III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 1 Teori Tataniaga
3.1.2 Konsep Lembaga dan Fungsi Tataniaga
Dalam menyampaikan suatu barang atau jasa terlibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen. Karena jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa sering berjauhan dengan konsumen, maka fungsi badan perantara sangat diharapkan kehadirannya untuk menggerakan barang-barang dan jasa-jasa tersebut dari titik produsen ke titik konsumsi. Lembaga-lembaga ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan maupun perseroan yang akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik maupun fungsi fasilitas. Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1985) didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta berdasarkan bentuk usahanya, yaitu:
1. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan, yaitu: Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer,
grosir, dan lembaga perantara lainnya.
Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik, seperti badan pengangkutan/transportasi, pengolahan dan penyimpanan.
Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga, seperti informasi pasar dan kredit desa. Lembaga ini dapat berupa KUD (Kantor Unit Desa), Bank Unit Desa, dan yang lainnya.
2. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang, yaitu:
Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan tengkulak. Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang
dipasarkan, seperti agen, makelar atau broker dan lembaga pelelangan. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang
dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan. 3. Penggolongan tataniaga berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar, yaitu:
Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras dan pengecer rokok.
Lembaga tataniaga monopolistis, seperti pedagang bibit dan pedagang benih.
Lembaga tataniaga oligopolis, seperti importir cengkeh dan perusahaan semen.
Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api serta perusahaan pos dan giro.
4. Penggolongan lembaga tataniaga juga dilakukan berdasarkan bentuk usahanya, yaitu:
Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi.
Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer dan tengkulak.
Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari produsen ke konsumen memerlukan berbagai tindakan atau kegiatan. Kegiatan tersebut dinamakan sebagai fungsi-fungsi tataniaga. Pendekatan fungsi tataniaga yang sering dilakukan oleh pelaku tataniaga mencakup:
• Fungsi pertukaran merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang atau jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri atas fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
• Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Fungsi ini dibagi menjadi fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan dan fungsi pengolahan. • Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan tindakan yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri atas fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi dan grading serta fungsi informasi pasar.
3.1.3 Konsep Saluran Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1985) Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran merupakan rangkaian lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen ke konsumen. Limbong dan Sitorus (1985) berpendapat bahwa saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjangnya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa.
3.1.4 Konsep Strukur Pasar
Menurut Dahl dan Hammond (1977) struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antara partisipan. Berdasarkan karekteristik struktur pasar, Kohls dan Uhl (2002) mengelompokkan pasar ke dalam dua struktur pasar yang berbeda, yaitu Pasar Persaingan Sempurna dan Pasar Persaingan tidak sempurna.
Pasar Persaingan Sempurna (Perfect Competition), struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana banyak pembeli dan penjual memperdagangkan komoditi yang bersifat homogen atau seragam dengan jumlah
yang banyak, sehingga setiap pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar, atau dengan kata lain bahwa pembeli dan penjual merupakan pihak yang mengikuti harga (price taker) bukan sebagai pihak yang menetapkan harga (price maker). Tidak terdapat hambatan untuk keluar atau masuk pasar sehingga pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar. Pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna dan mobilitas sumber-sumber ekonomi juga relatif sempurna.
Struktur pasar persaingan tidak sempurna terbagi menjadi tiga yaitu Pasar (1) Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony); (2) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni (Oligopoly/Oligopsony) dan (3) Pasar Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition). Struktur pasar monopoli dicirikan dengan penjual tunggal dari sebuah komoditas yang bersifat unik dan sangat dideferensiasi dan penjual tersebut memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga pada struktur pasar monopoli penjual merupakan pihak yang menetapkan harga. Hambatan untuk masuk dan keluar yang besar seringkali merintangi pendatang potensial dan menawarkan kesempatan untuk memperoleh laba ekonomi. Dari segi pembeli disebut pasar monopsoni, yang terdiri hanya dari seorang pembeli suatu komoditi.
Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga penjual lain dan menjual produk yang bersifat homogen serta standar. Sedikit jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan, hal ini dapat disebabkan beberapa hal, seperti: paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan, lokasi yang langka dan sebagainya. Sedangkan pasar yang terdiri dari beberapa pembeli disebut pasar oligopsoni.
Pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menjual produk yang bersifat terdeferensiasi atau heterogen disebut pasar oligopoli terdeferensiasi. Sedangkan pasar oligopsoni terdeferensiasi merupakan pasar yang dicirikan dengan beberapa pembeli yang membeli produk yang terdeferensiasi.
Pasar persaingan monopolistik merupakan karakteristik struktur pasar antara pasar persaingan sempurna dan pasar oligopoli. Pasar persaingan
monopolistik dicirikan dengan terdapat banyak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi pada berbagai macam harga dan bukan atas satu harga pasar, dimana munculnya beberapa macam harga ini disebabkan penjual dapat melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli. Produk fisik dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gayanya, service dapat berbeda, sebagai akibat penglihatan pembeli yang berbeda atas barang yang ditawarkan dan kesediaan membayar harga yang berbeda.
Pada pasar persaingan monopolistik, penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling, disamping harga untuk menonjolkan penawaran. Dari segi pembeli pasar ini disebut pasar persaingan monopsoni.
Tabel 6. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat
No Karakteristik Struktur Struktur Pasar
Jumlah Penjual
Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli 1 Banyak Standarisasi Persaingan
Sempurna
Persaingan Sempurna
2 Banyak Diferensiasi Persaingan
Monopolistik
Persaingan Monopsonistik 3 Beberapa Standarisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4 Beberapa Diferensiasi Oligopoli
diferensiasi
Oligopoli diferensiasi
5 Satu Unik Monopoli Monopsoni
Sumber : Dahl and Hammond (1977)
3.1.5 Konsep Perilaku Pasar
Dahl dan Hammond (1997) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar, lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga.
Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien dan terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya. Perilaku pasar menggambarkan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar tersebut baik secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu.
3.1.6 Konsep Efisiensi Tataniaga
Menurut Khols dan Uhl (2002) persaingan yang efisien adalah pasar persaingan sempurna (perfect competition). Tetapi realitanya struktur pasar ini tidak dapat ditemukan. Ukyran efisiensi adalah “kepuasan” dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang dan jasa mulai dari petani sampai ke konsumen akhir; ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut sangant sulit dan relatif. Oleh karena itu banyak pakar menggunakan indikator efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga.
3.1.6.1 Konsep Marjin Tataniaga
Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor yang mampu memotivasi petani dalam melakukan kegiatan produksi. Insentif ekonomi tersebut dapat diketahui melalui besarnya keragaan dan perkembangan marjin tataniaga. Kohls dan Uhl (2002) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Asmarantakan (2009) diacu dalam Tomek dan Robinson (1990) memberikan dua alternatif dari definisi margin tataniaga yaitu : 1) Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang yang diterima produsen (petani), 2) merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem tataniaga tersebut.
Definisi yang pertama menjelaskan secara sederhana bahwa margin tataniaga adalah perbedaan harga ditingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf) dengan demikian margin pemasaran adalah M = Pr –Pf . Sedangkan pengertian yang kedua lebih bersifat ekonomi dan definisi ini lebih
tepat, karena memberikan pengertian adanya nilai tambah (added value) dari adanya kegiatan tataniaga dan juga mengandung pengertian dari konsep “derived supply” dan “derived demand”. Pengertian derived demand diartikan sebagai permintaan turunan dari “primary demand” yang dalam hal ini permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demand adalah permintaan dari pedagang perantara (grosir dan eceran) ataupun dari perusahaan pengolah (processor) kepada petani, sedangkan derived supply adalah penawaran ditingkat pedagang eceran yaitu merupakan penawaran turunan dari penawaran ditingkat petani (primary supply).
Perbedaan harga jual dari lembaga yang satu dengan lembaga lain sampai ke tingkat konsumen akhir disebabkan karena adanya perbedaan kegiatan dari setiap lembaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai ke titik konsumen, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen dibandingkan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen.
Perbedaan harga yang terjadi antara lembaga tataniaga satu dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tataniaga suatu komoditas yang sama disebut sebagai marjin tataniaga. Definisi marjin tataniaga juga digambarkan oleh kurva marjin tataniaga (Gambar 1).
P Nilai Marjin Tataniaga (Pf-Pr) x Qrf Sr Sf Marjin Tataniaga Pr (Pr – Pf) Pf Dr Df Biaya Tataniaga Qfr Q Keterangan:
Pr: Harga di tingkat pengecer Pf: Harga di tingkat petani Sr: Derived Supply Sf: Primary supply Dr: Primary Demand Df: Derived Demand
Gambar 1. Penggambaran Definisi Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga, dan Biaya Tataniaga (Sumber: Tomek and Robinson (1990) Dahl dan Hammond, 1977).
Menurut Asmarantaka (2009) diacu dalam Tomek dan Robinson (1990) dan Gonarsyah, I (1996/1997) margin tataniaga ditentukan oleh 1) perubahan harga-harga input faktor tataniaga, 2) efisiensi dari pengadaan jasa-jasa tataniaga, 3) jumlah dan kualitas jasa-jasa tataniaga dan 4) perubahan stuktur pasar dan teknologi. Oleh karena itu perubahan dari komponen diatas dapat mengubah margin tataniaga. Besarnya margin tataniaga sangat bervariasi diantara berbagai komoditas.
3.1.6.2 Konsep Bagian Harga yang Diterima Peternak (Farmer’s Share) Khols dan Uhl (2002) mendefinisikan Farmer's share merupakan perbedaan harga ditingkat pengecer dengan yang diterima petani dan dinyatakan dalam persentase harga di tingkat konsumen. Bagian harga yang diterima petani adalah perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Limbong dan Sitorus, 1985).
Farmer's share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produk mereka. Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani
Menurut Kohls dan Uhls (2002), farmer’s share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk dan biaya transportasi. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (Pr). Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:
Fs = Pf
/
Pr x 100%Keterangan: Fs =Farmer’s share Pf = Harga di tingkat petani
Pr = Harga di tingkat konsumen
Saluran tataniaga yang tidak efisien akan memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani melalui harga beli, sehingga harga yang diterima petani lebih rendah. Biaya tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sehingga akan menurunkan nilai farmer’s share. Sebaliknya pada saluran tataniaga yang efektif dan efisien, marjin dan biaya tataniaga menjadi lebih rendah sehingga perbedaan harga petani dengan konsumen lebih kecil dan nilai farmer’s share akan meningkat.
3.1.6.3 Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya
Besarnya rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga. Semakin menyebarnya rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien. Secara matematik, rasio keuntungan dan biaya dalam setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
i = Keuntungan lembaga tataniaga Ci = Biaya tataniaga
3.2 Kerangka pemikiran Operasional
Dasar penelitian ini adalah dengan dibentuknya Kampung Kelinci di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya oleh Ditjennak Depatemen Pertanian Republik Indonesia pada hari Sabtu tanggal 24 September Tahun 2011 yang bertempat di balai Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya. Tujuan dari terbentuknya Desa Kelinci ini adalah untuk memenuhi katahanan pangan yang berbasiskan komoditi lokal yaitu kelinci. Kelinci yang dibudidayakan di Desa Gunung Mulya terdiri kelinci hias jenis lokal dan luar serta kelinci pedaging.
Pada tahun 2011 populasi kelinci di Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan terutama di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya dibandingkan dengan desa-desa lainnya diwilayah Bogor. Dalam seminggu terdapat pembeli yaitu tengkulak yang mendatangi desa ini untuk membeli kalinci dengan harga yang cukup murah. Kelinci hias jenis tertentu dan kelinci pedaging yang diambil daging dan kulitnya dijual dengan harga yang sangat tinggi kepada konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa bagian yang diterima peternak kelinci sedikit sehingga margin tataniaga kelinci sangat besar.
Analisis tataniaga kelinci baik itu kelinci hias jenis lokal dan jenis luar maupun kelinci pedaging penting dilakukan agar dapat mengetahui saluran yang paling efisien bagi para peternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka. Analisis tataniaga ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis struktur dan perilaku pasar, saluran dan fungsi tataniaga, margin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya.
Kerangka Pemikiran Operasional
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Opersional Kelinci sebagai ternak hias dan penyedia daging
Peningkatan populasi kelinci di Bogor pada tahun 2007-2011
Tenjolaya merupakan kecamatan dengan populasi kelinci terbanyak di Kab. Bogor
Lembaga dan saluran tataniaga. 1. Identifikasi saluran tataniaga. 2. Fungsi tataniaga 3. Aktivitas lembaga yang terlibat. Efisiensi Tataniaga 1.Marjin tataniaga 2. Farmer’s Share 3. Rasio keuntungan terhadap biaya Struktur pasar dan Perilaku
Pasar 1. Praktek Penjualan dan
pembelian.
2. Sistem Penentuan harga. 3. Sistem pembayaran 4. Kerjasama antara lembaga
tataniaga
Sistem tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya dan saluran yang paling efisien
Rekomendasi dan saran kepada pihak kampoeng kelinci terkait dengan saluran pemasaran yang
paling efisien
Penetapan Desa Gunung Mulya sebagai Kampoeng Kelinci Tingginya harga kelinci yang diterima konsumen
Rendahnya harga jual yang diterima peternak kelinci di Desa Gunung Mulya
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan desa yang diberi nama sebagai Kampoeng Kelinci oleh Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Republik Indonesia. Penelitian ini mulai dilaksanakan pada Bulan Oktober 2011 sampai Juni 2012, yaitu mulai dari persiapan pembuatan proposal sampai penyerahan skripsi, sedangkan pengambilan data dilapangan dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2012.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari masing-masing lembaga pemasaran dalam saluran pemasaran Kelinci di Desa Gunung Mulya kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor, yaitu produsen, pengumul, koperasi, pengecer dan agen. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data kualtitatif dan kuantitatif mengenai nilai dan volume penjualan serta pembelian masing-masing lembaga pemasaran, alur pemasaran, kondisi, struktur, serta keragaan pasar. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik Jakarta, Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, Perpustakaan LSI, Koperasi Peternakan Kelinci (KOPNAKCI), Poktan Budi Asih, internet, serta literatur yang terkait dengan Kelinci.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan wawancara langsung yang dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan jumlah responden baik itu peternak, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, koperasi dan (Freezer Point). Penentuan responden yang dilakukan berdasarkan keterlibatannya secara langsung dalam kegiatan tataniaga dan lembaga-lembaga tataniaga yang mendukung.
Data responden berasal dari peternak kelinci di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya, Koperasi Peternakan Kelinci (KOPNAKCI) dan Lembaga Tataniaga Kelinci. Jumlah responden pelaku pasar yang terdiri dari pedagang pengumpul, koperasi dan pedagang pengecer yang diambil berdasarkan penelusuran jumlah yang ada di lapangan. Dari penelusuran ini diketahui lembaga-lembaga apa saja yang terlibat dalam proses tataniaga kelinci di Desa Gunung Mulya.
4.4. Metode Penarikan Responden
Dalam penelitian ini sampel yang dijadikan responden adalah Peternak Kelinci (produsen), Koperasi dan Pedagang (lembaga tataniaga). Penarikan responden dari peternak pada penelitian ini dengan cara sensusdari peternak yang berjumlah 25 orang yang ada di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjo Laya. Penggunaan metode sensus karena responden diketahui berjumlah sedikit yaitu 25 orang. Sedangkan penarikan responden dari lembaga pemasaran menggunakan metode snawball.
Pemilihan penggunaan metode snawball, karena penulis kurang mendapatkan informasi secara jelas tentang jumlah responden lembaga tataniaga, sehingga masih harus dilakukan lagi penelusuran terhadap alur pemasaran dari kelinci dari peternak sampai ke konsumen. Jumlah responden dari lembaga tataniaga adalah 8 orang, dimana pedagang pengumpul desa berjumlah 1 orang, pengecer 4 orang yang terdiri dari 3 pengecer dalam Bogor dan 1 pengecer luar Bogor, 2 anggota koperasi dan 1 agen (freezer point)dalam Bogor.
4.5 Metode Pengolahan Data
Data dan informasi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan kalkulator, komputer dan disajikan dalam bentuk deskriptif, gambar dan tabulasi yang digunakan untuk mengelompokkan dan mengklasifikasikan data yang ada dalam melakukan analisis data. Perhitungan marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya (Benefit/Cost ratio) dilakukan dengan menggunakan kalkulator. Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pengelompokan data, perhitungan penyesuaian-
penyesuaian dengan kalkulator tangan untuk kemudian ditabelkan menurut keperluan.
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif ditujukan untuk menganalisis saluran pemasaran, struktur pasar, dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan pada aspek-aspek efisiensi pemasaran, yakni margin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya.
4.5.1 Analisis Saluran dan Fungsi Tataniaga
Analisis ini digunakan untuk mengetahui saluran tataniaga kelinci baik itu jenis kelinci hias lokal, luar dan pedaging di Desa Gunung Mulya dan lembaga- lembaga yang melakukan fungsi- fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan juga fungsi fasilitas. Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Saluran tataniaga kelinci dapat ditelusuri dari titik produsen sampai ke konsumen akhir. Alur pemasaran tersebut dijadikan dasar dalam menggambarkan pola saluran pemasaran. Semakin panjang rantai yang dilalui, maka saluran tataniaga tersebut biasanya tidak efisien, karena dengan rantai yang semakin panjang maka margin yang tercipta antara produsen dengan konsumen akan semakin besar.
Saluran tataniaga kelinci di wilayah Bogor baik itu kelinci jenis hias lokal, luar dan pedaging dapat dianalisis dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk rantai saluran pemasaran tersebut. Para lembaga tataniaga ini akan membentuk sebuah alur, yakni berupa saluran tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut berperan sebagai perantara dalam penyampaian kelinci dari produsen kepada konsumen akhir.
Saluran tataniaga (pemasaran) yang berbeda akan menyebabkan perbedaan pendapatan yang diterima oleh lembaga tataniaga yang terlibat. Metode analisis saluran tataniaga diperlukan untuk menelusuri saluran tataniaga kelinci dari