• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Keterwakilan Perempuan dan Rekruitmen Politik

Dalam dokumen Aturan Hukum and Hak Asasi Manusia (Halaman 98-104)

DarI Hak aSaSI ManuSIa

III. Konsep Keterwakilan Perempuan dan Rekruitmen Politik

Pembahasan tentang keterwakilan perempuan dalam bidang politik di dunia, secara serius diawali dengan BPFA di Beijing 1995 yang menetapkan adanya 12 bidang kritis yang berkaitan dengan perempuan dan salah satunya adalah pentingnya memperhatikan jumlah perempuan dalam bidang politik dan proses pengambilan keputusan.

Di Indonesia, hal tersebut baru terlaksana melalui penetapan secara hukum pada pelaksanaan pemilu 2004 dengan ketentuan 30% dalam penetapan caleg perempuan. Hal ini secara hukum,

menekankan seluruh parpol memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan 30% dalam penyusunan caleg. Ini berarti tidak ada penekanan secara tegas bahwa parpol harus memenuhi ketentuan tersebut, ditambah lagi tidak adanya aturan pemberian sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi ketentuan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam penyusunan caleg parpol.

Ada beberapa faktor yang saling berkaitan dalam melihat keterwakilan perempuan di bidang politik, yaitu (Nur Iman Subono, 2005:30-34):

1) Sebuah pemerintahan oleh laki-laki untuk laki-laki tidak dapat mengklaim menjadi sebuah pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat,

Pernyataan ini pada dasarnya merujuk kepada sebuah resolusi yang dikeluarkan oleh Inter-Parliamentary Union Council pada April 1992. Dalam salah satu kalimat dalam resolusi tersebut dikatakan bahwa, “Konsep demokrasi hanya akan memiliki arti yang dinamis dan sejati pada saat partai politik dan kebijakan atau legislasi nasional diputuskan oleh laki-laki dan perempuan bersama-sama secara adil dengan mempertimbangkan kepentingan dan bakat dari kedua belah pihak tersebut dalam masyarakat.” Sebagai sisi nyatanya, di berbagai negara khususnya di negara-negara sedang berkembang, sejauh ini belum bisa dikatakan sebagai cerminan pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat karena nyatanya kalangan perempuannya memang tidak banyak terlibat di dalam bidang politik.

2) Perempuan pada dasarnya adalah pelaku politik yang lebih bisa memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik. Padahal selama ini umumnya segala keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu dan persoalan- persoalan perempuan selalu menjadi agenda politik laki-laki.

Florence Butegwa, seorang pengacara asal Uganda, mengatakan bahwa “partisipasi perempuan dalam politik bukanlah sebuah kemewahan tapi sebuah kebutuhan” (women’s participation in politics is not a luxury, but a necessity) (Sonja Boezak, 1999:14-15). Pada kenyataannya, memang banyak kebutuhan perempuan yang hanya memadai jika dibicarakan dan dipahami oleh perempuan sendiri, misalnya isu-isu kesehatan reproduksi seperti cara KB yang aman dan isu-isu keluarga seperti kesehatan dan pendidikan anak serta orang tua tunggal.

Ini menunjukkan bahwa keterlibatan atau partisipasi perempuan dalam proses pembuatan keputusan menjadi hal yang signifikan guna menghindari atau mencegah adanya diskriminasi terhadap perempuan atau ketidakadilan gender. Bentuk ketidakadilan gender ini adalah: (a) stereotipe, (b) kekerasan, (c) marginalisasi, (d) beban ganda, dan (e) subordinasi (Mansour Fakih, 1998:101-103).

3) Perempuan membawa gaya dan nilai politik yang berbeda. Berbagai penelitian perempuan dan politik memperlihatkan dua hal yang menjadi ciri budaya politik perempuan yang merupakan hasil sosialisasi yaitu sebagai berikut (Marilee Karl, 1995:64):

Pengalaman perempuan, khususnya sebagai ibu dan a.

peranan tradisional mereka di dalam rumah dan keluarga, menyebabkan mereka lebih peduli dibandingkan laki- laki dalam hal kebutuhan orang lain. Hal ini yang mendorong mereka bekerja dalam upayanya untuk peduli terhadap kebutuhan serta hak-hak perempuan dan anak-anak, orang-orang cacat, kaum manula, kelompok minoritas dan kelompok-kelompok marjinal lainnya. Tidak mengherankan jika kaum perempuan yang duduk dalam lembaga politik formal seperti parlemen

lebih mengutamakan soal-soal seperti kesehatan dan reproduksi, pendidikan, pengasuhan anak, kesejahteraan dan lingkungan. Kinerja mereka pun umumnya tidak militeristik dan menjadi pendukung yang kuat atas soal- soal perdamaian dan non-kekerasan.

Perempuan di parlemen umumnya lebih bersifat b.

realistik dan praktis dalam pekerjaan-pekerjaan mereka. Mereka lebih mampu melakukan inisiatif dan menerima perubahan dalam metode dan sasaran serta lebih bersedia untuk bekerja secara bersama-sama. Umumnya mereka selalu mempertimbangkan dengan hati-hati akibat yang muncul terhadap orang lain atau masyarakat dari berbagai keputusan yang mereka buat atau promosikan. Secara umum, keterwakilan perempuan sangat dipengaruhi oleh karakter sistem pemilu yang dianut dan tata cara partai-partai politik merekrut kandidat mereka. Jika sistem pemilu yang dianut oleh suatu negara diikuti dengan proses rekruitmen caleg yang menguntungkan perempuan, maka keterwakilan perempuan akan terpenuhi seperti yang diinginkan semua pihak.

Ketentuan hukum tentang rekruitmen politik yang memperhatikan kesetaraan gender, telah dimulai sejak pelaksanaan pemilu 2004. Pengaturan tersebut menunjukkan bahwa seluruh parpol harus memperhatikan kesamaan kesempatan antara laki- laki dan perempuan dalam politik. Mekanisme ini selain dalam proses rekruitmen politik juga ditekankan bahwa pentingnya memperhatikan kesataraan tersebut dalam kepengurusan parpol dalam setiap tingkatan.

Selanjutnya menurut Sutoro Eko, dalam rekruitmen jabatan politik membutuhkan model demokratis yang mengedepankan proses pemilihan secara terbuka, kompetitif dan partisipatif.

Persetujuan dan legitimasi rakyat menjadi unsur utama dalam proses rekruitmen jabatan-jabatan politik, sebab pejabat politik itulah yang kemudian bakal membuat kebijakan dan memerintah rakyat. Model demokratis harus diterapkan dengan baik dalam rekruitmen legislatif, dengan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Sutoro Eko, 2003:4-6):

Parpol harus mempromosikan kandidat yang berkualitas, 1.

yakni yang memiliki kapasitas, integritas, legitimasi dan populer (dikenal) di mata masyarakat.

Proses rekruitmen harus berlangsung secara terbuka. 2.

Masyarakat harus memperoleh informasi yang memadai dan terbuka tentang siapa kandidat parlemen dari parpol,

track record masing-masing kandidat dan proses seleksi

hingga penentuan daftar calon.

Proses rekruitmen harus bersandar pada partisipasi 3.

elemen-elemen masyarakat sipil.

Parpol mau tidak mau harus mengembangkan basis atau 4.

jaringan dengan komunitas atau organisasi masyarakat sipil.

Penerapan rekruitmen politik dengan model demokratis 5.

membutuhkan dukungan pendidikan politik yang memadai kepada rakyat.

Lebih lanjut mengenai rekruitmen politik perempuan, Richard E. Matland, melihat agar kaum perempuan dapat terpilih menjadi badan perwakilan mereka harus lulus dalam tiga hambatan utama (Julie Ballington dkk, 2002:70-72).

Pertama, perempuan harus memilih diri mereka sendiri.

Keputusan ini pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor: ambisi pribadi dan kesempatan untuk mencalonkan diri. Bagi perempuan, menyatakan

secara terbuka untuk pencalonan diri adalah sulit, tetapi ini adalah langkah yang penting untuk memperoleh representasi politik. Penilaian perempuan atas kesempatan dan keinginannya untuk mencalonkan diri dipengaruhi oleh besarnya kesempatan untuk mencalonkan diri, bagaimana ramahnya lingkungan politik yang akan mendukung pencalonannya dan taksiran mengenai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk membantu kampanye jika dia memutuskan untuk mencalonkan diri.

Kedua, seleksi oleh partai. Proses nominasi kandidat adalah salah satu peran krusial yang dimainkan oleh partai-partai politik. Prosedur nominasi ini misalnya luasnya partisipasi dan sentralisasi atau desentralisasi dari proses tersebut. Di satu sisi spektrum ini, proses memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi, sedangkan di sisi lain, sistem di mana pemimpin partai, para pemimpin fraksi nasional atau eksekutif nasional memilih kandidat. Dalam praktik sistem perekrutan yang dilakukan parpol di Indonesia, spektrum yang kedua di mana pimpinan parpol memiliki peranan besar dalam proses nominasi kandidat masih sangat kuat.

Ketiga, harus dipilih oleh para pemilih. Mengenai proses rekruitmen anggota legislatif ini dapat digambarkan dalam skema berikut:

Skema 1 Sistem Rekruitmen Anggota Legislatif

Sumber: Pipa Norris, “Legislative Recruitment”, dalam L. Leduc, R. Niemi dan Pipa Norris, Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, (London: Sage, 1996), hal. 196. Lihat juga Azza Karam, 1998:67.

Dalam dokumen Aturan Hukum and Hak Asasi Manusia (Halaman 98-104)