• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIK

A. Acuan Teori

2. Konsep Pendidikan Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga: Ibu, bapak dan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat.”29 Keluarga (kawla warga) merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang memiliki tempat tinggal dan ditandai kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya, serta berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang anggotanya. Suatu ikatan hidup yang didasarkan karena terjadinya perkawinan, juga bisa disebabkan karena persusuan atau muncul perilaku pengasuhan.

Menurut psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatan sedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian yang satu sama lain saling mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menganut ketentuan norma, adat, nilai, yang diyakini dalam membatasi keluarga dan yang bukan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang dibangun di atas perkawinan/pernikahan terdiri dari ayah/suami, ibu/istri, dan anak.30

“Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti

paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang

dibutuhkan anggotanya dalam mencari makna kehidupan.”31

29

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 471.

30

Mufidah Ch, Op.Cit., h. 38.

31

A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet. I, h. 203.

Sebagaimana yang ditulis Mufidah Ch, “bentuk-bentuk keluarga, keluarga dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:” 32

1) Keluarga inti, yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak, atau hanya ibu atau bapak atau nenek dan kakek.

2) Keluarga inti terbatas, yang terdiri ayah dan anak-anaknya, atau ibu dan anak-anaknya.

3) Keluarga luas (exended family), yang cukup banyak ragamnya seperti rumah tangga nenek yang hidup dengan cucu yang masih sekolah, atau nenek dengan cucu yang telah kawin, sehingga istri dan anak- anaknya hidup numpang juga.

Keluarga memiliki beberapa jenis, Robert R. Bell (1979) mengatakan ada tiga jenis hubungan keluarga: 33

1) Kerabat dekat (conventional kin), kerabat dekat yang terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami istri, orangtua, anak, dan antar saudara (siblings).

2) Kerabat jauh (discretionari kin), kerabat jauh terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi atau perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi diantara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman, bibi, ponakan, dan sepupu.

3) Orang yang dianggap kerabat (fictive kin), seorang dianggap kerabat karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar teman akrab.

32

Mufidah Ch, Loc.Cit., h. 40. Lihat juga Atashendartini Habsjah, Jender dan Pola Kekerabatan dalam TO Ihromi (ed), Bunga Ramapai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) h. 218.

33

Mufidah Ch, Ibid., h. 41. Liat juga Evelyn Suleema, Hubungan-hubungan dalam Keluarga, dalam TO Ihromi (ed), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 91.

Dilihat dari fungsinya, menurut Djudju Sudjana (1990) fungsi keluarga, secara sosiologis ada tujuh macam fungsi, yaitu:

1) Fungsi biologis, perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab. Fungsi biologis inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui bersama.

2) Fungsi edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orangtua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensi kognisi, afektif maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan profesional. Pendidikan keluarga Islam sebagaimana firman Allah SWT., dalam Q.S. At-Tahrim[66]: 6 sebagai berikut:

ٓـي

اہيأ

ي

ماء

ْا

ٓ ق

ْا

ۡم سف أ

ۡ أ

ۡم ي

۬ ا

ا

ا ق

سا

ۡ

اّح

Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (Q.S. At- Tahrim[66]: 6)

Fungsi edukatif ini merupakan bentuk penjagaan hak dasar manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya. Pendidikan keluarga sekarang ini pada umumnya telah mengikuti pola keluarga demokratis dimana tidak dapat dipilah-pilah siapa belajar kepada siapa. Peningkatan pendidikan generasi penerus berdampak pada pergeseran relasi dan peran-peran anggota keluarga. Karena itu bisa terjadi suami belajar kepada istri, bapak atau ibu belajar kepada anaknya. Namun teladan baik dan tugas-tugas pendidikan dalam keluarga tetap menjadi tanggungjawab kedua orangtua.

3) Fungsi religius, keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim keagamaan di dalamnya. Dalam Q.S. Al-Luqman: 13 mengisahkan peran orangtua dalam keluarga menanamkan aqidah kepada anaknya sebagaimana yang dilakukan Luqman al-Hakim terhadap anaknya.

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,

diwaktu ia memberi pelajaran; hai ananda, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”(Q.S. Al- Luqman [31]: 13).

Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seorang mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Penanaman aqidah yang benar, pembiasaan ibadah dengan disiplin, dan pembentukan kepribadian sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai terwujudnya masyarakat religius.

4) Fungsi Protektif, dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya. Gangguan internal dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan. Kekerasan dalam keluarga biasanya tidak mudah dikenali karena berada di wilayah privat, dan terdapat hambatan psikis dan sosial maupun norma budaya dan agama untuk diungkap secara publik. Adapun gangguan eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali oleh masyarakat karena berada pada wilayah publik. 34

34

5) Fungsi sosialisasi, adalah berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, maupun memegang norma- norma kehidupan secara universal baik inter relasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa, maupun jenis kelaminnya. Fungsi sosialisasi ini diharapkan anggota keluarga dapat memposisikan diri sesuai dengan status dan struktur keluarga, misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia selalu memperhatikan bagaimana anggota keluarga satu memanggil dan menempatkan anggota keluarga lainnya agar posisi nasab tetap terjaga.

6) Fungsi rekreatif, bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang,

dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku”.

7) Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan, dan bagaimana memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil, dan proporsional serta dapat mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial maupun moral.

Ditinjau dari ketujuh fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah bahwa “keluarga memiliki fungsi vital dalam pembentukan individu. Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus menerus dipelihara. Jika salah satu dari fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan, maka akan terjadi ketidakharmonisan dalam sistem keteraturan dalam

keluarga.”35 Terkait dengan pendidikan anak, keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan yang alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan, khususnya bagi anak-anak. Melalui keluargalah anak-anak dapat belajar segala hal yang baik untuk bekal kehidupannya kelak.

b. Pendidikan Anak dalam Keluarga

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keluarga sekurang- kurangnya terdiri atas ayah, ibu (orangtua), dan anak.

1) Pengertian orangtua

Orangtua dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan: “1) ayah dan ibu kandung, 2) orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli, dan sebagainya), 3) orang yang disegani/dihormati dikampung.”36 Orangtua merupakan sebutan yang umum digunakan bagi bapak dan ibu oleh seorang anak. Sebutan bapak untuk orangtua yang berjenis kelamin laki-laki dan ibu adalah untuk sebutan orangtua yang berjenis kelamin perempuan.

Orangtua adalah yang pertama kali bertanggunng jawab penuh untuk membesarkan anaknya hingga tumbuh menjadi besar dan dewasa, dengan memberikan kasih sayang yang tulus baik berupa moril maupun materil, karena adanya pertalian darah yang erat. Dengan harapan kelak anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas, berguna bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara.

Orangtua dalam hal ini yaitu ayah dan ibu memiliki kedudukan masing-masing. Dimana ayah sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Namun pada hakekatnya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dalam memelihara, membina, mendidik, dan mematuhi kebutuhan anak-anaknya.

35

Mufidah Ch, Ibid., h. 42-47. Lihat juga Djudju Sudjana, dalam Jalaludin Rahmat, (ed), KeluargaMuslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1990).

36

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

“Islam menegaskan bahwa ayah adalah pemimpin

keluarga. Tugas pemimpin keluarga adalah memberi dan mengatur ke mana arah biduk rumah tangga ini akan dituju. Dalam pendidikan anak, ayah menempati posisi yang cukup penting. Penelitian di dunia psikologi modern menunjukan bahwa ternyata pola pengasuhan ayah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk kepercayaan diri dan kecerdasan anak di masa yang kan datang. Menutrut Erik H. Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan anak, pada masa awal kehidupannya, bayi memerlukan kepercayaan dasar (basic trust). Kehangatan dan kasih sayang yang diperoleh bayi pada saat ini akan membentuk kepercayaan anak terhadap lingkungannya, apakah ia akan percaya”atau tidak dengan orang-orang di sekitarnya.”37

Peran dan kasih sayang orangtua tidak pernah mengenal batas sampai kapanpun, orangtua adalah pendidik yang pertama bagi anak dilingkungan keluarga. Pengorbanan seorang ibu tidak mungkin tergantikan dengan uang sebanyak apapun. Kesulitan semasa hamil, kesakitan melahirkan, serta kesabaran tatkala mengasuh, merawat, dan mendidik anak, semuanya dilakukan dengan penuh ketulusan tanpa mengharap suatu pamrih atau imbalan. Tidak ada keluh kesah dan penyesalan di hatinya. Seperti kata pepatah “Kasih Ibu sepanjang masa hanya memberi tak harap kembali”. Dari pepatah tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwa kasih sayang Sang Ibu terhadap anak- anaknya dilakukan dengan tulus murni dan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun dari anaknya, walaupun pada saat melahirkan nyawa menjadi taruhannya.

Ibu merupakan “madrasah pertama” bagi anaknya, dan tak ayal lagi ibu menjadi sosok yang sangat dicintai dan dihormati. Dari ibu seorang anak belajar memupuk mimpi tentang masa depan dan berlatih menghadapi kerasnya kehidupan. Seorang ibu memiliki kedudukan yang mulia dan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak.

37

Wendi Zarman, Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan lebih Efektif, (Bandung: Ruang Kata, 2011), Cet. I, h. 8-10.

Begitu pula seorang ayah sebagai orangtua kandung laki-laki dan sekaligus sebagai kepala keluarga pasti juga menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, karena ayah merupakan sosok manusia yang sangat diandalkan dalam keluarga. Dalam hal ini Ngalim Purwanto menyatakan, bahwa “peran ayah dalam pendidikan anaknya yang lebih dominan sebagai berikut”:38

a) Sumber kekuasaan di dalam keluarga

b) Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar c) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga

d) Pelindung terhadap ancaman dari luar

e) Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan f) Pendidik dalam segi rasional.

2) Tugas dan tanggung jawab orangtua

Orangtua adalah orang dewasa yang memikul tanggung jawab dalam pendidikan sehingga orangtua yang selalu memperhatikan terhadap pendidikan anaknya pasti ia akan menanamkan pendidikan yang mengarah pada intelegensi juga pendidikan agama (moral). Adalah pendidikan akal yang harus diberikan orangtua terhadap anak yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dirinya. Setiap orangtua ingin memberi pelajaran dan pendidikan menurut moral yang dianutnya, agar keturunannya memperoleh kehidupan yang lebih baik. Karena moral itulah yang akan membentuk tingkah laku dalam kehidupannya serta dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Orangtua amat besar dalam mendidik anak dengan pendidikan jasmani, intelektual, dan mental spiritual, baik melalui teladan yang baik atau pengajaran (nasihat-nasihat), sehingga kelak ia dapat memetik tradisi-tradisi yanng benar dan pijakkan moral sempurna.

38

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teorits dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1991), h. 91-92.

Orangtua bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan perkemangan anak, dengan dasar bahwa anak adalah titipan yang dipercayakan Allah SWT., untuk dipelihara dan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Jadi tugas dan tanggung jawab orangtua dalam mendidik dan memberikan dukungan motivasi, fasilitas, dan perilaku yang baik agar tertanam dalam diri seorang anak pendidikan yang mengarah kepada intelegensi dan pendidikan agama (moral).

Menjadi orangtua berarti siap menjadi seorang pendidik, dan siap dengan pengetahuan untuk mendidik. Mendidik berarti membimbing anak kearah kedewasaan, untuk itu diri orangtua sendiri harus telah dewasa, dan harus menyadari akan tanggungjawabnya sebagai pendidik bagi anaknya.

3) Sikap dan gaya orangtua dari perspektif psikologi

Sangatlah penting bahwa orangtua atau pendidik menyadari ciri-ciri anak didik manakah yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan pribadi- pribadi yang kreatif. Biasanya pendidik atau orangtua kurang menyadari dampak dari sikap mereka terhadap perkembangan kepribadian anak.

Beberapa contoh sikap pendidik yang kurang menunjang kreatifitas anak adalah:

a) Sikap terlalu khawatir atau takut-takut, sehingga anak terlalu dibatasi dalam kegiatan.

b) Sikap terlalu mengawasi anak.

c) Sikap yang menekankan pada kebersihan dan keteraturan yang berlebihan.

d) Sikap menuntut kepatuhan mutlak dari anak tanpa memandang perlu mempertimbangkan alasan-alasan anak.

e) Sikap yang lebih tahu dan sikap yang lebih benar.

f) Sikap yang menganggap bahwa berkhayal itu tidak baik, tidak berguna karena membuang-buang waktu.

g) Sikap mengkritik prilaku dan pekerjaan anak.

h) Sikap yang jarang memberi pujian atau penghargaan terhadap usaha untuk karya anak.

Adapun Santrock, “seorang psikolog pendidikan Universitas Texas mengemukakan ada empat gaya pengasuhan orangtua yang bisa berdampak positif dan negatif terhadap anak.”39 Gaya pengasuhan tersebut adalah:

a) Gaya otoriter (Outoritative Parenting) b) Gaya berwibawa (Authoritarian Parenting) c) Gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting), dan d) Gaya pemanja (Indulguent Parenting).

Orangtua dengan gaya otoriter (Outoritative Parenting) akan mendesak anak-anaknya untuk mengikuti petunjuk-petunjuk dan menghormati mereka. Untuk itu, mereka tidak segan-segan menghukum anak secara fisik. Orangtua memberi batasan-batasan pada anak-anaknya secara keras mengontrol mereka dengan ketat. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga seperti ini mengalami banyak masalah psikologis yang dapat menghambat mereka untuk belajar. Di rumah mereka cenderung cemas dan merasa tidak aman. Di sekolah, mereka juga tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Dengan demikian mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dengan teman- temannya. Mereka memiliki keterampilan berkomunikasi yang sangat rendah sehingga menimbulkan banyak hambatan psikologis.

Orangtua dengan gaya berwibawa (Authoritarian Parenting) akan mendorong anak-anaknya untuk hidup mandiri. Ketika dibutuhkan mereka memberi pengarahan dan dukungan. Bila anak- anaknya membuat kesalahan, orangtua mungkin menaruh tangan di pundak anaknya dan dengan menghibur berkata “kamu tahu, harusnya kamu tidak melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu

39

Monty P, Satia darma, dan Fidelis F. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), h. 123-125.

bisa mengatasi situasi ini lain kali”. Dengan demikian, anak-anak sudah diajarkan bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Anak- anak mengembangkan kemampuan bersosialisasi, percaya diri, dan mampu bekerja sama dengan orang lain. Kesulitan-kesulitan yang mereka alami tidak menjadi beban psikologis yang menghambat mereka untuk belajar.

Orangtua dengan gaya acuh-tak acuh (Neglectful Parenting) akan cenderung bersikap permisif, membolehkan anaknya melakukan apa saja. Biasanya, orangtua tidak terlalu terlibat dalam kehidupan anaknya. Anak-anaknya disini mengalami kekurangan kasih sayang

dan kurang mendapat “perhatian” yang sangat mereka butuhkan.

Anak-anak seperti ini tidak mampu bersosialisasi dan memiliki kontrol diri yang sangat rendah. Tidak ada kontrol diri ini mengakibatkan banyak masalah psikologis yang mereka hadapi dan mengganggu konsentrasi belajar mereka baik di rumah maupun di sekolah. Selain itu, anak-anak biasanya tidak memiliki motivasi untuk belajar apalagi berprestasi.

Orangtua dengan gaya pemanja (Indulguent Parenting), hampir setiap orangtua dengan gaya pemanja, akan terlalu terlibat dalam urusan anak-anaknya dengan memberikan semua yang diminta oleh anaknya. Orangtua juga sering memberikan anak-anaknya melakukan apa yang mereka inginkan dan mendapatkan dengan cara mereka apa yang mereka maui. Hasilnya, anak-anak dalam keluarga ini biasanya tidak belajar untuk mengontrol diri atas tingkah lakunya dan menemui banyak kesulitan psikologis karena ketidak mandirian mereka atau karena ketergantungan mereka pada orang lain.

“Prof. Dr Singgih D Guna dan Dra. Singgih Gunarsa mengemukakan bahwa corak hubungan orangtua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu:” 40

40

Singgih D Gunarsa dan Ny. Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1995), Cet. VII, h. 82-84.

a) Pola Asuh Otoriter

Pola ini menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Cirinya : orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat anak tanpa memberikan penjelasan dan alasannya, apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan sebelum hukuman diterima, pada umumnya hukuman berbentuk hukuman fisik, orangtua tidak atau jarang memberi hadiah baik berupa kata-kata atau bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orang tua.

b) Pola Asuh Demokratis

Pola ini memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orangtua. Cirinya: apabila anak harus melakukan aktifitas, orangtua memberikan penjelasan alasan perlunya hal tersebut dilaksanakan, anak diberi kesempatan untuk memberi alasan mengapa ketentuan dilanggar sebelum menerima hukuman, hukuman diberikan berkaitan dengan perbuatannya berat atau ringan tergantung pada pelanggarannya, serta hadiah atau pujian diberikan orangtua. c) Pola Asuh Bebas (Permisif)

Pola ini mengarahkan orangtua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya. Hanya pada hal-hal yang dianggapnya

sudah “keterlaluan” orangtua baru bertindak. Cirinya: tidak ada

aturan yang diberikan orangtua, tidak ada hukuman, dan ada anggapan bahwa anak akan belajar dari tindakannya yang salah.

Dokumen terkait