• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA, dan HIPOTESIS

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.3 Konsep Model Pembelajaran Value Clarification Technique

Menurut A. Kosasih Djahari dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Studi Sosial/IPS (1978: 115) bila VCT digunakan sebagai metode mengajar maka VCT diartikan sebagai teknik pengajaran untuk menanamkan dan menggali atau mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari/pada diri siswa. Hal ini juga sependapat dengan Sutarjo (2013:141) bahwa Value Clarification Technique (VCT) adalah :

Pendekatan pendidikan nilai dimana peserta didik dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya. Peserta didik dibantu untukmenjernihkan, memperjelas atau mengklarifikasi nilai-nilai hidupnya lewat value problem solving, diskusi, dialog dan presentasi. Misalnya peserta didik dibantu untuk menyadari nilai hidup mana yang sebaiknya diutamakan dan dilaksanakan, lewat pembahasan kasus-kasus hidup yang sarat dengan konflik nilai dan moral.

Menurut Adisusilo (2013: 152) VCT juga dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral; mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; mampu mengklarifiasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dalam kehidupan nyata; mampu melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama afektualnya; mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan.

Jadi VCT memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai hidup. Tujuan pendekatan model pembelajaran VCT ini adalah;

 Membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dengan nilai-nilai orang lain.

 Membantu peserta didik agar mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain

 Membantu peserta didik agar mampu menggunakan akal budi dan kesadaran emosional untuk memahami perasaan, nilai dan tingkah lakunya.

Menggunakan model klarifikasi nilai peserta didik tidak disuruh menghapal atau disuapi materi melainkan dibantu untuk menemukan, menganalisis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidup. Pendekatan teknik klarifikasi nilai memberi penekanan pada usaha membantu seseorang atau peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri dan mendorongnya untuk membentuk system nilai-nilai mereka sendiri serta mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Casteel dalam Sutarjo (2013:152) terdapat enam alasan mengapa pendidik sebaiknya menggunakan VCT dalam pembelajaran nilai di kelas, yaitu;

a. Value clarification enhances the ability of students to communicate their ideas, beliefs, values, and fellings. (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi mereka ide-ide , keyakinan , nilai-nilai , dan perasaan). b. Value clarification enhances the ability of students to empathize, with other

person, especially those circumstance may differ significantly from their own. (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk berempati dengan orang lain, terutama keadaan yang mungkin berbeda secara signifikan dari mereka sendiri.

c. Value clarification enhances the ability of students to resolve problems as they arise (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah yang muncul.

d. Value clarification enhances the ability of students to assent and dissent as a member of a social group (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk persetujuan dan perbedaan pendapat sebagai anggota kelompok sosial e. Value clarification enhances the ability of students to engage in decision

making (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk terlibat dalam pengambilan keputusan

f. Value clarification enhances the ability of students to hold and use consistent beliefs (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk memegang dan menggunakan keyakinan yang konsisten.

Pendekatan ini mengutamakan agar peserta didik sebagai individu memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, bertindak, bersikap dan menilai mana yang baik dan mana yang kurang baik. Dengan begitu ditekankan pentingnya belajar sebagai

proses menemukan sesuatu yang baru dan bukan sebagai transfer atau pemindahan pengetahuan dari guru kepada anak didik. Jadi inti dari VCT adalah melatih peserta didik untuk berproses melakukan penilaian terhadap nilai-nilai kehidupan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan akhirnya menetapkan nilai-nilai yang akan menjadi acuan atau pedoman dalam hidupnya. Adapun tujuan menggunakan model pembelajaran VCT diantaranya;

1. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.

2. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun negatif

3. Untuk menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima sebagai milik pribadinya.

4. Melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat.

Model pembelajaran VCT menurut Sutarjo (2013: 144) dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena;

Pertama, mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral; kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang; ketujuh, menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

Langkah-langkah pembelajaran;

1. Membuat/mencari media stimulus. Berupa contoh keadaan/perbuatan yang memuat nilai-nilai kontras yang disesuaikan dengan topik atau tema target pembelajaran. Dengan persyaratan hendaknya mampu merangsang, melibatkan dan mengembangkan potensi afektual siswa, terjangkau dengan

tingkat berpikir siswa. Misalnya contoh peristiwa “Tabrak Lari”

2. Kegiatan pembelajaran. Pertama, guru melontarkan stimulus dengan cara membaca/menampilkan cerita atau menampilkan gambar, kegiatan ini dapat dilakukan oleh guru sendiri atau meminta bantuan kepada siswa lain. Kedua, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdialog sendiri atau sesama teman sehubungan dengan stimulus tadi. Ketiga, melaksanakan dialog terpimpin melalui pertanyaan yang telah disusun oleh guru yang berhubungan dengan stimulus tadi, baik secara individual maupun berkelompok. Keempat, menentukan argumen atau pendirian melalui pertanyaan guru baik secara individual maupun berkelompok. Kelima, pembahasan atau pembuktian argumen. Keenam penyimpulan

Dengan model pembelajaran VCT, akan mudah mengungkap sikap, nilai dan moral siswa terhadap suatu kasus yang disajikan oleh guru. Tentu saja harus dibekali dengan kemampuan guru dalam menguasai keterampilan dan teknik dasar mengajar dengan baik. Sikap demokratis, ramah, hangat dan nuansa kekeluargaan yang akrab diperlukan, sehingga siswa berani berpendapat dan beda pendapat dengan guru maupun dengan siswa lain. Sedangkan untuk evaluasi anda dapat melakukan evalusi proses dan evaluasi hasil belajar. Pada evaluasi proses dapat

dilakukan dengan melakukan pengamatan jalannya diskusi, sikap dan aktivitas siswa maupun proses pembelajaran secara menyeluruh dan evaluasi hasil dapat dilihat dari hasil tes. Jangan lupa memberikan pujian kepada siswa yang mampu berpendapat sekalipun kepada siswa yang berpendapat belum lengkap secara variatif.

Keunggulan pola pembelajaran mengklarifikasi nilai atau VCT pada pembelajaran afektif adalah;

a. Mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral;

b. Mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan;

c. Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata;

d. Mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya;

e. Mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan;

f. Mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang;

g. Menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

Model pembelajaran VCT juga memiliki kelemahan, dalam model pembelajaran ini kriteria benar-salah dapat relatif, karena mementingkan nilai perseorangan. Oleh sebab itu pendidik harus bijak dalam pemilihan dan penentuan nilai agar tidak menyimpang dari budayanya. Dengan klarifikasi nilai, peserta didik tidak

disuruh menghapal dan tidak disuapi dengan nilai-nilai yang sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan, menganilis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Peserta didik tidak dipilihkan nilai mana yang baik dan benar untuk dirinya, melainkan diberi kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri nilai mana yang mau dikejar, diperjuangkan dan diamalkan dalam hidupnya. Dengan demikian, peserta didik semakin mandiri, semakin mampu mengambil keputusan sendiri, tanpa campur tangan pihak lain.

Proses penyadaran dengan klarifikasi nilai dipandang efektif dengan tujuan memperkokoh nilai dan moral pada peserta didik. Dengan demikian VCT mengutamakan keterlibatan intelektual emosional dan kompetensi sosial dari peserta didik. Tujuan akhir bagaimana moral itu menjadi nilai yang mempribadi pada peserta didik. Pada pokoknya VCT meliputi proses memperkuat pengalaman belajar nilai melalui kesempatan untuk berpikir nilai, merasakan kegunaan dan manfaat nilai dan pengalaman mengomunikasikan nilai yang dimilikinya serta melaksanakannya dalam kehidupan bersama.

Menurut Lickona dalam Sutarjo (2013: 156) agar proses VCT dapat berlangsung secara efektif dalam proses pembelajaran di kelas maka metode pembelajaran yang digunakan oleh pendidik adalah :

1. Metode dialog

Pendidik menawarkan nilai tertentu untuk dibicarakan, dibahas secara dialogis diantara peserta didik, dengan langkah sebagai berikut:

a) Pendidik menawarkan nilai tertentu dalam suatu dilema moral, peserta didik mendalami dengan metode inkuiri, analisis dilema moral.

b) Peserta didik diberi kebebasan untuk menanggapi, bertanya, menjelaskan satu sama lain yang berlangsung dalam diskusi kelompok.

c) Peserta didik bebas mengambil pilihan, keputusan dan kesimpulan terkait dengan nilai yang jadi bahan dialog.

d) Pilihan nilai diberi alasan dan dikemukakan pada teman yang lain lewat presentasi.

e) Pendidik atau teman sejawat memberika pertanyaan kritis terhadap nilai pilihan peserta didik.

f) Peserta didik menyampaikan niat untuk melaksanakan pilihan nilainya.

2. Diskusi kelompok – cooperative learning

Diskusi kelompok dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Pendidik membentuk kelompok-kelompok dalam kelas, dan kepada tiap kelompok, pendidik menyampaikan sejumlah daftar nilai beserta pertanyaan kritis terkait dengan nilai-nilai tersebut secara berbeda.

b) Masing-maasing peserta didik secara bebas, dalam kelompok berdiskusi, menanggapi pertanyaan-partanyaan kritis terhadap nilai yang ditawarkan, memberi argumentasi atas pilihannya.

c) Setiap kelompok mencoba merangkum pendapat bersama dan dalam pleno peserta didik atau kelompok diberi kebabasan mengutarakan pilihan nilai beserta alasannya, termasuk niat untuk melaksanakan nilai yang telah dipilih.

d) Peran pendidik sebagai pendamping dan fasilitator dalam proses diskusi kelompok agar diskusi bisa berjalan dengan lancar.

3. Studi kasus dengan problem solving moral, studi kasus moral yang berdilema. Pendidik membuat cerita berkasus yang mengandung unsur problem solving moral atau pemecahan kasus yang mengandung dilema moral atau nilai tertentu, disertai sejumlah pertanyaan untuk ditanggapi peserta didik baik secara individual maupun secara kolektif dalam diskusi kelompok dan dipresentasikan dalam pleno. Problem solving moral sebaiknya mengandung dilema nilai atau moral yang jelas dan tajam sehingga peserta didik ditantang untuk mencari penyelesaiannya. Dalam diskusi kelompok peserta didik bebas memilih jalan keluar dari dilema yang ada, dengan disertai alasannya. Peran pendidik sebagai fasilitator dalam diskusi, hanya memberi pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap argumentasi peserta didik, tanpa memaksakan pendapatnya.

Dokumen terkait