BAB III OTONOMI DAERAH
3.1 Konsep Otonomi Daerah
Bila menelusuri kembali kekuatan pendorong perkembangan konsep desentralisasi, kita akan menemukan bahwa hal itu tidak pernah luput dari kritik selama perjalanan, bahkan menimbulkan perselisihan antara partai-partai pro dan oposisi. Perdebatan konseptual tersebut tidak hanya berdampak pada perkembangan konsep desentralisasi, tetapi juga menimbulkan beberapa kompleksitas dalam memahami konsep desentralisasi. "Sejak tahun 1970-an, tren ini menjadi semakin nyata, ketika studi tentang desentralisasi tidak lagi dimonopoli oleh ilmu politik dan disiplin ilmu administrasi, tetapi menarik perhatian disiplin ilmu lain. Mengutip beberapa contoh, ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi adalah disiplin ilmu yang telah berkontribusi pada studi desentralisasi dan otonomi daerah" (Conyer, 1984).
Sebagai konsekuensinya, konsep desentralisasi dan otonomi
daerah diekspresikan dalam “bahasa” yang berbeda sesuai dengan
disiplin ilmu pendukung. Namun secara umum, kompleksitas konsep desentralisasi dapat dibedakan menjadi dua (dua) sudut pandang utama, yaitu sudut pandang desentralisasi politik (sudut pandang desentralisasi politik) dan sudut pandang desentralisasi administratif (sudut pandang desentralisasi administratif). Perbedaan mendasar
antara kedua pandangan tersebut terletak pada definisi desentralisasi dan ekspresi tujuan. Sudut pandang desentralisasi politik mengartikan desentralisasi sebagai desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (desentralisasi). Misalnya, Parson (1961)
mendefinisikan desentralisasi sebagai “... sharing of the governmental
power by a central ruling group with other groups, each having authority
within a specific area of the state.”
Pada saat yang sama, menurut Parson, desentralisasi adalah “...
pembagian kekuasaan antara anggota kelompok penguasa yang sama
yang memiliki kekuasaan di berbagai wilayah negara.” Mengenai definisi
Parson tentang desentralisasi dan desentralisasi, itu juga didefinisikan
oleh Smith (1985). “... the transfer of power, from top level to lower
level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large organisation. Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Smith juga mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi utama desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur
pemerintahan”.
Di sisi lain, pengertian desentralisasi administratif menekankan pada pengertian desentralisasi, yaitu pengertian desentralisasi adalah desentralisasi kekuasaan administratif (administratif) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Misalnya, Rondinelli dan Cheema (1983: 18): Desentralisasi adalah ketika pemerintah pusat mengalihkan perencanaan, pengambilan keputusan atau kekuasaan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi di tempat, unit administrasi lokal, organisasi semi-otonom dan semi-resmi, pemerintah daerah atau organisasi non-pemerintah. kekuatan itu. Organisasi pemerintah. Dalam hal pendefinisian desentralisasi, perbedaan antara kedua pandangan tersebut tidak dapat dihindari dan berdampak pada perbedaan dalam menetapkan tujuan utama yang ingin dicapai.
Pandangan desentralisasi politik menekankan pada tujuan yang ingin dicapai dalam politik, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik penyelenggara pemerintahan dan masyarakat, serta memelihara integrasi nasional. Smith (1985) membedakan tujuan desentralisasi dari perspektif kepentingan nasional (pemerintah pusat) dan kepentingan pemerintah daerah dalam pernyataan yang lebih rinci. Kepentingan nasional, Smith menulis bahwa dari perspektif
kepenti-ngan pemerintah pusat, desentralisasi memiliki setidaknya tiga tujuan utama. Pertama, arti pendidikan politik adalah melalui praktek desentralisasi, masyarakat akan belajar mengenal dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik yang mereka hadapi. Menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon legislator yang tidak kompeten secara politik; dan belajar mengkritisi berbagai ke-bijakan pemerintah, termasuk masalah pendapatan dan belanja daerah (Maddick, 1963).
Dalam kaitannya dengan kepentingan pemerintah pusat, tujuan kedua dari desentralisasi adalah memberikan pelatihan kepemimpinan politik (untuk pelatihan kepemimpinan). Tujuan kedua desentralisasi bertentangan dengan asumsi dasar bahwa pemerintah daerah adalah platform yang paling sesuai untuk melatih para politisi dan birokrat sebelum mereka mengambil berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menginspirasi dan membina calon pemimpin di tingkat nasional.
Dari kepentingan pemerintah pusat, tujuan ketiga desentralisasi adalah menciptakan stabilitas politik (menciptakan stabilitas politik). Pendukung tujuan ketiga desentralisasi percaya bahwa melalui kebijakan desentralisasi, kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil akan tercapai (Smith, 1985). Selain itu,
Sharp (1981) mengatakan: “… Salah satu faktor penentu adalah
perwujudan demokrasi yang stabil di tingkat nasional, dalam banyak
hal adalah pembentukan demokrasi lokal.” Tujuan utama desentralisasi
adalah mencapai kesetaraan politik. Desentralisasi diharapkan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik di tingkat lokal.”
Smith (1985) menulis bahwa“masyarakat di wilayah tersebut dapat mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik dengan elegan, seperti menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, memperoleh kebebasan untuk menyatakan kepentingan dan ber-partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Bidang tersebut adalah akuntabilitas lokal. Melalui pelaksanaan desentralisasi di-harapkan kemampuan pemerintah daerah untuk memperhatikan hak-hak masyarakatnya, termasuk hak-hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan daerah, serta hak untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan daerah.“
Dari perspektif hubungan negara-masyarakat, jika kita memahami desentralisasi dari perspektif hubungan negara-masyarakat, kita akan mengetahui bahwa keberadaan desentralisasi yang sebenarnya adalah mendekatkan negara dengan masyarakat, sehingga dapat terjalin dinamika antara keduanya dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. Ostrom (1991) menegaskan bahwa melalui
desentralisasi seperti ini, ia berharap “... karakteristik pemerintahan
yang berlaku untuk penguasa rakyat daripada mengambil alih
pemerintahan.”
Selain menyikapi pro dan kontra dari dalil-dalil di atas, ada poin penting lain yang perlu ditekankan bahwa desentralisasi bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sebagai alat atau alat untuk menjaga kedaulatan rakyat (masyarakat). Sasaran akhir yang ingin dicapai adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dalam kerangka ideologi yang demikian, sulit untuk disangkal bahwa pandangan relasi negara-masyarakat cenderung tidak memisahkan konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi dari sistem politik dan / atau jenis rezim.
Desentralisasi dalam sistem demokrasi dan corak interaksi antara negara dan masyarakat Biasanya dapat dikatakan bahwa dalam sistem demokrasi corak interaksi antar masyarakat yang mapan sangat dinamis. Pada tahapan proses pengambilan keputusan (perumusan kebijakan) dan implementasi kebijakan terdapat interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Pada prinsipnya berbagai keputusan yang diambil oleh negara merupakan kombinasi antara kebutuhan sosial (sosial) dan kepentingan nasional. Tegasnya, meskipun negara memiliki
hak hukum untuk “memaksakan palu akhir” atas berbagai keputusan,
perannya dalam proses pengambilan keputusan lebih merupakan mediator kompleksitas dan perbedaan kepentingan rakyat.
Desentralisasi kekuasaan oleh pemerintahan yang demokratis tentu saja terkait dengan ciri model interaksi negara-masyarakat yang dijelaskan di atas. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, konseptualisasi dan pelaksanaan kebijakan desentralisasi didasarkan pada interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, kalaupun desentralisasi pada akhirnya harus dicapai, keberadaannya merupakan gabungan antara kepentingan negara dan masyarakat. Dalam hal ini hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
lebih didasarkan pada prinsip saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Selain itu, dalam konteks hubungan pusat-daerah,
pengertian “daerah” lebih mengacu pada entitas yang terdiri dari
pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pada tataran yang lebih mikro, dapat terjalin interaksi yang setara antara negara dan masyarakat, yaitu antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Di sisi lain, masyarakat (masyarakat) seringkali terpinggirkan atau diposisikan sebagai sasaran kebijakan desentralisasi. Padahal, dalam proses pengambilan keputusan daerah dan implementasi kebijakan tidak akan terjadi interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Penggerak yang lebih kuat dalam proses pengambilan keputusan adalah aliansi dan negosiasi kepentingan antar elit pemerintah daerah (aktor pemerintah daerah). Kalaupun kebijakan otonomi daerah harus dilaksanakan, sebagai akibat logis dari kebijakan desentralisasi
mempunyai ciri “otonomi daerah” bahkan “otonomi pejabat daerah”.
Modus desentralisasi dan interaksi negara-masyarakat pada masa transisi seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Dalam rezim otoriter, mode interaksi antara negara dan masyarakat cenderung satu arah. Negara memimpin proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, masyarakat berada pada posisi pasif dan perannya terpinggirkan.