i
PROBLEMATIKA NAFKAH SEBAGAI PENYEBAB
PERCERAIAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS
DI DESA KERTANEGARA KABUPATEN PURBALINGGA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
A. Badrul Anwar
NIM : 21113011
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
iii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : A. Badrul Anwar
NIM : 21113011
Judul : PROBLEMATIKA NAFKAH SEBAGAI PENYEBAB
PERCERAIAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga)
dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 08 Mei 2018 Pembimbing,
Drs. Badwan, M.Ag
iv
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
PROBLEMATIKA NAFKAH SEBAGAI PENYEBAB PERCERAIAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Kertanegara
Kabupaten Purbalingga)
Oleh: A. Badrul Anwar
NIM : 21113011
telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 14 Agustus 2018, dan
telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Muh. Hafidz, M.Ag.
Sekretaris Sidang : Drs. Badwan, M.Ag.
Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si.
Penguji II : Luthfiana Zahriani, S.H.,M.H.
Salatiga, 18 Agustus 2018
Dekan Fakultas Syari’ah
Dr. Siti Zumrotun, M.Ag NIP. 19670115 199803 2 002 KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : A. Badrul Anwar
NIM : 21113011
Fakultas : Syari’ah
Program Studi : Hukum Keluarga Islam
Judul Skripsi : PROBLEMATIKA NAFKAH SEBAGAI PENYEBAB
PERCERAIAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga)
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah dan tidak keberatan untuk dipubikasikan oleh pihak IAIN Salatiga tanpa menuntut konsekuensi apapun.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dan jika pada kemudian hari terbukti karya saya ini bukan karya sendiri maka saya sanggup menanggung semua konsekuensinya.
Salatiga, 08 Maret 2018 Yang menyatakan
vi
MOTTO
“LAKUKAN APAPUN YANG SEKIRANYA KAMU DAPAT IKHLAS UNTUK MELAKUKANNYA (EMHA AINUN NAJIB)”
“JIKA SAAT KAMU TERLAHIR MENANGIS DAN BANYAK ORANG SENANG AKAN KELAHIRANMU, MAKA BUATLAH MEREKA
vii x
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-Nya, karya skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Kedua orang tua saya tercinta, Bapak Toha Syafa’at dan Ibu Khafifah yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak terbatas.
2. Kepada kakek Tamami beserta istri yang selalu mendoakan saya, dan memberi dukungan untuk semangat menjalani proses pendidikan.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirobbil‟alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul
”PROBLEMATIKA NAFKAH SEBAGAI PENYEBAB PERCERAIAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga)” tanpa halangan yang berarti.
Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan
Syafaatnya min hadza ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga; 2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah;
3. Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam;
4. Drs. Badwan, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;
5. Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat;
ix
immaterial hingga saat ini. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah ada;
8. Sahabat-sahabat dan teman-teman khususnya sahabat dan teman seperjuangan di Ahwal Al-Syakhshiyyah ( Hukum Keluarga Islam) angkatan 2013 atas segala bantuan, semangat, dan hiburannya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini;
9. Teman gamer saya, Zaid, Dika, Mujib, dan Apid yang selalu memberikan hiburan disela-sela waktu mengerjakan karya ini, tak lupa kepada teman-teman group rebana Ar-Raudhoh Salatiga yang selalu memberikan semangat serta motivasi agar cepat menyelesaikan kuliahnya, dan doaku kepada temanku semua semoga kita sukses di dunia dan akhirat, Aamiin.
10. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta kepada pembaca pada umumnya. Aamiin.
Salatiga, 08 Mei 2018 Penulis
x
ABSTRAK
Anwar, A. Badrul. “Problematika Nafkah Sebagai Penyebab Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Kertanegara Kabupaten
Purbalingga)” . Skripsi. Fakultas Syari’ah. Program Studi Hukum Keluarga
Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. Badwan M.Ag.
Kata Kunci: Problematika Nafkah, Perspektif Hukum Islam
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: problem mengenai penerapan konsep nafkah keluarga islam oleh keluaraga di Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga, upaya apa saja yang telah dilakukan oleh keluarga sebagai respon dalam menghadapi problem seputar nafkah keluarga, dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam mempertahankan keutuhan keluarga yang mengajukan perceraian karena mengalami problem dalam pemenuhan nafkah.
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang bertempat di Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga dengan subjek penelitiannya adalah Keluarga di Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti menganalisa data dengan menggunakan deskriptif analitis.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
LEMBAR BERLOGO ... . ii
NOTA PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN ...iv
PERNYATAANKEASLIAN TULISAN ...v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...vi
KATA PENGANTAR ...vii
ABSTRAK ...x
DAFTAR ISI ...xi
DAFTAR LAMPIRAN ...xiv
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang ...1
B. Rumusan Masalah ...4
C. Tujuan Penelitian ...5
D. Manfaat Penelitian ...6
E. Tinjauan Pustaka ...7
F. Metode Penelitian ...10
G. Sistematika Penulisan Penelitian ...15
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG NAFKAH KELUARGA ...17
A. Hak dan Kewajiban Suami Menurut Hukum Islam ...17
1. Hak-hak Suami ...18
xii
B. Hak dan Kewajiban Istri Menurut Hukum Islam ...25
1. Hak-hak Istri ...25
2. Kewajiban-kewajiban Istri ...29
C. Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri ...30
1. Hak Bersama Antara Suami dan Istri ...30
2. Kewajiban Bersama Antara Suami Istri ...32
D. Konsep Nafkah Keluarga Menurut Hukum Islam ...33
1. Pengertian Nafkah ...33
2. Sebab-sebab Diwajibkannya Nafkah ...34
3. Bentuk-bentuk Nafkah ...36
4. Kadar Nafkah Yang Harus Diberikan Oleh Suami ...37
5. Waktu Wajib Nafkah ...37
E. Permasalahan Yang Sering Terjadi Seputar Nafkah ...39
BAB III HASIL PENELITIAN ...42
A. Gambaran Umum Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga ...42
1. Letak Geografis Desa Kertanegara ...42
2. Struktur Organisasi Desa Kertanegara ...44
3. Jumlah Penduduk Desa Kertanegara ...44
B. Gambaran Umum Subjek Penelitian ...46
1. Keluarga Bapak Teguh dan Ibu Sanginah ...46
2. Keluarga Bapak Tugiman dan Ibu Rubinah ...47
3. Keluarga Bapak Yusrin dan Ibu Nur Herlina ...48
xiii
C. Hasil Wawancara ...50
1. Keluarga Bapak Teguh Wahyono dan Ibu Sanginah ...50
2. Keluarga Bapak Tugiman dan Ibu Rubinah ...53
3. Keluarga Bapak Yusrin dan Ibu Nur Herlina ...55
4. Keluarga Bapak Sugeng dan Ibu Daryati ...57
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ...61
1. Analisis Problem Nafkah Keluarga Teguh Wahyono dan Sanginah, Serta Upaya Yang Dilakukan Oleh Pihak Keluarga dan Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga ...61
2. Analisis Problem Nafkah Keluarga Tugiman dan Rubinah, Serta Upaya Yang Dilakukan Oleh Pihak Keluarga dan Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga ...65
3. Analisis Problem Nafkah Keluarga Yusrin dan Nur Herlina, Serta Upaya Yang Dilakukan Oleh Pihak Keluarga dan Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga...6
4. Analisis Problem Nafkah Keluarga Sugeng dan Daryati, Serta Upaya Yang Dilakukan Oleh Pihak Keluarga dan Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga ...72
BAB V PENUTUP ...76
A. Kesimpulan ...76
B. Saran ...77
DAFTAR PUSTAKA ...79
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Transliterasi arab-latin
2. Daftar Nilai SKK
3. Riwayat Hidup Penulis
4. Lembar Konsultasi
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, perseorangan
maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki
dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai
makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam
suasana damai dan rasa kasih sayang antara suami istri. Anak keturunan yang
dihasilkan dari perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan
sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan
berkehormatan (Basyir,1995 :9). Sebagaimana Firman Allah :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”.
Menurut Hasan (2011 :9) perkawinan ialah akad yang menghalalkan
pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan
2
seorang perempuan yang bukan mahram. Sebagaimana fiman Allah yang
artinya :
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bagaimana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar
kamu tidak berbuat zalim.”
Menurut Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha
Esa. Jika penulis ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya perkawinan
merupakan ikatan yang dibuat antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai jalan yang sah dalam membentuk hubungan rumah tangga
dengan tujuan mencapai kehidupan yang kekal dan bahagia.
Setelah adanya akad perkawinan maka timbul suatu hak dan
kewajiban, menurut Hasan (2011 :153) bahwa hak dan kewajiban suami istri
adalah hak-hak istri yang merupakan kewajiban suami dan kewajiban suami
yang menjadi hak istri. Para fuqaha dalam masalah ini berpendapat apabila
akad nikah telah berlangsung secara sah, maka konskuensi yang harus
dilaksanakan oleh pasangan suami istri adalah memenuhi hak dan
kewajibannya (Kisyik,1996 :120). Beberapa kewajiban tersebut antara lain :
1. Hak istri yang wajib dipenuhi oleh suaminya
2. Hak suami yang wajib dipenuhi oleh istrinya
3
Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami terhadap
istrinya adalah bertanggung jawab sepenuhnya untuk memberikan nafkahnya
(Kisyik, 1996 :128). Nafkah merupakan semua kebutuhan dan keperluan yang
berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan
sebagainya (Rasjid,2010 :421). Sebagaimana firman Allah :
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Ketentuan nafkah dalam undang-undang no 1 tahun 1974 terdapat pada
pasal 34 ayat (1) yang berbunyi suami wajib melindungi isterinya dan
memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya. Sedangkan dalam kompilasi hukum islam ketentuan nafkah
terdapat pada bagian ketiga pasal 80 ayat (2) yang berbunyi suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Jika kita lihat antara
keduanya tidak ada perbedaan mengenai nafkah ini.
Desa Kertanegara merupakan salah satu Desa bagian dari Kecamatan
Kertanegara Kabupaten Purbalingga. Terletak disebelah timur Kecamatan
Karanganyar dan sebelah barat dari Kecamatan Karang Moncol. Desa dengan
jumlah penduduk kurang lebih 7000 jiwa dimana masyarakatnya mayoritas
4
dan aluminium. Namun untuk sekarang ini profesi tersebut sudah jarang
sekali ditemui dikarenakan modal serta bahan yang kurang mencukupi.
Sebagai alternatif lain masyarakat lebih memilih sebagai petani padi dan
merantau menjadi pekerja di Kota-kota besar.
Realita yang terjadi sekarang ini, mencari pekerjaan tidaklah mudah
apalagi bagi mereka yang hidup di lingkungan pedesaan dengan ketrampilan
yang terbatas. Seringkali kurang dalam mencukupi kebutuhan keluarganya,
akibatnya jika tidak bisa saling memahami dengan kondisi keluarganya maka
akan terjadi pertengkaran diantara anggota keluarganya, dan tidak sedikit dari
mereka yang lebih memilih perceraian.
Dari latar belakang diatas maka penulis mempunyai ketertarikan untuk
meneliti problem nafkah seperti apa yang menyebabkan perceraian di
kalangan keluarga di Desa Kertanegara. Sebagai tindak lanjut dalam hal ini
penulis akan melakukan penelitian kepada keluarga di Desa Kertanegara
dengan judul “PROBLEMATIKA NAFKAH SEBAGAI PENYEBAB PERCERAIAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menentukan
5
1. Apa problem yang dihadapi oleh keluarga di Desa Kertanegara
Kabupaten Purbalingga dalam menerapkan konsep nafkah menurut
hukum Islam?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh keluarga sebagai respon dalam
menghadapi problem nafkah keluarga?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam
mempertahankan keutuhan rumah tangga yang meghadapi problem
nafkah keluarga ?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana lazimnya sebuah karya tulis yang berorientasi terhadap
pengembangan keilmuan maka penelitian ini mempunyai tujuan penelitian,
adapaun penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui problem apa saja yang dialami dalam penerapan
konsep nafkah keluarga islam oleh keluaraga di Desa Kertanegara
Kabupaten Purbalingga.
2. Untuk mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan oleh keluarga
sebagai respon dalam menghadapi problem seputar nafkah keluarga.
3. Untuk mengetahui apa saja upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
Pengadilan Agama dalam mempertahankan keutuhan keluarga yang
6 D. Manfaat Penelitian
a. Kegunaan Teoritis :
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah
keilmuan serta mampu memberikan pemahaman hal yang baru pada
anggota keluarga mengenai konsep nafkah kelurga serta
problem-problem dalam pemenuhan nafkah keluarga menurut hukum Islam.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refrensi bagi
peneliti-peneliti selanjutnya khususnya tentang problematika nafkah
keluarga menurut hukum Islam.
b. Kegunaan Praktis :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tersendiri
khususnya bagi keluarga di Desa Kertanegara Kabupaten
Purbalingga.
b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kajian
keilmuan bagi akademisi, khususnya bagi mahasiswa Institut Agama
7 E. Tinjauan Pustaka
Topik penelitian nafkah keluarga dalam suatu masyarakat sudah
banyak baik dalam bentuk Tesis, Skripsi maupun yang telah dipublikasikan
dalam bentuk jurnal ilmiah, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, terdapat di dalam Tesisnya Darmawati (2014) berjudul
“Nafkah Dalam Rumah Tangga Persektif Hukum Islam (Studi Kasus di
Kelurahan Gunung Sari Makasar)”. Fokus penelitian ini pada pemenuhan nafkah keluarga dengan hasil bahwa nafkah dalam rumah tangga perspektif
hukum islam di kelurahan Gunung Sari Makasar sesuai dengan konsep hukum
Islam, dimana suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai kepala rumah
tangga yang memunyai tugas masing-masing. Tidak ada larangan bagi istri
ikut mencari nafkah diluar selama izin dari suami dan tidak keluar dari
koridor Islam. Namun terdapat dua dampak jika dilihat dari sisi positif dan
negatif istri ikut mencari nafkah, pertama sisi negatifnya seorang istri akan
lebih sedikit mempunyai waktu mengurus tugas rumah tangga, sisi positifnya
seorang istri akan membantu perekonomian keluarga serta istri tidak
terkekang dengan masalah bahwa tugas wanita hanyalah kasur, sumur, dan
dapur.
Kedua, terdapat di dalam Skripsinya Nasekhuddin (2014) berjudul
“Keikutsertaan Istri Dalam Pemberian Nafkah Rumah Tangga Menurut Hukum Islam”. Penelitian ini terfokus pada pandangan hukum Islam terhadap
keikutsertaan istri dalam memenuhi nafkah keluarga. Hasil dari penelitian
8
merupakan hal yang istimewa, tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak
kecil. Walaupun kewajiban mencari nafkah untuk anak dan istri dibebankan
pada suami, tetapi hendaknya istri membantu memenuhi kebutuhan tersebut,
kemudian nafkah yang diberikan istri kepada suami dihitung hutang suami
kepada istri dan ketika suami telah mempunyai uang sebagai pengganti maka
wajib untuk menggantinya kecuali istri ridla.
Ketiga, terdapat di dalam Skripsinya Hasan As’ari (2012) berjudul
“Pelaksanaan Nafkah Keluarga Oleh Istri Ditinjau Menurut Hukum Islam”.
Penelitian ini fokus pada pandangan hukum islam terhadap pemenuhan
nafkah keluarga yang dilakukan oleh istri. Dari peneltian tersebut dihasilkan
bahwa kewajiban menafkahi adalah suami. Dalam hal mencari nafkah istri
hanyalah membantu meringankan kebutuhan rumah tangga. Adapun dampak
yang terjadi dalam keluarga yaitu kurang dihargainya sebagai kepala rumah
tangga .
Keempat, terdapat di dalam Skripsinya Okta Vinna Abri Yanti (2017)
berjudul “Hak Nafkah Istri Dan Anak Yang Dilalaikan Suami Dalam
Perspektif Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Desa Purwodadi 13A
Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah)”. Penelitian ini fokus pada faktor-faktor penyebab suami melalaikan nafkah istri dan anak serta
bagaimana tinjauan dalam kompilasi hukum Islam. Dari penelitian tersebut
dihasilkan bahwa penyebab suami tidak memberi nafkah karena faktor
keluarga, istri tidak menghargai kerja keras suami, istri selalu mengeluh tidak
9
kurang dalam hal ibadah keagamaan. Selanjutnya tinjauan dalam kompilasi
hukum Islam mengenai kelalaian suami dalam memberi nafkah dijelaskan
dalam pasal 80.
Selanjutnya yang terakhir terdapat di dalam Jurnah Ilmiahnya,
Syamsul Bahri berjudul “Konsep Nafkah Dalam Hukum Islam”. Kesimpulan
dari kajiannya adalah pemberian nafkah merupakan kewajiban yang tidak
boleh dilanggar dan harus dipenuhi oleh suami bagi istrinya dan orang tua
terhadap anaknya. Kewajiban nafkah ini diatur dalam surat al Baqarah ayat
233 dan juga al Hadits. Adapun pemenuhan nafkah yang menjadi belanja
tersebut adalah berupa kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal,
pendidikan, dan lainnya. Menyangkut kadar ataupun ukuran pemberian
nafkah tidak dibatasi, hal tersebut dilihat dari kemampuan si pemberi nafkah.
Dilihat dari beberapa penelitian terdahulu terdapat kesamaan antara
penelitian yang dilakukan oleh Darmawati, Nasekhuddin, Hasan As’ari, Okta Vinna Abri Yanti dan Syamsul Bahri yaitu fokus penelitian mengenai nafkah
keluarga, dan mengenai perbedaan yang akan peneliti tindak lanjuti yaitu
seputar Problematika Nafkah yang menjadi sebab perceraian Persepktif
Hukum Islam dikalangan masyarakat Desa Kertanegara Kabupaten
Purbalingga.
Dalam penelitian ini, penulis lebih memfokuskan pada problematika
nafkah keluarga dikalangan masyarakat Desa Kertanegara Kabupaten
Purbalingga. Pemfokusan ini meliputi peran suami sebagai kepala keluarga
10
menyikapi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat adanya nafkah
keluarga menurut hukum Islam, dan bagaimana upaya yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga dalam mempertahankan keutuhan
rumah tangga yang mengalami problem nafkah yang samai pada jenjang
perceraian.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini disusun mengunakan pendekatan yuridis normatif,
yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Selanjutnya, Jenis
penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif yang secara umum
bersifat deskriptif. Dimaksudkan dari deskriptif ini untuk mendapatkan
gambaran baik, jelas serta dapat memberikan data secara cermat tentang
obyek yang diteliti. Dimaksudkan untuk memperoleh semua hal yang
berkaitan dengan problem-problem nafkah keluarga masyarakat Desa
Kertanegara Kabupaten Purbalingga.
2. Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi penellitian ini adalah Desa Kertanegara Kabupaten
Purbalingga dengan subjek penelitiannya yaitu keluarga yang mengalami
problem mengenai pemenuhan nafkah keluarga, dan bertempat tingga di
Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga. kemudian penulis dalam hal
11 3. Sumber Data
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber
primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut
(Amirin, 1990 :132). Macam-macam data primer antara lain:
1) Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasinya tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian.
Jadi seorang informan harus mempunyai banyak pengalaman
tentang latar belakang penelitian. Seorang informan berkewajiban
secara suka rela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya
bersifat informal. Sebagai anggota tim dengan kebaikannya dan
dengan kesukarelaannya ia dapat memberikan pandangan dari segi
orang dalam, tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan
kebudayaan yang menjadi latar penelitian setempat
(Moeloeng,2002 :90). Yang menjadi informan dalam penelitian
ini adalah keluarga yang menghadapi problem nafkah yang
menyebabkan perceraian, yaitu keluarga yang tinggal di Desa
Ketanegara Kabupaten Purbalingga.
2) Dokumen
Dokumen adalah bahan tertulis ataupun film (Moeloeng,2002
:161). Sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah
12
(Moeloeng,2002 :113). Dalam penelitian ini setiap bahan tertulis
berupa data-data yang ada dalam keluarga Desa Kertanegara
Kabupaten Purbalingga.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang
bukan asli memuat informasi atau data tersebut (Amirin, 2002 :132).
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif
adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan
sebagai instrument. Format yang disusun berisi item-item tentang
kejadian dan tingkah laku yang digambarkan akan terjadi (Arikunto,
2006: 229).
Observasi adalah jalan dimana peneliti melakukan pengamatan
terhadap subjek penelitiannya. Metode ini penulis gunakan sebagai
langkah awal untuk mengetahui kondisi objek penelitian. Objek dari
penelitian ini yaitu keluarga Desa Kertanegara Kabupaten
Purbalingga dengan mengamati kegiatan para anggota keluarga di
desa tersebut.
Penulis melakukan observasi secara langsung di lapangan yaitu di
Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga, teknisnya penulis secara
langsung mendatangi pihak yang bersangkutan dan bertanya jawab
13
dilakukan oleh pihak keluarga sebagai tanggapan terhadap problem
yang ada, serta menanyakan bagaimana upaya yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga sebagai respon problem
yang mereka hadapi ketika melakukan proses ersidangan perceraian.
b. Wawancara
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998: 145).
Dalam hal ini penulis melakukan dialog dengan anggota keluarga
Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga untuk mendapatkan
informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan rumusan masalah.
Adapun beberapa keluarga yang menjadi objek wawancara yaitu
pertama keluarga Bapak Teguh Wahyono dan Ibu Sanginah, keduan
adalah keluarga Bapak Yusrin dan Ibu Nur Herlina, selanjutnya
pasangan Bapak Tugiman dan Ibu Rubinah, dan yang terakhir
keluarga Bapak Sugeng dan Ibu Daryati.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Dalam penelitian ini dokumentasi yang dimaksud adalah
14
aktivitas keluarga Desa Kertanegara Kabupaten Purbalingga yang
diperoleh dati web, vidio, koran, dan dokumentasi pribadi.
Dokumentasi yang penulis gunakan dalam penyusunan penelitian
ini adalah salinan putusan perceraian oleh pihak Pengadilan Agama
Kabupaten Purbalingga, foto kopi Akta cerai, dan foto Kartu Tanda
Pengenal milik keluarga yang menjadi objek penelitian.
5. Analisa Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis seperlunya
agar diperoleh data yang matang dan akurat (Moeloeng, 2011: 288).
Dalam penganalisaan data tersebut penulis menggunakan analisa
kualitatif yaitu analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian
disajikan dalam bentuk uraian, yakni setelah penulis berhasil
mengumpulkan data-data objek penelitian yang diperlukan, kemudian
penulis menganalisis data-data tersebut yang selanjutnya disajikan dalam
bentuk uraian.
6. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian,
karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa fakta. Fakta-fakta
ini nanti digunakan penulis sebagai bahan pembahasan. Dalam hal ini
penulis menggunakan metode triangulasi, yaitu pendekatan multimetode
yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan data. Ide dasarnya
15
sehingga diperoleh kebenaran data tingkat tinggi jika didekati dari
berbagai sudut pandang.
Penerapan yang penulis lakukan dilapangan yaitu dengan cara
menggali berita dari pihak keluarga yang bersangkutan, baik suami istri
maupun bapak dan ibu dari suami istri tersebut, “dengan catatan masih ada”. Selain itu penulis juga mengambil sumber dari tetangga sekitar subjek penelitian dan selanjutnya kemudian penulis menanyakan
langsung kepada Ketua RT sekitar, dimaksudkan untuk memperoleh
kebenaran mengenai hal tersebut.
G. Sistematika Penulisan Penelitian
Untuk memberikan kejelasan dan penelitian yang sistematis skripsi
ini dibagi menjadi bab dan sub bab. Sistematikanya dalah sebagai
berikut:
BAB pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
Selanjutnya pada BAB kedua berisi Kajian Teori. Dalam bab ini
diuraikan tentang penjelasan mengenai hak dan kewajiban suami istri,
konsep nafkah keluarga serta gambaran permasalahan yang sering terjadi
dalam keluarga seputar pemenuhan nafkah keluarga.
Selanjutnya pada BAB ketiga diuraikan mengenai Hasil Penelitian.
16
Purbalingga, gambaran umum subjek penelitian, dan hasil wawancara
dengan subjek penelitian.
Selanjutnya pada BAB keempat membahas Analisis Hasil Penelitian.
Dalam bab ini diuraikan analisis hasil penelitian ditinjau dari hukum Islam.
Yang terakhir pada BAB kelima yaitu Penutup. Bab ini berisi
mengenai kesimpulan dan saran - saran yang diperoleh dari hasil penelitian
17 BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG NAFKAH KELUARGA
A. Hak dan Kewajiban Suami Menurut Hukum Islam
Sebagai salah satu akad atau transaksi, perkawinan tentunya
mempunyai konskuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah suami dan istri. Hak dan kewajiban harus
dilandasi oleh beberapa prinsip antara lain kesamaan, keseimbangan, dan
keadilan antara keduanya (Nasekhuddin.2004: 16). Sebagaimana Firman
Allah:
“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya,
menurut cara yang ma‟ruf”. (Q.S.Al-Baqarah: 228)
Keseimbangan ini juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal
31 ayat 1, hal yang sama juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
79 ayat 2 yaitu:
“Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat”.
Dari dua aturan diatas, mendahulukan menyebut hak atas kewajiban,
hal ini merupakan penegasan terhadap hak sekaligus pentingnya
memperhatikan atas hak tersebut. Hak dan kewajiban seorang suami adalah
18 1. Hak-hak suami
Muhammad Azzam (2009: 221) dalam bukunya Fikih Munakahat
menjelaskan hak seorang suami yang harus didapatkan dari seorang istri
adalah:
a. Mematuhi suami
Daiantara hak suami atas istrinya adalah ditaati selama tidak
mengarah pada perilaku maksiat (Azzam.2009: 221). Sebagaimana
sabda Nabi:
قلالخا ةيصعم فى قولخلم ةعاطلا
“Tidak ada kepatuhan terhadap makhluk yang maksiat kepada pencipta”. (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah SAW menganjurkan agar para istri patuh terhadap
suami, karena hal tersebut dapat membawa maslahat dan kebaikan.
Rasulullah menjadikan ridla suami sebagai penyebab masuk surga.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“wanita manapun yang wafat dan suaminya ridla atasnya maka ia
masuk surga.(HR. Turmudzi)
Hak suami merupakan kewajiban seorang istri dan hak suami
yang dipatuhi termasuk dalam kebaktian istri kepadanya, hal ini juga
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 83 yang berbunyi:
“Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin
kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam”.
Kepatuhan ini juga termasuk seorang istri tidak mendurhakai
19
“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ketempat tidurnya, tetapi ia
tidak mau datang, suami semalaman murka atasnya, maka malaikat
melaknat kepadanya sampai pagi”. (HR. Muttafaq Alaih)
Sesungguhnya Islam telah memberikan berbagai macam hak
kepada seorang suami atas istrinya berupa kepatuhan seorang istri
pada suaminya, bekerja keras untuk melaksanakan segala perintah
suaminya selama tidak perintah untuk maksiat. Dan hendaknya
seorang istri menjaga kehormatan suaminya atas jiwanya sendiri dan
harta benda suaminya. Seorang istri juga tidak melakukan perbuatan
dosa yang bisa membuat hati suaminya tidak enak (Hamid.2004:
303).
b. Memelihara kehormatan dan harta suami
Hak suami agar istri tidak menerima masuknya seseorang
tanpa izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga
tetap terpelihara. Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang
datang itu bukan mahram istri, apabila orang yang datang adalah
mahramnya seperti ayah, saudara, paman, dan sebagainya dibenarkan
menerima kedatangan mereka tanpa izin suami (Basyir.1996: 59).
Rasulullah memuji seorang istri yang menjaga kehormatan dan
harta suami dikala suami tidak dirumah, serta menjanjikan kebaikan
yang banyak bagi istri, menjadikan perhiasan dunia yang paling baik
dan sebagai sebab kebahagiaan dan ketenangan (Hamid.2010: 99).
Selain menjaga kehormatan suami, seorang istri juga
20
pengeluarannya selama masih dalam batas ketaatan kepada suaminya.
Istri tidak diperkenankan membelanjakan sesuatu atau memberi
seseorang dari harta suaminya kecuali dengan izin suaminya dan
yakin bahwa ia rela untuk urusan itu (Al-Shabbagh.1994: 51).
Sebagaimana sabda Nabi:
“Wanita tidak boleh membelanjakan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya”.
c. Berhias untuk suami
Hak lain yang didapat seorang suami dari istrinya adalah
berdandan karena suami dengan berbagai perhiasan yang menarik.
Seperti perhiasan yang terlihat semakin indah akan membuat suami
senang dan merasa cukup, tidak perlu melakukan hal yang haram
(Azzam.2009: 306).
Mempercantik diri dengan cara berdandan dan memakai
wangi-wangian merupakan bagian yang dapat membuat suami
berlapang dada dan membahagiakan pandangan. Ketika istrinya
dengan dandanan yang memukau, memakai pakaian yang indah
dipandang mata, memakai wangi-wangian, merias wajah sehingga
terlihat cantik maka suami akan merasa senang dan bahagia serta
menyebabkan ketenangan ketika memandangnya.
Selain itu, untuk mewujudkan kebahagiaan dalam kehidupan
suami istri, Islam mengajarkan seorang istri muslimah agar berhias
mempercantik diri untuk suaminya. Hal itu merupakan bagian dari
21 d. Menjadi partner suami
Allah telah mewajibkan seorang suami bertempat tinggal
bersama istri secara syar‟i di tempat yang layak bagi sesamanya dan
sesuai dengan kondisi ekonomi suami, dan istri wajib menyertainya di
tempat tinggal tersebut. Istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali
dengan izin suaminya, kecuali jika ia keluar untuk berziarah atau
menjenguk kedua orang tua yang sakit, atau keluarga lainnya ketika
ia merasa aman dan tidak menimbulkan fitnah karena hal tersebut
termasuk silaturahim dan menjaga hubungan silatirahim itu wajib,
suami tidak boleh mencegah kewajiban tersebut. Tetapi alangkah
baiknya jika hal tersebut dengan ridha suami (Azzam. 2009: 229).
Sebagaimana Firman Allah yang artinya:
“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka” (Q.S. Ath-Thalaq: 6)
Pada intinya seorang istri harus menjadi pendamping (partner)
seorang suami dengan baik, tidak memberatkan suami dan tidak
menyusahkannya. Ridha seorang suami merupakan hal utama yang
harus dituju oleh seorang istri, keridhaan suami terhadap tingkah laku
seorang istri merupakan ladang pahala baginya.
2. Kewajiban-kewajiban Suami
Selanjutnya kewajiban suami yang harus diperoleh seorang
22
a. Membimbing, melindungi dan memberikan pendidikan agama pada
istri
Hal ini dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80
Ayat 1-3 yang berbunyi:
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
Hal serupa juga terdapat dalam Undang-undang no. 7 tahun
1974 tentang Perkawinan, tepatnya pasal 34 Ayat 1 yang berbunyi:
“Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.
Dengan sebuah pernikahan akan menyempurnakan separuh
pengalaman agama bagi istri juga suami. hidup dalam pernikahan
suami berkewajiban membimbing istrinya untuk mengamalkan
agamanya (Halim.2000: 116).
Dengan demikian suami wajib mengajarkan agama terhadap
istrinya, baik itu tentang ibadah wajib maupun tentang pengetahuan
agama yang jika dilihat akan bermanfaat bagi kehidupan sang istri
dan akan membantu terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis,
23 b. Mencukupi kebutuhan istri
Mencukupi kebutuhan istri dapat dikatakan sebagai pemberian
nafkah yang disinggung dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80
Ayat 4-7 sebagai syarat yang mengikuti kewajiban tersebut, yang
berbunyi:
(4) sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.
(5) kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada Ayat (4) huruf a dan b atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7) kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur
apabila istri nusyuz.
Yang termasuk juga kewajiban dalam mencukupi kebutuhan
istri adalah kewajiban suami untuk menyediakan tempat kediaman,
Kompilasi Hukum Islam mengaturnya tersendiri dalam pasal 81
sebagai berikut:
a. suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah. b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
c. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram, tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
24
Firman Allah tentang pemberian tempat tinggal terdapat dalam
Q.S.At-Thalaq ayat 6 yang artinya:
“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin untuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusahkan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya. Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan
lain yang akan menyusukannya”.
c. Memuaskan istri
Kewajiban suami selanjutnya adalah memuaskan istri dengan
hubungan seksual. Pendapat ibnu Qudamah yang dikutip dalam fiqh
munakahat berbunyi: “berhubungan seks wajib bagi suami jika tidak
ada udzur”. Alasannya nikah disyari’atkan untuk kemaslahatan suami
istri dan menolak bencana bagi mereka. Suami melakukan hubungan
untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana juga untuk
menolak gejolak syahwat suami. Alasan tersebut menjadi suatu
keharusan dan nikah adalah solusi mereka bersama (Azzam.2009:
219).
Senada dengan pendapat madzhab maliki yang juga
mengatakan bahwa suami wajib menggauli istri selama tidak ada
halangan. Berbeda dengan madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa kewajiban suami menyetubuhi istrinya hanya sekali selama mereka
masih menjadi suami istri. Lain dengan madzhab Hambali yang
menyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya paling tidak sekali
25
B. Hak dan Kewajiban Istri Menurut Hukum Islam
1. Hak-hak Istri
Diantara hak-hak istri yang wajib diberikan oleh seorang suami
antara lain:
a. Mahar
Mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada
calon istri, baik berupa uang maupun barang. Membayar mahar
hukumnya wajib, namun tidak termasuk rukun nikah. Karena itu bila
mahar tidak disebutkan dalam pelaksanaan akad nikah, maka
pernikahannya tetap sah (Azzam.2009: 219).
Dalam Al-Qur’an, mahar dibahas pada surat An-Nisa ayat 4 yang artinya:
“berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita yang kalian nikahi
sebagaimana pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkannya kepada kalian sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan
yang sedap lagi baik akibatnya”.
Dari ayat diatas menandakan bahwa mas kawin (mahar) sangat
penting untuk diperhatikan, sehingga hukum Islam sendiri
mewajibkan adanya mas kawin sebagai syarat kehalalan satu sama
lain. Namun, mahar bukan berarti sebagai tebusan untuk perempuan
yang akan kita nikah. Sebab dalam Al-Qur’an pun tidak mengatur adanya kadar atau batasan mahar tersebut, ia bisa besar dan bisa kecil.
Rasulullah SAW bersabda:
“sebaik-baik maskawin itu adalah yang termurah (gampang”. (hadits
26
Mas kawin merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh
suami kepada istrinya dan murni mejadi milik istri serta tidak ada
campur tangan dari orang lain dalam kepemilikannya. Maskawin juga
bisa digunakan untuk memenuhi tuntutan hidup dimasa depan
(Hamid.2004: 263)
b. Nafkah
Secara harfiah, nafkah adalah pengeluaran atau suatu yang
dikeluarkan oleh seorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan
yang baik(Muhamad.2001: 110). Sebagaimana Firman Allah yang
artinya:
“...dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang maruf...”. (Q.S.Al-Baqarah: 233)
Nafkah merupakan hak berupa kebendaan yang meliputi
makanan, lauk-pauk, alat-alat (sarana) untuk memebersihkan anggota
tubuh, pakaian, perabot rumah, tempat tinggal, dan pembantu (jika
diperlukan). Semua ini sebenarnya mencerminkan hal-hal yang
menjadi kebutuhan dasar manusia. Segala keperluan dasar ini
merupakan kewajiban suami yang wajib diberikan kepada istri
sebagai haknya menurut cara-cara yang baik.
Amir Syarifudin (2006: 160) berpendapat, Adapaun hak-hak
seorang istri yang didapat dari suaminya yang bukan harta benda
27
1) Mendapat pergaulan secara baik dan patut.
Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S.An-Nisa ayat 19
yang artinya:
“...pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik kamu tidak
menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S An-Nisa: 19)
Pergaulan yang baik dan patut meliputi menghormatinya,
bergaul dengan baik memperlakukan dengan wajar,
mendahulukan kepentingan yang memang patut didahulukan
untuk melunakan hatinya, lebih-lebih bersikap menahan diri dari
sikap yang kurang menyenangkan dari padanya atau bersabar
untuk menghadapinya (Sabiq.1981: 80).
Diantar cara menghormati perempuan adalah dengan
bersikap lemah lembut dan bersikap sabar. Cara lain sebagai
wujud menghormati seorang istri adalah dengan cara mengangkat
martabatnya setaraf dengan dirinya, tidak menyakiti hatinya
sekalipun dengan kata-kata olokan. Yang terpenting perempuan
itu tidaklah sempurna dan hendaklah seorang laki-laki itu
menerima dia dengan segala kenyataannya (sabiq.1981:
102-103).
2) Didatangi dengan cara Mu‟asyarah bi al-ma‟ruf.
Sebagaimana kewajiban suami yang dibahas diatas,
mendatangi berarti menggauli istri. Kebutuhan seksual seorang
28
Relasi seksual ini harus dengan cara Mu’asyarah bi al-ma’ruf yaitu diantara keduanya harus saling memberi dan menerima,
saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak
saling memperlihatkan kebencian, dan masing-masing tidak
saling mengabaikan hak atau kewajiban (Muhamad.2001: 112).
Dalam pelaksanaanya hubungan seksual harus dilakukan
secara wajar dan tidak bersikap memaksa, melalui jalan yang
wajar dan sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam dan tidak
mengikuti gaya berhubungan intim yang aneh seperti anal atau
oral sek yang secara aturan tidak diperbolehkan (muhamad.2001:
113).
3) Pembatasan kelahiran
Dalam islam disebutkan menyukai banyak anak karena ini
sebagai tanda dari adanya kekuatan daya pertahanan terhadap
umat-umat dan bangsa lain. Sebagaimana dikatakan bahwa
kebesaran adalah terletak pada keturunan yang banyak, karena itu
Islam mensyariatkan perkawinan (Sabiq.1981: 121).
Dalam Islam memang tidak membatasi kelahiran, baik itu
dengan Azl atau dengan cara kontrasepsi. Namun jika orang tua
tidak mampu membiayai anak yang jumlahnya banyak maka
lebih baik memiliki anak sedikit namun terjamin kehidupanya.
Karena anak yang lebih membahagiakan orang tua adalah bukan
29
akan lebih membahagiakan orang tua sekaligus mempunyai nilai
lebih terhadap rasa puas sebagai orang tua (sabiq.1981: 122).
2. Kewajiban-kewajiban istri
Islam mengangkat nilai perempuan sebagai istri dan menjadikan
pelaksanaan hak-hak istri sebagai jihad dijalan Alah SWT. Sebagai timbal
balik dari pelaksanaan hak-hak yang wajib dipenuhi seorang suami
terhadap istrinya, Islam mewajibkan kepada istri untuk melayani
kebutuhan suaminya secara lahir maupun batin, manjaga nama baik dan
kehormatan suami serta harta bendanya, mengabdi dengan taat kepada
ajaran agama dan kepemimpinan suami sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Kewajiban-kewajiban ini tidak banyak dan tidak
bersifat mendzalimi istri, jika dibandingkan dengan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh suaminya (Jamaluddin.2016: 77).
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai kewajiban
seorang istri terhadap suaminya, tepatnya pada pasal 83 yang berbunyi:
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam. 2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Selain dalam Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang
perkawinan Indonesia juga menjelaskan dalam pasal 34 ayat 2 yang
berbunyi:
“istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.
Pasal tambahan tentang kewajiban isti diatas adalah pasal 79 ayat 1 yang
30
“suami adalah kepala rumah tangga keluarga dan istri ibu rumah tangga”.
Berdasarkan peraturan diatas bahwa istri sebagai penata rumah
tangga yang dihuninya beserta isi dan perabotnya. Sehubungan dengan itu
maka seorang istri hendaknya pandai-pandai menata rumah, juga
membersihkan rumah supaya suasana rumah menjadi selalu nyaman
untuk suami dan keluarga. kemudian, berbagai kewajiban seorang istri
juga telah disinggung dalam hak seorang suami terhadap istrinya, karena
pada dasarnya hak dan kewajiban merupakan unsur yang bersifat timbal
balik.
C. Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri
1. Hak bersama antara suami dan istri meliputi:
a. Kehalalan bersenang-senang (Bersetubuh)
Masing-masing suami istri berhak bersenang-senang dengan
pasangannya karena memenuhi dorongan fitrah dan mencari
keturunan. Hak ini berserikat antara suami istri, tidak tergambarkan
secara akal jika bersenang-senang tersebut hanya terjadi dari salah
satu dari mereka bukan yang lain. Haram salah satu dari mereka yang
mengharamkan pasangannya melakukan hak ini (Azzam.2009: 231).
Ulama madzhab hanafi berpendapat, istri boleh menuntut
suami untuk melakukan persetubuhan, karena kehalalan suami bagi
istri merupakan hak istri, begitu pula sebaliknya. Jika istri menuntut
31
berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalam kewajiban suami
terhadap istri jika tidak ada uzur( Nasekhuddin. 2014: 30).
b. Haram melakukan perkawinan
Sebab akad yang sah mengakibatkan haramnya perkawinan
antara istri yang haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya,
anaknya dan cucu-cucunya, begitu pula ibu istrinya, anak
perempuannya, dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya
(Azzam.2009: 240).
c. Saling mewarisi
Sebab akad yang sah mengakibatkan hak saling mewarisi
antara suami istri. Jika suami meninggal istri dapat mewarisi dan jika
istri meninggal suamipun dapat mewarisinya sebagaimana dijelaskan
dalam ilmu faraidh (Azzam.2009: 240).
d. Sahnya menasabkan anak kepada suami
Kapan akad sah, maka ditetapkan hak masing-masing mereka
dalam melahirkan keturunan, membesarkan anak-anak, dan
menisbatkan keturunan kepada mereka (Azzam.2009: 241). Imam
Al-Ghazali berpendapat, keturunan haknya bapak saja, baginya
mempunyai hal melarang jika mau, tanpa seizin istri. Pera ulama
menganggap lemah pendapat tersebut, dibuktikan dengan sabda
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami dari Said Al-Khudri
yang artinya:
“barangsiapa yang meninggalkan menikah karena takut banyak
32
Segolongan fuqaha’, diantaranya Ibnu Hibban dan Ibnu Hazm
berpendapat, haramnya mencegah kelahiran anak, mereka
memenangkan hak umat pada anak daripada hak kedua orangtua.
Mereka berpendapat, “Azel itu memutuskan keturunan yang dituntut
pernikahan secara syara” (Azzam.2009: 242).
2. Kewajiban bersama antara suami istri
Kewajiban bersama suami istri dalam berbagai sumber Islam bisa
dijabarkan sebagai berikut:
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 77 dan pasal 78,
berikut bunyi pasal 77:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agama.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam pasal 78 berbunyi:
a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
b. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami istri bersama.
Dalam Undang-undang perkawinan tahun 1974, tepatnya pada pasal 33
yang berbunyi:
“suami istri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati, setia, dan
33
Dari dua peraturan diatas dapat ditasik kesimpulan bahwa kewajiban
bersama antara suami istri adalah saling menyayangi, saling menghormati,
saling memberi, setia, dan mengasuh serta merawat anak-anak dengan
sebaik-baiknya.
D. Konsep Nafkah Keluarga Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Nafkah
Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa arab yakni dari suku
kata anfaqa-yunfiqu-infaqan. Dalam kamus arab indonesia, secara
etimologi kata nafkah diartikan sebagai “hak menafkahkan dan atau
membelanjakan (Yunus.1989 : 463).
Secara harfiah, nafkah adalah pengeluaran atau suatu yang
dikeluarkan oleh seorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan
yang baik(Muhamad.2001: 110).
Sayyid Sabiq (1981: 421) mendefinisikan nafkah adalah semua
kebutuhan dari keperluan yang berlaku menurut keaadaan dan tempat,
seperti makanan, pakaian, rumah dan sebagainya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa nafkah
merupakan semua kebutuhan yang wajib diberikan kepada seseorang
yang menjadi tanggung jawabnya meliputi semua keperluan hidup seperti
makanan, pakaian, rumah dan sebagainya dengan tujuan untuk memenuhi
34 2. Sebab-sebab diwajibkannya nafkah.
Kewajiban nafkah dipengaruhi oleh tiga sebab antara lain:
a. Zaujiyyah
Suami diwajibkan memberi nafkah dikarenakan adanya
perkawinan yang sah, pemberian ini diberikan kepada istri yang
taat (tidak nusyuz), baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal
maupun perkakas rumah tangga dan kebutuhan lainnya sesuai
dengan masing-masing lingkungan dan kekuatan suami
(Rasjid.:399). Sebagaiman firman Allah yang artimya:
“... dan mereka (istri) memiliki hak (nafkah) yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang patut....” (QS. Al
-Baqarah: 228).
Ayat diatas merupakan penjelasan nafkah bagi seorang
dikarenkan keta’atannya. Seorang istri yang tidak taat tidak
berhak atas nefkahnya dari seorang suami (rasjid.: 400).
b. Qarabah
Qorobah adalah hubungan kekerabatan, dalam hal ini para
fuqaha berbeda pendapat. Kalangan Malikiyah menilai qarabah
yang wajib nafkah hanya pada hubungan orangtua dan anak
(walid wal walad). Kalangan syafi’iyah menilai qarabah dalam hubungan orangtua dan anak, dan hubungan cucu dan kakek
(ushul dan furu‟). Hanafiyah menilai qarabah dalam konteks
mahramiyah, tidak terbatas ushul dan furu‟, sehingga meliputi
35
kalangan madzhab hambali memahami qarabah dalam konteks
hubungan waris fardh dan ashabah, meliputi ushul, furu‟,
hawasyiy, dan dzawil arham yang berada pada jalur nasab
(Erfani.:6).
Syarat wajibnya belanja atas bapak atau ibu kepada
anaknya apabila si anak masih kecil dan miskin, atau besar dan
miskin namun tidak kuat berusaha. Kewajiban ini juga berlaku
untuk anak ketika kedua orang tuanya tidak lagi kuat berusaha
dan tidak mempunyai harta (Rasjid.: 399).
Merujuk pendapat pemberian nafkah anak kepada
orangtua menurut madzhab hanafi dan syafi’i bahwa ketidak
mampuan bekerja tidak merupakan syarat kewajiban memberi
nafkah kepada para ayah dan para kakek. Para anak tetap wajib
memberikan nafkah kepada mereka. Sedangkan orang-orang
selain ayah dan kakek yang sanggup bekerja, tidak ada kewajiban
memberi nafkah kepada mereka (mughniyah.: 433).
Luasnya cakupan qarabah sebagai objek nafkah harus
dipahami dalam konteks yang relatif, yaitu menghendaki syarat
kesanggupan pihak yang berkewajiban nafkah. Sehingga ketidak
terpenuhan syarat itu akan menyebabkan tidak adanya tanggup
jawab nafkah dan tidak menimbulkan konskuensi hukum lainya
36 c. Milk
Sebab kepemilikan atas sesuatu, dalam hal ini pemilik
budak. Dalam konteks kekinian, sebab milik ini dapat dipahami
dalam konteks yang luas, yaitu hubungan kepemilikan seseorang
terhadap sesuatu yang hidup, termasuk jasa pembantu,
memelihara hewan, tumbuhan dan lain-lain (Erfani.: 6).
Inti dari sebab-sebab nafkah diatas adalah kesamaan yang
mendasar, yaitu posisi laki-laki sebagai penanggung jawab
nafkah. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya:
“...dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma‟ruf...”. (QS.Al-Baqarah: 233)
Kemudian kewajiban dari seorang suami dalam
memberikan nafkah yang terbaik untuk keluarganya, sejauh yang
dimiliki dan diusahakannya. Sebagaimana firman Allah yang
artinya:
“hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuanya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) resekinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah
kesempitan”. (QS.Ath-Thalaq: 7)
3. Bentuk-bentuk nafkah
Bentuk-bentuk nafkah ini telah dijelaskan dalam kewajiban
seorang suami dengan berbagai dasarnya baik berupa ayat al-Qur’an maupun Undang-undang. Para ulama fiqih menyimpulkan bahwa nafkah
lauk-37
pauk, pakaian, tempat tinggal, pembantu (jika diperlukan), alat-alat rumah
tangga dan kebutuhan rumah tangga lainnya (Muhammad. 2001: 123).
Sementara untuk alat-alat kecantikan bukan merupakan kewajiban
suami. Keculai sebatas menghilangkan bau badan istri. Hal ini selaras
dengan pendapat imam Nawawi dari madzhab Syafi’i yang menyatakan
bahwa suami tidak berkewajiban memberikan nafkah untuk biaya alat
kecantikan mata, kutek, minyak wangi dan alat-alat kecantikan lainnya
yang semuanya dimaksudkan untuk menambah gairah
seksual.(Muhamad.2001: 123).
Para ulama madzhab berpendapat bahwa biaya bersalin dan
pengobatan yang ringan, seperti malaria dan sakit mata termasuk ke
dalam nafkah. Akan tetapi pengobatan sejenis operasi yang membutuhkan
biaya besar harus dipisahkan atau dilihat dari keadaan materi suami
maupun istri (Mughniyah.1996: 424-425).
4. Kadar nafkah yang harus diberikan oleh suami
Perkiraan nafkah sesuai dengan kemampuan suami, sebagaimana
firman Allah yang artinya:
“hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan”. (QS.Ath-Thalaq: 7)
Seorang suami dalam menafkahkan hartanya selain tidak boleh
38
hartanya. Dalam menafkahkan harta harus berpegang teguh kepada
firman Allah yang artinya:
“dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelajaran itu) ditengah-tengah anatara yang demikian”. (QS.Al-Furqan: 67)
Dari ayat al-Qur’an diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tolak ukur pemberian nafkah sesuai dengan kemampuan suami. Seorang suami
dianjurkan menafkahi istinya sewajarnya, artinya tidak terlalu sedikit
maupun terlalu banyak, akan tetapi sesuai dengan kebutuhan rumah
tangganya.
5. Waktu wajib nafkah
Menurut Ibnu Hazm suami-suami berkewajiban menafkahi istrinya
sejak terjadinya akad nikah, baik suami yang mengajaknya hidup serumah
atau tidak, baik istri masih dalam buaian atau berbuat nusyuz, kaya atau
kafir, mempunyai orang tua atau sudah yatim, gadis atau janda, semua itu
disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami (Sabiq.1982:85).
Namun para ulama madzhab berpendapat bahwa istri yang melakukan
nusyuz tidak berhak atas nafkah (Mughniyah.1996: 402).
Pada masa iddah wanita cerai memiliki hak tempat tinggal ynag
menjadi kewajiban suaminya, selama dia menunggu iddah suaminya.
Seorang laki-laki tidak berhak mengusirnya dan mengeluarkannya kecuali
dia melakukan perbuatan keji yang nyata seperti zina dan nusyuz.
Sebagian ulama juga berpendapat bahwa istri berhak atas tempat tinggal
39
Menurut imam Malik mencukupi nafkah keluarga merupakan
kewajiban dari seorang suami setelah membayar mahar dan berlaku adil
kepada istri (berlaku bagi yang berpoligami). Kelau terjadi perpisahan
antara suami dan istri, baik karena cerai atau meninggal dunia maka harta
asli istri tetap menjadi milik istri dan harta asli milik suami tetap menjadi
milik suami, menurut madzhab Maliki waktu berlakunya pemberian
nafkah wajib apabila suami sudah mengumpuli istri.
Jadi, nafkah diberikan ketika sudah terjadi akad yang sah antara
suami dan istri. Madzhab Mailiki berpendapat wajib memberi nafkah
setelah mengumpuli istrinya, dan akan menjadi tidak wajib ketika seorang
istri cerai atau istri telah meninggal dunia.
E. Permasalahan Yang sering Terjadi Seputar Nafkah Keluarga
Menurut Ummu Sufyan (2007: 32) nafkah bagi istri termasuk
kewajiban pokok seorang suami. Hal ini berdasarkan hadits Hakim bin
Muawiyah al-Qusyairi, yang artinya:
“aku bertanya: ya Rasulullah, pakah hak istri atas setiap kami? Beliau
menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu mendapati makan, memberinya pakaian ketika kamu mendapat pakaian, jangan memukul mukanya, jangan menjelek-jelekan dan jangan meninggalkannya selain di
rumah”
Nafkah merupakan hal penting yang harus terpenuhi dalam kehidupan
rumah tangga, namun terkadang masalah nafkah ini menjadi sumber