BAB II KAJIAN TEORETIK
A. Acuan Teori
4. Konsep Mendidik Anak Tanpa Kekerasan
Menunurut Heddy Shri Ahimsa Putra dalam buku Endang Sumiarni, secara umum kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau badan menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman dapat berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.44 Dengan demikian kekerasan dapat dikelompokkan dalam kategori kekerasan fisik, mental, dan seksual.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) secara lebih rinci menjelaskan pengertian-pengertian tentang kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Menurut ketentuan pasal 6 Undang-Undang
tersebut, “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat.” Kemudian mengenai kekerasan psikis,
di dalam pasal 7 Undang-Undang Tersebut dikatakan bahwa “Kekerasan psikis adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Selanjutrnya, mengenai kekerasan seksual, pasal 8 ayat (a) dan (b) UUPKDRT menggariskan bahwa kekerasan seksual meliputi: pemaksaan hubungan seksual seseorang untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Melihat pengertian-pengertian di atas maka kekerasan dapat diartikan bukan semata-mata kekerasan fisik tetapi juga kekerasan mental dan sosial.
44
Endang Sumiarni, Pendekatan Hukum pada Penanganan Kekerasan dan Penelantaran Anak, (Yogyakarta: UGM Dr Sardjito, 2002)
b. Bentuk-bentuk kekerasan
Berdasarkan data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan kekerasan dalam keluarga (rumah tangga) dan kasus yang ditangani kepolisian, bentuk kekerasan yang terjadi adalah:
1) Kekerasan fisik, merupakan bentuk kekerasan dimana korban mengalami penderitaan yang secara fisik baik dalam bentuk ringan maupun berat. Kekerasan fisik dalam bentuk ringan misalnya mencubit, menjambak, memukul dengan pukulan yang tidak menyebabkan cidera, dan sejenisnya. Sebagaimana disebutkan pada pasal 6 bahwa kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah “perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh saki, atau luka berat.”45 Kekerasan fisik kategori berat misalnya memukul hingga cidera, menganiaya, melukai, membunuh, dan sejenisnya. Kekerasan fisik dengan bekas yang dapat dilihat dengan kasat mata biasanya mudah diproses melalui hukum, karena terdapat bukti materiil yang digunakan sebagai alasan.
2) Kekerasan seksual, adalah kekerasan yang dapat berbentuk pelecehan seksual seperti ucapan simbol, dan sikap yang mengarah pada porno, perbuatan cabul, perkosaan, dan sejenisnya. Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: 1)
“pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut; 2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkungan rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.”46
3) Kekerasan psikis, adalah bentuk kekerasan yang tidak tampak bukti yang dapat dilihat secara kasat mata. Kekerasan psikis sering menimbulkan dampak yang lebih lama, lebih dalam, dan memerlukan rehabilitasi secara intensif. Bentuk kekerasan psikis antara lain
45
UU RI Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004
46
berupa ungkapan verbal, sikap atau tindakan yang tidak menyenangkan yang menyebabkan seorang korbannya merasa tertekan, ketakutan, merasa bersalah, depresi, trauma, kehilangan masa depan, bahkan ingin bunuh diri. Pada pasal 7 kekerasan psikis sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah “perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat pada seseorang.”47
4) Kekerasan ekonomi/penelantaran ekonomi, kekerasan ini pada umumnya berbentuk tidak menjalankan tanggungjawabnya dalam memberikan nafkah dan hak-hak lainnya, terhadap istri, anak, atau anggota keluarga lainnya dalam lingkup rumah tangga. Pasal 9 (1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
c. Faktor-faktor Penyebab Pendidikan dalam Keluarga dengan Kekerasan
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi mengapa orangtua lebih mengedepankan kekerasan dalam pendidikan di keluarga. Mengutip tulisan Asadulloh Al-Faruq dalam bukunya “Ibu Galak Kasihan Anak” diantaranya yaitu:
1) Latar belakang pendidikan dan pengalaman orangtua
Ada kemungkinan kurangnya pengetahuan orangtua dalam mendidik anak dan karena masa lalunya. Mungkin dulu orangtua mendidiknya dengan gaya yang otoriter dan selalu menuntut anaknya untuk menjadi sebagaimana yang diinginkannya. Dari sikap tersebut, sadar atau tidak sadar, suka atau tidak, sikap karakter orangtua tersebut menurun kepada anaknya.
2) Buah kasih sayang yang berlebihan
47
Kasih sayang merupakan pola hubungan yang unik antara dua orang atau lebih. Kasih sayang yang berlebihan dari para orangtua kepada anak merupakan hal yang dapat berdampak negatif bagi anak. Anak yang dibesarkan dalam asuhan kasih sayang yang berlebihan dapat menjadi anak yang rentan masalah, kehilangan kepercayaan diri, tidak berani mengambil resiko, tidak mau melakukan pekerjaan- pekerjaan yang penting dan selalu mengharapkan uluran tangan orang lain.
3) Menganggap pendidikan gaya keras lebih efektif
Setiap orangtua memiliki gaya yang berbeda-beda ketika berkomunikasi dan berinteraksi dengan anaknya. Model pendidikan yang belainan dan dipengaruhi oleh latar belakang serta lingkungan masing-masing. Salah satu yang menjadi pilihan bagi orangtua adalah pendidikan dengan gaya keras dan otoriter, cenderung memaksa serta mudah memberikan hukuman. Pendidikan semacam ini pada akhirnya akan melahirkan orangtua yang berkarakter keras, meskipun ada kelebihan dan kekurangan di dalamnya.
4) Adanya tuntutan berlebihan pada anak atau harapan (espektasi) yang berlebih pada anak
Faktor berikutnya yang dapat menjadikan orangtua memiliki karakter keras dalam mendidik adalah harapan (espektasi) yang berlebihan kepada anak. Orangtua sering kali tidak menyadari manakala melampiaskan obsesi terpendamnya kepada anak, atau keinginan orangtua untuk menjadikan anaknya seperti yang ia kehendaki tanpa memperdulikan kemauan dan keinginan anak merupakan pemicu paling umum terjadinya stres pada anak.
5) Suka membanding-bandingkan dengan orang lain
Tipe pendidikan gaya keras atau otoriter orangtua disebabkan keirian orangtua kepada orang lain. Orangtua berharap anaknya bisa seperti orang lain yang sukses. Orangtua yang demikian sering membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain. Kemudian
orangtua melanjutkannya dengan memberikan tuntutan agar si anak bisa seperti orang yang dibandingkannya.
6) Pelampiasan dari beban hidupnya
Orangtua adalah manusia biasa yang menjalani hidupnya dengan berbagai macam skenario yang tak luput dari sekian banyak masalah. Serentetan keadaan yang berbeda-beda setiap harinya harus dihadapi. Terkadang permasalahan itu datang dalam jumlah yang banyak secara bersamaan dan tiba-tiba. Di saat kondisi seperti itu, emosi menjadi labil dan sering tidak terkontrol. Hal yang sepele dijadikan sebagai faktor pemicu baginya untuk marah-marah kepada orang lain yang ada di sekitarnya, termasuk anak.
Dari beberapa faktor diatas penulis menyimpulkan bahwa yang menjadi penyebab orangtua mengedepankan kekerasan dalam penyampaian pendidikan kepada anak dibagi menjadi lima garis besar, yaitu latar belakang pendidikan dan pengalaman orangtua, aplikasi dari rasa kasih sayang yang berlebihan, adanya espektasi atau harapan yang berlebihan kepada anak, dan pelampiasan dari beban hidup. Belajar dari itu semua hendaknya khususnya penulis sendiri, umumnya orangtua, calon orangtua, pendidik, atau calon pendidik yang mengemban kewajiban mendidik anak hendaknya mencoba menata masa depannya untuk memulai perubahan ke arah yang positif.