah argument moral, argument moral ialah masalah imbauan keyakinan nalar kita. Karena hubungan filsafat politik dan filsafat moral begitu rupa, filsafat politik biasa juga disebut moralitas politik atau etika politik. Hadermas yang mengembangkan teori moralnya bukan sekedar teori keutamaan moral, kehidupan etika atau nilai hidup baik, melainkan mengenai keadilan sosial, menyebutnya sebagai moralitas politik.

Istilah "keadaan keadilan", yang dikembangkan oleh John Rawls dan awalnya diambil dari David Hume, digunakan untuk merujuk pada situasi di mana pertanyaan tentang keadilan muncul. Hume sendiri menciptakan istilah

"kondisi keadilan" untuk menggambarkan bahwa keadilan baru hanya merupakan kebajikan yang relevan ketika ada kelangkaan dan orang-orang tidak secara spontan tergerak dalam ikatan emosional untuk mengulurkan tangan membantu. Dia melakukan ini untuk menunjukkan bahwa keadilan baru ialah kebajikan yang relevan hanya ketika ada kelangkaan. Keadaan sebenarnya dari hubungan interpersonal ialah satu-satunya yang dialamatkan oleh konsep keadilan yang diusulkan oleh Hume. sedangkan misi COJ Rawls ialah menciptakan kondisi moral dari klaim-klaim yang saling bersaing di mana kolaborasi manusia dapat dibayangkan dan esensial. Ini ialah tujuan COJ. Jika dua manusia normal bertemu di gurun yang sunyi dan salah satu dari mereka mencuri permainan yang lain karena mereka lapar, pencuri itu tidak akan bertindak sesuai dengan kebutuhan alaminya untuk bertahan hidup; namun, tidak ada masalah keadilan dalam situasi ini. Dalam setting orang-orang yang masih dalam keadaan alamiah atau pro-sosial, sulit untuk melakukan percakapan yang bermakna tentang isu-isu keadilan atau ketidakadilan.

Maka definisi keadilan mengandaikan dua syarat yaitu masyarakat dan situasi kelangkaan yang wajar. Kita bisa membicarakan masyarakat adil apabila yang disebut masyarakat itu ada. Pun tidakada masalah keadilan untuk barang-barang atau nikmat yang mudah didapatkan dan berlimpah-limpah. Keadilan atau lebih tepat ketidak-adilan bukan situasi alamiah melainkan bikinan manusia, dan karena itu bisa diubah atau dihapus. Masalah pokok keadilan social ialah pembgian nikmat dan beban dalam masyarakat yang oleh Brian Barry dirangkum dalam tiga kelompok: ekonomi (uang), Politic (kuasa) dan social (status).

Teori keadilan yang dikemukakan oleh Rawls dan Habermas disebut sebagai teori keadilan deontologis. Di bidang filsafat moral, istilah "deontologi"

digunakan untuk merujuk pada salah satu dari dua aliran pemikiran utama tentang teori etika normatif. Aliran pemikiran lainnya dikenal sebagai "non-konsekuensialis." Efek dari suatu tindakan diperhitungkan ketika menentukan apakah suatu tindakan dapat diterima secara moral atau tidak, menurut pandangan konsekuensialis. Di sisi lain, teori etika non-konsekuensialis mengevaluasi kebenaran atau kesalahan suatu tindakan tidak berdasarkan hasil tetapi lebih pada karakter wajib dari tindakan itu sendiri untuk menentukan apakah aktivitas itu benar atau salah. Dalam etika konsekuensialis, penghapusan perbuatan salah dengan alasan akan berdampak negatif. Membunuh selalu buruk, apa pun hasilnya, menurut non-konsekuensialis. Teori yang paling menonjol di kubu konsekuensialis ialah utilitarianisme, sedangkan teori yang paling berpengaruh di kubu non-konsekuensialis ialah teori deontologis. Dalam teori keadilan ini, para ahli deontologi berpikir bahwa nilai hak lebih diutamakan daripada nilai melakukan apa yang benar. Selain itu, teori keadilan Rawls dan Habermas tunduk pada berbagai predikat yang berbeda, termasuk kognitivis, universalistik, dan prosedural.

Dalam Pembukaan UUD 1945 konsep keadilan, keadilan, dan keadilan sosial disebutkan hampir di setiap paragraf; untuk lebih spesifik, mereka disebutkan dalam tiga paragraf. Keadilan disebutkan dalam masing-masing dari ketiga (tiga) alinea, lebih khusus lagi pada alinea IV, satu (satu) kali, dan keadilan sosial disebutkan dua kali (dua kali), sehingga jumlah keseluruhan disebut tiga (tiga). Pembukaan UUD 1945 yang dianggap sebagai instrumen penting bagi negara baik dari segi politik maupun hukum, memiliki banyak referensi keadilan dalam berbagai kedok, menunjukkan pentingnya konsep ini.

Masalah mendasar baik dalam negara maupun sistem hukum ialah kurangnya keadilan.17

Sudut pandang politik yang melihat negara berdasarkan teori Rawl dan teori Habermas menyoroti signifikansi dan dasar-dasar keadilan dalam negara dan hukum. Perspektif ini dikembangkan oleh Habermas. Ini ialah jawaban atas pertanyaan, "bagaimana negara kontemporer dengan masyarakat yang beragam?" Karena setiap kelompok dan orang dalam masyarakat memiliki kepentingannya masing-masing dan bahkan mungkin anonim, orang-orang ini dapat berkumpul dalam komunitas politik yang disebut negara. Solusinya ialah mengejar keadilan sosial. Mereka sekarang bersama sebagai satu negara dan negara berkat keadilan sosial.

Plato ialah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui adanya kekuatan yang berada di luar kemampuan manusia. Akibatnya, pemikiran irasional ialah bagian dari filosofinya. Dalam nada yang sama, Platon berpendapat masalah keadilan tidak dapat diselesaikan oleh orang biasa karena keadilan berada di atas kemampuan mereka. Transformasi masyarakat ialah akar penyebab ketidakadilan. Suatu masyarakat mencakup komponen-komponen penting yang harus dilestarikan, antara lain sebagai berikut: a) Stratifikasi kelas

17 Ahmad Fadlil Sumadi, Hukum dan Keadilan Sosial dalam Perspektif Hukum Ketatanegraan, Jurnal Konstitusi, Vol 12, nomor 4, Desember 2015, hlm. 864.

sosial yang kaku; misalnya, domba manusia dan kelas penguasaan yang terdiri dari gembala dan anjing penjaga harus dijaga pada jarak yang aman satu sama lain. b) Pengidentifikasian nasib negara dengan nasib kelas penguasanya, perhatian khusus pada kelas penguasa dan persatuannya, dan ketaatan pada persatuan kelas penguasa, aturan ketat untuk pemeliharaan dan pendidikan kelas penguasa, dan pengawasan dan kolektivisasi kepentingan anggota kelas penguasa.

Agar ada keadilan di dunia, masyarakat harus kembali ke bentuk aslinya, dengan domba menggantikan para gembala. Negara bertanggung jawab untuk menjalankan misi ini, yaitu menghentikan transformasi. Oleh karena itu, hubungan antara rakyat dan negara, bukan hubungan antara individu itu sendiri, ialah fokus keadilan. Selain itu, keadilan dapat ditafsirkan dalam hal cara ia memanifestasikan dirinya sebagai atribut manusia. Realisasi keadilan sebagai hasilnya dipindahkan ke alam di luar pengalaman manusia, dan akal manusia, yang diperlukan untuk keadilan, tunduk pada cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan Tuhan yang tidak dapat dipahami. Konsekuensinya ialah keadilan tidak dapat diwujudkan di muka bumi. Akibatnya, Plato menjelaskan bahwa mereka yang memimpikan negara harus berada di atas standar manusia untuk mewujudkan keadilan.

Runtuhnya demokrasi Athena, yang terjadi selama dan setelah perang Peloponnesia, merupakan dorongan bagi sebagian besar introspeksi keadilan yang dicurahkan Plato dan Aristoteles untuk mengembangkan teori hukum masing-masing. Kedua penulis ini menghabiskan sebagian besar pekerjaan mereka untuk mengembangkan definisi operasional keadilan dan menjelaskan hubungan yang ada antara keadilan dan hukum positif. Aristoteles mengembangkan konsep keadilannya melalui analisis ilmiah dan prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang model masyarakat politik dan undang-undang

yang ada. Plato mencoba mendapatkan konsep keadilannya dari inspirasi, tetapi Aristoteles mengembangkannya melalui analisis ilmiah dan prinsip-prinsip rasional.18

Konsep Aristoteles tidak hanya memberikan dasar bagi teori hukum, tetapi juga membangun landasan bagi filsafat barat secara umum. Rumusan masalah keadilan oleh Aristoteles, yang membedakan antara keadilan distributif dan keadilan korektif atau remedial dan menjadi dasar bagi semua pembahasan teoretis tentang masalah tersebut, merupakan kontribusi Aristoteles terhadap filsafat hukum. Ini juga dikenal sebagai "masalah keadilan." Yang dimaksud dengan "keadilan distributif" ialah pemerataan barang dan jasa kepada seluruh anggota masyarakat, dengan memperhatikan perannya masing-masing dalam masyarakat, serta perlindungan yang sama di bawah hukum.

Dokumen terkait