• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN MODEL VCT DAN MODEL MORAL REASONING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN MODEL VCT DAN MODEL MORAL REASONING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERBANDINGAN MODEL VALUE CLARIFICATION TEHNIQUE DAN

MORAL REASONING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

SOSIAL DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS

Oleh

MARITANISA AGUSTINA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1)perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran VCT dengan model pembelajaran Moral Reasoning, (2)keefektifan model pembelajaran VCT dan Moral Reasoning dalam mencapai keterampilan sosial pada siswa yang memiliki konsep diri yang positif, (3)keefektifan model pembelajaran VCT dan Moral Reasoning dalam mencapai keterampilan sosial pada siswa yang memiliki konsep diri yang negative, (4)interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap keterampilan sosial pada mata pelajaran IPS. Populasi penelitian ini siswa kelas VIII SMP Dharmapala Bandar Lampung tahun pelajaran 2015/2016. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan pendekatan eksperimen. Penelitian ini bersifat quasi experimental design atau bersifat eksperimen semu dengan desain factorial. Teknik pengambilan data meliputi observasi, dan angket. Pengujian hipotesis menggunakan analisis varians dua jalan dan t-test dua sampel independen. Hasil analisis disimpulkan: (1)Adanya perbedaan keterampilan social siswa yang diajar menggunakan model VCT dan siswa yang diajar menggunakan model Moral Reasoning pada pembelajaran IPS. (2)pada siswa yang memiliki konsep diri positif pada pembelajaran IPS, keterampilan social siswa yang pembelajarannya menggunakan model VCT lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model Moral Reasoning (3)pada siswa yang memiliki konsep diri negatif pada pembelajaran IPS, keterampilan social siswa yang pembelajarannya menggunakan model VCT lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model Moral Reasoning, (4) Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan konsep diri siswa terhadap keterampilan social siswa pada mata pelajaran IPS.

(2)

ABSTRACT

COMPARISON VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE LEARNING MODEL AND MODEL MORAL REASONING TO IMPROVE SOCIAL SKILLS WITH CONSIDERING SELF-CONCEPT OF STUDENTS TO

SOCIAL SUBJECT

By:

MARITANISA AGUSTINA

This research is aimed at to recognize: 1) the social skills differences among the students using VCT and moral reason learning model in social subject, 2) effectiveness VCT and moral reason learning model in achieving social skills in students which has a positive self-concept, 3) effectiveness VCT and moral reason learning model in achieving social skills in students which has a negative self-concept, 4) interaction between the learning model and the self-concept against social skills in social subject. This study population of student VIII class SMP Dharmapala Bandar Lampung 2015/2016. The method used in the research design of treated by level. The sampling technique of the research in quasi experimental design. The technique of data collecting including observation, and questionnaire. The hypothesis testing using the formula of varians analysis in two paths and t-test of two independent. The result of the analysis can be concluded; 1) there is social skills difference between students those are treated with VCT and moral reasoning learning model in social subject, 2) the student with positive self-concept to the social subject, social skills students are learning to use the model of VCT is higher than those are treated with moral reasoning learning model, 3) the student with negative self-concept to the social subject, social skills students are learning to use the model of VCT is lower than those are treated with moral reasoning learning model, 4) there is an interaction between the using of learning model and self-concept students in social subject to social skills students.

(3)

PERBANDINGAN MODEL VCT DAN MODEL MORAL REASONING

UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA

PADA PEMBELAJARAN IPS

(Tesis)

OLEH:

MARITANISA AGUSTINA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN IPS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(4)

PERBANDINGAN MODEL VCT DAN MODEL MORAL REASONING

UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA

PADA PEMBELAJARAN IPS

OLEH:

MARITANISA AGUSTINA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER PENDIDIKAN

Pada

Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Sosial

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN IPS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(5)

ABSTRAK

PERBANDINGAN MODEL VALUE CLARIFICATION TEHNIQUE DAN

MORAL REASONING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

SOSIAL DENGAN MEMPERHATIKAN KONSEP DIRI SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS

Oleh

MARITANISA AGUSTINA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1)perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran VCT dengan model pembelajaran Moral Reasoning, (2)keefektifan model pembelajaran VCT dan Moral Reasoning dalam mencapai keterampilan sosial pada siswa yang memiliki konsep diri yang positif, (3)keefektifan model pembelajaran VCT dan Moral Reasoning dalam mencapai keterampilan sosial pada siswa yang memiliki konsep diri yang negative, (4)interaksi antara model pembelajaran dan konsep diri terhadap keterampilan sosial pada mata pelajaran IPS. Populasi penelitian ini siswa kelas VIII SMP Dharmapala Bandar Lampung tahun pelajaran 2015/2016. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan pendekatan eksperimen. Penelitian ini bersifat quasi experimental design atau bersifat eksperimen semu dengan desain factorial. Teknik pengambilan data meliputi observasi, dan angket. Pengujian hipotesis menggunakan analisis varians dua jalan dan t-test dua sampel independen. Hasil analisis disimpulkan: (1)Adanya perbedaan keterampilan social siswa yang diajar menggunakan model VCT dan siswa yang diajar menggunakan model Moral Reasoning pada pembelajaran IPS. (2)pada siswa yang memiliki konsep diri positif pada pembelajaran IPS, keterampilan social siswa yang pembelajarannya menggunakan model VCT lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model Moral Reasoning (3)pada siswa yang memiliki konsep diri negatif pada pembelajaran IPS, keterampilan social siswa yang pembelajarannya menggunakan model VCT lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan model Moral Reasoning, (4) Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan konsep diri siswa terhadap keterampilan social siswa pada mata pelajaran IPS.

(6)

ABSTRACT

COMPARISON VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE LEARNING MODEL AND MODEL MORAL REASONING TO IMPROVE SOCIAL SKILLS WITH CONSIDERING SELF-CONCEPT OF STUDENTS TO

SOCIAL SUBJECT

By:

MARITANISA AGUSTINA

This research is aimed at to recognize: 1) the social skills differences among the students using VCT and moral reason learning model in social subject, 2) effectiveness VCT and moral reason learning model in achieving social skills in students which has a positive self-concept, 3) effectiveness VCT and moral reason learning model in achieving social skills in students which has a negative self-concept, 4) interaction between the learning model and the self-concept against social skills in social subject. This study population of student VIII class SMP Dharmapala Bandar Lampung 2015/2016. The method used in the research design of treated by level. The sampling technique of the research in quasi experimental design. The technique of data collecting including observation, and questionnaire. The hypothesis testing using the formula of varians analysis in two paths and t-test of two independent. The result of the analysis can be concluded; 1) there is social skills difference between students those are treated with VCT and moral reasoning learning model in social subject, 2) the student with positive self-concept to the social subject, social skills students are learning to use the model of VCT is higher than those are treated with moral reasoning learning model, 3) the student with negative self-concept to the social subject, social skills students are learning to use the model of VCT is lower than those are treated with moral reasoning learning model, 4) there is an interaction between the using of learning model and self-concept students in social subject to social skills students.

(7)
(8)
(9)
(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(11)

MOTTO

Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang

bisa digunakan untuk merubah dunia

(Nealson Mandela)

Akan datang skenario terbaik dari-Nya

Berdoa dan Berusaha Kunci meraihnya

(12)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap terima kasih dan rasa syukur atas segala

rahmat bahagia yang diberikan Allah SWT melalui kedua

orang tua penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi ini. Maka karya ini penulis persembahkan untuk kedua

orang tua penulis atas doa dan semangat yang diberikan tak

henti-hentinya yang tidak dapat terbalaskan oleh apapun.

Peneliti persembahkan juga tesis ini kepada siapapun yang

memerlukannya jika dapat memberikan kontribusi serta

dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain. Hasil karya ini

peneliti persembahkan sebagai penumbuh semangat bagi

siapapun yang membacanya dan harapan penulis dapat

(13)

SANWACANA

Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti memiliki kekuatan lahir batin dan akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Program Pascasarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Secara khusus pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas Lampung sekaligus Pembimbing Utama. Terima kasih atas bimbingannya untuk menyelesaikan tesis ini.

3. Bapak Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

4. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kerjasama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

(14)

7. Bapak Drs. Zulkarnain, M.S selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS

8. Ibu Dr. Trisnaningsih, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Pendidikan IPS. Terima kasih atas masukan dan sarannya.

9. Bapak Dr. Edi Purnomo, M.Pd Selaku Pembimbing II. Terima kasih atas bimbingan dan saran bagi Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Bapak Dr. Sumadi, M.S dan Ibu Dr. Pujiati selaku pembahas dan penguji. Terima kasih atas masukan dan sarannya.

11. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Pendidikan IPS FKIP Universitas Lampung terima kasih atas bantuannya.

12. Sahabat-sahabat pascasarjana Pendidikan IPS Angkatan 2014 Ganjil yang saling mensupport dan saling membantu terimakasih atas kepedulian kalian 13. Seluruh keluarga SMP Dharmapala terima kasih telah memberikan dukungan

kepada penulis dalam mencapai gelar magister.

Bandar Lampung, 2016

(15)

DAFTAR ISI

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA DAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori ... 19

2.1.1 Konsep Teori Belajar ... 19

2.1.2 Konsep Model Pembelajaran ... 29

2.1.3 Konsep Model Pembelajaran VCT ... 31

2.1.4 Konsep Model Pembelajaran Moral Reasoning ... 39

2.1.5 Konsep Keterampilan Sosial ... 45

2.1.6 Konsep Diri ... 49

2.1.5 Konsep Pendidikan IPS ... 56

2.2 Penelitian Yang Relevan ... 58

2.3 Kerangka Pikir ... 60

3.2 Prosedur Penelitian ... 70

3.4 Objek dan Subjek Penelitian ... 73

(16)

3.9 Uji Analisis Data ... 82

3.10 Teknik Pengumpulan Data ... 86

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 88

4.2 Proses Pembelajaran ... 91

4.3 Pelaksanaan Penelitian ... 91

4.4 Hasil Penelitian ... 93

4.4.1 Deskripsi Data Keterampilan Sosial ... 93

4.4.2 Data Keterampilan Sosial Siswa ... 97

4.4.3 Analisis Data ... 103

4.5 Pengujian Hipotesis ... 109

4.6 Pembahasan ... 111

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 139

5.2 Implikasi ... 141

5.3 Saran ... 144

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Data Observasi Pra Penelitian Keterampilan sosial siswa ... 10

3.1 Design Penelitian Eksperimen ... 69

3.2 Jumlah Siswa kelas VIII ... 73

3.3 Tabel Kisi-kisi Keterampilan Sosial Siswa ... 76

3.4 Tabel Kisi-kisi Konsep Diri Siswa ... 79

4.1 Tabel Kondisi Guru dan Staff SMP Dharmapala ... 88

4.2 Kondisi Siswa SMP Dharmapala ... 89

4.3 Sarana Prasarana SMP Dharmapala ... 90

4.4 Pembagian Jam pemelajaran SMP Dharmapala ... 91

4.5 Jadwal dan Pokok Bahasan Pelaksanaan Penelitian ... 92

4.6 Rekap Data Keterampilan Sosial ... 94

4.7 Distribusi Frekuensi Keterampilan Sosial Kelas Eksperimen ... 96

4.8 Distribusi Frekuensi Keterampilan Sosial Kelas Kontrol ... 97

4.9 Keterampilan Sosial Siswa yang pembelajarannya menggunakan Model VCT dan Moral Reasoning pada konsep diri positif ... 99

4.10 Keterampilan Sosial Siswa yang pembelajarannya menggunakan Model VCT dan Moral Reasoning pada konsep diri negatif ... 100

4.11 Perhitungan Perbedaan Keterampilan Sosial menggunakan rumus Uji t-test ... 102

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 67 4.1 Rerata Keterampilan Sosial siswa berdasarkan kategori

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Silabus Pembelajaran ... 1

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 23

Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 31

Lampiran 4 Lembar Pengamatan Keterampilan Sosial ... 39

Lampiran 5 Lembar Kuisioner Konsep Diri Siswa ... 45

Lampiran 6 Lembar Hasil Observasi Keterampilan Sosial Kelas Eksperimen ... 47

Lampiran 7 Lembar Hasil Observasi Keterampilan Sosial Kelas Kontrol ... 52

Lampiran 8 Lembar Hasil Analisis Konsep Diri Siswa Kelas Eksperimen ... 56

Lampiran 9 Lembar Hasil Analisis Konsep Diri Siswa Kelas Kontrol ... 59

Lampiran 10 Lembar Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 62

Lampiran 11 Lembar Hasil Uji Homogenitas Data Penelitian ... 63

Lampiran 12 Lembar Hasil Perhitungan t-test ... 65

Lampiran 13 Lembar Hasil Pengolahan Data Analisis Varian Dua Jalan ... 67

Lampiran 14 Daftar Tabel Distribusi Normal ... 70

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal memiliki peradaban unggul sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit, masa penjajahan Belanda dan Jepang, hingga mencapai kemerdekaan. Keberadaban bangsa merupakan syarat utama bagi kemajuan suatu negara. Menyadari hal itu, pada pendiri negara Indonesia meletakkan keberadaban bangsa

dalam dasar negara Pancasila pada sila kedua, yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Namun, ketika dihadapkan pada perkembangan dan perubahan dunia

yang cepat, kualitas keberadaban bangsa Indonesia justru mengalami kerapuhan. Hal ini tampak pada sikap dan perilaku negatif manusia Indonesia yang membuat Indonesia semakin ketinggalan jaman.

(21)

wajib mengenyam pendidikan. Memperoleh pendidikan merupakan hak setiap manusia karena pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan masa depan seseorang. Tanpa pendidikan, seseorang akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak berkualitas, dia akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak mengenal aturan, seenaknya sendiri, malas dan cenderung memiliki mental yang lemah, tidak memiliki daya juang positif yang akhirnya akan membuat arah hidupnya tidak jelas, tidak terkendali dan dapat terjerumus ke hal-hal negatif.

Banyaknya jumlah anak yang mengalami gangguan perilaku perlu mendapat perhatian yang serius untuk segera diberikan intervensi yang tepat, gangguan perilaku ini berdampak sangat merugikan, tidak hanya bagi anak-anak dan remaja yang mengalaminya, tetapi juga bagi masyarakat. Meskipun anak dengan masalah perilaku tidak selalu menjadi dewasa yang antisosial, namun sebagian besar diantara mereka setelah dewasa cenderung terlibat dengan tindakan kriminal dan mengembangkan perilaku antisosial. Mereka juga cenderung memiliki masalah psikologis, sulit menyesuaikan diri dengan pendidikan dan pekerjaan, memiliki perkawinan yang tidak stabil, serta cenderung akan bersikap keras dalam mengasuh anak-anaknya yang pada akhirnya akan membuat anak-anak mereka mengalami gangguan perilaku juga.

(22)

menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau lingkungan. Mereka cenderung menunjukkan prasangka permusuhan, saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif. Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif. Mereka cenderung mengganggap tindakan agresif merupakan cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orang tua, teman sebaya, dan lingkungan.

(23)

menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.

Menurut Lickona (1992: 21-22) bahwa ada 10 tanda dari perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu:

1. meningkatnya kekerasan di kalangan remaja 2. ketidak jujuran yang membudaya

3. semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, dan guru 4. pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan,

5. meningkatnya kecurigaan dan kebencian, 6. penggunaan bahasa yang memburuk, 7. penurunan etos kerja,

8. menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara, 9. meningginya perilaku merusak diri,

10.semakin kaburnya pedoman moral.

Meski dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing dari kesepuluh tanda tersebut tampaknya sedang menghinggapi negeri ini. Dilihat dari tandanya, kemunduran suatu bangsa sebenarnya disebabkan dari internal bangsa itu sendiri, bukan karena bangsa lain. Kehancuran itu sejatinya dimulai dari dalam diri sendiri, dari sikap dan perilaku orang-orangnya sendiri.

(24)

ke pengadilan. Kejahatan yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari pencurian, pemerasan dan pengeroyokan sampai penggunaan obat-obatan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Jaringan sosial dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah, padahal kedua kondisi ini merupakan media yang paling dibutuhkan anak untuk mengembangkan ketrampilan sosialnya. Anak juga menjadi lebih suka bergaul dengan teman yang memiliki karakteristik sama dengan mereka, hal ini akan membuat keterampilan sosial anak tetap rendah dan gangguan perilaku mereka semakin parah yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi oleh lingkungan.

Peran penting pendidikan dalam membangun bangsa menjadi bangsa yang maju dan berkembang adalah impian setiap negara di dunia. Maju dan tidaknya suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Dengan pendidikan yang matang, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak mudah diperbudak oleh pihak lain. Pendidikan merupakan kebutuhan utama bagi bangsa yang ingin maju dan berkembang. Peningkatan mutu pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Pendidikan kita peroleh di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Pendidikan anak yang paling utama adalah pendidikan dalam keluarga.

(25)

pengajaran tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku serta norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sehingga anak dapat menempatkan diri dimanapun dia berada dan bagaimana bersikap yang baik, sopan, dan santun kepada siapapun terlebih kepada orang yang lebih tua. Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting bagi perkembangan anak didik, karena lingkungan masyarakat dapat memberikan gambaran bagaimana hidup bermasyarakat. Anak didik berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, sehingga masyarakat dapat menilai anak tersebut apakah dia terdidik atau tidak terdidik. Dengan pendidikan, dalam diri anak tertanam pengetahuan yang membuat dia bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat memajukan diri sendiri dan dapat dimanfaatkan dengan bijaksana.

(26)

Mata pelajaran IPS merupakan program pengajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari yang menimpa dirinya sendiri maupun menimpa masyarakat. Sedangkan tujuan khusus pembelajaran IPS disekolah dapat dikelompokkan menjadi empat komponen yaitu; a) Memberikan kepada siswa pengetahuan tentang pengalaman manusia dalam kehidupan bermasyarakat pada masa lalu, sekarang dan akan dating, b) Menolong siswa untuk mengembangkan keterampilan untuk mencari dan mengolah informasi, c) Menolong siswa untuk mengembangkan nilai/sikap demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, d) Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk mengambil bagian/berperan serta dalam msyarakat.

(27)

ini meliputi kehidupan dan kerja sama, belajar memberi dan menerima tanggung jawab, menghormati hak-hak orang lain, membina kesadaran sosial. Dengan demikian, keterampilan ini maka siswa mampu berkomunikasi dengan sesama manusia, lingkungannya di masyarakat secara baik, hal ini merupakan realisasi dari penerapan IPS dalam kehidupan bermasyarakat. Dapat ditarik kesimpulan untuk dimensi keterampilan sosial menurut Maryani diantaranya; 1) Interaksi, 2) Berkomunikasi, 3) Berkelompok, 4) Menyelesaikan Masalah.

Berdasarkan dari observasi pra-penelitian, siswa di SMP Dharmapala khususnya kelas VIII memiliki keterampilan sosial yang rendah. Dalam hal berinteraksi, siswa SMP Dharmapala kelas VIII masih banyak yang belum memiliki kesadaran, contohnya hanya beberapa orang jika bertemu dengan guru bertegur sapa, memberi salam dan mencium tangan guru bahkan sekedar menundukkan kepala, kebanyakan siswa jika berpapasan dengan guru saat diluar kelas acuh tak acuh, mereka sibuk dengan bermain mereka. Dengan antar teman pun saat dikelas mereka kurang menghormati atau menghargai pendapat teman-temannya saat berdiskusi, saat ada teman yang melontarkan pendapatnya, banyak siswa yang meremehkan bahkan mencemooh dengan kata-kata “sok pintar, cari muka,dll” tetapi saat ditanya pendapat mereka, mereka tidak bisa menjawabnya atau memberikan pendapatnya.

(28)

pendapat, maka meskipun komunikasi itu bersifat tatap muka, tetap saja berlangsung satu arah. Hal tersebut masih sering terjadi dalam proses pembelajaran IPS di Kelas VIII SMP Dharmapala Bandar Lampung.

Keterampilan membangun tim/kelompok, pada siswa SMP Dharmapala kelas VIII saat mereka melakukan diskusi ataupun belajar kelompok hanya beberapa orang yang mencari jawaban dari soal ataupun tugas yang mereka dapat dari guru, bahkan mereka sering mengandalkan satu atau dua orang saja untuk mengerjakan soal/tugas itu dan anggota lainnya kurang berpartisipasi bahkan cenderung bermain dengan anggota kelompok lain saat menunggu hasil kerja kelompok mereka. Pada saat tugas kelompok yang harus dikerjakan dirumah pun banyak siswa yang mengeluh karena tidak akan bekerja kelompok di rumah, biasanya mereka hanya mengandalkan satu atau dua orang saja untuk mengerjakannya dengan alasan rumah mereka berjauhan, tidak dibolehkan orang tua, dan sebagainya.

(29)

Tabel 1.1 Hasil Observasi Pra-Penelitian tentang Keterampilan Sosial Siswa kelas VIII SMP Dharmapala Bandarlampung semester genap

(30)

Berdasarkan penelitian pendahuluan melalui observasi langsung ke lapangan yang peneliti lakukan di SMP Dharmapala Bandar Lampung, peserta didik masih banyak yang memiliki prilaku yang kurang baik dalam pembelajaran. Bukan hanya dalam pembelajaran saja, melainkan dalam pergaulan pun banyak yang kurang. Sikap mereka yang kurang baik ini salah satunya karena lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Lingkungan tempat tinggal mereka yang kurang baik membawa dampak sikap yang kurang baik juga. Masih banyak siswa yang menghadapi problem dari keterampilan sosial yang kurang baik. Hal ini berkaitan dengan pendapat Maryani (2011: 17) keterampilan sosial merupakan kompetensi yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang termasuk di dalamnya peserta didik, agar dapat memelihara hubungan sosial secara positif dengan keluarga, teman sebaya, masyarakat dan pergaulan yang lebih luas.

(31)

dengan adanya interaksi berbagai aspek dalam diri seseorang dengan sesamanya atau dengan lingkungannya maka seseorang dapat berkembang menjadi semakin dewasa baik secara fisik, spiritual dan moral. Moral yang positif dan negatif yang terjadi akibat hubungan timbal balik.

(32)

Menurut Sutarjo (2013: 143) Sejumlah ahli pendidikan nilai seperti Harmin, dkk mengatakan bahwa teknik VCT jauh lebih efektif, mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan metode atau pendekatan lainnya. Pendekatan ini juga sesuai dengan alam demokrasi yang memungkinkan setiap peserta didik untuk memilih, menentukan, mengolah dan mengembangkan nilai-nilainya sendiri dengan pendampingan seorang pendidik. Dengan klarifikasi nilai peserta didik tidak disuruh menghafal dan tidak disuapi dengan nilai-nilai yang sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan, menganalisis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena dalam hidup manusia selalu berhadapan dengan situasi yang mengundangnya untuk membuat pilihan. Tanpa memiliki keterampilan sosial seseorang akan mengalami kesulitan dalam bermasyarakat.

(33)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian adalah;

1. keterampilan sosial siswa masih rendah

2. masih belum tercapainya indikator-indikator keterampilan sosial 3. aktivitas siswa sangat rendah di dalam kelas

4. masih banyak siswa kurang memperhatikan pembelajaran di dalam kelas 5. masih banyak siswa kurang percaya diri dalam pembelajaran di sekolah 6. penggunaan Value Clarification Technique dan Moral Reasoning masih

jarang digunakan dalam proses pembelajaran terutama pelajaran IPS.

1.3Batasan Masalah

Dari uraian yang dikemukakan diatas maka masalah dalam penelitian ini dibatasi

pada kajian “Studi Perbandingan Antara Model Value Clarification Technique Dengan Penggunaan Model Moral Reasoning Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Dengan Memperhatikan Konsep Diri Siswa Pada Pembelajaran IPS Siswa

Kelas VIII SMP Dharmapala Bandar Lampung”

1.4Rumusan Masalah

(34)

dan dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran VCT dengan model pembelajaran Moral Reasoning?

2. Apakah keterampilan sosial siswa yang pembelajarannya menggunakan model VCT lebih tinggi dibandingkan menggunakan model pembelajaran Moral Reasoning pada siswa yang memiliki konsep diri yang tinggi?

3. Apakah keterampilan sosial siswa yang pembelajarannya menggunakan model VCT lebih rendah dibandingkan menggunakan model pembelajaran Moral Reasoning pada siswa yang memiliki konsep diri yang rendah?

4. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan konsep diri terhadap keterampilan sosial pada mata pelajaran IPS Terpadu?

1.5Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran VCT dengan model pembelajaran Moral Reasoning

(35)

3. Mengetahui efektivitas model pembalajaran VCT dan Moral Reasoning untuk mencapai indikator keterampilan sosial pada siswa yang memiliki konsep diri yang negatif

4. Mengetahui interaksi antara model pembalajaran VCT dan Moral Reasoning dengan konsep diri terhadap keterampilan sosial pada mata pelajaran IPS Terpadu

1.6Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan:

1. Bagi Peneliti, dapat menjadi sarana bagi mengembangkan diri, menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti terkait dengan penelitian meng-gunakan model pembelajaran Value Clarification Technique dan Moral Reasoning serta sebagai refrerensi peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis.

2. Bagi Guru, dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat diterap-kan untuk meningkatditerap-kan afektif siswa.

3. Bagi Siswa, dapat meningkatkan keterampilan sosial dan sikap siswa.

1.7Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: 1. Subjek Penelitian : Siswa kelas VIII SMP Dharmapala Bandar Lampung 2. Objek Penelitian : Model pembelajaran VCT, Model pembelajaran Moral

(36)

3. Tempat Penelitian : SMP Dharmapala Bandar Lampung 4. Waktu Penelitian : Tahun Ajaran 2015/2016

5. Ruang lingkup Ilmu Kajian IPS:

Tujuan utama dari pembelajaran IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi dilingkungannya dan terampil mengatasi masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik yang terjadi pada diri sendiri maupun orang lain.

Model pembelajaran Value Clarification Tehnique dan Model Pair Check untuk meningkatkan keterampilan sosial dengan memperhatikan konsep diri siswa ini termasuk dalam ruang lingkup :

1. IPS sebagai penelitian (social studies as reflective inquiry), oleh karena itu penekanan yang terpenting adalah bagaimana guru memberikan motivasi kepada siswa supaya dapat berfikir secara logis dan ilmiah untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang diajukan dan ditemukan dalam proses pembelajaran IPS. Pembelajaran IPS harus membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial sehingga siswa dapat memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi baik pada individu sendiri maupun masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

(37)

sosial yang baik, diharapkan siswa dapat memiliki nilai, sikap dan etika yang baik.

(38)

II. LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR, PARADIGMA, dan HIPOTESIS

Peneliti akan menyampaikan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan dalam kajian pustaka ini. Teori-teori ini diharapkan dapat melandasi serangkaian penelitian yang akan dilaksanakan.

2.1LANDASAN TEORI

Pada landasan teori akan dikemukakan tentang teori-teori belajar, model pembelajaran Value Clarification Tehnique, model pembelajaran Moral Reasoning, Keterampilan sosial, dan Konsep diri

2.1.1 Konsep Teori Belajar

(39)

proses yaitu interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa jika terjadi kegiatan belajar kelompok. Dalam interaksi tersebut akan terjadi sebuah proses pembelajaran.

Pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia. Perubahan yang terjadi karena pengalaman itu membedakan dengan perubahan- perubahan lain yang disebabkan oleh kemasakan. Menurut Herpratiwi (2009: 34), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman yaitu

1. perubahan Perilaku

Gagasan, bahwa belajar menyangkut perubahan dalam suatu organisme, berarti bahwa belajar membutuhkan waktu. Untuk mengukur belajar, kita membandingkan cara organsime itu berperilaku pada waktu 1 dengan cara organisme itu berperilaku pada waktu 2 dalam suasana yang serupa. Bila perilaku dalam suasana serupa itu berbeda untuk kedua waktu itu, maka kita dapat berkesimpulan bahwa telah terjadi belajar.

2. perilaku terbuka

Belajar yang kita simpulkan, terjadi bila perilaku hewan-hewan, termasuk manusia, berubah. Perilaku menyangkut aksi atau tindakan, aksi-aksi otot atau aksi-aksi kelenjar, dan gabungan dari kedua macam aksi itu.

3. belajar dan Pengalaman

Komponen terakhir dalam definisi belajar ialah “sebagai suatu hasil pengalaman”. Istilah pengalaman membatasi macam-macam perubahan perilaku yang dapat dianggap mewakili belajar.

4. belajar dan Kematangan

(40)

Adapun tujuan dari pembelajaran menurut tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Seperti halnya yang dikatakan oleh Sardiman (2001: 26-29) bahwa secara umum tujuan belajar dibedakan atas tiga jenis, yaitu:

1. untuk mendapatkan pengetahuan

Pengetahuan dan kemempuan berpikir merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir tanpa bahan pengetahuan. Jadi, dengan adanya bahan pengetahuan, maka seseorang dapat mempergunakan kemampuan berpikir di dalam proses belajar, sehingga pengetahuan yang didapat semakin bertambah. 2. pembentukan sikap

Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik tidak akan terlepas dari penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu, guru tidak hanya sekedar mengajar, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Maka akan tumbuh kesadaran dan kemauannya untuk mempraktekkan segala sesuatu yang sudah dipelajarinya.

3. penanaman keterampilan

Belajar memerlukan latihan-latihan yang akan menambah keterampilan dalam diri siswa, baik itu keterampilan jasmani maupun keterampilan rohani.

(41)

2.1.1.1Teori belajar Behavioristik

Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Kajian konsep dasar belajar dalam teori Behaviorisme didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan salah satu jenis prilaku (behavior) individu atau peserta didik yang dilakukan secara sadar. Individu berprilaku apabila ada rangsangan (stimulus). Sehingga dapat dikatakan peserta didik di tingkat dasar akan belajar apabila menerima rangsangan yang diberikan oleh guru.

(42)

menghukum setiap kali peserta didik merespon secara tidak tepat, dapat disebut salah profesional apabila hukuman (negative consequence ) tidak difungsikan sebagai penguat reinforcement. Peserta didik sering melakukan prilaku tertentu karena meniru apa yang dilihat dilakukan oleh orang lain disekitarnya seperti saudara kandungnya, orang tuanya, bahkan oleh gurunya. Oleh sebab itu dapat dikatakan, apabila lingkungan sosial dimana peserta didik berada sehari-hari merupakan lingkungan yang mengkondisikan secara afektif memungkinkan suasana belajar, maka peserta didik akan melakukan kegiatan atau prilaku belajar efektif. (Ahmadi, 2005: 32)

2.1.1.2Teori Belajar Konstruktivisme

(43)

Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selain itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Menurut Vygotsky dalam Margaret E Gredler (2011: 375) adalah segala sesuatu pada prinsipnya dapat diketahui melalui penalaran. Manusia juga dapat mengontrol hasrat mereka melalui perkembangan pemikiran rasional. Teori Vygotsky mendeskripsikan penguasaan atas perilaku seseorang melalui perkembangan kapabilitas mental rasional (fungsi mental). Pendidikan bukan hanya mempengaruhi proses perkembangan tertentu, tetapi juga merestrukturisasi semua fungsi perilaku dengan cara yang paling esensial.

“Pembelajaran tidak hanya pada mengikuti jalur perkembangan, pembelajaran dapat melampaui perkembangan rasional, mendorongnya lebih maju dan

memunculkan formasi atau ide baru”. (Vygotsky dalam Margaret 2011: 195). Ringkasnya pembelajaran yang tepat untuk anak harus menyangkut masalah yang dapat dia pecahkan tanpa bantuan. Setiap manusia terbentuk dari suatu hasil dari proses konstruksi yang dibangun berhubungan dengan suatu realita atau kenyataan. Oleh karena itu realitas yang terbangun merupakan hasil interpretasi dari masing-masing manusia.

Hal ini sesuai dengan pendapat Bidell dan Fischer (2005: 10) “Constructivism

characterizes the acquistion of knowledge as a product of the individual‟s”

(44)

dalam lingkungan tertentu. Konstruktivis adalah suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengarahkan pada penemuan konsep yang lahir dari pandangan, dan gambaran serta inisiatif peserta didik yang terlihat sehari-hari dalam kehidupannya.

Menurut Vygotsky terdapat dua perbedaan pandangan terhadap bagaimana peserta didik belajar. Pertama perspektif behavioral yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan suatu proses pentransferan dari seseorang (pendidik) kepada peserta didik. Kedua adalah pandangan konstruktivis menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan yang aktif dan dinamis. Oleh karena itu, untuk memahami proses pengkonstruksian pengetahuan diperlukan pengonsepan proses pembelajaran sebagai salah satu aspek dalam teori pembangunan konsep peserta didik.

Siswa harus aktif dalam menemukan atau mengubah informasi kompleks agar mereka mampu menerima menguasai informasi tersebut sebagai pengetahuan baru. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Vygotsky dalam Margaret E Gredler (2011: 366) yang menyatakan bahwa pemikiran dan pembentukan makna pada diri anak-anak dibentuk secara sosial dan muncul dari interaksi sosial mereka dengan lingkungan mereka.

(45)

ada sebelumnya. Contoh ketika bayi terlahir mereka telah memiliki skema untuk menyusui kepada ibunya. Piaget berpandangan bahwa menurutnya pembelajaran merupakan penyesuaian dari pengaruh penyesuaian terhadap lingkungan.

Piaget mendeskripsikan tiga proses dalam penyesuaian yaitu proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah pengumpulan dan pengelompokan informasi baru. Seseorang individu dalam proses pembelajaran akan mendapatkan informasi baru yang kemudian akan dikumpulkan dan dikelompokkan ke dalam skema yang telah ada. Informasi tersebut hanya bisa diasimilasikan jika tidak ada kontradiksi terhadap sesuatu hal yang sudah ada, yang merupakan bagian penting dari apa yang sudah ada di dalam skema individu yang bersangkutan. Skema merupakan elemen dalam struktur kognitif organisme.

(46)

Pandangan konstruktivisme yang diusung oleh Vygotsky dan Piaget didukung oleh pandangan Bruner (2006: 2) yang menyatakan bahwa belajar merupakan sebuah proses aktif di mana pembelajaran mengkonstruksi ide atau konsep baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya dan yang sekarang. Pembelajar memilih dan mentransformasikan informasi, mengkonstruksi hipotesis dan membuat keputusan dengan referensi dan berdasarkan pada struktur kognitif internalnya. Struktur kognitif yang Bruner maksud adalah jaringan skema yang memberikan makna dan struktur pengalaman dan membuat individu bisa membangun apa yang telah diketahui agar bisa terus berlanjut.

Dalam istilah mengajar, teori Bruner menyatakan bahwa guru harus mencoba untuk mendorong siswa untuk mendapatkan prinsip menemukan untuk mereka sendiri: guru dan siswa harus terlibat dalam dialog aktif agar bisa menghasilkan sebuah temuan pada akhirnya (Bruner, 2006:34). Peranan guru adalah membantu proses transformasi informasi apapun untuk dipelajari dalam format yang tepat dengan pemahaman siswa yang sekarang. Bruner merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa kurikulum harus diorganisasikan secara spiral agar siswa bisa terus menerus mengingat ide dan fakta dan bisa membangun pemahaman berdasarkan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya (Bruner, 2006:56).

(47)

merupakan elemen kunci dalam proses ini. Siswa, dengan tidak sadar, menyeleksi informasi, menciptakan hipotesis dan mengintegrasikan materi baru dalam pengetahuan dan kontruk mental mereka (skema). Media bahasa merupakan hal yang sangat penting menurut Bruner, seperti halnya pada konstruktivis sosial lainya (Bruner, 2006: 129-141). Dapat ditarik kesimpulan dari berbagai pendapat bahwa konstruktivisme merupakan sebuah teori

mengenai “mencari tahu” secara aktif yang lebih dari sekedar teori

pengetahuan untuk membentuk pengalaman bukan utnuk merepresentasikan realitas pembelajaran secara independen. Konstruktivisme sosial merupakan pandangan tentang pengetahuan yang diciptakan oleh pembelajaran dengan melalui interaksi sosial. Pandangan konstruktivisme didasarkan pada filsafat tertentu terkait dengan manusia dan pengetahuan. Artinya bahwa bagaimana manusia menjadi tahu dan memiliki pengetahuan menjadi kajian penting dalam konstruktivisme.

(48)

didukung oleh terciptanya interaksi antara peserta didik dan guru, dan interaksi antar peserta didik.

Pembelajaran dengan menggunakan teori belajara konstruktivisme dituntut kepada seorang pendidik untuk mampu menciptakan pembelajaran yang menarik sehingga peserta didik dapat terlibat langsung secara aktif dalam proses pembelajaran dan terjalinnya interaksi di dalam kelas. Aktifitas-aktifitas yang dapat dilakukan siswa dalam pembelajaran konstruktivisme dapat melalui pengamatan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan lingkungan sekitar, sehingga siswa dapat belajar secara langsung dengan contoh fakta yang terjadi dan dapat menganalisis dan mengamati fenomena tersebut serta dapat dijadikan pembelajaran langsung oleh diri mereka masing-masing.

2.1.2Konsep Model Pembelajaran

(49)

1) Pembelajaran sebagai perubahan perilaku. Salah satu contoh perubahannya adalah ketika seorang pembelajar yang awalnya tidak begitu perhatian dalam kelas ternyata berubah menjadi sangat perhatian.

2) Pembelajaran sebagai perubahan kapasitas. Salah satu contoh perubahannya adalah ketika seorang pembelajar yang awalnya takut pada pelajarn tertentu ternyata berubah menjadi seseorang yang sangat percaya diri dalam menyelesaikan pelajaran tersebut.

Pembelajaran yang efektif salah satunya ditentukan oleh pemilihan model pembelajaran, saat guru menyusun rencana pembelajaran yang dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kemahiran guru untuk memilih cara atau model pembelajaran yang serasi dengan kebutuhan. Pembelajaran yang efektif ditentukan oleh pengalamannya, keluasan pemahaman guru tentang bahan pelajaran, tersedianya media, pemahaman guru tentang karakteristik siswa, dan karakteristik belajar. Sejalan dengan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, salah satu model pembelajaran yang kini banyak mendapat respon adalah model pembelajaran kooperatif atau cooperative learning.

Menurut Dani Maulana (2014: 75) “pembelajaran kooperatif adalah pembelajarn yang dilakukan bersama-sama sesame peserta didik dengan tujuan membentuk

tanggung jawab bersama”. Dengan belajar kelompok siswa dilatih dan dibiasakan

untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, tugas, dan tanggung jawab. Saling membantudan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi sangat mutlak dilakukan dalam pembelajaran kooperatif karena pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran dari hidup bermasyarakat.

(50)

masalah atau tugas untuk mencapai tujuan bersama sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain dan meningkatkan harga diri serta dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berfikir dan memecahkan masalah.

2.1.3Konsep Model Pembelajaran Value Clarification Technique

Menurut A. Kosasih Djahari dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Studi Sosial/IPS (1978: 115) bila VCT digunakan sebagai metode mengajar maka VCT diartikan sebagai teknik pengajaran untuk menanamkan dan menggali atau mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari/pada diri siswa. Hal ini juga sependapat dengan Sutarjo (2013:141) bahwa Value Clarification Technique (VCT) adalah :

Pendekatan pendidikan nilai dimana peserta didik dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, memutuskan, mengambil sikap sendiri nilai-nilai hidup yang ingin diperjuangkannya. Peserta didik dibantu untukmenjernihkan, memperjelas atau mengklarifikasi nilai-nilai hidupnya lewat value problem solving, diskusi, dialog dan presentasi. Misalnya peserta didik dibantu untuk menyadari nilai hidup mana yang sebaiknya diutamakan dan dilaksanakan, lewat pembahasan kasus-kasus hidup yang sarat dengan konflik nilai dan moral.

(51)

Jadi VCT memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai hidup. Tujuan pendekatan model pembelajaran VCT ini adalah;

 Membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dengan nilai-nilai orang lain.

 Membantu peserta didik agar mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain

 Membantu peserta didik agar mampu menggunakan akal budi dan kesadaran emosional untuk memahami perasaan, nilai dan tingkah lakunya.

Menggunakan model klarifikasi nilai peserta didik tidak disuruh menghapal atau disuapi materi melainkan dibantu untuk menemukan, menganalisis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidup. Pendekatan teknik klarifikasi nilai memberi penekanan pada usaha membantu seseorang atau peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri dan mendorongnya untuk membentuk system nilai-nilai mereka sendiri serta mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

(52)

a. Value clarification enhances the ability of students to communicate their ideas, beliefs, values, and fellings. (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi mereka ide-ide , keyakinan , nilai-nilai , dan perasaan). b. Value clarification enhances the ability of students to empathize, with other

person, especially those circumstance may differ significantly from their own. (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk berempati dengan orang lain, terutama keadaan yang mungkin berbeda secara signifikan dari mereka sendiri.

c. Value clarification enhances the ability of students to resolve problems as they arise (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah yang muncul.

d. Value clarification enhances the ability of students to assent and dissent as a member of a social group (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk persetujuan dan perbedaan pendapat sebagai anggota kelompok sosial e. Value clarification enhances the ability of students to engage in decision

making (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk terlibat dalam pengambilan keputusan

f. Value clarification enhances the ability of students to hold and use consistent beliefs (Nilai klarifikasi meningkatkan kemampuan siswa untuk memegang dan menggunakan keyakinan yang konsisten.

(53)

proses menemukan sesuatu yang baru dan bukan sebagai transfer atau pemindahan pengetahuan dari guru kepada anak didik. Jadi inti dari VCT adalah melatih peserta didik untuk berproses melakukan penilaian terhadap nilai-nilai kehidupan yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan akhirnya menetapkan nilai-nilai yang akan menjadi acuan atau pedoman dalam hidupnya. Adapun tujuan menggunakan model pembelajaran VCT diantaranya;

1. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.

2. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun negatif

3. Untuk menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima sebagai milik pribadinya.

4. Melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat.

Model pembelajaran VCT menurut Sutarjo (2013: 144) dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena;

(54)

Langkah-langkah pembelajaran;

1. Membuat/mencari media stimulus. Berupa contoh keadaan/perbuatan yang memuat nilai-nilai kontras yang disesuaikan dengan topik atau tema target pembelajaran. Dengan persyaratan hendaknya mampu merangsang, melibatkan dan mengembangkan potensi afektual siswa, terjangkau dengan

tingkat berpikir siswa. Misalnya contoh peristiwa “Tabrak Lari”

2. Kegiatan pembelajaran. Pertama, guru melontarkan stimulus dengan cara membaca/menampilkan cerita atau menampilkan gambar, kegiatan ini dapat dilakukan oleh guru sendiri atau meminta bantuan kepada siswa lain. Kedua, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdialog sendiri atau sesama teman sehubungan dengan stimulus tadi. Ketiga, melaksanakan dialog terpimpin melalui pertanyaan yang telah disusun oleh guru yang berhubungan dengan stimulus tadi, baik secara individual maupun berkelompok. Keempat, menentukan argumen atau pendirian melalui pertanyaan guru baik secara individual maupun berkelompok. Kelima, pembahasan atau pembuktian argumen. Keenam penyimpulan

(55)

dilakukan dengan melakukan pengamatan jalannya diskusi, sikap dan aktivitas siswa maupun proses pembelajaran secara menyeluruh dan evaluasi hasil dapat dilihat dari hasil tes. Jangan lupa memberikan pujian kepada siswa yang mampu berpendapat sekalipun kepada siswa yang berpendapat belum lengkap secara variatif.

Keunggulan pola pembelajaran mengklarifikasi nilai atau VCT pada pembelajaran afektif adalah;

a. Mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral;

b. Mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan;

c. Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata;

d. Mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya;

e. Mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan;

f. Mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang;

g. Menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

(56)

disuruh menghapal dan tidak disuapi dengan nilai-nilai yang sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan, menganilis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Peserta didik tidak dipilihkan nilai mana yang baik dan benar untuk dirinya, melainkan diberi kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri nilai mana yang mau dikejar, diperjuangkan dan diamalkan dalam hidupnya. Dengan demikian, peserta didik semakin mandiri, semakin mampu mengambil keputusan sendiri, tanpa campur tangan pihak lain.

Proses penyadaran dengan klarifikasi nilai dipandang efektif dengan tujuan memperkokoh nilai dan moral pada peserta didik. Dengan demikian VCT mengutamakan keterlibatan intelektual emosional dan kompetensi sosial dari peserta didik. Tujuan akhir bagaimana moral itu menjadi nilai yang mempribadi pada peserta didik. Pada pokoknya VCT meliputi proses memperkuat pengalaman belajar nilai melalui kesempatan untuk berpikir nilai, merasakan kegunaan dan manfaat nilai dan pengalaman mengomunikasikan nilai yang dimilikinya serta melaksanakannya dalam kehidupan bersama.

Menurut Lickona dalam Sutarjo (2013: 156) agar proses VCT dapat berlangsung secara efektif dalam proses pembelajaran di kelas maka metode pembelajaran yang digunakan oleh pendidik adalah :

1. Metode dialog

(57)

a) Pendidik menawarkan nilai tertentu dalam suatu dilema moral, peserta didik mendalami dengan metode inkuiri, analisis dilema moral.

b) Peserta didik diberi kebebasan untuk menanggapi, bertanya, menjelaskan satu sama lain yang berlangsung dalam diskusi kelompok.

c) Peserta didik bebas mengambil pilihan, keputusan dan kesimpulan terkait dengan nilai yang jadi bahan dialog.

d) Pilihan nilai diberi alasan dan dikemukakan pada teman yang lain lewat presentasi.

e) Pendidik atau teman sejawat memberika pertanyaan kritis terhadap nilai pilihan peserta didik.

f) Peserta didik menyampaikan niat untuk melaksanakan pilihan nilainya.

2. Diskusi kelompok – cooperative learning

Diskusi kelompok dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Pendidik membentuk kelompok-kelompok dalam kelas, dan kepada tiap kelompok, pendidik menyampaikan sejumlah daftar nilai beserta pertanyaan kritis terkait dengan nilai-nilai tersebut secara berbeda.

b) Masing-maasing peserta didik secara bebas, dalam kelompok berdiskusi, menanggapi pertanyaan-partanyaan kritis terhadap nilai yang ditawarkan, memberi argumentasi atas pilihannya.

(58)

d) Peran pendidik sebagai pendamping dan fasilitator dalam proses diskusi kelompok agar diskusi bisa berjalan dengan lancar.

3. Studi kasus dengan problem solving moral, studi kasus moral yang berdilema. Pendidik membuat cerita berkasus yang mengandung unsur problem solving moral atau pemecahan kasus yang mengandung dilema moral atau nilai tertentu, disertai sejumlah pertanyaan untuk ditanggapi peserta didik baik secara individual maupun secara kolektif dalam diskusi kelompok dan dipresentasikan dalam pleno. Problem solving moral sebaiknya mengandung dilema nilai atau moral yang jelas dan tajam sehingga peserta didik ditantang untuk mencari penyelesaiannya. Dalam diskusi kelompok peserta didik bebas memilih jalan keluar dari dilema yang ada, dengan disertai alasannya. Peran pendidik sebagai fasilitator dalam diskusi, hanya memberi pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap argumentasi peserta didik, tanpa memaksakan pendapatnya.

2.1.4Konsep Model Pembelajaran Moral Reasoning

(59)

Dewey Kohlberg (1977: 227) membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan (level) sebagai berikut; (1) Tahap Premoral atau Pre-conventional, dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau social; (2) Tahap Convensional, dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kriteria kelompoknya; (3) Tahap Autonomous, dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Adapun tahap-tahap dalam perkembangan moral diperinci sebagai berikut;

 Pra-Konvensional

Pada tingkat ini, anak merespon aturan tradisi, label baik buruk; benar salah, dengan menginterpretasi label dengan pemahaman hedonistik (pandangan hidup dengan mencari kebahagiaan) dan konsekuensi dari tindakan. Tingkatan ini juga menunjukkan bahwa individu menghadapi masalah moral dari segi kepentingan diri sendiri. Seseorang tidak menghiraukan apa yang dirumuskan masyarakat, akan tetapi mementingkan konsekuensi dari perbuatannya seperti hukuman, pujian, dan penghargaan. Anak akan cenderung menghindari perbuatan yang menimbulkan resiko.

(60)

Tahap II yaitu orientasi pada instrumental. Tindakan yang benar apakah sudah sesuai atau memenuhi kebutuhan seseorang berdasarkan persetujuan. Pada tahap ini adil dipandang sebagai sesuatu yang bersifat balas budi dan saling memberi.

 Konvensional

Pada tingkatan ini anak mendekati permasalahan dari segi hubungan individu-masyarakat. Seseorang menyadari bahwa masyarakat mengharapkan agar ia berbuat sesuai dengan norma-norma yang dibuat dalam masyarakat. Perhatian kepada nilai keluarga, kelompok atau bangsa diterima sebagai nilai dalam dirinya. Terdapat konformitas interpersonal.

Tahap III, orinetasi “good boy-nicegirl”. Persetujuan antar personal, menjadi orang yang diharapkan, dan tingkah laku yang baik adalah menyenangkan atau menolong orang lain. Pertimbangannya adalah perhatian ia berbuat baik. Motivasi perbuatan moral pada tingkatan ini ialah keinginan memenuhi apa yang diharapkan orang yang dihargai. Pada diri anak telah timbul kesadaran bahwa orang lain mengharapkan kelakuan tertentu daripadanya.

(61)

 Post-Konvensional

Tahap V, Orientasi kontrak sosial dan hak-hak individu. Tindakan yang benar ditentukan dalam istilah kebenaran individu secara umum dan standar yang sudah diuji secara kritis dan disetuji oleh seluruh masyarakat. Suatu perasaan setia kepada hukum demi kesejahteraan semua orang dan hak-haknya. Pada tahap ini memandang kelakuan baik dari segi hak dan norma umum yang berlaku bagi individu yang telah diselidiki secara kritis dan diterima baik oleh masyarakat kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial. Komitmen sosial dan legal dipandang sebagai hasil persetujuan bersama dan harus dipatuhi oleh yang bersangkutan.

Tahap VI, orientasi prinsip etnis universal. Kebenaran ditentukan oleh prinsip etnis di dalam dirinya berdasar pada pemahaman logika universal (keadilan, kesamaan hak dan kepatutan sebagai makhluk individu). Seseorang bertindak menurut prinsip universal. Seseorang wajib menyelamatkan jiwa orang lain.

(62)

Implementasi model Moral Reasoning dapat membantu siswa untuk mengembangakn keterampilan sosial siswa dan mengelola emosi yang akhirnya menjadi warga yang baik. Oleh karena itu agar siswa dapat mengemukakan pendapat dan dapat membuat keputusan dengan pertimbangan moral yang lebih tinggi (intelektual emosional) guru taupun siswa harus kreatif dan inovatif untuk mencari atau membuat suatu masalah yang dilematis yang didiskusikan di dalam kelas.

Peran guru dalam penerapan model Moral Reasoning sangat strategis terutama dalam memotivasi siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran. Peran guru dalam fase diskusi dengan menggunakan model Moral Reasoning adalah; 1) Memastikan anak didik memahami dilemma yang disajikan, 2) membantu anak didik menghadapi komponen-komponen moral yang terdapat dalam permasalahan, 3) Mendorong dasar pemikiran anak didik bagi kepurusan yang diambil, dan 4) Mendorong anak didik untuk saling berinteraksi.

Adapun langkah-langkah dalam penalaran moral menurut Fraenkel (1977) adalah sebagai berikut;

1) Menunjukkan isu moral. Anak didik mengidentifikasi situasi dalam dilemma moral yang membutuhkan resolusi dengan pertanyaan;

“seharusnya, semestinya”, baik cerita dilemma moral yang diberikan oleh

guru maupun bahan informasi yang digali sendiri oleh anak didik melalui membaca di media massa untuk dibahas dan dilaporkan.

2) Mengajukan pertanyaan; “mengapa” dan jawaban: “ alasan moral saya” 3) Memperumit situasi dengan menambah masalah untuk meningkatkan

kompleksitas konflik.

(63)

Tabel 2.1 Sintaks model moral reasoning

Mengaitkan pelajaran sekarang dengan pelajaran sebelumnya untuk

memotivasi siswa

Memberikan pertanyaan kepada siswa yang mengetahui

konsep-konsep prasyarat yang harus dikuasai oleh siswa

Menjelaskan tujuan pembelajaran (kompetensi dan indicator)

Presentasi konsep-konsep yang harus dikuasai siswa melalui

demonstrasi dan bahan bacaan

Presentasi keterampilan proses yang dikembangkan

Presentasi model dan cara pembelajaran yang disesuaikan dengan SK

dan KD materi IPS

Mengarahkan siswa melalui model pembelajaran moral reasoning

yang diinginkan guru

Menempatkan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar

Menginagtkan cara siswa bekerja dan belajar secara kelompok sesuai

dengan komposisi kelompok

Membagi buku, LKS atau sumber belajar

Mengingatkan cara menyusun laporan hasil kerja

Memberikan bimbingan seperlunya

Mengumpulkan hasil kerja kelompok setelah waktu yang ditentukan

Mengecek dan memberikan umpan balik terhadap pertanyaan dari

siswa

 Memberikan cerita tentang “dilemma moral” sehingga siswa dapat

menarik kesimpulan dari cerita yang diceritakan

 Membimbing siswa yang bertanya dan menyimpulkan seluruh proses pembelajaran yang baru saja disampaikan dan dipelajari memberikan

tugas rumah

Guru membantu siswa untuk melakukan proses evaluasi terhadap

(64)

Berdasarkan fase-fase tersebut hal yang harus dilakukan guru dalam proses diskusi adalah menyajikan cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi siswa didorong untuk menentukan keputusan yang sepatutnya dilakukan serta mengajukan alasan-alasannya, kemudian meminta siswa mendiskusikan tentang alasan tersebut dengan teman-temannya. Sedangkan, yang harus dilakukan oleh siswa dalam model dilema moral adalah memperhatikan atau mencermati cerita dilematis dari kejadian masyarakat atau yang dibuat oleh guru, mengidentifikasi permasalahan dalam dilematis, mengambil keputusan/sikap terhadap cerita dilematis, mengemukakan pendapat berkaitan dilema yang disertai alasan dengan pertimbangan moral, mendengar tanggapan reaksi atau tanggapan kelompok lainnya terhadap pendapat yang baru dikemukakan, mendengarkan dengan teliti dan mencoba memahami pendapat yang dikemukakan oleh siswa atau kelompok lain, menghormati pendapat teman-teman atau kelompok lainnya walau berbeda pendapat.

2.1.5Konsep Keterampilan Sosial

(65)

maksimal potensi yang dimiliki baik bidang pengetahuan dan keterampilan dengan didukung sikap yang baik dapat didapatkan melalui pendidikan.

Banyaknya jumlah anak yang mengalami gangguan perilaku perlu mendapat perhatian yang serius untuk segera diberikan intervensi yang tepat, gangguan perilaku ini berdampak sangat merugikan, tidak hanya bagi anak-anak dan remaja yang mengalaminya, tetapi juga bagi masyarakat. Meskipun anak dengan masalah perilaku tidak selalu menjadi dewasa yang antisosial, namun sebagian besar diantara mereka setelah dewasa cenderung terlibat dengan tindakan kriminal dan mengembangkan perilaku antisosial, serta bermasalah dengan obat-obatan.

Mereka juga cenderung memiliki masalah psikologis, sulit menyesuaikan diri dengan pendidikan dan pekerjaan, memiliki perkawinan yang tidak stabil, resisten terhadap upaya penyembuhan, serta cenderung akan bersikap keras dalam mengasuh anak-anaknya yang pada akhirnya akan membuat anak-anak mereka mengalami gangguan perilaku juga. Gangguan perilaku merupakan gangguan yang bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi. Faktor-faktor keluarga seperti pola asuh orang tua dan stabilitas keluarga, dan faktor lingkungan seperti kualitas hubungan dengan sebaya.

(66)

penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan perilaku ini memiliki ketrampilan sosial yang rendah.

Keterampilan sosial berasal dari kata terampil dan sosial. Kata keterampilan berasal dari 'terampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar, dari tidak terampil menjadi terampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian ketrampilan sosial maksudnya yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal. Seseorang yang memiliki keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif ataupun negative dalam hubungan bermasyarakat tanpa melukai perasaan orang lain. Keterampilan sosial dapat melatih seseorang untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian masalah tersebut.

(67)

ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial (Social Skill) akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain. Adapun ciri-ciri Keterampilan Sosial, secara lebih spesifik, Gwendolyn Cartledge (1995: 247) mengidentifikasi keterampilan sosial dengan beberapa ciri, yaitu:

1. Perilaku interpersonal

Merupakan perilaku yang menyangkut ketrampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial.

2. Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri.

Merupakan ketrampilan mengatur diri sendiri dalam situasi sosial, misalnya ketrampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sejenisnya.

3. Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis.

Merupakan perilaku atau ketrampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar di sekolah, misalnya mendengarkan dengan tenang saat guru menerangkan pelajar, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, melakukan apa yang diminta oleh guru, dan semua perilaku yang mengikuti aturan kelas.

4. Peer acceptance

Merupakan perilaku yang berhubungan dengan penerimaan sebaya, misalnya memberi salam, memberi dan meminta informasi, mengajak teman terlibat dalam suatu aktivitas, dan dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain.

5. Ketrampilan komunikasi

Gambar

Tabel 1.1 Hasil Observasi Pra-Penelitian tentang Keterampilan Sosial Siswa
Gambar 2.1 Perbandingan model pembelajaran VCT dan Moral Reasoning         dapat meningkatkan keterampilan sosial dengan memperhatikan         konsep diri siswa
Tabel 2.  Design Penelitian Eksperimen
Table 3.2 Jumlah siswa kelas VIII tiap kelas
+4

Referensi

Dokumen terkait

1) ada perbedaan moralitas antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) dan siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan rata-rata hasil belajar IPS Terpadu antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make

Berdasarkan analisis data diperoleh hasil: (1) ada perbedaan kecerdasan moral siswa yang pembelajarannya menggunakanmodel pembelajaran Cooperative Scriptdan siswa

(3) Keterampilan sosial siswa dalam pelajaran IPS Terpadu yang pembelajarannya menggunakan model Talking Stick lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang diajarkan menggunakan

Sedangkan hipotesis nol dari penelitian adalah: tidak terdapat perbedaan tingkat efektivitas antara pembelajaran berbasis kognitif moral melalui model VCT dengan pembelajaran

Berdasarkan pemaparan diatas, maka peneliti tertarik untuk lebih mengetahui tentang “Perbandingan Moralitas Siswa Menggunakan Model Pembelajaran moral reasoning dengan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas keterampilan sosial siswa yang menggunakan model pembelajaran Time Token dan TS-TS dengan memperhatikan konsep diri. Metode

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan (1) adanya perbedaan keterampilan sosial antara model pembelajaran Time Token dan TS-TS pada mata pelajaran IPS Terpadu, (2) model