Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan Islam
Oleh:
Rizka Hendariah
NIM 108011000043
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Sltripsi:
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dar Kegur.ual (FITK)
untuk Memenuhi Peisyaratan Memperoleh Geiar Sarjana
Pendidikan Islam (S.pd.I)
Oleh :
Rizka Hendariah
108011000043
Di Barvah Bimbingan:
Drs. Masan A.F. M.Pd
NrP. 19510716 198103
r
005PROGRAM
STT,IDIPENDIDIKAN
AGAMA
ISLAM
FAKITILTAS ILMLT
TARBIYAH
DAN KEGI-]RUANUNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARII HIDAYATULLAH
JAKAPJA
Anak'fanpa KekerasaD) disusur oleh Rizka Hcndariah, NIM. 108011000043. Progianl studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu 1'arbiyah dan Keguruan, Universilas Islam Negeri Syarif llidayatullah Jakafia. Telah melalui bimbingan
dan dinyatakar sa11 sebagai karya ilmia.h yeng berhak untuk Ciujikan paCa sidang
mLrnaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkal oleh fakultas.
Jakarta, 1I Desernber 2012
Yang mengesahkan,
Pcmbimbing
Hida)atullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 23 April 2013 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak mernperoleh gelar Sarjaoa S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (ketua
Jurusan/Prodi)
Tanggal.lakarta,23
Ap
l2013Tanda tangan
Bahrissalim. MA
NIP: 19803071 99803 1 002
Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Dls. Sapiudin Shiddiq. MA NIP: 196?0328 200003 1 001
Penguji
I
Drs. Rusdi Jamil. MA
NIP: 19621231 199503 1 005
Perguji
II
Siti Khadiiah. MA
NIP: 19700727 199703 2 00,1
-t"l)
*.t=-L^*!.L.
)t
/
M<\
1011engetahui:
i Nawawi. MA
it
Nama
N]M
Program Studi Alamat
Rizka Hendariah
10801 r 000043
Perdidikar Agama Islam
Kemanggisan Rt 001/012 No. 44D Kec. Palmerah Kel. Palmerah, Jakarta Bamt 11480
MENYATAKAII DENGAIT SESI]NGGUIINYA
Bahwa
Skipsi
yang berjudul Konsep PendidikanAnak
dalam Keluarga (Mendidik Anak Tanpa Kekerasan) adalah benar hasil karya sendfui di bawahbimbingan dosen:
Nama Pembimbing : Drs. MasaB AI., M.Pd
NIP
:19510716 198103t
005Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila iertrukti bahwa skripsi ini bukar hasil karya ssndfui.
Jakarta
ll
Desember 2012i
Pendidikan anak dalam keluarga dengan mengedepankan kekerasan merupakan pendidikan yang tidak dianjurkan dalam agama. Kekerasan diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau badan menjadi tidak nyaman. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang berbagai macam perilaku atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga dengan mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku kekerasan dari berbagai pendapat para ahli dan media cetak serta mengetahui konsep pendidikan anak dalam keluarga tanpa melalui kekerasan, sehingga tidak ada lagi orangtua atau pendidik mendidik anak dengan kekerasan. Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research) yaitu menganalisa data yang telah diperoleh melalui surat kabar, jurnal pendidikan anak serta buku-buku tentang pendidikan anak dalam keluarga yang mengedapankan kasih sayang dalam penyampaiannya. Metode penelitian ini adalah metode kepustakaan atau (Library Research). Teknik pengumpulan data yaitu dengan mengumpulkan buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil penelitian lainnya dari berbagai perpustakaan. Analisa data dengan cara analisis isi (Content Analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mendidik anak dengan cara kekerasan akan tidak efektif. Dilihat dari kacamata Pendidikan Islam, pendidikan dengan kekerasan bukanlah pendidikan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pendidikan melalui kekerasan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kekerasan verbal dan kekerasan non verbal (kekerasan psikologis dan fisik). Konsep pendidikan anak tanpa kekerasan dapat dilakukan dengan memahami arti anak sesungguhnya dan mencintainya karena Allah SWT., samakan pandangan orangtua, selalu mendoakan kebaikan kepada anak, mendidik dengan keteladanan, menasehati melalui perkataan yang baik, menjalin komunikasi yang baik antara orangtua dan anak, tidak membedakan jenis kelamin, pendidikan yang demokratis bukan otoriter, hargai perilaku baik anak, memberi hukuman yang tidak kasar dan tidak menyakitkan.Untuk menghindari pendidikan kekerasan terhadap anak dengan menggunakan prinsip dalam memberikan hukuman yaitu: beritahu kesalahannya, hukuman bertahap, tidak boleh keluar kata kasar, kesalahan anak menjadi bahan evaluasi orangtua, mengukum atas dasar prilaku, adil dan konsisten dalam menghukum, serta menghukum dengan tujuan memperbaiki bukan menyakiti. Dampak pendidikan dengan kekerasan bagi anak diantaranya: anak menjadi stres atau depresi, mogok melakukan sesuatu, berbohong karena takut dimarahi, mencoba berontak, menyandang predikat “anak nakal”, menurunkan tingkat kecerdasan, trauma yang berlanjut, menghambat proses perkembangan jiwa, menyebabkan anak menjadi durhaka. Sebagai rekomendasi pengkajian ini, disarankan perlu adanya penyuluhan dan bimbingan sosial terhadap keluarga dengan pembelajaran keluarga untuk menghindari tindakan sewenang-wenang, dan penerapan pola asuh yang bijaksana.
ii
Alhamdulillahi Rabbil’alamin, segala puji hanyalah milik Allah Ta’ala, Pencipta
semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada
Rasulullah SAW., beserta keluarga, para sahabat, dan para siapa saja yang selalu
berittiba’, mengikuti sunnah-sunnah beliau sampai akhir zaman. Alhamdulillah,
dengan izin Allah SWT., penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga (Mendidik Anak tanpa Kekerasan)”.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa kehadiran skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih
layak penulis sampaikan kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bahrissalim, MA
3. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Sapiuddin Shiddiq, M.A
4. Drs. Masan A.F., M.Pd. yang telah banyak memberikan sumbangsihnya dalam
membimbing penulisan dan penelitian hingga akhir penyusunan skripsi ini
5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pelayanan
selama melaksanakan studi
6. Seluruh staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta,
Perlindungan Anak Indonesia, yang telah memberikan kemudahan selama
penyusunan laporan skripsi ini
7. Ayahanda tercinta Bapak Nandan Suhendan dan Ibunda tersayang Ibu
Herliyah yang tak kenal lelah memberikan motivasi moril dan materil kepada
ananda, pengorbanannya yang senantiasa mendorong dan mendo’akan ananda
untuk berjuang dan menyelesaikan studi
8. Untuk adik-adik manis Hanni Khairunisa, Hanna Khairunisa, Nabillah
Nurjihan, dan Rizqillah yang kesediaan kalian mendo’akan, menemani, dan
membantu menghadirkan banyak inspirasi
9. Fachrizal Dwi Ramandharu, SH yang selalu hadir menemani, memberikan
motivasi, dan mendengarkan curahan hati adinda
10.Teman-teman terbaik Siti Qory Maryam, Haifa Sayuti Usman, Dina Nurina,
Nidaul Islamiyyah yang selalu bersedia untuk saling berbagi dan menemani
saat susah maupun senang
11.Untuk Abu Dzar Al-Ghifari, Ahmad Ubay, Fatimatuzzahra, Khairul Bariyyah
dan teman-teman seperjuangan mahasiswa PAI “B” angkatan 2008 yang telah
sama-sama berjuang dalam studi. Terima kasih kalian telah menjadi sahabat
dan tempat berbagi ilmu, cerita, tawa, dan tangis. Thanks for everything my
best friends
12.Serta semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis tidak dapat membalas kebaikan semua pihak yang terlibat,
semoga Allah SWT., membalas dengan kebaikan dan dapat melahirkan kebaikan
Sungguh, kekurangan dan kesalahan terdapat di sana-sini dalam skripsi
ini adalah murni dari penulis sebagai manusia biasa yang penuh dengan
kelemahan, baik dari sisi pengetahuan maupun yang lainnya. Dengan segala
kerendahan hati, maka saran-saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca, akan senantiasa penulis harapkan.
Jakarta, 11 Desember 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Perumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Hasil Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN TEORETIK ... 10
A. Acuan Teori ... 10
1. Konsep Pendidikan Anak ... 10
2. Konsep Pendidikan Keluarga ... 22
3. Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga ... 34
4. Konsep Mendidik Anak Tanpa Kekerasan ... 37
B. Pandangan Islam Terhadap Kekerasan dalam Keluarga ... 41
C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46
A. Objek dan Waktu Penelitian ... 46
B. Metode Penelitian ... 46
C. Fokus Penelitian ... 48
D. Prosedur Penelitian ... 48
BAB VI TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif ... 49
B. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif ... 53
C. Pembahasan ... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
A. Kesimpulan ... 75
C. Saran ... 76
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002, lahir pasal baru
yang secara khusus bicara soal perlindungan anak, yaitu pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.1
Tanggung jawab kependidikan anak adalah tanggung jawab bersama
antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari ketiga lembaga tersebut salah satunya adalah keluarga. “Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik
dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak,
tentu akan terlambatlah pertumbuhan anak tersebut”.2
Anak adalah belahan jiwa yang berjalan di atas bumi. Karena mereka
para orangtua atau pasangan suami istri merasakan makna hidup setelah cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya. Semua yang dilakukan para orangtua adalah
untuk membawa mereka kepada kehidupan yang baik. Mereka adalah
1
Tim Buku Pintar, Undang-Undang Dasar dan Perubahannya UUD No.23 Tahun 2002 BAB XA Tentang Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Buku Pintar, 2011), Cet. II, h. 32.
2
generasi masa depan. Di bahu mereka terdapat harapan dan cita-cita bangsa
baik dengan tanggung jawab mereka atas masyarakat dan negara atau
tanggung jawab paling mulia yaitu menyebarkan dakwah Islam. Kondisi
anak saat ini akan sangat mempengaruhi terhadap kondisi bangsa yang akan
datang. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi orangtua untuk
memperhatikan anak-anak karena mereka memegang tanggung jawab di
hadapan Allah dalam mengasuh dan menunjukan anak kepada jalan kebaikan.
Melalui keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal
kehidupan. Keluarga dimanapun harus mampu mengemban tugas mulia
menghasilkan generasi baru yang berkualitas. Kelak akan dijumpai
masyarakat yang sejahtera lahir dan batin serta damai, dan bermartabat,
demokratis, serta saling menghormati dalam keberagamaan. Menurut sabda
Rasulullah SAW., anak juga merupakan investasi akhirat:
ه ا لوس ر َّ ا ةرْي ر ىبا ْنع
ها ىىل
ق مَىسو ْيىع
ا
ا: ل
ا
ام
ا
مدآ نْب
عطقْنا
ىمع
َّا
اىث ْنم ا
ا ب عف ْي مْىع ْوا يراج ق ل
ّو ْو
) مىسم اور( ّ ْوعْ ي حّال
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Jika seorang anak Adam meninggal dunia, maka semua (pahala) amalnya terputus, kecuali (pahala) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang selalu memanjatkan do’a untuknya.” (HR. Muslim).3
Untuk melahirkan generasi yang berkualitas, maka anak mempunyai
hak dan kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang, perhatian makanan
yang cukup dan bergizi, kesehatan yang baik, bermain, pengembangan
spiritual dan moral, pendidikan, serta memerlukan lingkungan keluarga dan
sosial yang mendukung kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan
perlindungan. Masa anak-anak adalah masa belajar dan masa berkembangnya
aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia, seperti perkembangan fisik,
3
kematangan intelektual, emosi, dan hubungan sosial. Pada masa ini, mereka
mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan
yang umum, membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
makhluk yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan
teman-teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosialnya, mengembangkan
keterampilan-keterampilan dasar, untuk membaca, menulis, dan berhitung.
Setiap hari baik melalui media cetak, elektronik, dan secara langsung
banyak ditemui adanya anak yang mendapat perlakuan kasar, diperlakukan
sewenang-wenang, disakiti, disiksa baik fisik maupun mentalnya. “Sekitar
60% orangtua diduga melakukan tindak kekerasan. Dengan dalih
mendisiplinkan anak dan mengatasnamakan pendidikan, mereka menjewer,
menampar, memukul, mencaci maki, padahal bukan kepatuhan yang muncul
setelahnya.”4
Berdasarkan data Komisi Pelindungan Anak, kasus tindak kekerasan terhadap anak tahun 2004 mencapai 544 kasus. Tahun 2005 meningkat menjadi 736 kasus, dan Januari 2006 telah terjadi 69 kasus. Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi dan merupakan fenomena gunung es mengingat banyaknya kasus yang tidak terlaporkan maupun yang sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga maupun masyarakat sekitar.5
“Adapun jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah pada tahun 2004 mencapai 48.526 kasus.”6 “Menurut kompilasi dari 9 surat
kabar nasional tanggal 10 Desember 2009 menyebutkan jumlah anak yang
membutuhkan perlindungan khusus dan perlakuan salah terhadap anak,
sekitar 7.778 anak. Sedangkan pada tingkat lokal di Bayumas tercatat 36
korban tindak kekerasan pada anak dalam keluarga atau rumah tangga.”7
Kekerasan pada anak merupakan refleksi kegagalan pengasuhan
yang berlangsung lintas generasi, oleh sebab itu pemotongan siklus kekerasan
4
Suryani, Kebutuhan Pelayanan Sosial Bagi Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Keluarga,Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1 Maret 2010), Vol. 34, h. 47.
5
Harian Kompas, 3 Maret 2006
6
Suryani, loc. cit. h. 36. Departemen Sosial Republik Indonesia, dalamhttp//www.google.co.id/anakkorbantindakkekerasan
7
harus dimulai dari keluarga. Hal yang perlu diperhatikan dalam memutus
siklus kekerasan dalam kehidupan bukan dimulai dengan mengajarkan apa itu
kekerasan pada anak, melainkan orang dewasalah atau orangtua sebagai
pendidik yang belajar untuk tidak melakukan kekerasan dalam keluarga atau
kehidupan. Keluarga memiliki potensi yang besar untuk menekan tindak
kekerasan terhadap anak. Untuk itu perlu adanya kasih sayang, perhatian, dan
perlindungan yang harus diberikan kepada anak agar tumbuh kembang dalam
atmosfer yang penuh dengan cinta kasih dan perdamaian.
Mendidik anak hendaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Dengan menyadari kembali bahwa anak adalah amanah Allah SWT., yang
harus dipertanggungjawabkan di akhir masa kehidupan setiap orangtua. “Orangtua dan keluarga boleh saja tidak memiliki harta melimpah, tetapi mereka tidak boleh kehilangan cinta dan kasih sayang terhadap anak. Sebab,
cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan elementer yang mutlak harus
diperoleh seorang anak pada masa tumbuh kembang”. 8 Anak yang
kehilangan cinta dan kasih sayang akan tumbuh dengan penuh deviasi dan
patologis (keadaan berupa penyimpangan perilaku dalam bentuk merugikan
atau merusak diri sendiri dan orang lain). Sebaliknya, anak yang tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang kokoh, penuh cinta, dan jauh dari
eksploitasi, akan lahir sebagai generasi yang berkarakter, dan pada gilirannya
akan menjadi warga masyarakat dan warga negara yang berkarakter pula.
Walaupun pada umumnya masyarakat, khususnya para orangtua sudah
mengetahui betapa pentingnya peran orangtua bagi pertumbuhan dan
pendidikan anak, tetapi pada kenyataannya masih banyak orangtua yang tidak
melaksanakan cara-cara mendidik anak dengan baik. Masih saja ada orangtua
yang mendidik anaknya dengan cara yang keliru, seperti: menggunakan
kata-kata yang kasar untuk menasehati, kurangnya memberikan penghargaan
terhadap keberhasilan yang anak capai untuk membesarkan hatinya, perilaku
membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan anak yang
8
lain, menggunakan kekerasan dalam mendidik (memukul, mencubit,
menjewer, dan sebagainya), bahkan terjadinya eksploitasi anak. Pelaku tindak
kekerasan dan eksploitasi anak bukanlah oleh negara sebagaimana terjadi
pada masa lalu, tetapi justru dilakukan oleh perorangan dan kelompok
masyarakat atau non state actor. Maka jadilah sebagaimana mudah
ditemukan di surat kabar, televisi, atau internet, orangtua dengan mudah
menjual bayinya, keluarga dekat memperdagangkan saudara dekatnya, ayah
dan ibu kandung memaksa anak-anaknya mengemis, bahkan melacurkannya.
Seolah-olah tidak ada lagi cinta dalam hubungan orangtua dengan anak, yang
ada hanya hubungan kepentingan transaksional. Nilai anak rupanya telah
berubah, dari anak sebagai amanah Allah SWT., menjadi anak sebagai nilai
ekonomi. Padahal dalam Al-Qur’an dijelaskan janganlah kamu
menghilangkan anakmu karena takut miskin. Sesungguhnya Allah lah Maha
Pemberi Rizki. Sebagaimana firman-Nya dalam (Q.S. Al-An’am [6]: 151)
Kompleks memang permasalahan kekerasan terhadap anak. Namun
penelitian ini tidak akan membahas permasalahan tersebut secara
keseluruhan, yang akan difokuskan adalah bagaimana cara orangtua
mendidik anaknya di dalam keluarga dengan baik, sesuai dengan ajaran
agama Islam, lebih mendahulukan kasih sayang dibanding menggunakan
kekerasan dalam penyampaiannya. Karena pada dasarnya kembali lagi,
prestasi generasi tua bangsa ini menjadi tidak berarti jika generasi
berikutnya tidak terdidik atau salah didik sebagai generasi penerus.
Anak-anak terbentuk karakternya melalui tiga lingkaran pendidikan, seperti
dikatakan di paragraf sebelumnya yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Salah satu dari ketiga lingkungan pendidikan tadi adalah keluarga.
Seperti telah disingung di atas, dewasa ini banyak orangtua yang tidak tahu
bagaimana menyalurkan rasa kasih sayang kepada anak secara baik dan
benar atau mendekati tepat. Banyak orangtua mendidik anaknya dengan
kekerasan, meskipun orangtua melakukan itu didasarkan rasa kasih sayang
yang amat teramat sangat kepada anaknya agar anaknya menjadi pribadi
yang baik dan dapat menjadi insan kamil serta sebaik-baiknya khalifah di
bumi Allah SWT. Anak adalah amanah Allah yang harus dididik dengan
sebaik-baiknya didikan. Tentu akan sangat berbeda ketika dewasa, antara
anak yang dididik dengan pola kasih sayang, dan dengan anak yang diasuh
melalui cara kekerasan dan sikap otoriter.
Sebait puisi Dorothy Law Nolte tentang pendidikan anak yang
menggugah kesadaran dalam bukunya Children Learn What They Live,
sebagaimana dikutip oleh Asadulloh Al-Faruq bertutur sebagai berikut :
Jika anak dibersarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai.9
Berangkat dari hal tersebut, menarik sekiranya penulis membahas
mengenai bagaimana ”Konsep Pendidikan Anak dalam Keluarga
(Mendidik Anak Tanpa Kekerasan)”.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang akan dimunculkan, diantaranya :
1. Sebagian orangtua masih menggunakan kata-kata kasar untuk menasehati
anak
2. Orangtua kurang memberikan penghargaan terhadap keberhasilan yang
anak capai untuk membesarkan hatinya
3. Masih terdapat kekeliruan orangtua dalam memberikan kasih sayang
kepada anak
4. Perilaku membanding-bandingan kasih sayang dan prestasi anak dengan
anak yang lain
5. Menggunakan kekerasan dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti
fisik
6. Kurang memperhatikan kebutuhan anak di rumah
7. Kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya atau
membuat anak takut bertanya, dan
8. Ada sebagian orangtua yang mengeksploitasi anak.
C.
Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, karena cukup luasnya mengenai
masalah pendidikan anak dalam keluarga, maka penulis membatasi masalah
yang akan diteliti hanya pada masalah menggunakan kata-kata kasar untuk
9
menasehati anak, kurangnya memberikan penghargaan terhadap keberhasilan
yang anak capai untuk membesarkan hatinya, dan menggunakan kekerasan
dalam mendidik seperti: memukul atau menyakiti fisik seputar bagaimana
sebaiknya perlakuan atau pola asuh orangtua dalam mendidik anak dengan
mengedepankan kasih sayang dibanding menggunakan kekerasan. Kekerasan
yang dimaksud yaitu nasehat dengan kata-kata kasar disertai menyakiti fisik
seperti memukul, mencubit, menjewer, dan sebagainya. Anak di sini adalah
bayi yang masih di dalam kandungan hingga anak usia 17 tahun.
Buku-buku yang menjadi acuan pada skripsi ini diantaranya:
1. Buku karangan Maria Ulfah anshor dan Abdullah Ghalib dengan judul
Parenting with Love,
2. Buku karangan Asadulloh Al-Faruk dengan judul “Ibu Galak Kasihan
Anak,
3. Buku karangan Wendi Zarman dengan judul “Ternyata Mendidik Anak
Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif.,
4. Buku karangan Dr. Musthafa Abu Sa’ad dengan judul Istratijiyyah
at-Tarbiyyah al-Ijabiyyah (Judul Terjemahan: Smart Parenting, 30 Strategi
Mendidik Anak; Cerdas Emosional, Spiritual, Intelektual) yang
diterjemahkan oleh Fatkhurozi dan Nashirul Haq.
D.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka
dalam penulisan skripsi ini, masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut:
”Bagaimana cara mendidik anak dalam keluarga tanpa menggunakan kekerasan? ”
E.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memperoleh informasi tentang berbagai macam perilaku atau pola asuh
mengedepankan cinta dan kasih sayang, serta menghindari perilaku
kekerasan dari berbagai pendapat para ahli dan media cetak
2. Mengetahui konsep pendidikan anak dalam keluarga tanpa melalui
kekerasan.
F.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :
1. Memberikan informasi kepada para orangtua dan calon orangtua tentang
pentingnya mendidik anak dengan cinta dan kasih sayang serta
menghindari didikan dengan kekerasan
2. Sebagai informasi kepada umumnya masyarakat, khususnya keluarga atau
orangtua maupun calon orangtua tentang pandangan Islam dalam mendidik
anak di keluarga
3. Memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan
dalam lingkungan keluarga.
4. Memberikan kesadaran kepada masyarakat pada umumnya dan orangtua
pada khususnya, bahwa mendidik anak dengan kekerasan akan berakibat
buruk bagi perkembangan anak. Dengan demikian orangtua tidak akan
10
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Acuan Teori
1. Konsep Pendidikan Anak a. Pendidikan
Pengertian pendidikan telah banyak dikemukakan oleh para pakar
pendidikan, salah satunya sebagai berikut “Pendidikan adalah
pemindahan nilai-nilai, ilmu, dan keterampilan dari generasi tua kepada
generasi muda untuk melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat
tersebut.”8 Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi
psikologisnya. Berkat kemampuan-kemampuan psikologis yang lebih
tinggi dan kompleks dibanding dengan binatang inilah yang menjadikan
manusia menjadi lebih maju, lebih banyak memiliki kecakapan,
pengetahuan, dan keterampilan.
“Kondisi atau kemampuan psikologis yang dimiliki manusia itu merupakan karakteristik psikofisik seorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dan interaksi dengan lingkungannya. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi dan ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor”.9
Dilihat dari kacamata individu “Pendidikan adalah upaya
pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi, yaitu
8
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 163-164.
9
untuk menggali, mengembangkan, dan memberdayakan kemampuan
individual manusia agar ia dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya
oleh masyarakat.”10 Dengan kata lain “pendidikan adalah transfer
budaya, sementara kebudayaan masyarakat mana pun mengandung unsur
akhlak atau etik, estetika, ilmu pengetahuan, dan teknologi”11 tujuan dari
adanya pendidikan ini adalah pembentukan pola tingkah laku dan
karakter. Dalam pencapaian pembentukan karakter seseorang, hal-hal
yang perlu dijadikan kebiasaan tingkah laku adalah sopan santun atau
etika, kebersihan dan kerapihan, kejujuran serta disiplin.
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di
dalam masyarakat dan kebudayaan. “Dalam perkembangannya, istilah
pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.”12
Kenyataannya pengertian pendidikan ini selalu mengalami
perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Untuk
lebih memperkaya pemahaman tentang pendidikan dikemukakan oleh
para ahli pendidikan, antara lain sebagai berikut:
1) “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya
di masa yang akan datang”.13
2) “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spirtual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
10
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1987), Cet. I, h. 4.
11
Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Ghalib, Op.Cit., h. 25.
12
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 1.
13
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.”14
3) Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) memandang,
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi
pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani
anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.
4) “Pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju
kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti
sesungguhnya.”15
5) John Stuart Mill (filsuf Inggris, 1806-1873 M) mengemukakan bahwa
pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk
dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.
6) H. Horne berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang terus
menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia
yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas, dan
sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional, dan kemanusiaan dari manusia.
7) Edgar Dalle menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar
yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang berlangsung di
sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai
lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
8) M.J. Longeveled menuliskan bahwa pendidikan merupakan usaha,
pengaruh, perlindungan, bantuan yang diberikan kepada anak agar
tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak
agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
14
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional .
15
9) Serta Plato menjelaskan bahwa pendidikan itu membantu
perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu
yang memungkinkan tercapainya kesempurnaan.
Pendidikan adalah proses pematangan kualitas hidup. Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat memahami apa arti, hakikat hidup, untuk apa, bagaimana menjalankan tugas hidup, dan kehidupan secara benar. Karena itulah fokus pendidikan diarahkan pada pembentukan kepribadian unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas logika, hati, akhlak, dan keimanan. Puncak pendidikan adalah tercapainya titik kesempurnaan kualitas hidup.16
“Hendaknya pendidikan dilaksanakan dengan memilih tindakan dan perkataan yang sesuai, menciptakan syarat-syarat dan faktor-faktor
yang diperlukan”.17 Sehingga membantu seorang individu yang menjadi
objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan
segenap potensi yang ada dalam dirinya, dan secara perlahan-lahan
bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan.
Dari berbagai pandangan para tokoh ahli yang dikemukakan di
atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah
serangkaian proses pematangan kualitas hidup yang dilaksanakan secara
sadar dan terencana di sekolah maupun di luar sekolah dari generasi tua
(orang dewasa) kepada generasi muda serta dilakukan secara
berkesinambungan dengan memilih tindakan dan perkataan yang sesuai.
Melalui proses tersebut diharapkan manusia dapat mengembangkan
potensi yang ada di dalam dirinya dan dapat memahami apa arti, hakikat,
untuk apa, serta bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan
dengan benar. Oleh karena itu fokus pendidikan diarahkan pada
pembentukan kepribadian yang unggul dengan menitikberatkan pada
proses pematangan kualitas hati, keimanan, akhlak, kepribadian, logika
(kecerdasan), serta keterampilan yang kiranya dibutuhkan oleh dirinya,
16
Dedy Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h.2.
17
masyarakat, bangsa dan negara. Puncaknya adalah tercapainya
kesempurnaan hidup dengan menjalankan syariat Allah SWT.
b. Anak
Anak merupakan amanah bagi orangtua. Amanah tersebut adalah
titipan Allah SWT., yang harus dijaga dan dipelihara dengan
sebaik-baiknya. Anak merupakan makhluk ciptaan Allah SWT., yang wajib
dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat, dan harga dirinya secara
wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya tanpa
membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Anak adalah generasi
penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan
bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang.
Pengertian anak berkaitan dengan batas usia anak. Dalam
berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan tentang
batasan yang dipakai berdasarkan kepentingan anak, apakah kepentingan
anak mengenai kesejahteraan anak, perkawinan, ketenagakerjaan, atau
berkaitan dengan kepentingan pidana, dan kepentingan perdata. Dalam
Undang-undang No. 4 tahun 1979 yang mengatur tentang kesejahteraan anak, dinyatakan “anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin.” Jadi jika seorang belum berusia 21 tahun tetapi sudah
kawin maka tidak lagi sebagai anak. Batasan ini berbeda dengan apa
yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Bab I Pasal I tentang perlindungan anak menyebut “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”18
Dalam
Undang-undang ini tidak dapat perbedaan apakah seseorang itu belum kawin atau sudah kawin. Dengan demikian bagi “seseorang yang berusia dibawah 18 tahun meskipun sudah atau pernah kawin dan mempunyai anak, masih kategori anak.”19
18
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 302.
19
Ketentuan Undang-Undang Perdata menyebutkan, seseorang yang
masih dalam kandungan jika kepentingannya menghendaki dianggap
sebagai ahli waris jika lahir hidup, tetapi jika lahir mati dianggap tidak
pernah ada (Pasal 2 B.W) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menegaskan seseorang yang berusia 16 tahun (pada waktu
terjadi kasus) dianggap belum dewasa (Pasal 45 KUHP).
PBB tahun 1989 memberi batasan anak di bawah 18 tahun.
Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang mengatur perkawinan memberi batasan sebagai berikut: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” (Pasal 7 ayat 1 UU No.4 tahun 1979).
Semua anak terlahir di dunia berhak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran dengan baik dan benar. Hak pendidikan ini bagi anak bersifat
komprehensif, baik dalam mengembangkan nalar berfikirnya
(pengembangan intelektual), dan menanamkan sikap perilaku yang mulia
(penanaman akhlak), memiliki keterampilan untuk kehidupannya, dan
menjadikannya sebagai manusia yang memiliki kepribadian yang baik
sehingga dapat menjalankan kehidupan sesuai syariat Allah SWT.
Berikut ini adalah pengertian anak menurut firman Allah SWT.,:
1) Merupakan karunia serta nikmat dari Allah SWT.
ۡمأ
ۡـ
ۡمأب م
ٲ
۬
عج ي ب
ۡـ
ۡم
أۡڪ
ا يف ث
“... dan Kami membantu dengan harta kekayaan dan anak, dan kami jadikan kamu kelompok yang besar” (Q.S. Al-Isra[17]: 6) 2) Perhiasan kehidupan dunia
ۡا
ۡ
ي
ۡ
يح
ۡاي
“Harta dan anak-anak merupakan perhiasan dunia...” (Q.S. Al -Kahfi[18]: 46)
3) Pelengkap kebahagiaan hidup dalam keluarga
“... Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyenang hati...” (Q.S. Al -Furqon[25]: 74)
4) Sebagai bentuk anugerah Allah SWT., bagi orang yang senang
berdzikir dan senantiasa mohon ampun20
“Maka aku katakan kepada mereka’ mohon ampunanlah kalian
kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya Dia MahaPengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat, dan membanyakan harta, dan anak-anakmu, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan sungai-sungai.” (Q.S. Nuh[71]: 10-12).
Dalam pengertian khusus menurut ajaran Islam, anak adalah
generasi penerus untuk melanjutkan kelangsungan turunan. Sedangkan
dalam arti yang lebih luas, anak adalah generasi penerus yang akan
mewarisi kepemimpinan dibidang keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan. “Anak harus dijamin hak-hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, oleh karena itu segala
bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam
berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak
berprikemanusiaan harus dihapuskan tanpa kecuali.”21
Pendidikan bagi anak meupakan kebutuhan vital yang harus
diberikan dengan cara-cara yang bijak untuk menghantarkan menuju
kedewasaan dengan baik. Kesalahan dalam mendidik anak di masa kecil
akan mengakibatkan rusaknya generasi yang akan datang. Ayah, Ibu,
atau orang dewasa lainnya yang turut mempengaruhi pembentukan
20
Mufidah Ch, Op.Cit., h. 300-301.
21
kepribadian anaklah yang paling besar pengaruhnya terhadap tumbuh
kembang anak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,:
ْطفْا ى ع ي ْ م ك
ْ أ ا ّ ي ْ أ ا ي ا بأف
اسّ ي
“Setiap anak lahir dalam keadaan suci, orangtua-nyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi). (311-312)
Mengacu berbagai peraturan Undang-Undang dan dari beberapa
pengertian yang telah dikemukakan di atas, penulis mengambil
kesimpulan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk yang masih berada di dalam kandungan atau anak adalah
seseorang yang berusia di bawah 17 tahun. Hal ini berdasarkan bahwa
secara psikologis seseorang yang berusia 17 tahun telah muncul
kesadaran akan kepribadian dan kehidupan batiniyah sendiri, sekaligus
perkuatan rasa AKU. Anak mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan
melakukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap
pemikiran filosofis dan etnis.22 Dengan kata lain, seseorang yang berusia
17 tahun yang mempunyai kesadaran dan kepribadian sehingga
perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Pada usia 17 tahun seorang
juga sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang juga
sudah harus mempunyai KTP dan pada usia ini seseorang mempunyai
hak kewarganegaraan antara lain untuk menyalurkan aspirasinya melalui
pemilihan umum.
Anak merupakan titipan Allah SWT., yang diamanahkan kepada
orangtua dan menjadikannya sebagai penyenang hati dan perhiasan dunia
yang nantinya amanah Allah SWT., tersebut akan dimintai
pertanggungjawabannya di akhir masa kehidupan setiap individu
(orangtua). Karenanya pendidik (orangtua) dapat ditempatkan Allah
SWT., di dalam surga maupun neraka. Anak pula yang nantinya akan
22
melanjutkan kelangsungan hidup keturunan sebagai generasi mewarisi
penerus kepemimpinan dalam bidang agama, bangsa, dan kenegaraan.
b. Pendidikan Anak
Bagi orang yang beragama Islam, berbicara pendidikan anak tidak
lepas dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah upaya sadar dan
terencana dalam menyiapkan anak didik untuk mengenal, memahami,
menghayati hingga mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tujuan pendidikan Islam adalah meningkatkan keimanan,
pemahaman, pengetahuan, pengalaman anak didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
serta berakhlak manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan
bernegara.
Dasar pendidikan Islam, dasar atau fundamen dari suatu
bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan,
keteguhan, serta tetap berdirinya bangunan itu. Pada suatu pohon, dasar
itu adalah akarnya. Dasar pendidikan Islam itu adalah Firman Allah
SWT., dan Sunnah Rasulullah SAW. Kalau pendidikan diibaratkan
bangunan, maka isi Al-Qur’an dan Al-Sunnah-lah yang menjadi
fundamennya.23 Sebagaimana firman Allah SWT., dalam Q.S.
An-Nisa[4]: 59 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
23
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa [4]: 59).
Dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Al-sunnah, para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanam rasa fadillah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, jujur. Maka tujuan pokok dan yang paling utama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.24
Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa “tujuan pendidik Islam
adalah indentik dengan tujuan hidup setiap Muslim.”25 Tujuan tersebut di
dasarkan pada ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
“Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku” (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56)
Pendapat lain mengatakan bahwa “tujuan akhir dari pendidikan Islam itu
terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah,
baik secara perorangan, masyarakat, maupun sebagai umat manusia
secara keseluruhan.”26
...
ي
يّ
ۡ م
ْا
ۡعي
ا إ
ْا
ٓ مأ
ٓام
“Dan mereka tidak disuruh melainkan agar menyembah Allah dan dengan ikhlas beragama kepada-Nya...” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5).
24
Moh. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Dari al-Tarbiyyah al-Islamiyyah oleh H. Butami A. Gani, dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 15.
25
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1980), Cet. VI, h. 48.
26
Tujuan Pendidikan Islam yang ditetapkan dalam Kongres Sedunia
tentang Pendidikan Islam sebagai berikut:
Education should aim at the ballanced growth of total personality
of man through the training of man’s spirit, intelect the rational
self, feeling and bodily else. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspect, spiritual, intelektual, imaginative, physical, scientifict, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realizatoin of complex submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.27
Selain itu, tujuan pendidikan Islam juga dalam rangka menjadikan
manusia agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka
bumi. Tujuan ini sejalan dengan ayat sebagai berikut:
ۡ إ
ۡ كب اق
ٓـٕٮ
۬ عاج ى إ
ىف
ۡ
ۡ أ
۬ في خ ض
ۖ
...
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30).
Rumusan tujuan pendidikan Islam juga diarahkan pada terbentuknya
manusia yang memiliki sikap hidup yang seimbang antara mementingkan
urusan dunia dan mementingkan urusan akhirat.
Rumusan tujuan pendidikan Islam memiliki karakteristik sebagai
berikut:28
1) Diarahkan pada terwujudnya manusia yang baik dan ideal, yaitu
manusia yang berakhlak mulia, berkepribadian utama, menjadi orang
yang taat kepada Allah, melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di
muka bumi, bersikap seimbang mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat, dan terbina seluruh potensinya secara maksimal, baik
potensi fisik biologis, intelektual, spiritual, dan sosialnya.
27
Second Word Conference on Muslim Education, International Seminar on Islamic Concept and Curricula, Recommendation, (Islamabad, 15- to 20, March, 1980).
28
2) Membimbing dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki
manusia, baik potensi fisik biologis, intelektual, spiritual maupun
sosial dengan berdasarkan pada keimanan dan akhlak mulia.
Kesimpulannya di dalam Islam, tujuan tertinggi pendidikan
adalah untuk mewujudkan manusia yang baik. Pengertian manusia baik
di sini bukanlah sosok manusia yang kuat, pintar, kaya, berpengaruh atau
populer, melainkan manusia yang memahami hakikat dirinya sebagai
hamba Allah yang menjadikan kehidupannya sebagai sarana pengabdian
kepada-Nya.
Orang yang paling sempurna penghambaannya kepada Allah
adalah Nabi Muhammad SAW., Hal itu tercermin dari perilakunya.
Beliau adalah contoh ideal dalam segala hal. Bila bicara tentang rumah
tangga, beliau adalah suami dan ayah terbaik. Bila bicara mengenai
pendidikan, beliau adalah guru yang paling baik. Bila bicara mengenai
negara, beliau adalah pemimpin atau negarawan yang paling baik. Bila
bicara mengenai peran di masyarakat, beliau adalah anggota masyarakat
yang paling baik. Bila bicara mengenai perniagaan beliau adalah
pedagang yang paling baik. Bila bicara mengenai pergaulan beliau
merupakan sahabat yang paling baik. Pendeknya, semua kebaikan
terhimpun pada diri beliau. Itu sebabnya Al-Qur’an menyebutkan:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suru teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21).
Jadi pada dasarnya, visi pendidikan Islam adalah untuk membentuk
manusia shaleh. Sedangkan penjabarannya dapat ditemukan pada diri
dapat ditemukan pada diri beliau. Itu sebabnya beliau dijadikan Allah
sebagai teladan bagi seluruh manusia.
2. Konsep Pendidikan Keluarga a. Pengertian Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga:
Ibu, bapak dan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar
di masyarakat.”29 Keluarga (kawla warga) merupakan sebuah institusi
terkecil di dalam masyarakat yang memiliki tempat tinggal dan ditandai
kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan
sebagainya, serta berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan
kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta
dan kasih sayang anggotanya. Suatu ikatan hidup yang didasarkan karena
terjadinya perkawinan, juga bisa disebabkan karena persusuan atau
muncul perilaku pengasuhan.
Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatan sedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian yang satu sama lain saling mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menganut ketentuan norma, adat, nilai, yang diyakini dalam membatasi keluarga dan yang bukan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun di atas perkawinan/pernikahan terdiri dari ayah/suami, ibu/istri, dan anak.30
“Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang
dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupan.”31
29
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 471.
30
Mufidah Ch, Op.Cit., h. 38.
31
Sebagaimana yang ditulis Mufidah Ch, “bentuk-bentuk keluarga,
keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:” 32
1) Keluarga inti, yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak, atau hanya
ibu atau bapak atau nenek dan kakek.
2) Keluarga inti terbatas, yang terdiri ayah dan anak-anaknya, atau ibu
dan anak-anaknya.
3) Keluarga luas (exended family), yang cukup banyak ragamnya seperti
rumah tangga nenek yang hidup dengan cucu yang masih sekolah,
atau nenek dengan cucu yang telah kawin, sehingga istri dan
anak-anaknya hidup numpang juga.
Keluarga memiliki beberapa jenis, Robert R. Bell (1979)
mengatakan ada tiga jenis hubungan keluarga: 33
1) Kerabat dekat (conventional kin), kerabat dekat yang terdiri dari
individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi,
dan atau perkawinan, seperti suami istri, orangtua, anak, dan antar
saudara (siblings).
2) Kerabat jauh (discretionari kin), kerabat jauh terdiri dari individu
yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi atau
perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat
dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan
adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi diantara
mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena
adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri
atas paman, bibi, ponakan, dan sepupu.
3) Orang yang dianggap kerabat (fictive kin), seorang dianggap kerabat
karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar
teman akrab.
32
Mufidah Ch, Loc.Cit., h. 40. Lihat juga Atashendartini Habsjah, Jender dan Pola Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed), Bunga Ramapai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) h. 218.
33
Dilihat dari fungsinya, menurut Djudju Sudjana (1990) fungsi
keluarga, secara sosiologis ada tujuh macam fungsi, yaitu:
1) Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar
memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat
manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis
inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang,
sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui
bersama.
2) Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua
anggotanya dimana orangtua memiliki peran yang cukup penting
untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam
dimensi kognisi, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk
mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan
profesional. Pendidikan keluarga Islam sebagaimana firman Allah
SWT., dalam Q.S. At-Tahrim[66]: 6 sebagai berikut:
ٓـي
اہيأ
ي
ماء
ْا
ٓ ق
ْا
ۡم سف أ
ۡ أ
ۡم ي
۬ ا
ا
ا ق
سا
ۡ
اّح
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (Q.S. At-Tahrim[66]: 6)
Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar
manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya.
Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya telah mengikuti
pola keluarga demokratis dimana tidak dapat dipilah-pilah siapa
belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus
berdampak pada pergeseran relasi dan peran-peran anggota keluarga.
Karena itu bisa terjadi suami belajar kepada istri, bapak atau ibu
belajar kepada anaknya. Namun teladan baik dan tugas-tugas
pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab kedua
3) Fungsi religius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral
agama melalui moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan
praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim
keagamaan di dalamnya. Dalam Q.S. Al-Luqman: 13 mengisahkan
peran orangtua dalam keluarga menanamkan aqidah kepada anaknya
sebagaimana yang dilakukan Luqman al-Hakim terhadap anaknya.
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
diwaktu ia memberi pelajaran; hai ananda, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”(Q.S. Al-Luqman [31]: 13).
Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seorang mengenal
siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Penanaman aqidah yang benar,
pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan kepribadian
sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai
terwujudnya masyarakat religius.
4) Fungsi Protektif, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari
gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal
segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya. Gangguan internal
dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota
keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi
pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan. Kekerasan dalam
keluarga biasanya tidak mudah dikenali karena berada di wilayah
privat, dan terdapat hambatan psikis dan sosial maupun norma
budaya dan agama untuk diungkap secara publik. Adapun gangguan
eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali oleh masyarakat
karena berada pada wilayah publik. 34
34
5) Fungsi sosialisasi, adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak
menjadi anggota masyarakat yang baik, maupun memegang
norma-norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu
sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintas
suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa, maupun jenis
kelaminnya. Fungsi sosialisasi ini diharapkan anggota keluarga dapat
memposisikan diri sesuai dengan status dan struktur keluarga,
misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia selalu memperhatikan
bagaimana anggota keluarga satu memanggil dan menempatkan
anggota keluarga lainnya agar posisi nasab tetap terjaga.
6) Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat
memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas
masing-masing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat
mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, saling
menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota
keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang, dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”. 7) Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis
dimana keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan
usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan, dan bagaimana
memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik,
mendistribusikan secara adil, dan proporsional serta dapat
mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara
sosial maupun moral.
Ditinjau dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah
bahwa “keluarga memiliki fungsi vital dalam pembentukan individu.
Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus menerus
dipelihara. Jika salah satu dari fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka
keluarga.”35 Terkait dengan pendidikan anak, keluarga sebagai kelompok
inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan yang alami bagi
pertumbuhan dan kesejahteraan, khususnya bagi anak-anak. Melalui
keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal
kehidupannya kelak.
b. Pendidikan Anak dalam Keluarga
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keluarga
sekurang-kurangnya terdiri atas ayah, ibu (orangtua), dan anak.
1) Pengertian orangtua
Orangtua dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan: “1)
ayah dan ibu kandung, 2) orang yang dianggap tua (cerdik, pandai,
ahli, dan sebagainya), 3) orang yang disegani/dihormati
dikampung.”36 Orangtua merupakan sebutan yang umum digunakan
bagi bapak dan ibu oleh seorang anak. Sebutan bapak untuk orangtua
yang berjenis kelamin laki-laki dan ibu adalah untuk sebutan orangtua
yang berjenis kelamin perempuan.
Orangtua adalah yang pertama kali bertanggunng jawab penuh
untuk membesarkan anaknya hingga tumbuh menjadi besar dan
dewasa, dengan memberikan kasih sayang yang tulus baik berupa
moril maupun materil, karena adanya pertalian darah yang erat.
Dengan harapan kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas,
berguna bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara.
Orangtua dalam hal ini yaitu ayah dan ibu memiliki kedudukan
masing-masing. Dimana ayah sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai
ibu rumah tangga. Namun pada hakekatnya mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang sama dalam memelihara, membina, mendidik,
dan mematuhi kebutuhan anak-anaknya.
35
Mufidah Ch, Ibid., h. 42-47. Lihat juga Djudju Sudjana, dalam Jalaludin Rahmat, (ed), KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1990).
36
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“Islam menegaskan bahwa ayah adalah pemimpin keluarga. Tugas pemimpin keluarga adalah memberi dan mengatur ke mana arah biduk rumah tangga ini akan dituju. Dalam pendidikan anak, ayah menempati posisi yang cukup penting. Penelitian di dunia psikologi modern menunjukan bahwa ternyata pola pengasuhan ayah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk kepercayaan diri dan kecerdasan anak di masa yang kan datang. Menutrut Erik H. Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan anak, pada masa awal kehidupannya, bayi memerlukan kepercayaan dasar (basic trust). Kehangatan dan kasih sayang yang diperoleh bayi pada saat ini akan membentuk kepercayaan anak terhadap lingkungannya, apakah ia akan percaya”atau tidak dengan orang-orang di sekitarnya.”37
Peran dan kasih sayang orangtua tidak pernah mengenal batas
sampai kapanpun, orangtua adalah pendidik yang pertama bagi anak
dilingkungan keluarga. Pengorbanan seorang ibu tidak mungkin
tergantikan dengan uang sebanyak apapun. Kesulitan semasa hamil,
kesakitan melahirkan, serta kesabaran tatkala mengasuh, merawat, dan
mendidik anak, semuanya dilakukan dengan penuh ketulusan tanpa
mengharap suatu pamrih atau imbalan. Tidak ada keluh kesah dan
penyesalan di hatinya. Seperti kata pepatah “Kasih Ibu sepanjang
masa hanya memberi tak harap kembali”. Dari pepatah tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa kasih sayang Sang Ibu terhadap
anak-anaknya dilakukan dengan tulus murni dan ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan apapun dari anaknya, walaupun pada saat
melahirkan nyawa menjadi taruhannya.
Ibu merupakan “madrasah pertama” bagi anaknya, dan tak ayal
lagi ibu menjadi sosok yang sangat dicintai dan dihormati. Dari ibu
seorang anak belajar memupuk mimpi tentang masa depan dan
berlatih menghadapi kerasnya kehidupan. Seorang ibu memiliki
kedudukan yang mulia dan berpengaruh besar terhadap perkembangan
anak.
37
Begitu pula seorang ayah sebagai orangtua kandung laki-laki
dan sekaligus sebagai kepala keluarga pasti juga menginginkan yang
terbaik bagi anak-anaknya, karena ayah merupakan sosok manusia
yang sangat diandalkan dalam keluarga. Dalam hal ini Ngalim
Purwanto menyatakan, bahwa “peran ayah dalam pendidikan anaknya
yang lebih dominan sebagai berikut”:38
a) Sumber kekuasaan di dalam keluarga
b) Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar
c) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga
d) Pelindung terhadap ancaman dari luar
e) Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan
f) Pendidik dalam segi rasional.
2) Tugas dan tanggung jawab orangtua
Orangtua adalah orang dewasa yang memikul tanggung jawab
dalam pendidikan sehingga orangtua yang selalu memperhatikan
terhadap pendidikan anaknya pasti ia akan menanamkan pendidikan
yang mengarah pada intelegensi juga pendidikan agama (moral).
Adalah pendidikan akal yang harus diberikan orangtua terhadap anak
yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dirinya.
Setiap orangtua ingin memberi pelajaran dan pendidikan menurut
moral yang dianutnya, agar keturunannya memperoleh kehidupan
yang lebih baik. Karena moral itulah yang akan membentuk tingkah
laku dalam kehidupannya serta dapat memperoleh kebahagiaan dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
Orangtua amat besar dalam mendidik anak dengan pendidikan
jasmani, intelektual, dan mental spiritual, baik melalui teladan yang
baik atau pengajaran (nasihat-nasihat), sehingga kelak ia dapat
memetik tradisi-tradisi yanng benar dan pijakkan moral sempurna.
38
Orangtua bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan
perkemangan anak, dengan dasar bahwa anak adalah titipan yang
dipercayakan Allah SWT., untuk dipelihara dan harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Jadi tugas dan
tanggung jawab orangtua dalam mendidik dan memberikan dukungan
motivasi, fasilitas, dan perilaku yang baik agar tertanam dalam diri
seorang anak pendidikan yang mengarah kepada intelegensi dan
pendidikan agama (moral).
Menjadi orangtua berarti siap menjadi seorang pendidik, dan
siap dengan pengetahuan untuk mendidik. Mendidik berarti
membimbing anak kearah kedewasaan, untuk itu diri orangtua sendiri
harus telah dewasa, dan harus menyadari akan tanggungjawabnya
sebagai pendidik bagi anaknya.
3) Sikap dan gaya orangtua dari perspektif psikologi
Sangatlah penting bahwa orangtua atau pendidik menyadari ciri-ciri
anak didik manakah yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan
pribadi-pribadi yang kreatif. Biasanya pendidik atau orangtua kurang
menyadari dampak dari sikap mereka terhadap perkembangan
kepribadian anak.
Beberapa contoh sikap pendidik yang kurang menunjang
kreatifitas anak adalah:
a) Sikap terlalu khawatir atau takut-takut, sehingga anak terlalu
dibatasi dalam kegiatan.
b) Sikap terlalu mengawasi anak.
c) Sikap yang menekankan pada kebersihan dan keteraturan yang
berlebihan.
d) Sikap menuntut kepatuhan mutlak dari anak tanpa memandang
perlu mempertimbangkan alasan-alasan anak.
e) Sikap yang lebih tahu dan sikap yang lebih benar.
f) Sikap yang menganggap bahwa berkhayal itu tidak baik, tidak
g) Sikap mengkritik prilaku dan pekerjaan anak.
h) Sikap yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap
usaha untuk karya anak.
Adapun Santrock, “seorang psikolog pendidikan Universitas
Texas mengemukakan ada empat gaya pengasuhan orangtua yang bisa
berdampak positif dan negatif terhadap anak.”39 Gaya pengasuhan
tersebut adalah:
a) Gaya otoriter (Outoritative Parenting)
b) Gaya berwibawa (Authoritarian Parenting)
c) Gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting), dan
d) Gaya pemanja (Indulguent Parenting).
Orangtua dengan gaya otoriter (Outoritative Parenting) akan
mendesak anak-anaknya untuk mengikuti petunjuk-petunjuk dan
menghormati mereka. Untuk itu, mereka tidak segan-segan
menghukum anak secara fisik. Orangtua memberi batasan-batasan
pada anak-anaknya secara keras mengontrol mereka dengan ketat.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga seperti ini mengalami
banyak masalah psikologis yang dapat menghambat mereka untuk
belajar. Di rumah mereka cenderung cemas dan merasa tidak aman. Di
sekolah, mereka juga tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Dengan
demikian mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dengan
teman-temannya. Mereka memiliki keterampilan berkomunikasi yang sangat
rendah sehingga menimbulkan banyak hambatan psikologis.
Orangtua dengan gaya berwibawa (Authoritarian Parenting)
akan mendorong anak-anaknya untuk hidup mandiri. Ketika
dibutuhkan mereka memberi pengarahan dan dukungan. Bila
anak-anaknya membuat kesalahan, orangtua mungkin menaruh tangan di
pundak anaknya dan dengan menghibur berkata “kamu tahu, harusnya
kamu tidak melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu
39
bisa mengatasi situasi ini lain kali”. Dengan demikian, anak-anak sudah diajarkan bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri.
Ana