• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG NAFKAH KELUARGA

D. Konsep Nafkah Keluarga Menurut Hukum Islam

Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa arab yakni dari suku kata anfaqa-yunfiqu-infaqan. Dalam kamus arab indonesia, secara

etimologi kata nafkah diartikan sebagai “hak menafkahkan dan atau

membelanjakan (Yunus.1989 : 463).

Secara harfiah, nafkah adalah pengeluaran atau suatu yang dikeluarkan oleh seorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan yang baik(Muhamad.2001: 110).

Sayyid Sabiq (1981: 421) mendefinisikan nafkah adalah semua kebutuhan dari keperluan yang berlaku menurut keaadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa nafkah merupakan semua kebutuhan yang wajib diberikan kepada seseorang yang menjadi tanggung jawabnya meliputi semua keperluan hidup seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya dengan tujuan untuk memenuhi keperluan-keperluan yang baik.

34 2. Sebab-sebab diwajibkannya nafkah.

Kewajiban nafkah dipengaruhi oleh tiga sebab antara lain: a. Zaujiyyah

Suami diwajibkan memberi nafkah dikarenakan adanya perkawinan yang sah, pemberian ini diberikan kepada istri yang taat (tidak nusyuz), baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal maupun perkakas rumah tangga dan kebutuhan lainnya sesuai dengan masing-masing lingkungan dan kekuatan suami (Rasjid.:399). Sebagaiman firman Allah yang artimya:

“... dan mereka (istri) memiliki hak (nafkah) yang seimbang

dengan kewajibannya menurut cara yang patut....” (QS. Al

-Baqarah: 228).

Ayat diatas merupakan penjelasan nafkah bagi seorang

dikarenkan keta’atannya. Seorang istri yang tidak taat tidak

berhak atas nefkahnya dari seorang suami (rasjid.: 400). b. Qarabah

Qorobah adalah hubungan kekerabatan, dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat. Kalangan Malikiyah menilai qarabah yang wajib nafkah hanya pada hubungan orangtua dan anak (walid wal walad). Kalangan syafi’iyah menilai qarabah dalam hubungan orangtua dan anak, dan hubungan cucu dan kakek

(ushul dan furu‟). Hanafiyah menilai qarabah dalam konteks

mahramiyah, tidak terbatas ushul dan furu‟, sehingga meliputi kerabat kesamping (hawasyiy), dan dzawil arham. Sedangkan

35

kalangan madzhab hambali memahami qarabah dalam konteks hubungan waris fardh dan ashabah, meliputi ushul, furu‟,

hawasyiy, dan dzawil arham yang berada pada jalur nasab (Erfani.:6).

Syarat wajibnya belanja atas bapak atau ibu kepada anaknya apabila si anak masih kecil dan miskin, atau besar dan miskin namun tidak kuat berusaha. Kewajiban ini juga berlaku untuk anak ketika kedua orang tuanya tidak lagi kuat berusaha dan tidak mempunyai harta (Rasjid.: 399).

Merujuk pendapat pemberian nafkah anak kepada

orangtua menurut madzhab hanafi dan syafi’i bahwa ketidak

mampuan bekerja tidak merupakan syarat kewajiban memberi nafkah kepada para ayah dan para kakek. Para anak tetap wajib memberikan nafkah kepada mereka. Sedangkan orang-orang selain ayah dan kakek yang sanggup bekerja, tidak ada kewajiban memberi nafkah kepada mereka (mughniyah.: 433).

Luasnya cakupan qarabah sebagai objek nafkah harus dipahami dalam konteks yang relatif, yaitu menghendaki syarat kesanggupan pihak yang berkewajiban nafkah. Sehingga ketidak terpenuhan syarat itu akan menyebabkan tidak adanya tanggup jawab nafkah dan tidak menimbulkan konskuensi hukum lainya (Erfani.: 6).

36 c. Milk

Sebab kepemilikan atas sesuatu, dalam hal ini pemilik budak. Dalam konteks kekinian, sebab milik ini dapat dipahami dalam konteks yang luas, yaitu hubungan kepemilikan seseorang terhadap sesuatu yang hidup, termasuk jasa pembantu, memelihara hewan, tumbuhan dan lain-lain (Erfani.: 6).

Inti dari sebab-sebab nafkah diatas adalah kesamaan yang mendasar, yaitu posisi laki-laki sebagai penanggung jawab nafkah. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya:

“...dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara ma‟ruf...”. (QS.Al-Baqarah: 233)

Kemudian kewajiban dari seorang suami dalam memberikan nafkah yang terbaik untuk keluarganya, sejauh yang dimiliki dan diusahakannya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:

“hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuanya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) resekinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah

kesempitan”. (QS.Ath-Thalaq: 7)

3. Bentuk-bentuk nafkah

Bentuk-bentuk nafkah ini telah dijelaskan dalam kewajiban seorang suami dengan berbagai dasarnya baik berupa ayat al-Qur’an maupun Undang-undang. Para ulama fiqih menyimpulkan bahwa nafkah wajib diberikan suami kepada istrinya, meliputi makanan, minuman,

lauk-37

pauk, pakaian, tempat tinggal, pembantu (jika diperlukan), alat-alat rumah tangga dan kebutuhan rumah tangga lainnya (Muhammad. 2001: 123).

Sementara untuk alat-alat kecantikan bukan merupakan kewajiban suami. Keculai sebatas menghilangkan bau badan istri. Hal ini selaras

dengan pendapat imam Nawawi dari madzhab Syafi’i yang menyatakan

bahwa suami tidak berkewajiban memberikan nafkah untuk biaya alat kecantikan mata, kutek, minyak wangi dan alat-alat kecantikan lainnya

yang semuanya dimaksudkan untuk menambah gairah

seksual.(Muhamad.2001: 123).

Para ulama madzhab berpendapat bahwa biaya bersalin dan pengobatan yang ringan, seperti malaria dan sakit mata termasuk ke dalam nafkah. Akan tetapi pengobatan sejenis operasi yang membutuhkan biaya besar harus dipisahkan atau dilihat dari keadaan materi suami maupun istri (Mughniyah.1996: 424-425).

4. Kadar nafkah yang harus diberikan oleh suami

Perkiraan nafkah sesuai dengan kemampuan suami, sebagaimana firman Allah yang artinya:

“hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan

sesudah kesempitan”. (QS.Ath-Thalaq: 7)

Seorang suami dalam menafkahkan hartanya selain tidak boleh terlalu bakhil, suami juga tidak boleh terlalu boros dalaam menafkahkan

38

hartanya. Dalam menafkahkan harta harus berpegang teguh kepada firman Allah yang artinya:

dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelajaran itu) ditengah-tengah anatara yang demikian”. (QS.Al-Furqan: 67)

Dari ayat al-Qur’an diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tolak

ukur pemberian nafkah sesuai dengan kemampuan suami. Seorang suami dianjurkan menafkahi istinya sewajarnya, artinya tidak terlalu sedikit maupun terlalu banyak, akan tetapi sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya.

5. Waktu wajib nafkah

Menurut Ibnu Hazm suami-suami berkewajiban menafkahi istrinya sejak terjadinya akad nikah, baik suami yang mengajaknya hidup serumah atau tidak, baik istri masih dalam buaian atau berbuat nusyuz, kaya atau kafir, mempunyai orang tua atau sudah yatim, gadis atau janda, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami (Sabiq.1982:85). Namun para ulama madzhab berpendapat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah (Mughniyah.1996: 402).

Pada masa iddah wanita cerai memiliki hak tempat tinggal ynag menjadi kewajiban suaminya, selama dia menunggu iddah suaminya. Seorang laki-laki tidak berhak mengusirnya dan mengeluarkannya kecuali dia melakukan perbuatan keji yang nyata seperti zina dan nusyuz. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa istri berhak atas tempat tinggal dan nafkah selama menunggu masa iddah.

39

Menurut imam Malik mencukupi nafkah keluarga merupakan kewajiban dari seorang suami setelah membayar mahar dan berlaku adil kepada istri (berlaku bagi yang berpoligami). Kelau terjadi perpisahan antara suami dan istri, baik karena cerai atau meninggal dunia maka harta asli istri tetap menjadi milik istri dan harta asli milik suami tetap menjadi milik suami, menurut madzhab Maliki waktu berlakunya pemberian nafkah wajib apabila suami sudah mengumpuli istri.

Jadi, nafkah diberikan ketika sudah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Madzhab Mailiki berpendapat wajib memberi nafkah setelah mengumpuli istrinya, dan akan menjadi tidak wajib ketika seorang istri cerai atau istri telah meninggal dunia.

Dokumen terkait