• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ombudsman dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.

Dalam dokumen Aturan Hukum and Hak Asasi Manusia (Halaman 196-200)

keaDILan kOnSuMen Dan Hak aSaSI ManuSIa*

C. Ombudsman dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.

Perjuangan reformasi sejak 1997 dan pengaruh globalisasi telah memberi peluang dan sekaligus ancaman bagi perbaikan ekonomi negara. Pemerintahpun dituntut memahami pentingnya perbaikan kualitas pelayanan publik. Harus diwujudkan kondisi dan langkah yang lebih baik, tidak hanya diperuntukkan bagi pelaku bisnis tingkat nasional, melainkan juga bagi tumbuhnya investasi asing. Dengan pemberian layanan publik yang berkualitas akan membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari demokratisasi ekonomi. Dengan pemberian pelayanan publik yang berkualitas, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan menjadi lebih baik. Ini berarti bahwa pemberian layanan publik yang berkualitas akan menjadi lebih penting untuk dijalankan/ diwujudkan.25

Jika dilihat dari sudut pandang pelayanan, UU Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan yang lebih luas pada pemerintah daerah, tampak sebagai bagian dari pengurangan hambatan birokrasi sebagaimana yang sering dirasakan seperti, waktu pelayanan yang lama dan beaya yang mahal. Dalam era desentralisasi, pemerintah daerah harus berjuang untuk menjadi

25 Kecenderungan semakin besarnya peran dan tuntutan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara sangat jelas tampak dalam era desentralisasi. Pada bidang pelayanan publik, kecenderungan ini terlihat dari tekanan masyarakat akan kebutuhan pelayanan publik yang berkualitas. Hal ini akan mendorong pemerintah untuk melakukan berbagai perbaikan manajemen pelayanannya. Tekanan itu juga akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan komitmennya melalui berbagai

standar pelayanan yang ditentukan atas dasar aspirasi masyarakat dengan memperhatikan

kemampuan pemerintah dalam memberikan pelayanannya. Komunikasi yang terjadi antara masyarakat sebagai pelanggan dan pemerintah sebagai penyedia pelayanan, akan mendorong perbaikan kualitas pelayanan secara berkelanjutan. Dalam konteks desentralisasi, pelayanan publik akan dapat lebih responsif apabila otonomi daerah juga dapat mendorong adanya desentralisasi fungsional. Lihat: Dr. Ismail Muhamad, op.cit,

lebih mampu dalam mengelola berbagai kewenangan yang diberikan. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mampu dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas, memuaskan masyarakat, efektif, dan akuntabel. Dengan kata lain, implementasi otonomi daerah adalah juga sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Memang praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah kronis dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. Sebagai akibatnya, birokrasi menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Lebih jauh lagi, harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang lebih baik menjadi sulit untuk diwujudkan. Di samping itu, pilar penegakan hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, juga telah terjebak dalam sistem penegakan hukum yang koruptif karena lemahnya kontrol internal maupun eksternal.26

Jika dilihat dari pola organisasinya, pelayanan publik masih lemah seperti ditunjukkan dengan kurang responsif, keterbatasan informasi, kurangnya akses, lemahnya koordinasi, terlalu birokratis, dan kurangnya respon terhadap komplain. Oleh karena itu, harapan publik di era desentralisasi terhadap layanan publik yang berkualitas cenderung menguat. Disadari bahwa kredibilitas pemerintah dipertimbangkan dari kemampuannya menyelesaikan

26 Kelemahan sistemik sistem hukum Indonesia sudah menjadi rahasia umum

(lihat Bappenas:1997;Mahkamah Agung: 2003; Pompe: 2003). Kelemahan itu meliputi ketiadaan independensi, korupsi yang endemik, pengembangan SDM yang rendah,

lemahnya pengelolaan, dan akuntabilitas yang rendah. Administrasi, penganggaran, pengelolaan yang terkait dengan struktur sistem hukum formal telah berkontribusi pada kelemahan-kelemahan tersebut. Antara lain: kualitas personal dan ketrampilan hukum

yang rendah. Tingginya tingkat korupsi dimana keadilan dirasakan sebagai “untuk dijual” (mafia peradilan); perekrutan, penganggaran dan struktur sumber daya manusia yang menciptakan struktur insentif untuk dikorupsi; manejemen internal yang lemah dan ketiadaan “meritocracy” dalam sistem hukum; dan ketiadaan kemandirian dan rentan (vulnerability) dari intervensi politik. Lihat World Bank, ‘Village Justice in Indonesia, Case studies on access to justice, village democracy and governance’, 2003

berbagai persoalan sehingga mereka dapat memberikan pelayanan publik demi kepuasan masyarakat. Solusi alternatif guna menyelesaikan berbagai persoalan tersebut antara lain, menyusun standar pelayanan, pengembangan prosedur operasional standar (SOP), mengembangkan survei kepuasan pengguna, dan mengembangkan sistem penanganan aduan (complaint handling system).

Sehubungan dengan sistem penanganan aduan, harus disadari bahwa aduan atau komplain adalah sumber informasi yang penting bagi penyedia layanan untuk secara konsistem memelihara pelayanan yang berkualitas. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pembentukan sistem penanganan aduan yang efektif sehingga mampu memperbaiki kualitas pelayanan. Lemahnya fungsi kontrol yang dijalankan oleh lembaga-lembaga supervisi, telah menginspirasi pembentukan lembaga pengawas eksternal yang independen dan bebas dari pengaruh berbagai kepentingan, namun mempunyai akses dan pengaruh terhadap struktur birokrasi pemerintah dan lembaga-lembaga politik. Lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman, juga mempunyai tujuan yakni mewujudkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance principles). Fungsi Ombudsman sebagai

lembaga pengawas eksternal yang independen akan mengawasi kegiatan badan-badan pemerintah dalam pemberian pelayanan publik. Ombudsman juga dipercaya mampu memainkan perannya sebagai bagian dari lembaga yang efektif dalam penerimaan dan penanganan aduan/keluhan.27

27 Sesuai dengan ciriciri Ombudsman Klasik, seperti diuraikan oleh pakar Ombudsman

Amerika Serikat Dean M. Gotttehrer dan Michael Hostina, maka Komisi harus bersikap tidak memihak (impartial), bebas (independent), adil (fair), terpercaya (credible) dan harus

Landasan filosofis Ombudsman di Indonesia adalah:28

Pertama, pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi aktif mereka untuk mengawasi dan memastikan pemerintahan yang bersih, transparan, dan jujur, bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme; Kedua, pemberdayaan pengawasan masyarakat adalah

manifestasi dari demokratisasi guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan dan kedudukan oleh aparat pemerintah.

Ketiga, negara memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Dan Keempat, adanya suatu aspirasi dalam masyarakat untuk melahirkan badan pengawas non pemerintah (baca: swasta) yang independen.

Landasan hukum pembentukan Ombudsman adalah:29

1) Pasal 2 butir (6) Ketetapan MPR RI No. VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang menetapkan Arah Kebijakan pemberantasan KKN adalah:

“Membentuk Undang – undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi :

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; a.

Perlindungan Saksi dan Korban; b.

Kejahatan Terorganisasi; c.

Kebebasan Mendapatkan Informasi; d.

man, Efektivitas Ombudsman Indonesia-Kajian Tindak Lanjut Kasus-kasus Tertentu 2000-

2003, KON, 2003, hlm. 153.

28 Lihat Proceeding Seminar dan Penandatanganan MoU pada Pembentukan Ombudsman Daerah dan Ombudsman Swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2004.

Etika Pemerintahan; e.

Kejahatan Pencucian Uang; f.

Ombudsman. g.

2) UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS)

3) UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia30

Dalam dokumen Aturan Hukum and Hak Asasi Manusia (Halaman 196-200)