• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan Islam

Oleh:

Rizka Hendariah

NIM 108011000043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Sltripsi:

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dar Kegur.ual (FITK)

untuk Memenuhi Peisyaratan Memperoleh Geiar Sarjana

Pendidikan Islam (S.pd.I)

Oleh :

Rizka Hendariah

108011000043

Di Barvah Bimbingan:

Drs. Masan A.F. M.Pd

NrP. 19510716 198103

r

005

PROGRAM

STT,IDI

PENDIDIKAN

AGAMA

ISLAM

FAKITILTAS ILMLT

TARBIYAH

DAN KEGI-]RUAN

UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARII HIDAYATULLAH

JAKAPJA

(3)

Anak'fanpa KekerasaD) disusur oleh Rizka Hcndariah, NIM. 108011000043. Progianl studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu 1'arbiyah dan Keguruan, Universilas Islam Negeri Syarif llidayatullah Jakafia. Telah melalui bimbingan

dan dinyatakar sa11 sebagai karya ilmia.h yeng berhak untuk Ciujikan paCa sidang

mLrnaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkal oleh fakultas.

Jakarta, 1I Desernber 2012

Yang mengesahkan,

Pcmbimbing

(4)

Hida)atullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 23 April 2013 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak mernperoleh gelar Sarjaoa S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (ketua

Jurusan/Prodi)

Tanggal

.lakarta,23

Ap

l2013

Tanda tangan

Bahrissalim. MA

NIP: 19803071 99803 1 002

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Dls. Sapiudin Shiddiq. MA NIP: 196?0328 200003 1 001

Penguji

I

Drs. Rusdi Jamil. MA

NIP: 19621231 199503 1 005

Perguji

II

Siti Khadiiah. MA

NIP: 19700727 199703 2 00,1

-t"l)

*.t=-L^*!.L.

)t

/

M<\

1011

engetahui:

i Nawawi. MA

it

(5)

Nama

N]M

Program Studi Alamat

Rizka Hendariah

10801 r 000043

Perdidikar Agama Islam

Kemanggisan Rt 001/012 No. 44D Kec. Palmerah Kel. Palmerah, Jakarta Bamt 11480

MENYATAKAII DENGAIT SESI]NGGUIINYA

Bahwa

Skipsi

yang berjudul Konsep Pendidikan

Anak

dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan) adalah benar hasil karya sendfui di bawah

bimbingan dosen:

Nama Pembimbing : Drs. MasaB AI., M.Pd

NIP

:19510716 198103

t

005

Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila iertrukti bahwa skripsi ini bukar hasil karya ssndfui.

Jakarta

ll

Desember 2012
(6)

i

Pendidikan anak dalam keluarga dengan mengedepankan kekerasan merupakan pendidikan yang tidak dianjurkan dalam agama. Kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau badan menjadi tidak nyaman. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang berbagai macam perilaku atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga dengan mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku kekerasan dari berbagai pendapat para ahli dan media cetak serta mengetahui konsep pendidikan anak dalam keluarga tanpa melalui kekerasan, sehingga tidak ada lagi orangtua atau pendidik mendidik anak dengan kekerasan. Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research) yaitu menganalisa data yang telah diperoleh melalui surat kabar, jurnal pendidikan anak serta buku-buku tentang pendidikan anak dalam keluarga yang mengedapankan kasih sayang dalam penyampaiannya. Metode penelitian ini adalah metode kepustakaan atau (Library Research). Teknik pengumpulan data yaitu dengan mengumpulkan buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil penelitian lainnya dari berbagai perpustakaan. Analisa data dengan cara analisis isi (Content Analysis).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mendidik anak dengan cara kekerasan akan tidak efektif. Dilihat dari kacamata Pendidikan Islam, pendidikan dengan kekerasan bukanlah pendidikan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pendidikan melalui kekerasan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kekerasan verbal dan kekerasan non verbal (kekerasan psikologis dan fisik). Konsep pendidikan anak tanpa kekerasan dapat dilakukan dengan memahami arti anak sesungguhnya dan mencintainya karena Allah SWT., samakan pandangan orangtua, selalu mendoakan kebaikan kepada anak, mendidik dengan keteladanan, menasehati melalui perkataan yang baik, menjalin komunikasi yang baik antara orangtua dan anak, tidak membedakan jenis kelamin, pendidikan yang demokratis bukan otoriter, hargai perilaku baik anak, memberi hukuman yang tidak kasar dan tidak menyakitkan.Untuk menghindari pendidikan kekerasan terhadap anak dengan menggunakan prinsip dalam memberikan hukuman yaitu: beritahu kesalahannya, hukuman bertahap, tidak boleh keluar kata kasar, kesalahan anak menjadi bahan evaluasi orangtua, mengukum atas dasar prilaku, adil dan konsisten dalam menghukum, serta menghukum dengan tujuan memperbaiki bukan menyakiti. Dampak pendidikan dengan kekerasan bagi anak diantaranya: anak menjadi stres atau depresi, mogok melakukan sesuatu, berbohong karena takut dimarahi, mencoba berontak, menyandang predikat “anak nakal”, menurunkan tingkat kecerdasan, trauma yang berlanjut, menghambat proses perkembangan jiwa, menyebabkan anak menjadi durhaka. Sebagai rekomendasi pengkajian ini, disarankan perlu adanya penyuluhan dan bimbingan sosial terhadap keluarga dengan pembelajaran keluarga untuk menghindari tindakan sewenang-wenang, dan penerapan pola asuh yang bijaksana.

(7)

ii

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, segala puji hanyalah milik Allah Ta’ala, Pencipta

semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada

Rasulullah SAW., beserta keluarga, para sahabat, dan para siapa saja yang selalu

berittiba’, mengikuti sunnah-sunnah beliau sampai akhir zaman. Alhamdulillah,

dengan izin Allah SWT., penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak tanpa Kekerasan)”.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa kehadiran skripsi ini tidak terlepas

dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis

menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih

layak penulis sampaikan kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA

2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Bahrissalim, MA

3. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Sapiuddin Shiddiq, M.A

4. Drs. Masan A.F., M.Pd. yang telah banyak memberikan sumbangsihnya dalam

membimbing penulisan dan penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini

5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pelayanan

selama melaksanakan studi

6. Seluruh staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta,

(8)

Perlindungan Anak Indonesia, yang telah memberikan kemudahan selama

penyusunan laporan skripsi ini

7. Ayahanda tercinta Bapak Nandan Suhendan dan Ibunda tersayang Ibu

Herliyah yang tak kenal lelah memberikan motivasi moril dan materil kepada

ananda, pengorbanannya yang senantiasa mendorong dan mendo’akan ananda

untuk berjuang dan menyelesaikan studi

8. Untuk adik-adik manis Hanni Khairunisa, Hanna Khairunisa, Nabillah

Nurjihan, dan Rizqillah yang kesediaan kalian mendo’akan, menemani, dan

membantu menghadirkan banyak inspirasi

9. Fachrizal Dwi Ramandharu, SH yang selalu hadir menemani, memberikan

motivasi, dan mendengarkan curahan hati adinda

10.Teman-teman terbaik Siti Qory Maryam, Haifa Sayuti Usman, Dina Nurina,

Nidaul Islamiyyah yang selalu bersedia untuk saling berbagi dan menemani

saat susah maupun senang

11.Untuk Abu Dzar Al-Ghifari, Ahmad Ubay, Fatimatuzzahra, Khairul Bariyyah

dan teman-teman seperjuangan mahasiswa PAI “B” angkatan 2008 yang telah

sama-sama berjuang dalam studi. Terima kasih kalian telah menjadi sahabat

dan tempat berbagi ilmu, cerita, tawa, dan tangis. Thanks for everything my

best friends

12.Serta semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis tidak dapat membalas kebaikan semua pihak yang terlibat,

semoga Allah SWT., membalas dengan kebaikan dan dapat melahirkan kebaikan

(9)

Sungguh, kekurangan dan kesalahan terdapat di sana-sini dalam skripsi

ini adalah murni dari penulis sebagai manusia biasa yang penuh dengan

kelemahan, baik dari sisi pengetahuan maupun yang lainnya. Dengan segala

kerendahan hati, maka saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari para

pembaca, akan senantiasa penulis harapkan.

Jakarta, 11 Desember 2012

Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Hasil Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORETIK ... 10

A. Acuan Teori ... 10

1. Konsep Pendidikan Anak ... 10

2. Konsep Pendidikan Keluarga ... 22

3. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga ... 34

4. Konsep Mendidik Anak Tanpa Kekerasan ... 37

B. Pandangan Islam Terhadap Kekerasan dalam Keluarga ... 41

C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. Objek dan Waktu Penelitian ... 46

B. Metode Penelitian ... 46

C. Fokus Penelitian ... 48

D. Prosedur Penelitian ... 48

BAB VI TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif ... 49

B. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif ... 53

C. Pembahasan ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

(11)

C. Saran ... 76

(12)
[image:12.595.164.440.279.546.2]

vii

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002, lahir pasal baru

yang secara khusus bicara soal perlindungan anak, yaitu pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”.1

Tanggung jawab kependidikan anak adalah tanggung jawab bersama

antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari ketiga lembaga tersebut salah satunya adalah keluarga. “Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik

dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak,

tentu akan terlambatlah pertumbuhan anak tersebut”.2

Anak adalah belahan jiwa yang berjalan di atas bumi. Karena mereka

para orangtua atau pasangan suami istri merasakan makna hidup setelah cinta

kepada Allah dan Rasul-Nya. Semua yang dilakukan para orangtua adalah

untuk membawa mereka kepada kehidupan yang baik. Mereka adalah

1

Tim Buku Pintar, Undang-Undang Dasar dan Perubahannya UUD No.23 Tahun 2002 BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Buku Pintar, 2011), Cet. II, h. 32.

2

(14)

generasi masa depan. Di bahu mereka terdapat harapan dan cita-cita bangsa

baik dengan tanggung jawab mereka atas masyarakat dan negara atau

tanggung jawab paling mulia yaitu menyebarkan dakwah Islam. Kondisi

anak saat ini akan sangat mempengaruhi terhadap kondisi bangsa yang akan

datang. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi orangtua untuk

memperhatikan anak-anak karena mereka memegang tanggung jawab di

hadapan Allah dalam mengasuh dan menunjukan anak kepada jalan kebaikan.

Melalui keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal

kehidupan. Keluarga dimanapun harus mampu mengemban tugas mulia

menghasilkan generasi baru yang berkualitas. Kelak akan dijumpai

masyarakat yang sejahtera lahir dan batin serta damai, dan bermartabat,

demokratis, serta saling menghormati dalam keberagamaan. Menurut sabda

Rasulullah SAW., anak juga merupakan investasi akhirat:

ه ا لوس ر َّ ا ةرْي ر ىبا ْنع

ها ىىل

ق مَىسو ْيىع

ا

ا: ل

ا

ام

ا

مدآ نْب

عطقْنا

ىمع

َّا

اىث ْنم ا

ا ب عف ْي مْىع ْوا يراج ق ل

ّو ْو

) مىسم اور( ّ ْوعْ ي حّال

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Jika seorang anak Adam meninggal dunia, maka semua (pahala) amalnya terputus, kecuali (pahala) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang selalu memanjatkan do’a untuknya.” (HR. Muslim).3

Untuk melahirkan generasi yang berkualitas, maka anak mempunyai

hak dan kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang, perhatian makanan

yang cukup dan bergizi, kesehatan yang baik, bermain, pengembangan

spiritual dan moral, pendidikan, serta memerlukan lingkungan keluarga dan

sosial yang mendukung kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan

perlindungan. Masa anak-anak adalah masa belajar dan masa berkembangnya

aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia, seperti perkembangan fisik,

3

(15)

kematangan intelektual, emosi, dan hubungan sosial. Pada masa ini, mereka

mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan

yang umum, membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai

makhluk yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan

teman-teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosialnya, mengembangkan

keterampilan-keterampilan dasar, untuk membaca, menulis, dan berhitung.

Setiap hari baik melalui media cetak, elektronik, dan secara langsung

banyak ditemui adanya anak yang mendapat perlakuan kasar, diperlakukan

sewenang-wenang, disakiti, disiksa baik fisik maupun mentalnya. “Sekitar

60% orangtua diduga melakukan tindak kekerasan. Dengan dalih

mendisiplinkan anak dan mengatasnamakan pendidikan, mereka menjewer,

menampar, memukul, mencaci maki, padahal bukan kepatuhan yang muncul

setelahnya.”4

Berdasarkan data Komisi Pelindungan Anak, kasus tindak kekerasan terhadap anak tahun 2004 mencapai 544 kasus. Tahun 2005 meningkat menjadi 736 kasus, dan Januari 2006 telah terjadi 69 kasus. Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi dan merupakan fenomena gunung es mengingat banyaknya kasus yang tidak terlaporkan maupun yang sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga maupun masyarakat sekitar.5

“Adapun jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah pada tahun 2004 mencapai 48.526 kasus.”6 “Menurut kompilasi dari 9 surat

kabar nasional tanggal 10 Desember 2009 menyebutkan jumlah anak yang

membutuhkan perlindungan khusus dan perlakuan salah terhadap anak,

sekitar 7.778 anak. Sedangkan pada tingkat lokal di Bayumas tercatat 36

korban tindak kekerasan pada anak dalam keluarga atau rumah tangga.”7

Kekerasan pada anak merupakan refleksi kegagalan pengasuhan

yang berlangsung lintas generasi, oleh sebab itu pemotongan siklus kekerasan

4

Suryani, Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Keluarga,Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1 Maret 2010), Vol. 34, h. 47.

5

Harian Kompas, 3 Maret 2006

6

Suryani, loc. cit. h. 36. Departemen Sosial Republik Indonesia, dalamhttp//www.google.co.id/anakkorbantindakkekerasan

7

(16)

harus dimulai dari keluarga. Hal yang perlu diperhatikan dalam memutus

siklus kekerasan dalam kehidupan bukan dimulai dengan mengajarkan apa itu

kekerasan pada anak, melainkan orang dewasalah atau orangtua sebagai

pendidik yang belajar untuk tidak melakukan kekerasan dalam keluarga atau

kehidupan. Keluarga memiliki potensi yang besar untuk menekan tindak

kekerasan terhadap anak. Untuk itu perlu adanya kasih sayang, perhatian, dan

perlindungan yang harus diberikan kepada anak agar tumbuh kembang dalam

atmosfer yang penuh dengan cinta kasih dan perdamaian.

Mendidik anak hendaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Dengan menyadari kembali bahwa anak adalah amanah Allah SWT., yang

harus dipertanggungjawabkan di akhir masa kehidupan setiap orangtua. “Orangtua dan keluarga boleh saja tidak memiliki harta melimpah, tetapi mereka tidak boleh kehilangan cinta dan kasih sayang terhadap anak. Sebab,

cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan elementer yang mutlak harus

diperoleh seorang anak pada masa tumbuh kembang”. 8 Anak yang

kehilangan cinta dan kasih sayang akan tumbuh dengan penuh deviasi dan

patologis (keadaan berupa penyimpangan perilaku dalam bentuk merugikan

atau merusak diri sendiri dan orang lain). Sebaliknya, anak yang tumbuh

dalam lingkungan keluarga yang kokoh, penuh cinta, dan jauh dari

eksploitasi, akan lahir sebagai generasi yang berkarakter, dan pada gilirannya

akan menjadi warga masyarakat dan warga negara yang berkarakter pula.

Walaupun pada umumnya masyarakat, khususnya para orangtua sudah

mengetahui betapa pentingnya peran orangtua bagi pertumbuhan dan

pendidikan anak, tetapi pada kenyataannya masih banyak orangtua yang tidak

melaksanakan cara-cara mendidik anak dengan baik. Masih saja ada orangtua

yang mendidik anaknya dengan cara yang keliru, seperti: menggunakan

kata-kata yang kasar untuk menasehati, kurangnya memberikan penghargaan

terhadap keberhasilan yang anak capai untuk membesarkan hatinya, perilaku

membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan anak yang

8

(17)

lain, menggunakan kekerasan dalam mendidik (memukul, mencubit,

menjewer, dan sebagainya), bahkan terjadinya eksploitasi anak. Pelaku tindak

kekerasan dan eksploitasi anak bukanlah oleh negara sebagaimana terjadi

pada masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh perorangan dan kelompok

masyarakat atau non state actor. Maka jadilah sebagaimana mudah

ditemukan di surat kabar, televisi, atau internet, orangtua dengan mudah

menjual bayinya, keluarga dekat memperdagangkan saudara dekatnya, ayah

dan ibu kandung memaksa anak-anaknya mengemis, bahkan melacurkannya.

Seolah-olah tidak ada lagi cinta dalam hubungan orangtua dengan anak, yang

ada hanya hubungan kepentingan transaksional. Nilai anak rupanya telah

berubah, dari anak sebagai amanah Allah SWT., menjadi anak sebagai nilai

ekonomi. Padahal dalam Al-Qur’an dijelaskan janganlah kamu

menghilangkan anakmu karena takut miskin. Sesungguhnya Allah lah Maha

Pemberi Rizki. Sebagaimana firman-Nya dalam (Q.S. Al-An’am [6]: 151)

(18)

Kompleks memang permasalahan kekerasan terhadap anak. Namun

penelitian ini tidak akan membahas permasalahan tersebut secara

keseluruhan, yang akan difokuskan adalah bagaimana cara orangtua

mendidik anaknya di dalam keluarga dengan baik, sesuai dengan ajaran

agama Islam, lebih mendahulukan kasih sayang dibanding menggunakan

kekerasan dalam penyampaiannya. Karena pada dasarnya kembali lagi,

prestasi generasi tua bangsa ini menjadi tidak berarti jika generasi

berikutnya tidak terdidik atau salah didik sebagai generasi penerus.

Anak-anak terbentuk karakternya melalui tiga lingkaran pendidikan, seperti

dikatakan di paragraf sebelumnya yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Salah satu dari ketiga lingkungan pendidikan tadi adalah keluarga.

Seperti telah disingung di atas, dewasa ini banyak orangtua yang tidak tahu

bagaimana menyalurkan rasa kasih sayang kepada anak secara baik dan

benar atau mendekati tepat. Banyak orangtua mendidik anaknya dengan

kekerasan, meskipun orangtua melakukan itu didasarkan rasa kasih sayang

yang amat teramat sangat kepada anaknya agar anaknya menjadi pribadi

yang baik dan dapat menjadi insan kamil serta sebaik-baiknya khalifah di

bumi Allah SWT. Anak adalah amanah Allah yang harus dididik dengan

sebaik-baiknya didikan. Tentu akan sangat berbeda ketika dewasa, antara

anak yang dididik dengan pola kasih sayang, dan dengan anak yang diasuh

melalui cara kekerasan dan sikap otoriter.

Sebait puisi Dorothy Law Nolte tentang pendidikan anak yang

menggugah kesadaran dalam bukunya Children Learn What They Live,

sebagaimana dikutip oleh Asadulloh Al-Faruq bertutur sebagai berikut :

Jika anak dibersarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian

Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah

(19)

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.9

Berangkat dari hal tersebut, menarik sekiranya penulis membahas

mengenai bagaimana ”Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga

(Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi

beberapa masalah yang akan dimunculkan, diantaranya :

1. Sebagian orangtua masih menggunakan kata-kata kasar untuk menasehati

anak

2. Orangtua kurang memberikan penghargaan terhadap keberhasilan yang

anak capai untuk membesarkan hatinya

3. Masih terdapat kekeliruan orangtua dalam memberikan kasih sayang

kepada anak

4. Perilaku membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan

anak yang lain

5. Menggunakan kekerasan dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti

fisik

6. Kurang memperhatikan kebutuhan anak di rumah

7. Kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya atau

membuat anak takut bertanya, dan

8. Ada sebagian orangtua yang mengeksploitasi anak.

C.

Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, karena cukup luasnya mengenai

masalah pendidikan anak dalam keluarga, maka penulis membatasi masalah

yang akan diteliti hanya pada masalah menggunakan kata-kata kasar untuk

9

(20)

menasehati anak, kurangnya memberikan penghargaan terhadap keberhasilan

yang anak capai untuk membesarkan hatinya, dan menggunakan kekerasan

dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti fisik seputar bagaimana

sebaiknya perlakuan atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak dengan

mengedepankan kasih sayang dibanding menggunakan kekerasan. Kekerasan

yang dimaksud yaitu nasehat dengan kata-kata kasar disertai menyakiti fisik

seperti memukul, mencubit, menjewer, dan sebagainya. Anak di sini adalah

bayi yang masih di dalam kandungan hingga anak usia 17 tahun.

Buku-buku yang menjadi acuan pada skripsi ini diantaranya:

1. Buku karangan Maria Ulfah anshor dan Abdullah Ghalib dengan judul

Parenting with Love,

2. Buku karangan Asadulloh Al-Faruk dengan judul “Ibu Galak Kasihan

Anak,

3. Buku karangan Wendi Zarman dengan judul “Ternyata Mendidik Anak

Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif.,

4. Buku karangan Dr. Musthafa Abu Sa’ad dengan judul Istratijiyyah

at-Tarbiyyah al-Ijabiyyah (Judul Terjemahan: Smart Parenting, 30 Strategi

Mendidik Anak; Cerdas Emosional, Spiritual, Intelektual) yang

diterjemahkan oleh Fatkhurozi dan Nashirul Haq.

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka

dalam penulisan skripsi ini, masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai

berikut:

”Bagaimana cara mendidik anak dalam keluarga tanpa menggunakan kekerasan? ”

E.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh informasi tentang berbagai macam perilaku atau pola asuh

(21)

mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku

kekerasan dari berbagai pendapat para ahli dan media cetak

2. Mengetahui konsep pendidikan anak dalam keluarga tanpa melalui

kekerasan.

F.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :

1. Memberikan informasi kepada para orangtua dan calon orangtua tentang

pentingnya mendidik anak dengan cinta dan kasih sayang serta

menghindari didikan dengan kekerasan

2. Sebagai informasi kepada umumnya masyarakat, khususnya keluarga atau

orangtua maupun calon orangtua tentang pandangan Islam dalam mendidik

anak di keluarga

3. Memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan

dalam lingkungan keluarga.

4. Memberikan kesadaran kepada masyarakat pada umumnya dan orangtua

pada khususnya, bahwa mendidik anak dengan kekerasan akan berakibat

buruk bagi perkembangan anak. Dengan demikian orangtua tidak akan

(22)

10

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Acuan Teori

1. Konsep Pendidikan Anak a. Pendidikan

Pengertian pendidikan telah banyak dikemukakan oleh para pakar

pendidikan, salah satunya sebagai berikut “Pendidikan adalah

pemindahan nilai-nilai, ilmu, dan keterampilan dari generasi tua kepada

generasi muda untuk melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat

tersebut.”8 Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi

psikologisnya. Berkat kemampuan-kemampuan psikologis yang lebih

tinggi dan kompleks dibanding dengan binatang inilah yang menjadikan

manusia menjadi lebih maju, lebih banyak memiliki kecakapan,

pengetahuan, dan keterampilan.

“Kondisi atau kemampuan psikologis yang dimiliki manusia itu merupakan karakteristik psikofisik seorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dan interaksi dengan lingkungannya. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi dan ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor”.9

Dilihat dari kacamata individu “Pendidikan adalah upaya

pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi, yaitu

8

Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 163-164.

9

(23)

untuk menggali, mengembangkan, dan memberdayakan kemampuan

individual manusia agar ia dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya

oleh masyarakat.”10 Dengan kata lain “pendidikan adalah transfer

budaya, sementara kebudayaan masyarakat mana pun mengandung unsur

akhlak atau etik, estetika, ilmu pengetahuan, dan teknologi”11 tujuan dari

adanya pendidikan ini adalah pembentukan pola tingkah laku dan

karakter. Dalam pencapaian pembentukan karakter seseorang, hal-hal

yang perlu dijadikan kebiasaan tingkah laku adalah sopan santun atau

etika, kebersihan dan kerapihan, kejujuran serta disiplin.

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha

manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di

dalam masyarakat dan kebudayaan. “Dalam perkembangannya, istilah

pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang

diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.”12

Kenyataannya pengertian pendidikan ini selalu mengalami

perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Untuk

lebih memperkaya pemahaman tentang pendidikan dikemukakan oleh

para ahli pendidikan, antara lain sebagai berikut:

1) “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik

melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya

di masa yang akan datang”.13

2) “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spirtual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

10

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1987), Cet. I, h. 4.

11

Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, Op.Cit., h. 25.

12

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 1.

13

(24)

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa, dan negara.”14

3) Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) memandang,

Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi

pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani

anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.

4) “Pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju

kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti

sesungguhnya.”15

5) John Stuart Mill (filsuf Inggris, 1806-1873 M) mengemukakan bahwa

pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh

seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk

dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.

6) H. Horne berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang terus

menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia

yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas, dan

sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar

intelektual, emosional, dan kemanusiaan dari manusia.

7) Edgar Dalle menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar

yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui

kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang berlangsung di

sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan

peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai

lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.

8) M.J. Longeveled menuliskan bahwa pendidikan merupakan usaha,

pengaruh, perlindungan, bantuan yang diberikan kepada anak agar

tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak

agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

14

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional .

15

(25)

9) Serta Plato menjelaskan bahwa pendidikan itu membantu

perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu

yang memungkinkan tercapainya kesempurnaan.

Pendidikan adalah proses pematangan kualitas hidup. Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat memahami apa arti, hakikat hidup, untuk apa, bagaimana menjalankan tugas hidup, dan kehidupan secara benar. Karena itulah fokus pendidikan diarahkan pada pembentukan kepribadian unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas logika, hati, akhlak, dan keimanan. Puncak pendidikan adalah tercapainya titik kesempurnaan kualitas hidup.16

“Hendaknya pendidikan dilaksanakan dengan memilih tindakan dan perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor

yang diperlukan”.17 Sehingga membantu seorang individu yang menjadi

objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan

segenap potensi yang ada dalam dirinya, dan secara perlahan-lahan

bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan.

Dari berbagai pandangan para tokoh ahli yang dikemukakan di

atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah

serangkaian proses pematangan kualitas hidup yang dilaksanakan secara

sadar dan terencana di sekolah maupun di luar sekolah dari generasi tua

(orang dewasa) kepada generasi muda serta dilakukan secara

berkesinambungan dengan memilih tindakan dan perkataan yang sesuai.

Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat mengembangkan

potensi yang ada di dalam dirinya dan dapat memahami apa arti, hakikat,

untuk apa, serta bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan

dengan benar. Oleh karena itu fokus pendidikan diarahkan pada

pembentukan kepribadian yang unggul dengan menitikberatkan pada

proses pematangan kualitas hati, keimanan, akhlak, kepribadian, logika

(kecerdasan), serta keterampilan yang kiranya dibutuhkan oleh dirinya,

16

Dedy Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h.2.

17

(26)

masyarakat, bangsa dan negara. Puncaknya adalah tercapainya

kesempurnaan hidup dengan menjalankan syariat Allah SWT.

b. Anak

Anak merupakan amanah bagi orangtua. Amanah tersebut adalah

titipan Allah SWT., yang harus dijaga dan dipelihara dengan

sebaik-baiknya. Anak merupakan makhluk ciptaan Allah SWT., yang wajib

dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat, dan harga dirinya secara

wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya tanpa

membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Anak adalah generasi

penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan

bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang.

Pengertian anak berkaitan dengan batas usia anak. Dalam

berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan tentang

batasan yang dipakai berdasarkan kepentingan anak, apakah kepentingan

anak mengenai kesejahteraan anak, perkawinan, ketenagakerjaan, atau

berkaitan dengan kepentingan pidana, dan kepentingan perdata. Dalam

Undang-undang No. 4 tahun 1979 yang mengatur tentang kesejahteraan anak, dinyatakan “anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin.” Jadi jika seorang belum berusia 21 tahun tetapi sudah

kawin maka tidak lagi sebagai anak. Batasan ini berbeda dengan apa

yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Bab I Pasal I tentang perlindungan anak menyebut “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”18

Dalam

Undang-undang ini tidak dapat perbedaan apakah seseorang itu belum kawin atau sudah kawin. Dengan demikian bagi “seseorang yang berusia dibawah 18 tahun meskipun sudah atau pernah kawin dan mempunyai anak, masih kategori anak.”19

18

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 302.

19

(27)

Ketentuan Undang-Undang Perdata menyebutkan, seseorang yang

masih dalam kandungan jika kepentingannya menghendaki dianggap

sebagai ahli waris jika lahir hidup, tetapi jika lahir mati dianggap tidak

pernah ada (Pasal 2 B.W) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) menegaskan seseorang yang berusia 16 tahun (pada waktu

terjadi kasus) dianggap belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

PBB tahun 1989 memberi batasan anak di bawah 18 tahun.

Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang mengatur perkawinan memberi batasan sebagai berikut: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” (Pasal 7 ayat 1 UU No.4 tahun 1979).

Semua anak terlahir di dunia berhak mendapatkan pendidikan dan

pengajaran dengan baik dan benar. Hak pendidikan ini bagi anak bersifat

komprehensif, baik dalam mengembangkan nalar berfikirnya

(pengembangan intelektual), dan menanamkan sikap perilaku yang mulia

(penanaman akhlak), memiliki keterampilan untuk kehidupannya, dan

menjadikannya sebagai manusia yang memiliki kepribadian yang baik

sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai syariat Allah SWT.

Berikut ini adalah pengertian anak menurut firman Allah SWT.,:

1) Merupakan karunia serta nikmat dari Allah SWT.

ۡمأ

ۡـ

ۡمأب م

ٲ

۬

عج ي ب

ۡـ

ۡم

أۡڪ

ا يف ث

“... dan Kami membantu dengan harta kekayaan dan anak, dan kami jadikan kamu kelompok yang besar” (Q.S. Al-Isra[17]: 6) 2) Perhiasan kehidupan dunia

ۡا

ۡ

ي

ۡ

يح

ۡاي

Harta dan anak-anak merupakan perhiasan dunia...” (Q.S. Al -Kahfi[18]: 46)

3) Pelengkap kebahagiaan hidup dalam keluarga

(28)

“... Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyenang hati...” (Q.S. Al -Furqon[25]: 74)

4) Sebagai bentuk anugerah Allah SWT., bagi orang yang senang

berdzikir dan senantiasa mohon ampun20

Maka aku katakan kepada mereka’ mohon ampunanlah kalian

kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya Dia MahaPengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat, dan membanyakan harta, dan anak-anakmu, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan sungai-sungai.” (Q.S. Nuh[71]: 10-12).

Dalam pengertian khusus menurut ajaran Islam, anak adalah

generasi penerus untuk melanjutkan kelangsungan turunan. Sedangkan

dalam arti yang lebih luas, anak adalah generasi penerus yang akan

mewarisi kepemimpinan dibidang keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan. “Anak harus dijamin hak-hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, oleh karena itu segala

bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam

berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak

berprikemanusiaan harus dihapuskan tanpa kecuali.”21

Pendidikan bagi anak meupakan kebutuhan vital yang harus

diberikan dengan cara-cara yang bijak untuk menghantarkan menuju

kedewasaan dengan baik. Kesalahan dalam mendidik anak di masa kecil

akan mengakibatkan rusaknya generasi yang akan datang. Ayah, Ibu,

atau orang dewasa lainnya yang turut mempengaruhi pembentukan

20

Mufidah Ch, Op.Cit., h. 300-301.

21

(29)

kepribadian anaklah yang paling besar pengaruhnya terhadap tumbuh

kembang anak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,:

ْطفْا ى ع ي ْ م ك

ْ أ ا ّ ي ْ أ ا ي ا بأف

اسّ ي

Setiap anak lahir dalam keadaan suci, orangtua-nyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi). (311-312)

Mengacu berbagai peraturan Undang-Undang dan dari beberapa

pengertian yang telah dikemukakan di atas, penulis mengambil

kesimpulan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun

termasuk yang masih berada di dalam kandungan atau anak adalah

seseorang yang berusia di bawah 17 tahun. Hal ini berdasarkan bahwa

secara psikologis seseorang yang berusia 17 tahun telah muncul

kesadaran akan kepribadian dan kehidupan batiniyah sendiri, sekaligus

perkuatan rasa AKU. Anak mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan

melakukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap

pemikiran filosofis dan etnis.22 Dengan kata lain, seseorang yang berusia

17 tahun yang mempunyai kesadaran dan kepribadian sehingga

perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Pada usia 17 tahun seorang

juga sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang juga

sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang mempunyai

hak kewarganegaraan antara lain untuk menyalurkan aspirasinya melalui

pemilihan umum.

Anak merupakan titipan Allah SWT., yang diamanahkan kepada

orangtua dan menjadikannya sebagai penyenang hati dan perhiasan dunia

yang nantinya amanah Allah SWT., tersebut akan dimintai

pertanggungjawabannya di akhir masa kehidupan setiap individu

(orangtua). Karenanya pendidik (orangtua) dapat ditempatkan Allah

SWT., di dalam surga maupun neraka. Anak pula yang nantinya akan

22

(30)

melanjutkan kelangsungan hidup keturunan sebagai generasi mewarisi

penerus kepemimpinan dalam bidang agama, bangsa, dan kenegaraan.

b. Pendidikan Anak

Bagi orang yang beragama Islam, berbicara pendidikan anak tidak

lepas dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah upaya sadar dan

terencana dalam menyiapkan anak didik untuk mengenal, memahami,

menghayati hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam

mengamalkan ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tujuan pendidikan Islam adalah meningkatkan keimanan,

pemahaman, pengetahuan, pengalaman anak didik tentang agama Islam

sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah

serta berakhlak manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan

bernegara.

Dasar pendidikan Islam, dasar atau fundamen dari suatu

bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan,

keteguhan, serta tetap berdirinya bangunan itu. Pada suatu pohon, dasar

itu adalah akarnya. Dasar pendidikan Islam itu adalah Firman Allah

SWT., dan Sunnah Rasulullah SAW. Kalau pendidikan diibaratkan

bangunan, maka isi Al-Qur’an dan Al-Sunnah-lah yang menjadi

fundamennya.23 Sebagaimana firman Allah SWT., dalam Q.S.

An-Nisa[4]: 59 sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

23

(31)

kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa [4]: 59).

Dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Al-sunnah, para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanam rasa fadillah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, jujur. Maka tujuan pokok dan yang paling utama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.24

Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa “tujuan pendidik Islam

adalah indentik dengan tujuan hidup setiap Muslim.”25 Tujuan tersebut di

dasarkan pada ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku” (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56)

Pendapat lain mengatakan bahwa “tujuan akhir dari pendidikan Islam itu

terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah,

baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia

secara keseluruhan.”26

...

ي

يّ

ۡ م

ْا

ۡعي

ا إ

ْا

ٓ مأ

ٓام

Dan mereka tidak disuruh melainkan agar menyembah Allah dan dengan ikhlas beragama kepada-Nya...” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5).

24

Moh. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Dari al-Tarbiyyah al-Islamiyyah oleh H. Butami A. Gani, dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 15.

25

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT

Al-Ma’arif, 1980), Cet. VI, h. 48.

26

(32)

Tujuan Pendidikan Islam yang ditetapkan dalam Kongres Sedunia

tentang Pendidikan Islam sebagai berikut:

Education should aim at the ballanced growth of total personality

of man through the training of man’s spirit, intelect the rational

self, feeling and bodily else. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspect, spiritual, intelektual, imaginative, physical, scientifict, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realizatoin of complex submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.27

Selain itu, tujuan pendidikan Islam juga dalam rangka menjadikan

manusia agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka

bumi. Tujuan ini sejalan dengan ayat sebagai berikut:

ۡ إ

ۡ كب اق

ٓـٕٮ

۬ عاج ى إ

ىف

ۡ

ۡ أ

۬ في خ ض

ۖ

...

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di

muka bumi...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30).

Rumusan tujuan pendidikan Islam juga diarahkan pada terbentuknya

manusia yang memiliki sikap hidup yang seimbang antara mementingkan

urusan dunia dan mementingkan urusan akhirat.

Rumusan tujuan pendidikan Islam memiliki karakteristik sebagai

berikut:28

1) Diarahkan pada terwujudnya manusia yang baik dan ideal, yaitu

manusia yang berakhlak mulia, berkepribadian utama, menjadi orang

yang taat kepada Allah, melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di

muka bumi, bersikap seimbang mencapai kebahagiaan hidup di dunia

dan akhirat, dan terbina seluruh potensinya secara maksimal, baik

potensi fisik biologis, intelektual, spiritual, dan sosialnya.

27

Second Word Conference on Muslim Education, International Seminar on Islamic Concept and Curricula, Recommendation, (Islamabad, 15- to 20, March, 1980).

28

(33)

2) Membimbing dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki

manusia, baik potensi fisik biologis, intelektual, spiritual maupun

sosial dengan berdasarkan pada keimanan dan akhlak mulia.

Kesimpulannya di dalam Islam, tujuan tertinggi pendidikan

adalah untuk mewujudkan manusia yang baik. Pengertian manusia baik

di sini bukanlah sosok manusia yang kuat, pintar, kaya, berpengaruh atau

populer, melainkan manusia yang memahami hakikat dirinya sebagai

hamba Allah yang menjadikan kehidupannya sebagai sarana pengabdian

kepada-Nya.

Orang yang paling sempurna penghambaannya kepada Allah

adalah Nabi Muhammad SAW., Hal itu tercermin dari perilakunya.

Beliau adalah contoh ideal dalam segala hal. Bila bicara tentang rumah

tangga, beliau adalah suami dan ayah terbaik. Bila bicara mengenai

pendidikan, beliau adalah guru yang paling baik. Bila bicara mengenai

negara, beliau adalah pemimpin atau negarawan yang paling baik. Bila

bicara mengenai peran di masyarakat, beliau adalah anggota masyarakat

yang paling baik. Bila bicara mengenai perniagaan beliau adalah

pedagang yang paling baik. Bila bicara mengenai pergaulan beliau

merupakan sahabat yang paling baik. Pendeknya, semua kebaikan

terhimpun pada diri beliau. Itu sebabnya Al-Qur’an menyebutkan:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suru teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21).

Jadi pada dasarnya, visi pendidikan Islam adalah untuk membentuk

manusia shaleh. Sedangkan penjabarannya dapat ditemukan pada diri

(34)

dapat ditemukan pada diri beliau. Itu sebabnya beliau dijadikan Allah

sebagai teladan bagi seluruh manusia.

2. Konsep Pendidikan Keluarga a. Pengertian Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga:

Ibu, bapak dan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar

di masyarakat.”29 Keluarga (kawla warga) merupakan sebuah institusi

terkecil di dalam masyarakat yang memiliki tempat tinggal dan ditandai

kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan

sebagainya, serta berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan

kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta

dan kasih sayang anggotanya. Suatu ikatan hidup yang didasarkan karena

terjadinya perkawinan, juga bisa disebabkan karena persusuan atau

muncul perilaku pengasuhan.

Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatan sedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian yang satu sama lain saling mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menganut ketentuan norma, adat, nilai, yang diyakini dalam membatasi keluarga dan yang bukan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun di atas perkawinan/pernikahan terdiri dari ayah/suami, ibu/istri, dan anak.30

“Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang

dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupan.”31

29

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 471.

30

Mufidah Ch, Op.Cit., h. 38.

31

(35)

Sebagaimana yang ditulis Mufidah Ch, “bentuk-bentuk keluarga,

keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:” 32

1) Keluarga inti, yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak, atau hanya

ibu atau bapak atau nenek dan kakek.

2) Keluarga inti terbatas, yang terdiri ayah dan anak-anaknya, atau ibu

dan anak-anaknya.

3) Keluarga luas (exended family), yang cukup banyak ragamnya seperti

rumah tangga nenek yang hidup dengan cucu yang masih sekolah,

atau nenek dengan cucu yang telah kawin, sehingga istri dan

anak-anaknya hidup numpang juga.

Keluarga memiliki beberapa jenis, Robert R. Bell (1979)

mengatakan ada tiga jenis hubungan keluarga: 33

1) Kerabat dekat (conventional kin), kerabat dekat yang terdiri dari

individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi,

dan atau perkawinan, seperti suami istri, orangtua, anak, dan antar

saudara (siblings).

2) Kerabat jauh (discretionari kin), kerabat jauh terdiri dari individu

yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi atau

perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat

dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan

adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi diantara

mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena

adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri

atas paman, bibi, ponakan, dan sepupu.

3) Orang yang dianggap kerabat (fictive kin), seorang dianggap kerabat

karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar

teman akrab.

32

Mufidah Ch, Loc.Cit., h. 40. Lihat juga Atashendartini Habsjah, Jender dan Pola Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed), Bunga Ramapai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) h. 218.

33

(36)

Dilihat dari fungsinya, menurut Djudju Sudjana (1990) fungsi

keluarga, secara sosiologis ada tujuh macam fungsi, yaitu:

1) Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar

memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat

manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis

inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang,

sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui

bersama.

2) Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua

anggotanya dimana orangtua memiliki peran yang cukup penting

untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam

dimensi kognisi, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk

mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan

profesional. Pendidikan keluarga Islam sebagaimana firman Allah

SWT., dalam Q.S. At-Tahrim[66]: 6 sebagai berikut:

ٓـي

اہيأ

ي

ماء

ْا

ٓ ق

ْا

ۡم سف أ

ۡ أ

ۡم ي

۬ ا

ا

ا ق

سا

ۡ

اّح

Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (Q.S. At-Tahrim[66]: 6)

Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar

manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya.

Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya telah mengikuti

pola keluarga demokratis dimana tidak dapat dipilah-pilah siapa

belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus

berdampak pada pergeseran relasi dan peran-peran anggota keluarga.

Karena itu bisa terjadi suami belajar kepada istri, bapak atau ibu

belajar kepada anaknya. Namun teladan baik dan tugas-tugas

pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab kedua

(37)

3) Fungsi religius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral

agama melalui moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan

praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim

keagamaan di dalamnya. Dalam Q.S. Al-Luqman: 13 mengisahkan

peran orangtua dalam keluarga menanamkan aqidah kepada anaknya

sebagaimana yang dilakukan Luqman al-Hakim terhadap anaknya.

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,

diwaktu ia memberi pelajaran; hai ananda, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”(Q.S. Al-Luqman [31]: 13).

Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seorang mengenal

siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Penanaman aqidah yang benar,

pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan kepribadian

sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai

terwujudnya masyarakat religius.

4) Fungsi Protektif, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari

gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal

segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya. Gangguan internal

dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota

keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi

pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan. Kekerasan dalam

keluarga biasanya tidak mudah dikenali karena berada di wilayah

privat, dan terdapat hambatan psikis dan sosial maupun norma

budaya dan agama untuk diungkap secara publik. Adapun gangguan

eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali oleh masyarakat

karena berada pada wilayah publik. 34

34

(38)

5) Fungsi sosialisasi, adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak

menjadi anggota masyarakat yang baik, maupun memegang

norma-norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu

sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintas

suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa, maupun jenis

kelaminnya. Fungsi sosialisasi ini diharapkan anggota keluarga dapat

memposisikan diri sesuai dengan status dan struktur keluarga,

misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia selalu memperhatikan

bagaimana anggota keluarga satu memanggil dan menempatkan

anggota keluarga lainnya agar posisi nasab tetap terjaga.

6) Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat

memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas

masing-masing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat

mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, saling

menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota

keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang, dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”. 7) Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis

dimana keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan

usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan, dan bagaimana

memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik,

mendistribusikan secara adil, dan proporsional serta dapat

mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara

sosial maupun moral.

Ditinjau dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah

bahwa “keluarga memiliki fungsi vital dalam pembentukan individu.

Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus menerus

dipelihara. Jika salah satu dari fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka

(39)

keluarga.”35 Terkait dengan pendidikan anak, keluarga sebagai kelompok

inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan yang alami bagi

pertumbuhan dan kesejahteraan, khususnya bagi anak-anak. Melalui

keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal

kehidupannya kelak.

b. Pendidikan Anak dalam Keluarga

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keluarga

sekurang-kurangnya terdiri atas ayah, ibu (orangtua), dan anak.

1) Pengertian orangtua

Orangtua dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan: “1)

ayah dan ibu kandung, 2) orang yang dianggap tua (cerdik, pandai,

ahli, dan sebagainya), 3) orang yang disegani/dihormati

dikampung.”36 Orangtua merupakan sebutan yang umum digunakan

bagi bapak dan ibu oleh seorang anak. Sebutan bapak untuk orangtua

yang berjenis kelamin laki-laki dan ibu adalah untuk sebutan orangtua

yang berjenis kelamin perempuan.

Orangtua adalah yang pertama kali bertanggunng jawab penuh

untuk membesarkan anaknya hingga tumbuh menjadi besar dan

dewasa, dengan memberikan kasih sayang yang tulus baik berupa

moril maupun materil, karena adanya pertalian darah yang erat.

Dengan harapan kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas,

berguna bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara.

Orangtua dalam hal ini yaitu ayah dan ibu memiliki kedudukan

masing-masing. Dimana ayah sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai

ibu rumah tangga. Namun pada hakekatnya mempunyai tugas dan

tanggung jawab yang sama dalam memelihara, membina, mendidik,

dan mematuhi kebutuhan anak-anaknya.

35

Mufidah Ch, Ibid., h. 42-47. Lihat juga Djudju Sudjana, dalam Jalaludin Rahmat, (ed), KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1990).

36

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(40)

“Islam menegaskan bahwa ayah adalah pemimpin keluarga. Tugas pemimpin keluarga adalah memberi dan mengatur ke mana arah biduk rumah tangga ini akan dituju. Dalam pendidikan anak, ayah menempati posisi yang cukup penting. Penelitian di dunia psikologi modern menunjukan bahwa ternyata pola pengasuhan ayah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk kepercayaan diri dan kecerdasan anak di masa yang kan datang. Menutrut Erik H. Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan anak, pada masa awal kehidupannya, bayi memerlukan kepercayaan dasar (basic trust). Kehangatan dan kasih sayang yang diperoleh bayi pada saat ini akan membentuk kepercayaan anak terhadap lingkungannya, apakah ia akan percaya”atau tidak dengan orang-orang di sekitarnya.”37

Peran dan kasih sayang orangtua tidak pernah mengenal batas

sampai kapanpun, orangtua adalah pendidik yang pertama bagi anak

dilingkungan keluarga. Pengorbanan seorang ibu tidak mungkin

tergantikan dengan uang sebanyak apapun. Kesulitan semasa hamil,

kesakitan melahirkan, serta kesabaran tatkala mengasuh, merawat, dan

mendidik anak, semuanya dilakukan dengan penuh ketulusan tanpa

mengharap suatu pamrih atau imbalan. Tidak ada keluh kesah dan

penyesalan di hatinya. Seperti kata pepatah “Kasih Ibu sepanjang

masa hanya memberi tak harap kembali”. Dari pepatah tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwa kasih sayang Sang Ibu terhadap

anak-anaknya dilakukan dengan tulus murni dan ikhlas tanpa

mengharapkan imbalan apapun dari anaknya, walaupun pada saat

melahirkan nyawa menjadi taruhannya.

Ibu merupakan “madrasah pertama” bagi anaknya, dan tak ayal

lagi ibu menjadi sosok yang sangat dicintai dan dihormati. Dari ibu

seorang anak belajar memupuk mimpi tentang masa depan dan

berlatih menghadapi kerasnya kehidupan. Seorang ibu memiliki

kedudukan yang mulia dan berpengaruh besar terhadap perkembangan

anak.

37

(41)

Begitu pula seorang ayah sebagai orangtua kandung laki-laki

dan sekaligus sebagai kepala keluarga pasti juga menginginkan yang

terbaik bagi anak-anaknya, karena ayah merupakan sosok manusia

yang sangat diandalkan dalam keluarga. Dalam hal ini Ngalim

Purwanto menyatakan, bahwa “peran ayah dalam pendidikan anaknya

yang lebih dominan sebagai berikut”:38

a) Sumber kekuasaan di dalam keluarga

b) Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar

c) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga

d) Pelindung terhadap ancaman dari luar

e) Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan

f) Pendidik dalam segi rasional.

2) Tugas dan tanggung jawab orangtua

Orangtua adalah orang dewasa yang memikul tanggung jawab

dalam pendidikan sehingga orangtua yang selalu memperhatikan

terhadap pendidikan anaknya pasti ia akan menanamkan pendidikan

yang mengarah pada intelegensi juga pendidikan agama (moral).

Adalah pendidikan akal yang harus diberikan orangtua terhadap anak

yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dirinya.

Setiap orangtua ingin memberi pelajaran dan pendidikan menurut

moral yang dianutnya, agar keturunannya memperoleh kehidupan

yang lebih baik. Karena moral itulah yang akan membentuk tingkah

laku dalam kehidupannya serta dapat memperoleh kebahagiaan dalam

kehidupan dunia dan akhirat.

Orangtua amat besar dalam mendidik anak dengan pendidikan

jasmani, intelektual, dan mental spiritual, baik melalui teladan yang

baik atau pengajaran (nasihat-nasihat), sehingga kelak ia dapat

memetik tradisi-tradisi yanng benar dan pijakkan moral sempurna.

38

(42)

Orangtua bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan

perkemangan anak, dengan dasar bahwa anak adalah titipan yang

dipercayakan Allah SWT., untuk dipelihara dan harus

dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Jadi tugas dan

tanggung jawab orangtua dalam mendidik dan memberikan dukungan

motivasi, fasilitas, dan perilaku yang baik agar tertanam dalam diri

seorang anak pendidikan yang mengarah kepada intelegensi dan

pendidikan agama (moral).

Menjadi orangtua berarti siap menjadi seorang pendidik, dan

siap dengan pengetahuan untuk mendidik. Mendidik berarti

membimbing anak kearah kedewasaan, untuk itu diri orangtua sendiri

harus telah dewasa, dan harus menyadari akan tanggungjawabnya

sebagai pendidik bagi anaknya.

3) Sikap dan gaya orangtua dari perspektif psikologi

Sangatlah penting bahwa orangtua atau pendidik menyadari ciri-ciri

anak didik manakah yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan

pribadi-pribadi yang kreatif. Biasanya pendidik atau orangtua kurang

menyadari dampak dari sikap mereka terhadap perkembangan

kepribadian anak.

Beberapa contoh sikap pendidik yang kurang menunjang

kreatifitas anak adalah:

a) Sikap terlalu khawatir atau takut-takut, sehingga anak terlalu

dibatasi dalam kegiatan.

b) Sikap terlalu mengawasi anak.

c) Sikap yang menekankan pada kebersihan dan keteraturan yang

berlebihan.

d) Sikap menuntut kepatuhan mutlak dari anak tanpa memandang

perlu mempertimbangkan alasan-alasan anak.

e) Sikap yang lebih tahu dan sikap yang lebih benar.

f) Sikap yang menganggap bahwa berkhayal itu tidak baik, tidak

(43)

g) Sikap mengkritik prilaku dan pekerjaan anak.

h) Sikap yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap

usaha untuk karya anak.

Adapun Santrock, “seorang psikolog pendidikan Universitas

Texas mengemukakan ada empat gaya pengasuhan orangtua yang bisa

berdampak positif dan negatif terhadap anak.”39 Gaya pengasuhan

tersebut adalah:

a) Gaya otoriter (Outoritative Parenting)

b) Gaya berwibawa (Authoritarian Parenting)

c) Gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting), dan

d) Gaya pemanja (Indulguent Parenting).

Orangtua dengan gaya otoriter (Outoritative Parenting) akan

mendesak anak-anaknya untuk mengikuti petunjuk-petunjuk dan

menghormati mereka. Untuk itu, mereka tidak segan-segan

menghukum anak secara fisik. Orangtua memberi batasan-batasan

pada anak-anaknya secara keras mengontrol mereka dengan ketat.

Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga seperti ini mengalami

banyak masalah psikologis yang dapat menghambat mereka untuk

belajar. Di rumah mereka cenderung cemas dan merasa tidak aman. Di

sekolah, mereka juga tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Dengan

demikian mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dengan

teman-temannya. Mereka memiliki keterampilan berkomunikasi yang sangat

rendah sehingga menimbulkan banyak hambatan psikologis.

Orangtua dengan gaya berwibawa (Authoritarian Parenting)

akan mendorong anak-anaknya untuk hidup mandiri. Ketika

dibutuhkan mereka memberi pengarahan dan dukungan. Bila

anak-anaknya membuat kesalahan, orangtua mungkin menaruh tangan di

pundak anaknya dan dengan menghibur berkata “kamu tahu, harusnya

kamu tidak melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu

39

(44)

bisa mengatasi situasi ini lain kali”. Dengan demikian, anak-anak sudah diajarkan bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri.

Ana

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 4.1

Referensi

Dokumen terkait

Jamaluddin Dindin, Metode Pendidikan Anak, Bandung: Pustaka Al-Fikri, 2010 Kazhim Nabil, Sukses Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, Solo: Samudera, 2011 Mujib Abdul dkk, Ilmu

B. Merosotnya akhlak anak menjadi salah satu keprihatinan bagi orangtua dan masyarakat. Orang tua tidak memberikan pengarahan dan asuhan, sehingga anak sulit

Organisai kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan kekerasan terhadap anak (child abuse) atau perlakuan salah merupakan segala bentuk perlakuan buruk secara fisik dan/atau

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Keterbukaan anak kepada orangtua khususnya mengani ancaman kekerasan perlu

Faktor-faktor yang mendukung perkembangan jiwa agama pada anak khususya adalah faktor dari keluarga terutama orangtua, karena orangtua sebagai pendidik dan motivator bagi

dengan kekerasan verbal paling banyak didapat oleh anak dari orang tua mereka.. Bahkan tanpa disadari setiap harinya orang tua melakukan pada

Dalam konsepsi pendidikan Islam, anak-anak bagi keluarga dan orangtua adalah ujian yang berat dari Allah SWT dan orangtua jangan berkhianat; pendidikan anak harus diutamakan; mendidik

Luqman menanamkan keyakinan kepada anaknya bahwa apa saja yang dikerjakan manusia, berapapun besar dan kecilnya, tidak luput dari pandangan Allah swt..20 Berdasarkan hasil observasi