• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersil dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah)

(4)

PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

Zaili Rusli

Adianto

Dadang Mashur

Penerbit Taman Karya Pekanbaru

2020

DALAM BINGKAI

(5)

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH

Penulis: Zaili Rusli Adianto Dadang Mashur Editor: Geovani Meiwanda Dedi Kusuma Habibie

Khairul Amri Sampul: Syam_Witra Layout: Arnain '99 Cetakan I: Oktober 2020 Penerbit TAMAN KARYA Anggota IKAPI

Puri Alam Permai C/12 Pekanbaru

E-mail: [email protected] Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku tanpa izin tertulis dari Penerbit

(6)

PRAKATA PENULIS

Problematika lingkungan hidup di Indonesia semakin menunjukan peningkatan. Secara sederhana hal ini mengindikasikan bahwa ke-bijakan lingkungan hidup belum berhasil mencapai sasarannya. Munculnya otonomi daerah diharapkan dapat mengurai masalah ini karena adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Karena kehadiran otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam perlindungan sumber daya alam. Hanya saja sampai sekarang ini belum nampak dampak nyata otonomi daerah terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan yang diidamkan pun sepertinya hanya tinggal jargon.

Buku ini mengupas aspek pembangunan berkelanjutan dalam kontek otonomi daerah. Pemikirannya berangkat dari tesis bahwa desentralisasi pengelolaan lingkungan hidup diharapkan dapat me-ningkatkan kualitas lingkungan. Satu strategi pengelolaan lingkunganhidup yang efektif di daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat. Ditambah lagi perlindungan lingkungan dan sumber daya alam melalui kebijakan desentralisasi ini instansi pemerintahan daerah berperan utama. Walaupun kenyataannya instansi-instansi tersebut dalam menyesuaikan diri untuk menjalankan kewenangannya dalam pengelolaan lingkungan hidup seringkali harus menghadapi tantangan berat.

(7)

Kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah referensi dalam upaya mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang sesuai dengan roh aslinya. Penulis berharap dengan membaca dan mempelajari buku ini, pembaca dapat memahami dinamika pembangunan berkelanjutan dalam bingkai otonomi daerah. Pada akhirnya diucapkan terima kasih kepada berbagai pihak atas bantuan-nya dalam penerbitan buku ini.

Pekanbaru, Oktober 2020

(8)

DAFTAR ISI

PRAKATA PENULIS ... 5

DAFTAR ISI ... 9

BAB I PENDAHULUAN ... 11

BAB II TEORI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 23 2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 23

2.2 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ... 28

BAB III OTONOMI DAERAH ... 32

3.1 Konsep Otonomi Daerah ... 32

3.2 Tujuan Otonomi Daerah ... 37

3.3 Prinsip Otonomi Daerah ... 41

3.4 Manfaat Otonomi Daerah ... 42

BAB IV PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI ... 47

4.1 Desentralisasi dan Pembangunan Berkelanjutan ... 48

4.2 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berwawasan Lingkungan ... 57 4.3 Pemekaran Daerah dan Eksploitasi Sumberdaya Alam 65 4.4 Strategi Pembangunan Daerah untuk Lingkungan Hijau 68

(9)

BAB V PENUTUP ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 81

(10)

Bab I

(11)
(12)

Bab I

PENDAHULUAN

Pembangunan dan lingkungan saling terkait, berhubungan, dan memiliki interaksi yang sangat erat. Pembangunan dan lingkungan seperti layaknya mata uang yang setiap sisinya mempunyai makna yang saling melengkapi bagi sisi yang lainnya. Pembangunan tanpa lingkungan merupakan bentuk pembangunan yang hanya memiliki manfaat jangka pendek. Berbeda ketika pelaksanaan pembangunan dengan mem-perhatikan lingkungan, dapat memberikan manfaat tidak hanya jangka pendek melainkan juga pada jangka panjang dan seterusnya.

Pada saat ini pembangunan secara terus menerus dilaksanakan pada berbagai aspek kehidupan, baik aspek kegiatan perekonomian, aspek pembangunan (infrastruktur) sarana dan prasarana publik, aspek kemasyarakatan dan sosial, aspek kesehatan, dan berbagai aspek lainnya. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah dalam pe-laksanaan pembangunan saat ini adalah aspek lingkungan. Setelah sekian lama, aspek lingkungan menjadi indikator penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Perhatian terhadap aspek tersebut tidak bisa lagi dihindari, karena isu lingkungan dengan kegiatan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Dikatakan Fauzi (2004), "salah satu isu penting yang dihadapi pembangunan ekonomi adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan pem-bangunan di satu sisi dan upaya menjaga kelestarian lingkungan di sisi lain."

(13)

memperhatikan kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif bagi lingkungan itu sendiri. Hal ini karena daya dukung sumber daya alam dan lingkungan pada dasarnya terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak menghargai sumber daya alam dan kemampuan lingkungan akan menimbulkan masalah pembangunan di masa mendatang (Sains, 2004). Kondisi demikian memunculkan diskusi bahwa pembangunan ekonomi memperhatikan isu lingkungan dalam pengembangannya, begitu juga dengan aspek lainnya terutama apsek lingkungan.

Menurut sejarahnya, perhatian terhadap isu lingkungan telah dimulai sejak lama. Pembentukan hukum lingkungan internasional pada awalnya muncul dalam kegiatan konvensi pada tahun 1902. Pada konvensi tersebut baru memunculkan perlindungan terhadap satwa, namun hal inilah yang menjadi cikal bakal timbulnya pemikiran untuk melindungi lingkungan. Tahun 1930-an adalah masa dimana per-lindungan lingkungan secara murni dilaksanakan. Pada tahun 1933 di

London ditaja kegiatan “The 1933 London Convention Relative to the Preservation of Fauna and Flora in their Natural State”. Meskipun

konvensi ini hanya dimaksudkan untuk diterapkan di negara-negara Afrika, namun konvensi telah memulai perubahan peradaban yang baru, yakni melindungi lingkungan dalam kegiatan perekonomian.

Pada tahun 1970-an, ketika merebaknya masalah lingkungan pada saat itu, Model pembangunan ekonomi tradisional bercirikan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi menimbulkan kerusakan lingkungan. Deklarasi Stockholm pada tahun 1972 menuju Rio de Janeiro 1992 menghasilkan kesepakatan bahwa Manusia adalah pusat pembangunan berkelanjutan dan berhak menikmati hidup sehat dan produktif yang selaras dengan alam. Kemudian pada tahun 2002 Rio + 10 di Johanesburg, menekankan dalam pembangunan di masing-masing negara perlu mememperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam kegiatan pembangunan.

Dalam bingkai pembangunan, saat ini mengenal tiga pilar pembangunan yang mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan, menurut Von Stoker et al (dalam Sugandhy dan Hakim, 2007) men-jelaskan perlunya pembangunan yang mengarah kepada aspek

(14)

masyarakat (society), lingkungan (environment), dan ekonomi (economy) secara berintegrasi. Dalam pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam tidak hanya digunakan untuk mengejar nilai ekonomi, tetapi juga kelestarian lingkungan harus diperhatikan. Dengan kata lain, dalam konsep kelestarian lingkungan (sustainable development) diperlukan upaya sadar dan terencana untuk mengintegrasikan ling-kungan termasuk sumber daya proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan kualitas hidup generasi sekarang dan yang akan datang (Zaini, 2015).

"Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) me-rupakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sementara Mannion menyebutkan bahwa konsep sustainable development adalah suatu kebutukan guna melakukan rekonsiliasi pembangunan ekonomi, kualitas kehidupan, dan lingkungan dalam kerangka politik yang beragam yang saling berkaitan pada tingkat internasional dan global. Konsep pembangunan yang bertahan lama atau berkelanjutan pun diharapkan dapat memfasilitasi persoalan lingkungan yang terjadi. Karena itu, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma pembangunan yang berkaitan langsung dengan keseimbangan alam atau lingkungan (Rosana, 2018)."

Menurut Salim (1990), pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memenuhi kebutu-han dan keinginan manusia. Tujuan utama pembangunan berkelanjutan adalah mengupayakan pembangunan yang adil antara generasi seka-rang dan generasi mendatang. Menurut KLH (1990) pembangunan dengan pendekatan keberlanjutan dapat diukur menurut tiga kriteria berikut:

1. Tidak ada pemborosan sumber daya alam atau habisnya sumber daya alam

2. Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya

3. Kegiatan harus dapat meningkatkan sumber daya yang tersedia atau sumber daya yang dapat diganti (Sains, 2004).

"Pada hakekatnya pelaksanaan pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Ibarat suatu sistem, maka keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Secara umum, pembangunan ber-tujuan untuk meningkatkan mutu hidup rakyat dan memenuhi kebutuhan

(15)

dasar (human needs) rakyat yang lebih baik. Dalam upaya mem-perbaiki mutu hidup rakyat, sebagaimana tujuan dari pembangunan, maka kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi seharusnya dipelihara dari kerusakan. Pemeliharaan lingkungan hidup diupayakan dalam rangka menghindari terjadinya kepunahan kehidupan. Dengan kata lain, apabila terjadi kerusakan, kemerosotan yang parah pada ekosistem tempat hidup manusia, maka kedepannya kehidupan manusia akan mengalami kesulitan yang banyak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak terjadi."

Di Indonesia, seiring dengan perkembangan kehidupan masya-rakat dan perubahan tatanan kehidupan negara, muncul tren perubahan yang disebut dengan reformasi. Reformasi menuntut pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan kebijakan, salah satunya kebijakan pengelolaan lingkungan. Kebijakan yang dibahas adalah memandu dan mengawasi pembangunan berbasis keberlanjutan, dan langkah yang dapat diambil adalah membangun integritas dalam pelaksanaan keberlanjutan basik dari sisi ekologi (Lingkungannya), ekonomi (Keadilan dan Pemerataan), sosial dan budaya dengan memasukkan semua komponen tersebut ke dalam kegiatan pemerintah, masyarakat dan swasta.

Perkembangan jumlah penduduk juga menjadi alasan diperlukan-nya penerapan sustainable development hal ini dikarenakan per-tumbuhan jumlah penduduk memiliki dua kondisi, kondisi pertama, pertumbuhan penduduk memerlukan lingkungan yang sehat untuk kelangsungan hidup masyarakatnya, di sisi lainnya pertumbuhan pen-duduk adalah beban pembangunan, jika pemerintah tidak dapat menyediakan lingkungan yang sehat untuk kelangsungan hidup masyarakatnya maka pertumbuhan penduduk akan menjadi beban bagi pembangunan khususnya bagi pembangunan lingkungan hidup.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan sejalan dengan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada masyarakat. Pendekatan ini memicu kebangkitan dengan semangat pengembangan komunitas yang baru dan lebih partisan. Metode pengembangan ini merupakan elemen fundamental dari strategi pembangunan yang lebih luas, yang bertujuan untuk mewujudkan transformasi potensi yang disediakan oleh nilai-nilai yang berorientasi pada manusia dan teknologi

(16)

berbasis informasi yang canggih. Pembangunan yang berpusat pada manusia memperlakukan manusia sebagai warga masyarakat, fokus utama dan sumber pembangunan, serta dapat dilihat sebagai strategi alternatif pembangunan masyarakat, yang dapat memastikan bahwa hal itu dapat melengkapi pembangunan bidang lain, terutama bidang ekonomi.

Disebutkan Fauzi (2004),"dari sisi ekonomi setidaknya ada tiga alasan utama mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, menyangkut alasan moral. Generasi saat ini menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dan lingkungan hidup, sehingga secara moral perlu diperhatikan penyediaan sumber daya alam tersebut untuk generasi yang akan datang. Kewajiban moral ini termasuk tidak mengeksploitasi sumber daya alam yang akan merusak lingkungan, yang dapat menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati hasil sumber daya alam dan lingkungan hidup yang sama."

Kedua, dari segi ekologi, misalnya keanekaragaman hayati memiliki nilai ekologi yang tinggi, oleh karena itu kegiatan ekonomi hendaknya tidak hanya ditujukan pada pembangunan sumber daya alam dan lingkungan, yang pada akhirnya dapat mengancam fungsi ekologi. Ketiga, perlu memperhatikan bahwa alasan keberlanjutan adalah alasan ekonomi. Bagi sebagian masyarakat, alasan ekonomi masih menjadi kontroversi, karena belum mengetahui apakah kegiatan ekonomi memenuhi standar keberlanjutan. Seperti diketahui, ekonomi berkelanjutan itu sendiri sangat rumit, sehingga dari segi ekonomi, keberlanjutan biasanya terbatas pada mengukur kesejahteraan antar-generasi (maksimalisasi kesejahteraan antarantar-generasi) (Makmun, 2011). Pemerintah harus memperhatikan keseimbangan antara lingku-ngan dan pembangunan, agar masa depan masyarakat tidak terpe-ngaruh oleh pembangunan yang sedang berlangsung. Salah satu cara untuk mencapai pembangunan adalah menerapakan pembangunan berkelanjutan dari perspektif lingkungan. Pembangunan berkelanjutan lebih memperhatikan mekanisme pembangunan dengan mempertim-bangkan keterkaitan antara pembangunan dan sumber daya alam lokal serta lingkungan dan tata ruang. Alhasil, pengembangan satu sektor harus memperhatikan dampaknya terhadap sektor atau bidang yang lainnya pula (Tay, 2019).

(17)

Sejak diundangkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004, diyakini sebagai era baru Otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya pada bulan Januari tahun 2001, telah dicanangkan pelaksanaannya, setelah berbagai peraturan pemerintah pendukung kedua undang-undang tersebut selesai dibuat. Dalam pelaksanaannya hingga saat ini berkembang dinamika masyarakat daerah serta timbul-nya masalah baik pada tataran masyarakat, lingkungan serta sumber-daya alam daerah.

Konotasi otonomi cenderung diartikan sebagai kesempatan pemerintah daerah untuk mengambil alih peran pemerintah pusat dalam mengeksploitasi sumberdaya alam atau mengambil kembali hak-hak daerah atas sumberdaya alam yang selama ini lebih banyak diman-faatkan oleh pemerintah pusat. Sebagai gambaran kondisi sumberdaya alam pada pelaksanaan otonomi daerah terkesan tidak lagi dipandang sebagai aset alam yang harus dikelola secara lestari (berkelanjutan) dan bertanggung jawab, namun justru semakin dieksploitasi untuk peningkatan pendapatan asli daerah. Diserahkannya perijinan pe-ngelolaan dan pengusahaan sumberdaya alam kepada Kepala Daerah menjadikan peran Kepala Daerah menjadi sangat sentral dan mem-punyai tanggung jawab yang besar atas kelestarian sumberdaya alam diwilayahnya, namun disisi lain semangat otonomi masih lebih banyak untuk mendapatkan sebanyak mungkin materi dengan cara mengeksploi-tasi sumberdaya alam demi pembangunan daerah (Widodo, 2008).

Otonomi daerah yang diilhami oleh gerakan reformasi tahun 1998 merupakan upaya ketatanegaraan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan pemerataan antara pembangunan negara yang terpusat dan pembangunan di daerah, serta mendorong pembangunan yang berkeadilan antar daerah. Oleh karena itu, persoalan pokok otonomi daerah adalah proses otorisasi daerah secara keseluruhan bagi peme-rintahan daerah untuk mengatur dan menatalaksana penyelenggaraan pemerintahan daerah berbasis pada kebutuhan masyarakat tempatan. Menurut Hos (2008), "otonomi daerah dipandang sebagai sistem yang memungkinkan daerah untuk mewujudkan potensi terbaik daerahnya berdasarkan karakteristik ekonomi, geografis, dan sosial budaya daerah

(18)

yang bersangkutan, serta mendorong daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya."

Menurut Hasan (2007), praktik pelaksanaan otonomi daerah sudah lebih dari sepuluh tahun sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi. Rencana tersebut diharapkan dapat memajukan pemerintahan daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah. Namun program tersebut mendapat respon positif dari berbagai kalangan sejak awal, namun tidak berjalan sesuai harapan. Bahkan otonomi daerah telah melahirkan oligarki lokal dan elitisme. Otonomi daerah gagal membangun sistem representasi dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan hubungan pusat-daerah dan pemerintah daerah. Hos (2011) menambahkan ada banyak persoalan yang masih menjadi masalah dalam tata kelola di daerah. Akibatnya, kinerja aparatur pemerintah daerah menjadi kurang baik terutama dalam pelayanan publik

Secara konseptual, tujuan pemberian otonomi daerah untuk menyelenggarakan berbagai urusan pemerintahan adalah untuk meningkatkan efisiensi dan mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, berkeadilan, dan berkeadilan menjadi pemerintahan daerah. Oleh karena itu, diharapkan dapat memperbaiki kondisi daerah melalui otonomi daerah. Harapan tersebut tidak terlalu tinggi, karena memang daerah itulah yang sangat mengenal potensi dan ke-unikannya. Salah satu cara pembangunan daerah adalah dengan mengadopsi produk hukum daerah dalam bentuk peraturan daerah. Peraturan daerah bukan hanya monopoli DPRD, tetapi juga harus disetujui oleh pemerintah daerah. Keduanya merupakan lembaga yang merupakan peraturan daerah dan merupakan bagian dari pemerintah daerah. Peraturan daerah yang baik akan melindungi kualitas prosedur otonomi daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 secara jelas menyebut-kan bahwa otonomi daerah mengacu pada hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengurus dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan keinginan masyarakat, serta kepentingan masyarakat setempat. Ide dasar otonomi daerah adalah mengupayakan alokasi kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah, sehingga masyarakat dapat melakukan pendekatan dalam proses pengambilan keputusan dan kontrol yang lebih ketat. Pemerintah daerah

(19)

dalam era otonomi memiliki peluang untuk me-rumuskan dan merumuskan kebijakan sendiri berdasarkan kebutuhan dan kondisi daerah termasuk juga bagaimana menyelenggarakan pembangunan di daerah berbasis pada pembangunan berkelanjutan.

Oleh karena itu, pada prinsipnya otonomi daerah merupakan sarana untuk menjawab tiga persoalan pokok ketertiban pemerintahan dan pelayanan publik. Pertama, otonomi daerah merupakan upaya mendekatkan pemerintah dan masyarakat, Kedua, melalui otonomi daerah, akuntabilitas dapat terjaga dengan baik, Ketiga, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab di tingkat lokal.

Menurut Iwan (2020), dari sisi perekonomian, penyelenggaraan otonomi daerah yang ditujukan untuk pemberdayaan daerah diharapkan dapat memberikan peluang bagi pembangunan daerah dan peningkatan ekonomi. Pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi daerah akan berdampak besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Melalui kewenangannya mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, kabupaten akan berupaya meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui otonomi daerah diharapkan dapat mem-berikan pelayanan yang sebesar-besarnya kepada pelaku ekonomi di daerah, negara, kawasan dan kawasan global.

Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan perlu mem-pertimbangkan kebutuhan yang wajar dari masyarakat, serta me-nyebarkan nilai-nilai atau pemahaman terhadap masyarakat terhadap pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan yang disesuaikan dengan kemampuan lingkungan dalam penyediaan sumber yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan hidupnya. Namun ada kecenderungan bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut akan bergantung pada kebutuhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi atau kebutuhan produksi. Pembangunan berkelanjutan jelas membutuhkan pertum-buhan ekonomi, sepanjang pertumpertum-buhan ekonomi dapat mencerminkan prinsip keberlanjutan.

Namun kenyataannya, kegiatan produksi tinggi bisa jadi ber-tepatan dengan meluasnya kemiskinan. Situasi ini dapat merusak lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan menuntut masyarakat memenuhi kebutuhannya dengan meningkatkan potensi

(20)

produksi, sekaligus memastikan bahwa setiap orang memiliki kesem-patan yang sama. Bagaimana ini bisa dilakukan? Tentunya pemerintah membutuhkan strategi kebijakan yang praktis dan sistem kendali yang tepat. Pembangunan sumber daya alam sebaiknya didasarkan pada sumber daya alam yang dapat diganti atau diganti sehingga ekosistem atau sistem lingkungan dapat dipertahankan.

Dalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber-sumber alam yang dapat diperbaharui, ada beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan, yaitu:

a) Pewarisan sumberdaya alam yang masih penuh menjadi sumber kemakmuran untuk dapat memberi kehidupan kepada generasi yang akan datang

b) Diantara unsur-unsur yang terdapat di alam harus ada keseimba-ngan dinamis

c) Penjamin adanya pelestarian alam dalam penggalian sumber-sumber alam, artinya pengambilan hasil tidak sampai merusak terjadinya auto regenerasi dari sumber alam tersebut.

d) Terciptanya kepuasan baik fisik, ekonomi, sosial, maupun kebutu-han spritual tetap ada dalam perencanaan kehidupan manusia dengan lingkungannya.

Menurut Bake (2011), besarnya beban kekuasaan yang dimiliki oleh daerah otonom menunjukkan seberapa besar tanggung jawab pemerintah daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Banyaknya tanggung jawab daerah yang tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia dan profesionalisme aparatur pemerintah daerah, berdampak pada sulitnya mewujudkan pembangunan dan pelayanan publik secara penuh, termasuk pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Melalaui buku ini penulis berharap adanya peningkatan kesadaran bagi pemerintah daerah untuk dapat mengambil peran serta tanggung jawab pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, hal ini didasarkan pada peranan strategis yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya. Pembangunandi dalam prosesnya harus memper-hatikan konsep kelestarian lingkungan sehingga mampu memberi manfaat bagi kehidupan. Resiko pembangunan yang muncul adalah dampak negatif apabila pembangunan yang dilakukan mengabaikan konsep tersebut. Konsep pembangunan yang baik diharapkan dapat

(21)

memfasilitasi persoalan lingkungan yang terjadi, termasuk persoalan yang timbul sebagai akibat belum diterapkanya secara tepat dalam pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Pembangunan yang bertahan lama atau berkelanjutan memerlukan paradigma pembangunan yang berkaitan langsung dengan keseimbangan alam atau lingkungan menjadi keharusan dalam tata kelola penyelenggaran pemerintahan di daerah.

(22)

Bab II

TEORI PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

(23)
(24)

Bab II

TEORI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Sejak KTT Bumi pertama pada tahun 1972, paradigma pem-bangunan berkelanjutan telah dikenal sejak lama. Selama 40 tahun, pembangunan berkelanjutan menjadi perdebatan karena dianggap abstrak (indikator yang sulit diukur) dan dianggap menghambat pembangunan, terutama pertumbuhan ekonomi. Padahal jalannya kesepakatan pembangunan lingkungan yang baik dan hubungannya dengan semua aspek pembangunan telah berlangsung lama. Pada konferensi internasional yang diadakan di Stockholm tahun 1972 ter-sebut, isu lingkungan telah menjadi agenda internasional.

Kepedulian terhadap pentingnya pembangunan lingkungan bagi kesejahteraan manusia telah mengarah pada sebuah organisasi yang secara khusus menangani lingkungan, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP). Pentingnya isu lingkungan terus berkembang, dan puncaknya adalah lahirnya laporan yang meletakkan dasar bagi pentingnya mengintegrasikan isu lingkungan dan pembangunan ekonomi di tingkat internasional, nasional dan lokal. Laporan ini disebut Laporan Brundtland. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pengukuran dampak lingkungan yang dianggap sebagai eksternalitas telah diukur, dan nilai ekonomi dapat diukur.

(25)

dapat dilakukan melalui keterukuran ini. Dengan demikian, langkah antisipasi dan pencegahan dampak lingkungan ke dalam kegiatan manusia dan kegiatan ekonominya sudah dapat dilakukan. Paradigma pembangunan yang selama ini lebih mengutamakan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan hidup, sudah dapat diubah menjadi pembangunan yang menyeimbangkan antara pemenuhan kehidupan saat ini tanpa membahayakan keadaan lingku-ngan serta bermanfaat untuk kehidupan generasi mendatang. Para-digma pembangunan seperti ini dikenal dengan pembangunan berke-lanjutan. Se-hubungan dengan itu, dan dengan sejarah panjang per-juangan pembangunan berkelanjutan, maka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan secara nyata sudah tidak dapat ditunda lagi (Alisjahbana, Armida Salsiah, & Murniningtyas, E, 2018).

Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan ekonomi (per-tumbuhan ekonomi) menjadi fokus utama dan ukuran pencapaian dari keberhasilan pembangunan di semua negara. Dampak terhadap lingkungan tidak diperhitungkan dan dibiarkan menjadi tanggung jawab masyarakat yang menjadi korban baik langsung terhadap hidupnya, maupun tidak langsung karena kegiatan ekonominya menurun karena lahan dan airnya terkena polusi. Perkiraan terhadap dampak lingkungan

juga perlu 45 menjadi “pemahaman” pada setiap manusia Indonesia,

dan menerapkannya tidak hanya dalam perilaku ekonomi namun juga perilaku sosial. Selama ini, dampak lingkungan ditanggung atau menjadi beban masyarakat, bukan menjadi beban biaya pelaku ekonomi dan bukan menjadi kebiasaan dan perilaku sosial masyarakat Indonesia. Saat ini pandangan dan perilaku ini harus diubah. Setiap tindakan harus memperkirakan dan memperhitungkan dampak dari tindakan terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. Langkah ini sering disebut

dengan “internalisasi” dampak lingkungan ke dalam kegiatan ekonomi

dan kegiatan social (Alisjahbana, Armida Salsiah, & Murniningtyas, E, 2018).

Gagasan pembangunan berkelanjutan dimulai ketika Bruntland Comission merumuskan dan mendefinisikan pembangunan

ber-kelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi

kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan generasi dimasa

mendatang”. Sebagai gagasan, prinsip dan konsep pembangunan

(26)

Pem-bangunan berkelanjutan tidak hanya terfokus pada masalah lingkungan. Secara lebih luas, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga bidang kebijakan: sosial, pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Terutama relasi antara aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek ekonomi dalam kerangka pembangunan berkelanjutan oleh pe-rusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Praktik-praktik pembangunan berkelanjutan terkait juga relasinya dengan pemerintah (Mohammad, 2015).

Sejalan dengan itu, SDG’s mengintegrasikan, memahami dan

bertindak dalam kesalinghubungan yang kompleks dalam aspek lingkungan, ekonomi dan aspek sosial dan menjadi tiga pilar utama dalam pembangunan berkelanjutan (Gupta & Vegelin, 2016; McInnes,

2018). Dari 17 target SDG’s yang akan berlaku hingga 2030 (Badan

Pusat Statistik, 2018; Gupta & Vegelin, 2016; Herren, 2018; McInnes, 2018).

Selanjutnya, SDGs yang mulai berlaku pada Januari 2017 juga memuat tujuan yang lebih banyak dibandingkan MDGs. SDGs memuat 17 tujuan serta 169 sasaran pembangunan dan berlaku hingga 2030. Ketujuh belas tujuan tujuan pembangunan berkelanjutan adalah pengentasan kemiskinan; kebebasan dari kelaparan; kesehatan dan keselamatan; pendidikan berkualitas; kesetaraan gender; air bersih dan sanitasi; energi bersih dan terjangkau; pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi; industri , Inovasi dan infrastruktur; mengurangi ketidaksetaraan; kota dan komunitas yang berkelanjutan; konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; perubahan iklim sedang ditangani; memelihara sumber daya laut; memelihara ekosistem darat; perdamaian, keadilan dan institusi yang efektif; dan kerjasama global (Octaviani, 2019).

Keberlanjutan juga biasanya ditentukan dengan peningkatan kualitas hidup yang disesuaikan dengan toleransi lingkungan. Secara umum, keberlanjutan diartikan sebagai berkelanjutan tanpa pengu-rangan, yang berarti aktivitas berkelanjutan tanpa pengurangan. Moldan dan Dahl (Fauzi dan Oktavianus, 2014) memberikan pemahaman bahwa pembangunan berkelanjutan dapat diartikan sebagai pembangunan yang dapat menopang pembangunan yang tidak terbatas itu sendiri.

(27)

Pembangunan berkelanjutan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar untuk mengubah suatu keadaan hidup menjadi semakin lebih baik (Tuokuua, Kpinpuob, & Hinsonc, 2019). Pembangunan berkelanjutan dapat disengajakan sebagai sebuah skenario sosial serta peningkatan ekonomi (Bickler, Morton, & Menne, 2020). Pembangunan berkelanjutan juga dapat mendorong terjasdinya perencanaan dan pengelolaan lingkungan (Lin, Shen, Zhou, & Lyu, 2020).

Keberlanjutan merupakan salah satu bentuk pemberdayaan dengan membina generasi muda khususnya dalam segala aspek kehidupan dan bidang sumber daya manusia (SDM) di masyarakat (Wadu, Ladamay, & Jama, 2019). Beginilah pembangunan berkelanjutan pertama kali diusulkan pada tahun 1970-an. Definisinya sederhana: pembangunan dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kepuasan generasi mendatang (Rukaiyah et al., 2018). Dengan demikian dari berbagai penelitian penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah program yang membawa perubahan dan energi baru bagi hidup warga negara agar lebih sejahtera (Gultom, Munir, & Ariani, 2019).

Esensi dari pembangunan berkelanjutan adalah internalisasi dampak setiap tindakan sosial dan ekonomi terhadap lingkungan hidup. Artinya, setiap kegiatan sosial dan ekonomi perlu menghindari/men-cegah atau memperhitungkan dampaknya terhadap kondisi lingkungan hidup, agar lingkungan hidup tetap dapat menjalankan fungsinya untuk menopang kehidupan saat ini dan di masa mendatang (Alisjahbana, Armida Salsiah, & Murniningtyas, E, 2018). Sejalan dengan itu Iwona dalam Pranata (2020) secara terang menjelaskan bahwa "pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa menyertakan kemampuan bagi generasi mendatang

untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. Definisi ini mengidentifikasi

prinsip-prinsip dasar kelestarian.

Aspek penting dari pembangunan berkelanjutan adalah peneka-nan proses partisipatif. Oleh karena itu pembangupeneka-nan berkelanjutan tidak hanya diasumsikan sebagai suatu kebijakan yang lahir dari minoritas kecil teknokrat atau pembuat kebijakan, namun menekankan peran penting masyarakat dan kaum minoritas didalamnya. Dengan demikian bagian penting yang menjadi penekanan dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana menyertakan beragam

(28)

pemangku kepentingan dalam penentuan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya (Mohammad, dkk 2015).

Sudirman, Phradiansah dalam Pratama (2020) Mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pekerjaan perencanaan sadar yang memasukkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan.Tujuannya adalah untuk memastikan integritas lingkungan, keselamatan, kapasitas, kesejahteraan dan kualitas hidup tidak hanya untuk orang-orang kontemporer tetapi juga untuk generasi mendatang.

Pembangunan berkelanjutan merupakan satu konsep yang dapat diterapkan dalam pembangunan wilayah. Sesuai dengan pandangan Masnavi dalam Revista de Gestão (2020) Kebijakan pembangunan berkelanjutan di kota memiliki tujuan utama untuk memberikan dasar dan peningkatan layanan eko-sistemik perkotaan yang memberikan kesejahteraan manusia kepada penghuni. Layanan ini cukup dan perlu bagi manusia dalam sistem perkotaan dan bisa dianggap sebagai sebagian besar persyaratan untuk kesejahteraan manusia, yang dibagi menjadi komponen ekonomi, sosial, ekologis dan lingkungan.

Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, tiga elemen inti yang harus dikoordinasikan, yaitu pertumbuhan ekonomi, kesetaraan sosial, dan perlindungan lingkungan. Konsep pembangunan ber-kelanjutan bertujuan untuk mengintegrasikan masalah lingkungan dengan pembangunan sosial dan ekonomi (Pauw, Gericke, Olsson dan Berglund, 2015). Ketiga aspek pembangunan berkelanjutan tersebut saling terkait dan membutuhkan pencapaian di semua aspek. Misalnya, kelestarian lingkungan adalah kualitas lingkungan yang diperlukan untuk menjaga aktivitas ekonomi dan kualitas hidup (perlindungan lingkungan, pengurangan emisi polutan, dan penggunaan sumber daya secara rasional. Sepuluh keberlanjutan sosial, yaitu menjaga karakteristik masyarakat dan budaya, menghormati keragaman budaya, ras, dan agama, menjaga nilai, aturan dan norma sosial, serta melindungi hak dan persamaan hak asasi manusia. Keberlanjutan ekonomi berarti menjaga modal alam, sosial dan manusia yang dibutuhkan untuk mencapai pendapatan dan standar hidup. Hubungan antara ketiga pilar ini seimbang, interaksinya tidak terpisah, dan saling terkait dalam kerangka keberlanjutan atau konsep yang oleh John Elkington disebut sebagai triple bottom line (Klarin, 2018).

(29)

Gambar 1. Model Konsep Pembangunan Berkelanjutan Landasan konstitusional terkaitan dengan pembangunan ber-kelanjutan secara implisit terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945

yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, ber-keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan hidup, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Ho, 2020).

2.2 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Pada tanggal 25 September 2015, dalam A/RES/70/1 Resolution adopted by the General Assembly on 25 September 2015: Transfor-ming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development. Ke-17 Goals yang telah disepakati secara lengkap. Sesuai hasil Deklarasi, SDGs terdiri dari 17 goals yang dapat dikelompokkan menjadi 4 pilar yang tidak terpisahkan dan saling memiliki ketergantungan. Empat pilar ini untuk menunjukkan ada dan pentingnya keseimbangan di antara 3 pilar utama yaitu pilar/dimensi sosial, dimensi ekonomi dan dimensi lingkungan hidup, yang didukung dengan pilar tata kelola. Ketiga pilar ini merupakan pilar yang saling terkait dan tidak terpisahkan. Pilar lingkungan merupakan unsur terpenting, kerena pertumbuhan saat ini yang digambarkan dalam pilar ekonomi, perlu menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Demikian pula, perilaku sosial masyarakat yang

(30)

digambarkan dalam pilar sosial, perlu berubah dan memiliki perilaku yang ramah terhadap lingkungan.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) hadir dalam rangka mengakomodir segala perubahan yang terjadi setelah berakhirnya era pembangunan milenium serta memasukkan beberapa tujuan yang baru. Berbeda dengan Tujuan Pembangunan Milenium yang ditujukan hanya pada negara-negara berkembang, TPB memiliki sasaran yang lebih universal. TPB disusun berdasarkan dimensi sosial, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan yang dideklarasikan ke dalam 17 goals/ tujuan serta 169 target yang kemudian diterjemah-kan ke dalam berbagai indikator untuk mengukur pencapaiannya (Setianingtias, Baiquni, Kurniawan, 2019).

Pemahaman yang komprehensif mengenai interaksi indikator, tujuan serta dimensi dalam kerangka TPB diharapkan dapat meng-optimalkan upaya pencapaian target dalam TPB. Studi dengan data global telah dilakukan dan memberikan gambaran mengenai interaksi tersebut. Dalam studinya Pradhan dkk., (2017) menyebutkan pola interaksi indikator dan tujuan pembangunan akan berbeda jika meng-gunakan set data yang berbeda. Analisis dengan mengmeng-gunakan data tingkat nasional dengan unit analisis provinsi yang ada di Indonesia perlu dilakukan agar hasilnya mencerminkan kondisi dan situasi di Indonesia. Di Indonesia, pengaturan tentang implementasi tujuan pemba-ngunan berkelanjutan terdapat dalam PP Nomor 59 Tahun 2017 yang menjelaskan tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang memuat tujuan global dari 2016 sampai 2030. TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjaga keberlanjutan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, kualitas lingkungan, serta pelaksanaan pembangunan dan tata kelola yang inklusif, yang dapat menopang kehidupan generasi penerus. Perbaikan mutu.

Dalam proses implementasinya, Indonesia telah mengadopsi beberapa prinsip yang disepakati. Prinsip pertama adalah universalitas. Prinsip ini mendorong penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di semua negara maju dan berkembang. Secara nasional, implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan berlaku di seluruh wilayah di Indonesia. Prinsip kedua adalah integrasi. Prinsip ini berarti bahwa

(31)

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dilaksanakan secara terintegrasi dan saling terkait dalam semua aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Prinsip kedua ini selalu dipegang teguh dalam penyusunan rencana aksi, terutama dalam penyusunan program dan kegiatan serta

ang-garannya. Prinsip terakhir adalah “Jangan ada yang tertinggal”, yang

memastikan bahwa pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan harus memberikan manfaat bagi semua orang, terutama kelompok rentan, dan pelaksanaannya melibatkan seluruh pemangku kepenti-ngan. Prinsip ini juga diterapkan dalam setiap tahapan/proses imple-mentasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia (BPS, 2016). Pembangunan berkelanjutan tersebut mengacu pada pening-katan kesejahteraan hidup warga negara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang pada hakekatnya mengacu pada pemerataan pemba-ngunan antar masyarakat yang ada pada masa kini maupun masya-rakat dimasa yang akan mendatang (Rahadian, 2016). Pembangunan bisa disebut berkelanjutan jika memenuhi suatu kriteria ekonomis dan juga bermanfaat secara sosial dimana bisa mencukupi seluruh ke-butuhan hidup masyarakat (Mukhlis, 2009).

Pemahaman yang komprehensif mengenai interaksi indikator, tujuan serta dimensi dalam kerangka TPB diharapkan dapat mengoptimalkan upaya pencapaian target dalam TPB. Studi dengan data global telah dilakukan dan memberikan gambaran mengenai interaksi tersebut. Perumusan indikator dilakukan dengan meng-identifikasi lebih dari seratus indikator baik indikator global, nasional, lokal maupun hasil penelitian terdahulu. Keseluruhan indikator tersebut telah dipilih dan dipertimbangkan dengan beberapa kriteria, terutama berkaitan dengan tahun yang sama dan ketersediaan data (Setianingtias, 2019).

(32)

Bab III

(33)
(34)

Bab III

OTONOMI DAERAH

3.1 Konsep Otonomi Daerah

Bila menelusuri kembali kekuatan pendorong perkembangan konsep desentralisasi, kita akan menemukan bahwa hal itu tidak pernah luput dari kritik selama perjalanan, bahkan menimbulkan perselisihan antara partai-partai pro dan oposisi. Perdebatan konseptual tersebut tidak hanya berdampak pada perkembangan konsep desentralisasi, tetapi juga menimbulkan beberapa kompleksitas dalam memahami konsep desentralisasi. "Sejak tahun 1970-an, tren ini menjadi semakin nyata, ketika studi tentang desentralisasi tidak lagi dimonopoli oleh ilmu politik dan disiplin ilmu administrasi, tetapi menarik perhatian disiplin ilmu lain. Mengutip beberapa contoh, ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi adalah disiplin ilmu yang telah berkontribusi pada studi desentralisasi dan otonomi daerah" (Conyer, 1984).

Sebagai konsekuensinya, konsep desentralisasi dan otonomi

daerah diekspresikan dalam “bahasa” yang berbeda sesuai dengan

disiplin ilmu pendukung. Namun secara umum, kompleksitas konsep desentralisasi dapat dibedakan menjadi dua (dua) sudut pandang utama, yaitu sudut pandang desentralisasi politik (sudut pandang desentralisasi politik) dan sudut pandang desentralisasi administratif (sudut pandang desentralisasi administratif). Perbedaan mendasar

(35)

antara kedua pandangan tersebut terletak pada definisi desentralisasi dan ekspresi tujuan. Sudut pandang desentralisasi politik mengartikan desentralisasi sebagai desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (desentralisasi). Misalnya, Parson (1961)

mendefinisikan desentralisasi sebagai “... sharing of the governmental

power by a central ruling group with other groups, each having authority

within a specific area of the state.”

Pada saat yang sama, menurut Parson, desentralisasi adalah “...

pembagian kekuasaan antara anggota kelompok penguasa yang sama

yang memiliki kekuasaan di berbagai wilayah negara.” Mengenai definisi

Parson tentang desentralisasi dan desentralisasi, itu juga didefinisikan

oleh Smith (1985). “... the transfer of power, from top level to lower

level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large organisation. Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah bahwa Smith juga mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi utama desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur

pemerintahan”.

Di sisi lain, pengertian desentralisasi administratif menekankan pada pengertian desentralisasi, yaitu pengertian desentralisasi adalah desentralisasi kekuasaan administratif (administratif) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Misalnya, Rondinelli dan Cheema (1983: 18): Desentralisasi adalah ketika pemerintah pusat mengalihkan perencanaan, pengambilan keputusan atau kekuasaan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi di tempat, unit administrasi lokal, organisasi semi-otonom dan semi-resmi, pemerintah daerah atau organisasi non-pemerintah. kekuatan itu. Organisasi pemerintah. Dalam hal pendefinisian desentralisasi, perbedaan antara kedua pandangan tersebut tidak dapat dihindari dan berdampak pada perbedaan dalam menetapkan tujuan utama yang ingin dicapai.

Pandangan desentralisasi politik menekankan pada tujuan yang ingin dicapai dalam politik, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik penyelenggara pemerintahan dan masyarakat, serta memelihara integrasi nasional. Smith (1985) membedakan tujuan desentralisasi dari perspektif kepentingan nasional (pemerintah pusat) dan kepentingan pemerintah daerah dalam pernyataan yang lebih rinci. Kepentingan nasional, Smith menulis bahwa dari perspektif

(36)

kepenti-ngan pemerintah pusat, desentralisasi memiliki setidaknya tiga tujuan utama. Pertama, arti pendidikan politik adalah melalui praktek desentralisasi, masyarakat akan belajar mengenal dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik yang mereka hadapi. Menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon legislator yang tidak kompeten secara politik; dan belajar mengkritisi berbagai ke-bijakan pemerintah, termasuk masalah pendapatan dan belanja daerah (Maddick, 1963).

Dalam kaitannya dengan kepentingan pemerintah pusat, tujuan kedua dari desentralisasi adalah memberikan pelatihan kepemimpinan politik (untuk pelatihan kepemimpinan). Tujuan kedua desentralisasi bertentangan dengan asumsi dasar bahwa pemerintah daerah adalah platform yang paling sesuai untuk melatih para politisi dan birokrat sebelum mereka mengambil berbagai posisi penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menginspirasi dan membina calon pemimpin di tingkat nasional.

Dari kepentingan pemerintah pusat, tujuan ketiga desentralisasi adalah menciptakan stabilitas politik (menciptakan stabilitas politik). Pendukung tujuan ketiga desentralisasi percaya bahwa melalui kebijakan desentralisasi, kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil akan tercapai (Smith, 1985). Selain itu,

Sharp (1981) mengatakan: “… Salah satu faktor penentu adalah

perwujudan demokrasi yang stabil di tingkat nasional, dalam banyak

hal adalah pembentukan demokrasi lokal.” Tujuan utama desentralisasi

adalah mencapai kesetaraan politik. Desentralisasi diharapkan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk

berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik di tingkat lokal.”

Smith (1985) menulis bahwa“masyarakat di wilayah tersebut dapat mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik dengan elegan, seperti menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, memperoleh kebebasan untuk menyatakan kepentingan dan ber-partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Bidang tersebut adalah akuntabilitas lokal. Melalui pelaksanaan desentralisasi di-harapkan kemampuan pemerintah daerah untuk memperhatikan hak-hak masyarakatnya, termasuk hak-hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan daerah, serta hak untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan daerah.“

(37)

Dari perspektif hubungan negara-masyarakat, jika kita memahami desentralisasi dari perspektif hubungan negara-masyarakat, kita akan mengetahui bahwa keberadaan desentralisasi yang sebenarnya adalah mendekatkan negara dengan masyarakat, sehingga dapat terjalin dinamika antara keduanya dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. Ostrom (1991) menegaskan bahwa melalui

desentralisasi seperti ini, ia berharap “... karakteristik pemerintahan

yang berlaku untuk penguasa rakyat daripada mengambil alih

pemerintahan.”

Selain menyikapi pro dan kontra dari dalil-dalil di atas, ada poin penting lain yang perlu ditekankan bahwa desentralisasi bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sebagai alat atau alat untuk menjaga kedaulatan rakyat (masyarakat). Sasaran akhir yang ingin dicapai adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Dalam kerangka ideologi yang demikian, sulit untuk disangkal bahwa pandangan relasi negara-masyarakat cenderung tidak memisahkan konsep dan implementasi kebijakan desentralisasi dari sistem politik dan / atau jenis rezim.

Desentralisasi dalam sistem demokrasi dan corak interaksi antara negara dan masyarakat Biasanya dapat dikatakan bahwa dalam sistem demokrasi corak interaksi antar masyarakat yang mapan sangat dinamis. Pada tahapan proses pengambilan keputusan (perumusan kebijakan) dan implementasi kebijakan terdapat interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Pada prinsipnya berbagai keputusan yang diambil oleh negara merupakan kombinasi antara kebutuhan sosial (sosial) dan kepentingan nasional. Tegasnya, meskipun negara memiliki

hak hukum untuk “memaksakan palu akhir” atas berbagai keputusan,

perannya dalam proses pengambilan keputusan lebih merupakan mediator kompleksitas dan perbedaan kepentingan rakyat.

Desentralisasi kekuasaan oleh pemerintahan yang demokratis tentu saja terkait dengan ciri model interaksi negara-masyarakat yang dijelaskan di atas. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, konseptualisasi dan pelaksanaan kebijakan desentralisasi didasarkan pada interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, kalaupun desentralisasi pada akhirnya harus dicapai, keberadaannya merupakan gabungan antara kepentingan negara dan masyarakat. Dalam hal ini hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

(38)

lebih didasarkan pada prinsip saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Selain itu, dalam konteks hubungan pusat-daerah,

pengertian “daerah” lebih mengacu pada entitas yang terdiri dari

pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pada tataran yang lebih mikro, dapat terjalin interaksi yang setara antara negara dan masyarakat, yaitu antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Di sisi lain, masyarakat (masyarakat) seringkali terpinggirkan atau diposisikan sebagai sasaran kebijakan desentralisasi. Padahal, dalam proses pengambilan keputusan daerah dan implementasi kebijakan tidak akan terjadi interaksi dua arah antara negara dan masyarakat. Penggerak yang lebih kuat dalam proses pengambilan keputusan adalah aliansi dan negosiasi kepentingan antar elit pemerintah daerah (aktor pemerintah daerah). Kalaupun kebijakan otonomi daerah harus dilaksanakan, sebagai akibat logis dari kebijakan desentralisasi

mempunyai ciri “otonomi daerah” bahkan “otonomi pejabat daerah”.

Modus desentralisasi dan interaksi negara-masyarakat pada masa transisi seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Dalam rezim otoriter, mode interaksi antara negara dan masyarakat cenderung satu arah. Negara memimpin proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. Pada saat yang sama, masyarakat berada pada posisi pasif dan perannya terpinggirkan.

3.2 Tujuan Otonomi Daerah

Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana menjelaskan keterkaitan antara fenomena deviasi dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi dengan proses transisi (dari rezim otoriter menuju demokrasi) secara teori? Jika kerangka berpikir hanya didasarkan pada dua sudut pandang yang terdesentralisasi, yaitu sudut pandang politik dan pemerintahan yang terdesentralisasi, tentu sulit untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Hal ini dikarenakan dua pandangan tentang desentralisasi tidak secara jelas mengaitkan kebijakan desentralisasi dengan dinamika perubahan sistem politik.

Hanya dengan memahami dan mengklarifikasi realitas pelaksanaan kebijakan desentralisasi sebagai bagian integral dari dinamika perubahan politik maka jawaban atas pertanyaan di atas dapat distandarisasi. Dengan tidak bermaksud secara khusus

(39)

membahas dua sudut pandang desentralisasi yang ada, maka kerangka ideologis yang menjelaskan hubungan antara penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi dengan masa transisi demokrasi yang sedang berlangsung dapat dipahami dari perspektif hubungan sosial negara. Jika ketiga ciri utama praktik desentralisasi pada masa transisi demokrasi (seperti yang telah dibahas pada pembahasan pada bagian sebelumnya) dapat dijadikan acuan, 18 sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas sangat jelas.

Misalnya, semakin banyaknya perilaku koruptif yang dibarengi dengan penerapan kebijakan desentralisasi yang merupakan salah satu konsekuensi logis dari kehilangan arah ketika memahami konsep desentralisasi (lihat dua ciri desentralisasi pada masa transisi). Hal ini juga dapat dipahami sebagai salah satu implikasi dari modus interaksi antara negara dan masyarakat di tingkat lokal, yang bersifat multilateral (lihat ciri ketiga). Sementara itu, sikap setengah hati pemerintah pusat dalam mendukung pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki posisi tawar yang relatif kuat di berbagai daerah dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan desentralisasi (lihat pertama).

Pandangan desentralisasi politik menekankan pada desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sedangkan pandangan desentralisasi administratif mengartikan desentralisasi sebagai desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Demikian pula, perlu dirumuskan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan desentralisasi. Sudut pandang desentralisasi politik lebih menekankan pada tujuan utama demokratisasi daerah, sedangkan sudut pandang desentralisasi administratif lebih memperhatikan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Rekonstruksi konsep desentralisasi berdasarkan perspektif hubungan negara-masyarakat.Namun, jika esensi konseptual dari kedua pandangan ini dipertimbangkan dan dipahami dari perspektif hubungan negara-masyarakat, sebenarnya ada kesamaan esensial antara keduanya.

Mengenai definisi desentralisasi, misalnya, meskipun terdapat perbedaan ekspresi, keduanya memiliki landasan filosofis yang sama, meskipun negara tersebut lebih dekat dengan masyarakat. Begitu pula mengenai tujuan desentralisasi, meskipun pandangan desentralisasi

(40)

politik dan desentralisasi administratif berbeda dalam hal memberi tekanan pada tujuan yang ingin dicapai, pada prinsipnya terdapat kesamaan di antara keduanya, yaitu untuk mencapainya dalam bentuk kesejahteraan dan kemakmuran. Kepentingan masyarakat daerah. Oleh karena itu, perbedaan antara kedua pandangan tersebut sebenarnya lebih pada konteks metodologi, yaitu cara dan mekanisme yang digunakan untuk mewujudkan manfaat sosial.

Atas dasar pengertian tersebut maka penulis kemudian mengemukakan suatu proposisi yaitu pandangan hubungan negara dan masyarakat adalah pandangan yang lebih komprehensif, dan merupakan landasan ideologis bagi perkembangan konsep desentralisasi secara umum, khususnya konsep desentralisasi di Indonesia. Apabila proposisi di atas dijadikan rujukan untuk rekonstruksi konsep desentralisasi, maka sulit dipungkiri bahwa pandangan hubungan sosial negara lebih condong pada definisi desentralisasi, yaitu penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sebab, hanya dengan penyerahan kekuasaan pemerintah daerah dan rakyatnya dapat memiliki semua hak (otonomi) dalam proses pengambilan keputusan (perumusan kebijakan) dan pelaksanaan kebijakan.

Tidak ada dikotomi antara tujuan politik dan tujuan administratif dalam pandangan hubungan antara negara dan masyarakat, karena keduanya sama pentingnya. Oleh karena itu, rumusan tujuan desen-tralisasi kembali pada konsep dasarnya (Smith, 1985) yang terbagi dalam dua kategori, yaitu kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan kepentingan nasional, tujuan utama desentralisasi adalah: a) Menjaga dan memperkuat integrasi nasional;

b) Sebagai sarana pelatihan calon pemimpin nasional;

c) Mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Sementara itu, dari segi kepentingan daerah, tujuan utama desen-tralisasi antara lain:

a) Demokratisasi di tingkat lokal (kesetaraan politik, akuntabilitas lokal dan respon lokal);

b) meningkatkan pelayanan publik; dan

c) Mewujudkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan dan pembangunan daerah.

(41)

Tujuan otonomi daerah seperti yang dijelaskan oleh Hoessein (1994) adalah untuk mengurangi beban di pundak pemerintah yang lebih atas, tercapainya efisiensi dan efektivitas layanan kepada mas-yarakat, penggunaan sumberdaya yang lebih efektif, pemantapan perencanaan pembangunan dari bawah, peningkatan persatuan dan kesatuan nasional serta keabsahan politik pemerintah. Caranya adalah dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengenali masalah yang dihadapi dan menyampaikannya kepada instansi pemerintah tersebut. Secara fundamental, pemberian pe-nyelenggaraan desentralisasi dan pemberian otonomi daerah di-maksudkan untuk mengoptimalkan fungsi pemerintahan menurut Dewey (1983) fungsi pemerintah itu meliputi:

a) Pemberian pelayanan; b) Fungsi pengaturan; c) Fungsi pembangunan; d) Fungsi perwakilan; e) Fungsi koordinasi.

Dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi tersebut di atas, pemerintah memppunyai kewajiban moral untuk menciptakan kesejahteraan social yang di usahakan melalui program pembangunan, sedangkan dalam kontek desentralisasi dan otonomi daerah, keberhasilan pemerintah daerah dapat dilihat dari seberapa jauh kebutuhan nyata masyarakat dapat dipenuhi, masyara kat dapat diberdayakan dan puas terhadap pelayanan yang diterima.

Sedangkan Kasim (1996) mengukur keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu dan penanganan aspek organisasi perangkat pemerintah, misalnya:

1) Menekankan bagaimana pemerintah melaksanakan kebijakan yang telah diputuskan, seperti mekanisme kerja dan organisasi pelaksana kebijakan.

2) Menerapkan proses tata kelola yang memenuhi kebutuhan masyarakat (layanan publik berbasis pasar) sebanyak mungkin melakukan aktivitas swadana (startup) dan mengotorisasi mereka untuk mencapai layanan berkualitas tinggi.

3) Melonggarkan kendali kehidupan ekonomi dan desentralisasi pemerintah agar pemerintah daerah dapat lebih memberikan pelayanan publik.

(42)

3.3 Prinsip Otonomi Daerah

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 menganut prinsip-prinsip otonomi daerah sebagai berikut:

1. Melaksanakan otonomi daerah dengan memperhatikan potensi demokrasi, keadilan, kesetaraan, dan keragaman daerah; 2. Dasar otonomi daerah adalah otonomi yang luas, benar dan

bertanggung jawab;

3. Melaksanakan otonomi daerah yang luas dan lengkap di daerah dan kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi terbatas; 4. Penyelenggaraan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi

nasional guna menjaga keharmonisan hubungan pusat dan daerah serta antar daerah;

5. Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan otonomi daerah otonom sehingga tidak ada lagi daerah administratif di berbagai daerah dan kota. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain,seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan peraturan daerah otonom; 6. Penyelenggaraan otonomi daerah harus semakin memperkuat

peran dan fungsi legislasi daerah, meliputi fungsi legislasi, fungsi pengawasan, fungsi anggaran, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan

7. Membantu pelaksanaan tugas tidak hanya dari pemerintah ke daerah, tetapi juga dari pemerintah daerah ke desa dengan disertai dana, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, serta berkewajiban melaporkan pelaksanaan dan bertanggung jawab kepada pemindahtangan.

Hubungan keuangan pusat dan daerah yang sebelumnya berjalan relatif kecil memberikan kontribusi yang kecil terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sejauh ini, belum ada undang-undang yang diterap-kan. 5 Mei 1974 gagal membantu daerah meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Ini karena UU No. 3. Pada tanggal 5 Mei 1974, cenderung tersentralisasi dan membatasi berbagai otoritas daerah yang penting.

(43)

Kemampuan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah juga mengalami kendala sebagai berikut (Mardiasmo, 2005): 1) Pada tanggal 18, 18 1997, tentang pajak daerah dan pajak daerah,

jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah ditentukan secara terbatas, sehingga daerah akan sulit untuk kreatif dalam menentukan peluang pajak baru.

2) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menghadapi berbagai kendala, antara lain keterbatasan modal, intervensi birokrasi yang berlebihan, status hukum yang tidak jelas, serta kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional.

3) Khusus untuk penerimaan yang berasal dari perpajakan dan bagi hasil bukan pajak, kendala yang dihadapi daerah adalah tidak adanya standar mekanisme dan prosedur pengalokasian dana yang seringkali mengakibatkan keterlambatan.

Setelah pemerintah pusat melaksanakan desentralisasi, peme-rintah daerah (Pemda) berlomba mengembangkan kegiatan baru untuk mengembangkan dan meningkatkan pendapatan PAD masing-masing daerah. Selama PAD tidak menjadi beban atau beban yang berat bagi masyarakat lokal, investor lokal dan investor asing, maka tentunya tidak ada masalah. Menerapkan perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan sendiri daerah, pemberian otonomi daerah dan de-sentralisasi fiskal kewenangan yang sangat luas, sebagai tindak lanjut dari kemauan politik pemerintah untuk berhasil mengimplementasikan UU No. 22 tahun 1999 dan 2004 tentang pemerintahan daerah. Perubahan terakhir atas UU No. 32 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999, dan perubahan terakhir atas UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah yang mendukung pelaksanaan undang-undang ini.

3.4 Manfaat Otonomi Daerah

Beberapa tujuan dan manfaat dari kebijakan yang menerapkan prinsip desentralisasi, yaitu:

1. Intinya, desentralisasi dapat mencegah persetujuan kekuasaan, dan kekuasaan terpusat dapat mengarah pada tirani;

2. Dari perspektif politik, desentralisasi merupakan sarana untuk mendemokratisasi kegiatan pemerintahan;

(44)

3. Dalam hal teknologi organisasi, desentralisasi dapat menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien;

4. Dari sudut pandang sosial, karena proses pengambilan keputusan tersebar di seluruh pusat-pusat kekuasaan di daerah, desentralisasi dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat di tingkat bawah untuk berpartisipasi dan mengembangkan kepemimpinan yang bertanggung jawab secara lebih efektif;

5. Dari segi budaya, melaksanakan desentralisasi dengan tetap memperhatikan kekhasan daerah, sehingga dapat melestarikan keanekaragaman budaya, sekaligus memanfaatkannya sebagai aset untuk mendorong perkembangan bidang lain;

6. Dari sisi manfaat pembangunan ekonomi, masyarakat meyakini bahwa pemerintah daerah memiliki pengetahuan yang lebih dan terkait langsung dengan kepentingan daerah, sehingga melalui kebijakan desentralisasi pembangunan ekonomi dapat lebih cepat dan dengan biaya yang lebih murah.

Pada prinsipnya tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena dalam proses penyelengga-raan otonomi daerah dan desentralisasi sudah tersedia ruang yang cukup untuk kerjasama antar daerah berdasarkan prinsip efisiensi dan efektivitas. Pengelolaan kerjasama antar daerah dapat dilakukan oleh badan pengelola, dan pengelolaan serta pembentukan badan pengelola dapat diatur melalui keputusan bersama antar daerah. Jika tidak ada / tidak ada kerjasama antar daerah, maka pemerintah pusat dapat memberikan pelayanan publik. Ketika mitra mendapat manfaat dari kerja sama (simbiosis), atau setidaknya semua pihak mendapat manfaat tetapi tidak ada yang dirugikan (simbiosis), artinya kerjasama terjadi. Bentuk kerjasama juga dipengaruhi oleh keunggulan komparatif (kepemilikan sumberdaya) dan keunggulan kompetitif (efisiensi). Jika kedua keunggulan mitra tersebut cocok satu sama lain, maka kerja sama tersebut akan saling menguntungkan. Di sisi lain, sifat substitusi menciptakan persaingan antar pihak, sehingga bentuk kerjasama adalah spesialisasi, kesepakatan antar pihak. Pasal 2 PP Nomor 50 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan tata cara kerja sama daerah mengatur: kerjasama kawasan dilandasi prinsip efisiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, kejujuran dan kredibilitas,

(45)

dengan mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI, kesetaraan, status, transparansi, keadilan, dan kepastian hukum. Kemudian Pasal 4 mengatur tentang tujuan kerja sama daerah. Semua urusan pemerintahan telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berbentuk penyelenggaraan pelayanan publik.

(46)

Bab IV

PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

DALAM PERSPEKTIF

DESENTRALISASI

(47)
(48)

Bab IV

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI

Sebagai negara kesatuan, Indonesia menganut prinsip desentra-lisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, dimana pemerintah pusat memberikan keleluasaan atau kewenangan kepada berbagai daerah untuk melaksanakan otonomi daerah. Amandemen kedua Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa:“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka dikenal adanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Pembentukan pemerintah daerah didasarkan pada wilayah negara yang luas, meliputi berbagai pulau, dan masyarakat dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Jika semuanya dikelola oleh pemerintah pusat di ibukota negara, maka akan menyulitkan pengelolaan pemerintahan. Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang lebih efektif di seluruh negeri, dibentuklah pemerintahan daerah yang menyelenggarakan urusan atau fungsi pemerintahan di daerah, terutama yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Penyerahan kekuasaan kepada daerah sesuai dengan kepentingan masyarakat untuk mengatur dan mengurus pemerintahan daerah ini disebut desentralisasi.

(49)

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan ringkasan dari upaya yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan tanpa mengganggu variabel lain seperti alam dan lingkungan. Membangun variabel ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, akan tetapi tidak merusak lingkungan. Ekosistem lingkungan menyumbang andil besar terhadap pemba-ngunan. Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang berorientasinya terus menerus tiada henti sepanjang kehidupan umat manusia dan alam sekitarnya.

Manusia butuh kehidupan dan kehidupan itu butuh perubahan serta perubahan memerlukan pembangunan. Perubahan-perubahan yang dilakukan itu sangat tergantung pada sumber daya alam dan sumber daya alam akan habis pada waktunya ketika tidka dikelola secara berkelanjutan. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan menjadikan aspek alam sebagai sumber pembangunan tetapi tetap memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya.

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di pulau Sumatera yang kaya akan sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, namun juga merupakan daerah yang rawan bencana. Meskipun kawasan ini merupakan contoh gambaran lengkap dari sistem dan fungsi hutan terpadu, namun telah menjadi mata pencaharian dan penyedia mata pencaharian selama ratusan tahun, dan juga memainkan peran kunci dalam memastikan kelestarian fungsi alam.Namun karena sering terjadinya kebakaran hutan, belakangan ini menjadi fokus perhatian. Peristiwa kebakaran hutan ini ditengarai terjadi karena pembangunan yang dilakukan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan.

4.1 Desentralisasi dan Pembangunan Berkelanjutan

Problematika lingkungan hidup di Indonesia telah menjadi per-soalan besar yang sulit dikendalikan. Buruknya kualitas lingkungan terjadi akibat eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Sejalan dengan otonomi daerah, dimana terjadi pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah, diharapkan ada perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dibukanya peran serta masyarakat diharapkan mampu menjawab tantangan tersebut sehingga dapat menjamin dinamisme dalam perlindungan lingkungan hidup.

(50)

Otonomi daerah atau desentralisasi kewenangan biasanya dianggap sebagai rumusan dan masalah yang mengandung nilai-nilai dogmatis untuk membangun hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. Sebab sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dianggap sebagai metode atau sistem yang dapat memulihkan ke-kuasaan ke bagian terendah dari sistem sosial. Oleh karena itu, desent-ralisasi sebagai sistem pemerintahan berarti demokratisasi peme-rintahan. Namun definisi desentralisasi sendiri masih dalam perdebatan konseptual, menyangkut implementasi kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan. Perdebatan tentang pengertian desentralisasi tidak terbatas pada level terminologi, tetapi juga definisi desentralisasi itu sendiri (Mawhood, 1987; Chema & Rondinelli, 1983; Davey, 1989). Desentralisasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu "De" (lepas) dan "Centrum" (pusat). Dengan begitu desentralisasi, yaitu penarikan diri dari pusat. Atas dasar itu, Maddick menganggap desentralisasi sebagai pengalihan kekuasaan yang sah untuk men-jalankan fungsi tertentu dan fungsi yang tersisa yang disahkan oleh pemerintah daerah. Pada saat yang sama, Parson mendefinisikan desentralisasi sebagai pembagian kekuasaan pemerintah dari pusat ke kelompok lain, dan setiap kelompok berhak memasuki wilayah tertentu suatu negara (Sukriono, 2010). Secara teori, desentralisasi mengacu pada pengalihan kekuasaan dan fungsi pemerintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Ide dasar desentralisasi adalah mendelegasikan kekuasaan pengambilan keputusan kepada organisasi bawahan (Adisasmita, 2011).

Desentralisasi adalah cara untuk mencapai distribusi kekuasaan. Secara teori, pembagian kekuasaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pembagian modal dan pembagian kekuasaan daerah. Pembagian kekuasaan modal didasarkan pada doktrin Trilogi Montesque, yaitu kekuasaan dibagi menjadi kekuatan penegakan hukum, membuat undang-undang, dan kehakiman. Pada saat yang sama, pembagian kekuasaan daerah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu desen-tralisasi dan dekontrasi. Desendesen-tralisasi adalah pengalihan kekuasaan secara legal (berdasarkan undang-undang) untuk menjalankan fungsi tertentu, atau pelaksanaan kewenangan tersebut oleh otoritas lokal yang secara resmi diakui oleh konstitusi. Sedangkan dekonsentrasi

(51)

pendelegasian fungsi-fungsi tertentu kepada pegawai pemerintah pusat di luar kantor pusat (Maddick, 1963)..

Pandangan berbeda tentang desentralisasi dikemukakan oleh Chema dan Rondinelli. Menurut mereka desentralisasi adalah “is the transfer or delegating of planning, decision making or mana-gement authority from the central government and its agencies to field organizations, subbordinate units of government, semi-autonomous public coorporations, area wide or regional autho-rities, functional authoautho-rities, or non governmental organizations” (mentransfer atau mendelegasikan perencanaan, pengambilan ke-putusan atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke organisasi di tempat, pemerintah daerah atau organisasi non-peme-rintah). Jenis desentralisasi tergantung pada tingkat pengalihan ke-kuasaan atau keke-kuasaan dari pusat dan pengaturan kelembagaan atau pengaturan kelembagaan untuk pengalihan. Dalam hal ini, desentralisasi dapat menjadi bentuk yang paling sederhana, yaitu mengalihkan tugas rutin pemerintahan untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah pusat (Chema and Rondinelli, 1983).

Karena itu, wajarlah apabila Bowman dan Hampton (1983) menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dengan demikian, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun administratif kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan.

Livack & Sedom dalam Wasistiono (2003) mengemukakan bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab mengenai fungsi-fungsi publik dari pemerintahan pusat kepada peme-rintahan sub nasional, badan semi otonom maupun lembaga non pemerintah. Atas dasar itu PBB sebagaimana dikutip Koswara (2001)9 memberikan batasan bahwa:“decentralization refer to transfer of authority a way from the national capital whether by decentra-lization ( i.e ) to field office or by devolution to local authories or local bodies” (desentralisasi mengacu pada penyerahan kekuasaan

Gambar

Gambar 1. Model Konsep Pembangunan Berkelanjutan Landasan konstitusional terkaitan dengan pembangunan  ber-kelanjutan secara implisit terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi eko

Referensi

Dokumen terkait

Pembagian waris berdasarkan kondisi ekonomi ahli warisnya juga tidak melihat jenis kelamin antara para ahli warisnya, yaitu dengan memberikan bagian waris yang lebih

Pada komposisi media tanam 0% yang artinya tanpa penambahan kertas majalah sebagai media tanam terkandung Cr sebesar 0,675 mg/kg hal ini dapat diasumsikan bahwa terdapat cemaran Cr

unsigned long atau unsigned long int float double Sebutan Tipe Data Bentuk penulisan dalam Bahasa C Jumlah Byte yang diperlukan Jangkauan nilai numerik 1 1 2 2 4 4 4 8 -128

Sicilia dikelilingi oleh pulau- pulau sehingga hal ini yang membuat tempat ini sangat setrategis untuk dijadikan wilayah pertahanan bagi imperium Bizantium pada permulaan

Dengan travel cost method menunjukkan bahwa dari enam variabel dalam penelitian yaitu biaya perjalanan Pantai Sigandu, biaya perjalanan obyek wisata lain (Pantai

Mengadakan musyawarah dalam setiap agenda yang dilakukan perawat seperti rapat kerja, rapat evaluasi sehingga perawat dapat memberikan pendapat dan belajar dalam

Bahagian A mengandungi tujuh item berkaitan latar belakang responden iaitu tingkatan, jantina, umur, keputusan peperiksaan Penilaian Menengah Rendah, keputusan bahasa Inggeris dalam

Sintesis karbon nanopori dilakukan dengan dan tanpa metode iradiasi gelombang ultrasonik untuk mendapatkan karbon nanopori yang baik dan unggul.. Karbon aktif ampas tebu