• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUAK PENAFSIRAN KEBERADAAN BINTANG DALAM AL-QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENGUAK PENAFSIRAN KEBERADAAN BINTANG DALAM AL-QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

UNSUR PENCIPTAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF

AL-

QUR’A

N

(Komparasi Penafsiran Makna

Dukha>n

Surat Fus}s}ila>t ayat 11 Antara

Al-Ra>zi> Dan T}ant}a>wi> Jawha>ri>)

Skripsi:

Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Guna memperoleh gelar sarjana Strata

Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

AINUR ROHMAH (E03212043)

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Ainur Rohmah. E03212043. Unsur Penciptaan Alam Dalam Perspektif Al-Qur’an (Komparasi Penafsiran Makna Dukha>n Surat Fus}s}ilat Ayat 11 antara

Al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi> Jawhari>).

Ayat Al-Qur’an banyak yang menyebutkan tentang gejala alamiah. Lebih dari

750 ayat yang menunjukkan kepada fenomena-fenomena alam. Pada umumnya, ayat-ayat ini memerintahkan manusia untuk memperhatikan, mempelajari dan meneliti alam semesta. Pelaksanaan perintah ini akan dapat membantu manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT yakni menyadari bahwa di balik tirai alam semesta ini ada dzat yang Maha Kuasa dan Maha Esa.

Problematika yang diteliti dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana

penafsiran al-Ra>zi> tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11?. 2)

Bagaimana penafsiran T}ant}a>wi> Jauhari> tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat

ayat 11?. 3) Bagaimana perbedaan dan persamaan penafsiran al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi>

Jawhari> tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11?.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penafsiran al-Ra>zi> dan

T}ant}a>wi> Jawhari> tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan penafsiran kedua tokoh tersebut.

Sesuai dengan objek kajian skripsi ini, penelitian yang dilakukan adalah kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis mengumpulkan data

dengan cara menelusuri dan menelaah bahan-bahan pustaka terutama Tafsi>r

Mafa>tih} al-Ghayb dan Tafsi>r al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n sebagai data primernya, dan didukung juga oleh bahan lain yang relevan dengan penelitian ini. Sementara analisis data dilakukan dengan menggunakan metode content analysis.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa penafsiran al-Ra>zi> dan

T}ant}a>wi> Jawhari> terhadap makna dukha>n surat Fus}s}ilat ayat 11 terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan penafsiran kedua tokoh tersebut sama-sama

mengatakan bahwa makna dukha>n tersebut adalah asap. Secara metodologis,

Kedua tokoh ini sama-sama menggunakan metode tah}li>li> dan bentuk al-ra’y.

Adapun perbedaannya yakni, al-Ra>zi> lebih cenderung menggunakan corak tafsir

falsafi>, sementara T}ant}a>wi> lebih cenderung pada corak tafsir ‘ilmy. Secara

penafsiran, menurut T}ant}a>wi> makna dukha>n adalah asap. Asap yang dimaksud

T}ant}a>wi> di sini adalah materi gas yang panas yang menyerupai asap, awan, kabut

yang tipis. Dalam hal ini sudah jelas bahwa T}ant}a>wi> memahami dukha>n sebagai

unsur pertama dari penciptaan alam yakni berupa gas yang panas. Sedangkan

menurut al-Ra>zi>, dukha>n adalah suatu penggambaran dari suatu keadaan gelap,

yang mana Allah menciptakan langit dan bumi dalam keadaan gelap itu. Jadi,

menurut al-Ra>zi> unsur dari awal mulanya penciptaan langit dan bumi itu tidak

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Telaah Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II TAFSIR DAN MUFASIR A. Pengertian Tafsir ... 16

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir ... 17

(8)

xi

2. Tafsir Pada Masa Tabi’in ... 18

3. Tafsir Pada Masa Pembukuan ... 22

C. Metode Tafsir ... 24

D. Syarat dan Etika Mufasir ... 32

E. Makna Dukha>n dalam Al-Qur’an ... 34

BAB IIIBIOGRAFI AL-RA>ZI>, T}ANT}A>WI> DAN KARYA TAFSIRNYA A. Biografi al-Ra>zi> ... 37

1. Biografi dan Kondisi Sosial al-Ra>zi> ... 37

2. Karya-Karya al-Ra>zi> ... 41

B. Sekilas tentang Tafsir al-Ra>zi> ... 42

1. Komposisi dan Penulisan Tafsir al-Ra>zi> ... 42

2. Metode Tafsir al-Ra>zi> ... 45

3. Karakteristik Isi Kitab Tafsir al-Ra>zi> ... 49

4. Komentar Ulama terhadap Tafsir al-Ra>zi> ... 50

C. Penafsiran Surat Fus}s}ilat Ayat 11 dalam Tafsir al-Ra>zi ... 53

D. Biografi T}ant}awi> al-Jawhari> ... 61

1. Biografi T}ant}awi> al-Jawhari> ... 61

2. Karya-Karya T}ant}awi> al-Jawhari> ... 63

E. Sekilas tentang Tafsir T}ant}awi> al-Jawhari> ... 64

1. Sistematika Penulisan Tafsir T}ant}awi> al-Jawhari> ... 64

2. Metode Tafsir T}ant}awi> al-Jawhari> ... 68

(9)

F. Penafsiran Surat Fus}s}ilat Ayat 11 dalam Tafsir T}ant}awi>

al-Jawhari> ... 71

Bab IV ANALISIS MAKNA DUKHA>N ANTARA AL-RA>ZI> DAN

T}ANT}A>WI> JAWHARI>

A. Analisis Makna Dukha>n Perspektif al-Ra>zi> ... 74 B. Analisis Makna Dukha>n Perspektif T}ant}a>wi> Jawhari> ... 76

C. Analisis Perbandingan Penafsiran Makna Dukha>n dalam Surat

Fus}s}ilat Ayat 11 Antara al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi> ... 78 Bab V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 84

(10)

xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah mengalihaksarakan tulisan ke aksara lain; misalnya

dari Arab ke aksara latin. Tampilan transliterasi huruf dan madd (tanda bunyi

panjang) yang diterapkan pada nama surat dan istilah dalam penelitian ini, yakni:

1. Transliterasi Huruf

NO. ARAB LATIN NO. ARAB LATIN

1. ا a 16. ط t}

2. b 17. ظ z}

3. ت t 18. ع ‘

4. ث th 19. غ gh

5. ج j 20. ف f

6. ح h} 21. ق q

7. خ kh 22. ك k

8. د d 23. ل l

9. ذ dh 24. م m

10. ر r 25. ن n

11. ز z 26. و w

12. س s 27. نه h

13. ش sh 28. ء ’

14. ص s} 29. ي y

(11)

2. Vokal panjang (madd) ditransliterasikan dengan menuliskan huruf vokal

disertai coretan horizontal (macron) diatasnya (a>-i>-u>), contoh: h}a>l, d}a'i>f,

mawd}u> dan sebagainya.

3. Vokal tunggal (monoftong) yang dilambangkan dengan harakat,

ditranslitersikan sebagai berikut:

a. Tanda fath}ah (

َ

__ ) dilambangkan dengan huruf- a.

b. Tanda kasrah ( _

َ

__ ) dilambangkan dengan huruf- i.

c. Tanda D}ammah ( __

َ

__ ) dilambangkan dengan huruf- u.

4. Vokal rangkap (diftong) yang dilambangkan secara gabungan antara harakat

dengan huruf, di transliterasikan sebagai berikut :

a. Vokal rangkap (

وا

) dilambangkan dengan huruf au, seperti: Mawsu>'ah

b. Vokal rangkap

(

يا

) dilambangkan dengan huruf ai, seperti : Quraybi>.

5. Shaddah ditransliterasikan dengan menuliskan huruf yang bertanda shaddah

dua kali (dobel) seperti, dhimmi>, jalla dan sebagainya.

6. Alif-Lam (lam ta’rif) ditransliterasikan sebagaimana aslinya meskipun

bergabung dengan huruf shamsi>yah, antara alif-lam dan kata benda,

dihubungkan dengan tanda penghubung, misalnya, Al-Mawdu>di>, al-Nasa>'i>, dan

sebagainya.

7. Penggunaan pedoman transliterasi ini hanya digunakan untuk istilah, nama

(12)

xv

8. Pengejaan nama pengarang dan tokoh yang dikutip dari sumber yang tidak

berbahasa Arab disesuaikan dengan nama yang tercantum pada karya yang

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci yang berfungsi sebagai pedoman hidup (huda al muttaqi>n), karena itu al-Qur’an senantiasa dibaca dan ditelaah secara intensif oleh umat Islam. Al-Qur’an juga merupakan mukjizat paling besar pengaruhnya, isinya selalu relevan dengan kehidupan serta ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah bagi manusia. Salah satu kemukjizatan (keistimewaan) al-Qur’an yang paling utama adalah hubungannya dengan sains dan ilmu pengetahuan, begitu pentingnya sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an sehingga Allah menurunkan ayat yang pertama kali, yakni:

( َقَلَخ يِذّلا َكّبَر ِمْساِب ْأَرْ قِا

1

( ٍقَلَع ْنِم َناَسْنإا َقَلَخ )

2

( ُمَرْكأا َكّبَرَو ْأَرْ قِا )

3

َمّلَع يِذّلا )

( ِمَلَقْلاِب

4

( ْمَلْعَ ي ْمَل اَم َناَسْنإا َمّلَع )

5

)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.1

Ayat-ayat ini merupakan permulaan rahmat dan nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Salah satu kenikmatan tersebut adalah ilmu, dengan adanya ilmu tersebut manusia dimuliakan dan dihormati. Ilmu pengetahuan merupakan keistimewaan Nabi Adam atas para malaikat, di mana Allah mengajarkan nama-nama benda dan nama-nama tersebut tidak diketahui oleh para

(14)

2

malaikat. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu-ilmu eksak, seperti ilmu fisika, biologi, kimia, ilmu falak, kedokteran maupun ilmu-ilmu sosial seperti, sosiologi, psikologi, ekonomi, sastra dan lain-lain. Termasuk pula di dalamnya adalah ilmu-ilmu agama seperti aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, fiqh dan lain-lain.

Surat al-Alaq 1-5 juga merupakan dasar sains dan teknologi dalam Islam, Allah memerintahkan manusia untuk membaca, meneliti, mengkaji dan membahas dengan kemampuan intelektual. Surat ini merangsang daya kreativitas untuk berinovasi, mengembangkan keimanan dengan rasio dan logika yang dimiliki manusia. Kewajiban membaca dan menulis (memperdalam sains dengan meneliti) menjadi interen Islam dan penguasaan dan keberhasilan suatu penelitian atas restu Allah.2

Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama samawi yang paling sempurna. Al-Qur’an diyakini merupakan Kitabulah yang datang dari Allah,

berisi petunjuk dan pedoman yang lengkap, yang dapat memimpin manusia beriman untuk mendapatkan kebahagiaan hidup yang sejati baik di dunia maupun di akhirat. Untuk bidang sains dan teknologi, al-Qur’an diyakini mengandung ayat-ayat yang dijadikan pedoman meskipun hanya dalam garis-garis besarnya saja, misalnya tentang kejadian alam semesta mulai dari penciptaan makhluk hidup, sejarah dan berbagai proses alamiah lainnya. dengan demikian, al-Qur’an dapat digunakan sebagai sumber kebenaran ilmiah.3

2Hasan Basri Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam: Tinjauan Genetis dan Ekologis, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 11.

(15)

3

Menurut Quraish Shihab, pembahasan hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dimulai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.4

Membincangkan ilmu pengetahuan (sains) dalam al-Qur’an sama artinya membincangkan menafsirkan al-Qur’an dengan bantuan teori-teori ilmu

pengetahuan. Hal ini biasanya disebut juga dengan tafsir ilmi yang sesungguhnya sudah lama dikenal dalam sejarah peradaban Islam. Corak penafsiran seperti ini secara embrional mulai muncul pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun sebagai implikasi dari penerjemahan kitab-kitab ilmiah.5

Al-Qur’an mengandung tiga aspek pokok yaitu, aqidah, syariah dan akhlak. Menurut Quraish Shihab, pencapaian terhadap tiga aspek pokok ini diusahakan oleh al-Qur’an melalui empat cara yaitu pertama perintah untuk memperhatikan alam raya, kedua perintah untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangan manusia, ketiga kisah-kisah dan keempat janji serta ancaman dunia dan ukhrawi.6

4M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XIX, (Bandung: Mizan, 1994), 41.

5Nanang Ghojali, Manusia, Pendidikan dan Sains dalam Perspektif Tafsir Hermeneutik, cet. 1,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 101-102.

(16)

4

Ayat al-Qur’an banyak yang menyebutkan tentang gejala alamiah. Lebih dari 854 ayat al-Qur’an seolah-olah berseru: hai manusia, pergunakanlah akalmu, pergunakanlah otakmu. Lebih dari 750 ayat yang menunjukkan kepada fenomena-fenomena alam. Pada umumnya, ayat-ayat ini memerintahkan manusia untuk memperhatikan, memperlajari dan meneliti alam semesta. Pelaksanaan perintah ini akan dapat membantu manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT, yakni menyadari bahwa di balik tirai alam semesta ini ada dzat yang Maha Kuasa dan Maha Esa yaitu Allah SWT.7

Ilmu pengetahuan yang berkembang pada beberapa abad terakhir ini telah berhasil mengungkap banyak realitas dan sifat alam semesta. Hal-hal yang masih belum terungkapkan pada saat ditemukannya nanti akan merupakan bukti kemukjizatan al-Qur’an bahwa ia benar-benar firman Allah yang Maha mengetahui alam ghaib. Para ilmuwan menyatakan bahwa asal-usul alam semesta ini adalah ether.8 Sementara itu al-Qur’an juga menyatakan bahwa kejadian alam semesta ini adalah asap (nebulae)9 sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

َ ف ٌناَخُد َيَِو ِءاَمّسلا ىَلِإ ىَوَ تْسا ّمُث

اَنْ يَ تَأ اَتَلاَق اًْرَك ْوَأ اًعْوَط اَيِتْئِا ِضْرأِلَو اَهَل َلاَق

( َنيِعِئاَط

11

)

Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".10

7M. Hurmaini, Posisi Al-Qur’an dan Sains dalam Pemahaman terhadap Alam, dalam jurnal “Media Akademika: Forum Ilmu dan Budaya Islam” Vol. 16, No. 2, (Jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, 2001), 107.

8Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ether merupakan unsur sangat halus yang memenuhi lapisan teratas ruang angkasa.

(17)

5

Alam semesta dengan beragam fenomena di dalamnya, sejak lama telah menjadi pemikiran manusia mulai zaman sebelum masehi hingga zaman modern. Orang-orang Babylonia, kira-kira tahun 700-600 SM telah mendiskusikan alam semesta ini. Menurut mereka, alam semesta ini sebagai ruang setengah bola dengan bumi yang datar sebagai lantainya, sedangkan langit dengan bintang-bintang sebagai atapnya. Pendapat orang Babylonia ini sama seperti yang diungkapkan dalam surat al-Baqarah ayat 22.11

Ptolomeus (hidup tahun 127- 151) berpendapat lebih maju dari orang-orang Babylonia, seperti yang diungkapkan di atas. Menurutnya, bumi sebagai pusat alam semesta (geocentris), berbentuk bulat, diam tanpa tiang. Berbeda dengan Ptolomeus, Pythagoras (hidup 500 SM) berpendapat bahwa unsur dasar alam semesta sebenarnya ada empat yaitu, api, udara, tanah dan air. Sedangkan Plato berpendapat bahwa keanekaragaman fenomena alam semesta ini merupakan duplikat dari suatu yang kekal dan immaterial yaitu idea. Sementara Aristoteles berpendapat bahwa unsur dasar alam semesta ini adalah zat tunggal yang disebut Hule (yang zat ini dapat berupa air, tanah, api, atau udara tergantung

kondisinya).12

Berbeda dengan para ilmuwan di atas, Demokritos juga mempunyai pendapat sendiri. Menurutnya, unsur alam semesta terdiri dari atom-atom dan ruang kosong. Atom adalah unsur yang paling kecil, tidak memiliki kualitas, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat musnah dan tidak akan ada atom baru. Atom-atom

11Imron Rosyadi, Awal Kejadian Alam Semesta dalam Al-Qur’an (Telaah melalui Penelusuran Kata-kata Kunci), dalam jurnal “Publikasi Ilmiah” vol. 17, No. 2, (Surakarta: tp, 2005), 98.

(18)

6

itu bergerak dalam ruang kosong secara mekanis. Jumlah atom di alam semesta ini tidak terhingga, karena itu alam semesta juga tidak terbatas.13

Para teolog Muslim juga telah berpendapat tentang fenomena alam semesta ini dan mereka mengaitkannya dengan ketauhidan seseorang. Misalnya, seperti Teolog Asy’ariyah yang berpendapat bahwa alam semesta ini adalah baru (hadis). Menurutnya pula, alam semesta ini tidak berasal dari ada tapi dari tiada

dengan kodrat dan Iradat-Nya. Pemikiran Asy’ariyah ini nampak dengan jelas merupakan cerminan dari prinsip utamanya yakni la> qadi>ma ill Allah.

Berdasarkan pada prinsip ini, jika ada orang berpendapat bahwa alam semesta ini qadim, maka ia dapat dikategorikan sebagai musyrik, oleh karena pemikiran

seperti itu berarti berpaham politeistik dan atheistik.14

Sementara, George Lematri (seorang pakar astronom modern) berpendapat bahwa alam semesta pada awalnya dimulai pada waktu terjadi dentuman dahsyat (teori the Big Bang) kira-kira 15-20 milyar tahun yang lalu. The Big Bang ini

semacam ledakan dahsyat dari suatu yang tunggal yang memiliki kepadatan tak terhingga. Menurut teori ini, alam semesta pada awalnya berupa premival atom yang berisi semua materi dalam keadaan yang sangat padat. Suatu ketika atom ini meledak dan seluruh materinya terlempar ke ruang alam semesta. Sejak itu dimulailah ekspansi yang berlangsung ribuan juta tahun dan akan terus berlangsung ribuan juta tahun lagi. Timbul dua gaya yang saling berhadapan: gaya

(19)

7

gravitasi dan gaya repulsi kosmis. Dari dua gaya ini, gaya repulsi kosmis lebih dominan sehingga alam semesta masih berkembang.15

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam juga berbicara soal penciptaan

alam. Mulai dari proses awal penciptaan hingga terbentuknya langit dan bumi beserta isinya. Semisal awal mula penciptaan disebutkan dalam surat Fus}s}ilat ayat 11, dalam ayat itu dikatakan asal mula penciptaan adalah dukha>n. Apa dan bagaimana itu dukha>n, ulama tafsir berbeda dalam menafsirkannya. Ahli tafsir sebelum berkembangnya ilmu sains modern pada umumnya mengatakan dukha>n

adalah asap, artinya langit dan bumi beserta isinya awal mulanya adalah asap, dari asaplah langit dan bumi diciptakan.

Dalam tafsir al-Misbah, kata dukha>n biasa diterjemahkan asap. Para ilmuan memahami kata dukha>n dalam arti satu benda yang terdiri pada umumnya dari gas yang mengandung benda-benda yang sangat kecil namun kukuh. Berwarna gelap atau hitam dan mengandung panas. Demikian definisinya menurut ilmuan sebagaimana diutarakan oleh Prof. Zaghlul. Sementara ulama tafsir memahami kata ini dalam arti langit yg dilihat saat ini, berasal dari satu bahan yang serupa dengan dukha>n atau asap.16

Dalam pandangan Sayyid Qut}b, ada kepercayaan bahwa sebelum diciptakan bintang terdapat apa yang diistilahkan dengan nebula. Nebula ini merupakan asap, yaitu gas. Nebula tidaklah tercipta dari gas dan debu kecuali sekadar sisa-sisa penciptaan bintang. Teori penciptaan mengatakan bahwa galaksi

15Rosyadi, Awal Kejadian.., 99.

(20)

8

terbuat dari gas dan debu, dari dua materi ini terbentuklah planet-planet melalui penggumpalan. Namun, kejadian ini menimbulkan sisa-sisa dan dari sisa-sisa inilah terbentuk nebula.17

Al-Maraghi menjelaskan bahwa dukha>n yakni zat dalam bentuk gas yang mirip dengan asap atau awan atau kabut, dan menurut ilmu modern disebut dunia kabut.18 Sedangkan Ibnu Kathir menjelaskan bahwa dukha>n itu asap air yang mengepul ketika bumi diciptakan.19

Dalam hal penafsiran makna dukha>n surat Fus}s}ilat ayat 11, terdapat perbedaan dan persamaan pendapat antara al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi>. Menarik sekali jika melihat perbedaan dan persamaan penafsiran dalam kata yang sama dari dua mufasir beda generasi ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkomparasikan penafsiran kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11 antara al-Ra>zi>dan T}ant}a>wi> Jawhari> dengan judul penelitian Unsur Penciptaan AlamDalam Perspektif Al-Qur’an (Komparasi Penafsiran Makna Dukha>n Surat Fus}s}ilat ayat 11 antara al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi> Jawhari>).

B.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan dari pemaparan di atas, diketahui bahwa masalah pokok dalam penelitian ini adalah penafsiran makna kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat

ayat 11. Dari pemaparan yang telah disebutkan dimuka, muncul beberapa persoalan yang dapat diidentifikasi diantaranya adalah:

17Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an: Di bawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), 154.

18Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz XXIV, (Semarang: Toha Putra Semarang, 1992), 207.

(21)

9

1. Pandangan Ptolomeus dan Demokritos terhadap unsur penciptaan alam. 2. Pandangan teolog Muslim tentang fenomena alam semesta yang

mengaitkan dengan ketauhidan seseorang.

3. Pandangan Quraish Shihab terhadap kata dukha>n.

4. Pandangan Sayyid Qut}b terhadap kata dukha>n yang diistilahkan dengan nebula (asap), yakni gas.

5. Pandangan al-Ra>zi> terhadap kata dukha>n yang merupakan unsur dari awal mulanya penciptaan langit dan bumi.

6. Pandangan T}ant}a>wi> Jawhari> dalam menafsirkan kata dukha>n.

Mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang teridentifikasi, maka dalam penelitian ini diperlukan pembatasan yang lebih spesifik. Batasan masalah dimaksudkan agar kajian ini memenuhi target dengan hasil yang maksimal. Batasan masalah yang dimaksud yaitu akan terfokus pada penafsiran kata dukha>n

dalam surat Fus}s}ilat ayat 11 oleh al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi> serta persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Batasan masalah yang ditetapkan ini mengacu pada poin nomor lima dan enam dari beberapa persoalan yang teridentifikasi.

C.Rumusan Masalah

Untuk memberikan arahan yang jelas terhadap permasalahan yang akan diteliti, maka perlu kiranya perumusan masalah yang harus dicari jawabannya. Rumusan masalah yang dimaksud, adalah sebagai berikut:

(22)

10

2. Bagaimana penafsiran T}ant}a>wi> Jawhari> tentang kata dukha>n dalam surat

Fus}s}ilat ayat 11?

3. Bagaimana perbedaan dan persamaan penafsiran al-Ra>zi dan T}ant}a>wi> Jawhari>

tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11? D.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:

1. Untuk mengetahui penafsiran al-Ra>zi tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat

ayat 11.

2. Untuk mengetahui penafsiran T}ant}a>wi> Jawhari> tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11.

3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan penafsiran al-Ra>zi dan T}ant}a>wi> Jawhari> tentang kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11.

E.Telaah Pustaka

Sebelum sebuah penelitian dilaksanakan, terlebih dahulu harus melakukan proses telaah pustaka. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan hasil sebuah kajian atau penelitian terdahulu. Tujuannya agar tidak mengganggu nilai orisinilitas penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, telaah pustaka yang telah dilakukan menemukan beberapa karya tulis yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini, di antaranya:

(23)

11

Ahmad pada tahun 2006, jurusan Tafsir Hadis. Skripsi ini membahas pandangan para mufasir tentang proses pemisahan antara langit dan bumi yang terdapat pada surat al-Anbiya’ ayat 30, juga membahas kosmologi dalam

pandangan sains.

2. Skripsi di IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul Kejadian Langit dan Bumi Menurut Al-Qur’an. Ditulis oleh Atik Rohimah pada tahun 2001, jurusan

Tafsir Hadis. Skripsi ini menguraikan tentang kejadian langit dan bumi menurut al-Qur’an dilihat dari segi bahan, proses dan waktunya. Menjelaskan

manfaat penciptaan langit dan bumi bagi manusia.

3. Skripsi di IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul Kejadian Alam Semesta Menurut Al-Qur’an dan Sains. Ditulis oleh Nurul Handayani pada tahun 2001,

jurusna Tafsir Hadis. Skripsi ini memuat tentang proses terjadinya alam semesta menurut konsep al-Qur’an dan teori ilmu pengetahuan modern.

4. Skripsi di IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul Studi Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Penciptaan langit dan Bumi dalam Masa Enam Hari. Ditulis

oleh Zainul Musthafa pada tahun 2003, jurusan Tafsir Hadis. Skripsi ini membahas tentang proses penciptaan langit dan bumi dalam masa enam hari.

(24)

12

dalam surat Fus}s}ilat ayat 11 komparasi antara pemikiran al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi>,

penafsir era klasik dan era modern dengan pendekatan yang sama yakni pendekatan tafsir ilmiah.

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis sebuah penelitian dapat ditinjau dari data yang dikumpulkan. Sebagimana telah disebutkan, data penelitian berupa data sekunder yang sudah tersedia dari hasil dokumentasi orang lain. Karena itu, ditinjau dari proses keberlangsungan memperolehnya maka penelitian ini dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif. Dikategorikan demikian karena data yang menjadi objek penelitian berupa pernyataan verbal yang tertuang dalam bentuk tulisan dan tidak dapat diangkakan,20 atau menurut Haidar Nawawi “data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat atau uraian”.21

2. Sumber data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data. Yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu:

a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini, yaitu:

20Suharsimi Arikunto, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 19.

(25)

13

1) Tafsi>r Mafa>tih} al-Ghayb karya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi.

2) al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m karya T}ant}a>wi Jawhari>.

b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini diantaranya:

1) Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Karya Muhammad Husain al-Dhahabi>.

2) Al-Tafsi>r Ma’a>lim Haya>tuhu> Manhajuhu al-Yaum Karya Amin al-Khu>liy.

3) Al-Mufassiru>n: H}aya>tuhum wa Manhajuhum Karya Muh}ammad Ali> Iya>zi>.

4) Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. 5) Tafsir „Ilmi Karya A. Mufakhir Muhammad. 6) Pengantar Ilmu TafsirKarya Samsurrohman. 7) Pengantar Ilmu Tafsir Karya Rachmat Syafe’i.

8) Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 Karya Mana>’ul Quthan. 3. Teknik pengumpulan dan pengolahan data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yakni cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan telaah pustaka yang meliputi: buku-buku tentang pendapat-pendapat, teori-teori, dalil-dalil atau hukum-hukum yang berhubungan dengan penelitian.22

(26)

14

4. Metode analisis data

Mengingat data yang dikumpulkan adalah data kualitatif (data berupa informasi yang tidak dapat diangkakan), maka data tersebut akan dianalisis secara kualitatif pula. Karena itu untuk menelaah dan mengkaji isi kandungan data utama dan yang lain digunakan teknik content analysis (kajian isi). Hal ini didasarkan pada pendapat Lexy J. Moloeng. Ia mengatakan “untuk memanfaatkan dokumen yang padat isinya, biasanya digunakan metode tertentu. Metode yang paling umum adalah content analysis atau dinamakan kajian isi”.23 Dari tiga macam metode content analysis: deskriptif, eksplanatif, dan prediktif,24 yang selaras dengan tujuan penelitian di sini adalah deskriptif. Yaitu bermaksud menggambarkan secara detail penafsiran al-Ra>zi> dan T}ant}a>wi> tentangpemaknaan

kata dukha>n dalam surat Fus}s}ilat ayat 11, kemudian membandingkan penafsiran

anatar keduanya, sehingga diperoleh gambaran persamaan dan perbedaan pendekatan ilmiah di antara keduanya.

23Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 163.

24Ada tiga jenis metode content analysis, yaitu;

1. Deskriptif: analisis isi yang dimaksudkan untuk menggambarkan secara detail suatu pesan dan suatu teks tertentu.

2. Eksplanatif: analisis isi yang yang di dalamnya terdapat pengujian hipotesis tertentu.

3. Prediktif: analisis isi yang berusaha memprediksi hasil seperti tertangkap dalam analisis isi dengan variabel lain.

(27)

15

G.Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab pertama berisi Pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika pembahaan.

Bab kedua berisi tentang Tafsir dan Mufasir. Pada bab ini akan menjelaskan tafsir secara umum, yakni meliputi pengertian, pertumbuhan dan perkembangan tafsir, metode, syarat dan etika mufasir, dan makna dukha>n dalam al-Qur’an.

Bab ketiga membahas tentang penafsiran makna kata dukha>n surat

Fus}s}ilat ayat 11 dalam tafsir al-Ra>zi dan T}ant}a>wi Jawhari>. Pada bab ini akan dikemukakan biografi al-Ra>zi dan T}ant}a>wi Jawhari>, karya tafsir al-Ra>zi dan

T}ant}a>wi Jawhari>, dan penafsiran makna dukha>n surat Fus}s}ilat ayat 11 antara al-Ra>zi dan T}ant}a>wi Jawhari>.

Bab keempat berisi tentang analisis penafsiran ilmiah surat Fus}s}ilat ayat 11 antara al-Ra>zi dan T}ant}a>wi Jawhari>.

(28)

16

BAB II

TAFSIR DAN MUFASIR

A.Pengertian Tafsir

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan taf‘il,berasal dari akar kata al-fasr

yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan

makna yang abstrak. Dalam lisa>n al-‘Arab dinyatakan: kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup. Sedang kata al-tafsi>r berarti menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik.1 Dalam al-Qur’an dinyatakan:

ِب َكاَنْ ئِج َِّإ لَثَمِب َكَنوُتْأَي َََو

اريِسْفَ ت َنَسْحَأَو ِقَحْلا

.

Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,

melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik

tafsir-nya.2

Maksud dari ayat tersebut adalah paling baik penjelasan dan perinciannya.

Diantara kedua bentuk kata itu, al-fasrdan al-tafsi>r.Kata al-tafsi>r(tafsir)-lah yang paling banyak dipergunakan.

1Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), 455-456.

(29)

17

Sedangkan menurut istilah, tafsir adalah:

ِيِبَن ىَلَع ِلّزَ نُمْلا ِها َباَتِك ِهِب ُمَهْفُ ي مْلِع رْ يِسْفّ تلا

َناَيَ بَو مّلَسَو ِهْيَلَع ُها ىّلَص دّمَحُم ِه

ِعَو ِفْيِرْصّتلاَو ِوْحّنلاَو ِةَغُللا ِمْلِع ْنِم َكِلذ ِداَدْمِتْساَو ,ِهِمْكِحَو ِهِماَكْحَأ ِجاَرْخِتْساَو ,ِهيِناَعَم

ِمْل

َفِرْعَمِل ُجاَتْحَيَو , ِتاَءاَرِقْلاَو ِهْقِفْلا ِلْوُصُأَو ِناَيَ بْلا

.ِخْوُسْنَمْلاَو ِخِسأّنلاَو ِلْوُزُ نلا ِباَبْسَأ ِة

Tafsir ialah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW untuk menjelaskan makna-makna teks kitab=Nya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya dengan menggunakan alat bantu berupa ilmu bahasa, nahwu, s}araf, ilmu

bayan, ushul fiqhdan qiraahdengan didukung pengetahuan mengenai asba>b al-nuzu>ldan nasikh-mansu>kh.3

Sementara itu, Abdullah Shatah berpendapat bahwa tafsir ialah ilmu yang

membahas tentang al-Qur’an al-Karim yang melihat sudut dalalahnya untuk

mengetahui maksud Allah SWT dalam firman-Nya sesuai dengan kemampuan

yang dimiliki oleh manusia.4

Dengan demikian, tafsir merupakan pinyu masuk untuk mencapai hidayah

serta pemahaman yang dikomunikasikan Allah tidak dapat dipahami oleh

manusia. Meskipun demikian, dalam praktiknya seseorang tidak mungkin

mencapai pemahaman selama ia belum merenungkannya. Oleh sebab itu, manusia

dituntut untuk mampu membuka dan mencari penjelasan yang dimaksud oleh

kitab suci dengan ilmu tafsir.5

3Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2014), 16. 4Ibid.,

(30)

18

B.Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir

Pertumbuhan tafsir al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam beberapa

periode sebagai berikut:

1. Tafsir Pada Masa Nabi dan Sahabat

Periode Nabi dan sahabta dijadikan satu di dalam kajian ini karena

pola dan metode penafsiran al-Qur’an yang diberikan oleh sahabat tidak

terdapat perbedaan yang berarti dari petafsiran yang diberikan oleh Nabi,

kecuali dari sudut sumber. Kalau tafsir Nabi berasal dari Allah langsung atau

lewat Jibril atau pribadi beliau sendiri, penafsiran sahabat bersumber dari

al-Qur’an, Nabi, dan dari ijtihad mereka. Jadi, perbedaan teknis antara kedua

tafsir itu tidak terlalu jauh. Namun, dari segi kualitas jelas penafsiran Nabi jauh

lebih unggul dan lebih terpercaya karen beliau langsung menerima ayat

al-Qur’an dari Allah.6

Mufasir dari kalangan sahabat. Diantara mereka yang paling terkenal

adalah sempat khalifah, Ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin

Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin a;-Zubair, Anas bin Malik, Abu

Hurairah, Jabir dan Abdullah bin „Amr bin „As}. Diantara empat khalifah yang paling banyak diriwayatkan tafsirnya adalah Ali bin Abi T}alib, sedang periwayatan dari tiga khalifah lainnya jarang sekali. Hal ini karena mereka

meninggal lebih dahulu.7

6Nashruddin Baidan, Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 6.

(31)

19

Sumber-sumber tafsir al-Qur’an pada masa sahabat ini paling tidak

ada empat macam, yaitu:

a. Al-Qur’an al-Karim

b. Hadis-hadis Nabi Saw

c. Ijtihad atau kekuatan istinbat (melalui bahasa, budaya, dan adat kebiasaan

bangsa Arab)

d. Cerita ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nasrani.8

Dilihat dari ssegi sumber-sumber tafsir tersebut, bentuk tafsir para

sahabat pada umumnya adalah al-ma’thur, yaitu penafsiran yang lebih banyak

didasarkan atas sumber yang diriwayatkan atau diterima dari Nabi daripada

pemikiran (al-ra’yu).

Dilihat dari segi metode penafsiran, ternyata para sahabat memakai

metode tafsir ijmali (global), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat dan ringkas, hanya sekedar memberi penjelasan muradif (sinonim) kata-kata yang sukar dengan sedikit keterangan.9

Dengan demikian, sistematika penafsiran para sahabat amat

sederhana, uraian tafsirnya menonton, seperti urutan ayat-ayat di dalam

mus}h}af, tidak ada judul atau sub-subjudul dan sebagainya. Ruang lingkup penafsirannya bersifat horizontal, artinya penafsiran yang diberikan melebar

dan global, tidak mendalam dan merinci suatu kasus atau peristiwa, dan belum

(32)

20

difokuskan pada sesuatu bidang pembahasan tertentu atau boleh disebut

tafsiran mereka bercorak umum.10

2. Tafsir Pada Masa Tabi’in

Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam

lapangan tafsir, maka sebagian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar

kepada mereka pun terkenal di bidang tafsir. dalam hal sumber tafsir, para

tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya

di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Kitab-kitab tafsir

menginformasikan pada generasi berikutnya terkait pendapat-pendapat tabi’in

tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui al-ra’y dan ijtihad, dan penafsiran

tabi’in ini sedikit pun bukan berasl dari Rasulullah atau dari sahabat.11

Pada uraian di muka telah dikemukakan, tafsir yang dinukil dari

Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur’an. Mereka

hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang

semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara

bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka

para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan

sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka pun menambahkan ke dalam tafsir

keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut.

Setelah itu muncullah generasi sesudah tabi’in. Generasi ini pun berusaha

menyempurnakan tafsir Qur’an secara terus-menerus dengan berdasarkan pada

pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara bertutur kata,

(33)

21

peristiwa yang terjadi pada masa turunnya al-Qur’an yang mereka pandang

valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.12

Mufasir dari kalangan tabi’in ini adalah al-Hasan al-Basri, „At}a>’ bin

Abi Muslim al-Khurrasani, Muhammad bin Ka’ab al-Qaraz}i, Abul „Aliyah rafi’ bin Mahran al-Rayahi, Dahhak bin Muzahim, „Atiyah bin Sa’ad al-„Aufi,

Qatadah bin Di’amah al-Sadusi, al-Rabi’ bin Anas dal al-Sadi. Pada umumnya

pendapat mereka diterima dari para sahabat.13

Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari tabi’in,

jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari Rasulullah atau para

sahabt, apakah pendapat mereka itu dapat dipegangi atau tidak?. Segolongan

ulama berpendapat, tafsir mereka tidah (harus) dijadikan pegangan, sebab

mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa atau situasi dan kondisi yang

berkenaan dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja

berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak

mufasir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya

mereka menerimanya dari para sahabat. Akan tetapi, pendapat yang kuat ialah

jika para tabi’in sepakat atas sesuatu pendapat, maka wajib menerimanya, tidak

boleh meninggalkannya untuk mengambil yang lain.14

Pada masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan

periwayatan (talaqqi wa talqi>n).Akan tetapi setelah banyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita Isra’iliyat yang

12Al-Qat}t}an, Studi Ilmu-Ilmu.., 474. 13Ibid.,480.

(34)

22

kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. misalnya, yang diriwayatkan dari

Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar, Wahb bin Munabih dan Abdul Malik

bin Abdul „Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini mulai timbul silang

pendapat mengenai tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya

pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut

sebenarnya berdekatan satu dengan yang lain atau hanya merupakan sinonim

semata. Dengan demikian perbedaan itu hanya dari segi redaksional, bukan

perbedaan yang saling bertentangan dan kontradiktif.15

3. Tafsir Pada Masa Pembukuan

Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal

dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadis mendapat prioritas utama dan

pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah

satu bab dari sekian banyak yang dicakupnya. Pada masa ini penulisan tafsir

belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir al-Qur’an, surah

demi surah dan ayat demi ayat, dari awal Qur’an sampai akhir.16

Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang

dinisbahkan kepada Nabi, sahabat atau tabi’in sangat besar di samping

perhatian terhadap pengumpulan hadis. Tokoh terkemuka diantara mereka

dalam bidang ini adalah Yazid bin Harun al-Sulami, Syu’bah bin bin al-Hajjaj,

Waki’ bin Jarrah, Sufyan bin „Uyainah, Rauh bin „Ubadah al-Basri,

Abdurrazaq bin Hammam, Adam bin Abu Iyas, dan „Abd bin Humaid. Tafsir

golongan ini sedikitpun tidak ada yang sampai kepada kita, yang diterima

(35)

23

hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka sebagaimana

termuat dalam kitab-kitab tafsir bi al-ma’thur.17

Sesudah golongan ini datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir

secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri

sendiri dan terpisah dari hadis. Al-Qur’an mereka tafsirkan secara sistematis

sesuai dengan tertib Mushaf.

Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada

Rasulullah, sahabat tabi’in dan tabi’it tabi’in, dan terkadang disertai pen-tarjih

-an terhadap pendapat-pendapat y-ang diriwyatk-an d-an penyimpul-an (istinba>t})

sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata (i’ra}b) jika diperlukan,

sebagaimana dilakukan Ibn Jarir al-T}abari.18

Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai

kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus

meningkat, masalah-masalah “Kalam” semakin berkobar, fanatisme madzhab

menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur dengan

ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung madzhab

masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir ternoda polusi udara tidak sehat

tersebut, sehingga para mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada

pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan. Pada diri

mereka melekat istilah-istilah ilmiah, akidah madzhabi dan pengetahuan

falsafi. Masing-masing mufasir memenuhi tafsirnya hanya dengan ilmu yang

paling dikuasainya tanpa memperhatikan ilmu-ilmu yang lain. Ahli ilmu

(36)

24

rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosof,

seperti Fakhruddin al-Razi.19

Pada masa-masa selanjutnya, penulisan tafsir mengikuti pola di atas

upaya golongan muta’akhkhirin yang mengambil begitu saja penafsiran

golongan mutaqaddimin, tetapi dengan cara meringkasnya di satu saat dan

memberinya komentar di saat lain. Keadaan demikian terus berlanjut sampai

lahirnya pola baru dalam tafsir mu’a>s}ir (modern), di mana sebagian mufasir

memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping upaya

penyingkapan asas-asas kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri’ dan teori-teori

ilmu pengetahuan dari kandungan al-Qur’an sebagaimana terlihat dalam tafsir

al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, al-Mana>r, dan al-Z}ila>l.20

C.Metode Tafsir

Metode ialah cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai

maksud atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu

kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan. Metode berasal dari bahasa

Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau jalan. Selanjutnya diserap ke dalam

bahasa Inggris menjadai method. Sementara itu dalam bahasa Arab, metode

diterjemahkan dengan t}ari>qahdan manhaj.21

Dapat dikatakan bahwa metode merupakan penjabaran dari pendekatan.

Pendekatan memberikan gambaran konsep dasar yang mampu mewadahi,

menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode tafsir. Sehubungan dengan

19Al-Qat}t}an, Studi Ilmu-Ilmu.., 477-478. 20Ibid., 478.

(37)

25

penggunaannya, ada dua istilah yang sering digunakan dalam ilmu tafsir: 1)

Metode tafsir, yaitu cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an. 2)

Metodologi tafsir, yaitu disiplin ilmu yang membahas tentang cara menafsirkan

al-Qur’an.22

Dengan demikian, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang

digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sementara itu, metodologi

tafsir merupakan pembahasan ilmiah tentang metode-metode tafsir al-Qur’an dan

berkedudukan sebagai jalan yang harus ditempuh jika ingin sampai kepada tujuan.

Selanjutnya, tujuan disebut corak tafsir sehingga bagaimana pun bentuk tafsir

akan mencapai suatu corak tertentu.23

Dalam perkembangan ilmu tafsir terdapat beberapa metode penafsiran

yang secara general dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Dilihat dari model atau ragam dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa

metode penafsiran, yaitu:

a. Metode Tafsi>r Tah}li>li>

Metode tafsi>r tah}li>li>atau biasa disebut metode analitis adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari

seluruh aspeknya.24 Metode tafsir ini memiliki karakteristik, antara lain: (1)

terdapat penjelasan arti kata per-kata (mufrada>t) yang tergantung dalam ayat yang ditafsirkan. (2) terdapat penjelasan asba>b al-nuzu>l. (3) terdapat penjelasan tentang munasa>bah al-a>yat dan munasa>bah al-su>rat. (4)

22Samsurrohman, Pengantar Ilmu.., 118. 23Ibid.,

(38)

26

terdapat penjelasan terhadap hal-hal yang dapat diistinbatkan dari ayat

tersebut. Karya-karya tafsir pada abad klasik dan pertengahan hampir

semuanya menggunakan metode tafsi>r tah}li>li>.25 b. Metode Tafsi>r Ijma>li>

Metode tafsi>r ijma>li>adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika

uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan

yan ada dalam mushaf.kemudian mengemukakan makna global yang

dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan

di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur

ulama dan mudah dipahami oleh semua orang.26 Kitab tafsir yang masuk

dalam kategori ini antara lain: Tafsi>r al-Jala>layn (Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i dan

Jala>l al-Di>n al-Mah}alli>) dan Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m (Muh}ammad Fari>d Wajdi>).

c. Metode Tafsi>r Muqa>ran

Metode tafsi>r muqa>ran adalah penafsiran sekelompok ayat al-Qur’an yang bicara dalam satu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan

ayat, antara ayat dengan hadis, baik dari segi isi maupun redaksinya, juga

antara pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan

tertentu dari obyek yang dibandingkan.27

25Nur Hamim, “Studi Tentang Metode Tafsir dan Karakteristik Isi Kitab Tafsi>r al-Kabi>r

Mafa>tih} al-GhaybKarya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>”, Qualita Ahsana: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 2 No. 1 (April, 2000), 68.

(39)

27

d. Metode Tafsi>r Mawd}u>’i>

Metode tafsi>r mawd}u>’i>adalah tafsir dengan topik yang memiliki hubungan

antara ayat yang satu dan ayat yang lain mengenai tauhid, kehidupan sosial,

atau ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, tafsi>r mawd}u>’i> ialah metode

mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu tema tersendiri,

menafsirkannya secara global dengan kaidah-kaidah tertentu, dan

menemukan rahasia yang tersembunyi di dalam al-Qur’an.28

Aplikasi metode tafsi>r mawd}u>’i> dalam menafsirkan al-Qur’an antara lain

adalah: (1) memilih atau menetapkan masalah yang dibahas secara tematis.

(2) melacak atau mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah

yang ditetapkan. (3) menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut-kronologis

sesuai dengan masa turunnya disertai penentuan mengenai asba>b al-nuzu>l.

(4) melacak dan menetapkan muna>sabah ayat-ayat dan surat masing-masing sesuai dengan tema yang dibahas. (5) menyusun tema bahasan

dalam rangka mencari tema yang pas, sistematis, sempurna dan utuh. (6)

melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan tema yang

dibahas. (7) menyimpulkan pemahaman terhadap ayat-ayat sesuai dengan

tema yang dibahas secara komprehensif dan menyeluruh. Karya-karya

tafsir yang dipandang menggunakan metode mawd}u>’i> ini antara lain

adalah: al-Mar’ah fi> al-Qur’a>n (‘Abbas al-‘Aqqa>d), Riba> fi> al-Qur’a>n (Abu

‘Ala>’ al-Mawdu>di>) dan ‘Aqi>dah fi> al-Qur’a>n (Muh}ammad Abu> Zahrah).29

(40)

28

2. Dilihat dari segi pendekatan dalam menafsirkan al-Quran terdapat dua metode

tafsir, yaitu:

a. Tafsi>r bi al-Ma’thu>r

Metode tafsi>r bi al-ma’thu>r atau disebut juga dengan tafsi>r al-riwa>yatdan

tafsi>r al-naql ialah penafsiran dengan berpegang pada penjelasan yang terdapat di dalam ayat al-Qur’an itu sendiri yang mencakup penjelasan,

perincian, sebagian ayat, serta riwayat yang dikutip Nabi, sahabat dan

tabi’in.30 Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode tafsi>r bi

al-ma’thu>r adalah kitab tafsi>r Ja>mi’ al-Baya>n fi> tafsi>r al-Qur’a>n karya Ibn Jari>r al-T}abari>. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Abu> al-Fida>’ Isma’’il bin

Kathi>r, dan Ma’a>lim al-Tanzi>l (al-Tafsi>r al-Manqu>l) karya Ima>m al-Baghawi>.31

b. Tafsi>r bi al-ra’y

Metode tafsi>r bi al-ra’y adalah corak penafsiran yang menempatkan rasio (akal) sebagai unsur pokok di dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Dalam

menggunakan tafsi>r bi al-ra’y, para mufassir melakukan ijtihad. Sementara kemampuan, latar belakang, orientasi dan sudut pandang mereka terhadap

ayat-ayat tertentu tidak selalu sama, bahkan tidak mustahil saling bertolak

belakang. Karenanya para ulama berbeda pendapat terhadap penggunaan

metode tafsi>r bi al-ra’y tersebut. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang tidak memperbolehkan. Di antara kitab tafsir yang menggunakan

metode tafsi>r bi al-ra’y adalah: Anwa>l al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l karya

(41)

29

al-Baid}a>wi> dan Mada>rik al-Tanzi>l wa H}aqa>’iq al-Ta’wi>l karya Muh}ammad al-Nasafi>.32

3. Dilihat dari segi corak dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa metode

yang digunakan, yaitu:

a. Tafsi>r ‘ilmi>

Metode tafsi>r ‘ilmi> adalah corak penafsiran ayat-ayat kawniyah yang

terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu-ilmu

pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, atau dapat juga

dikatakan bahwa tafsi>r ‘ilmi> adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an

dengan mengukuhkan keterangan ilmiah yang darinya dihasilkan berbagai

macam ilmu pengetahuan. Diantara kitab tafsir yang digolongkan sebagai

menggunakan metode tafsi>r bi ‘ilmi> antara lain adalah tafsi>r al-Qur’a>n wa

Yasbiq al-‘ilm al-H}adi>th karya Muh}ammad Rid}a> al-Haki>mi>, al-Isla>m fi>

‘as}r al-‘ilmi> karya Muh}ammad Ah}mad al-Ghamrawi>, dan Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n karya T}ant}a>wi> al-Jawhari>.33

b. Tafsi>r Fiqhi>

Metode tafsi>r fiqhi> adalah corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan memfokuskan perhatiannya pada aspek hukum fiqh. Ayat-ayat yang

ditafsirkan dengan menggunakan corak tafsi>r fiqhi>adalah ayat-ayat hukum

(a>ya>t al-ah}ka>m).34 Hal ini akibat dari berkembangnya ilmi fiqih, dan

terbentuknya madzhab-madzhab fiqih yang setiap golongan berusaha

32Hamim, Studi Tentang.., 70. 33Ibid., 70-71.

(42)

30

membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran

mereka terhadap ayat-ayat hukum.35

Diantara kitab tafsir yang digolongkan sebagai bercorak tafsi>r fiqhi>adalah:

Ah}ka>m al-Qur’a>n karya Al-Jas}s}as}, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n karya al-Qurt}ibi, al-Tafsi>r al-Ah}madiyyah fi> Baya>n al-A>ya>t al-Shar’iyyah karya

Mullajyun (Hanafiyah), Tafsi>r A>ya> al-Ah}ka>m karya Syaikh Manna>’ al -Qat}t}a>n.36

c. Tafsi>r S}u>fi>

Metode tafsi>r s}u>fi> adalah corak penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an

yang mengkhususkan pembahasannya pada tas}awwuf.Menurut Manna>’ al -Qat}t}a>n, tafsi>r s}u>fi> merupakan corak penafsiran yang berlandaskan pada perilaku ritual para s}u>fi> untuk menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari kemegahan dunia melalui zuhd (asketisme), khalwat (kontemplasi) dan

taqassuf (kesederhanaan dan memperbanyak ibadah).37

Diantara kitab tafsir yang digolongkan sebagai corak s}u>fi> adalah: Tafsi>r

al-Qur’a>n al-‘Azi>mkarya Ima>m al-Tustu>ri, H}aqa>iq al-Tafsi>rkarya al-Salami, dan Araish al-Baya>n fi> Haqa>iq al-Qur’a>nkarya al-Shaira>zi>.38

d. Tafsi>r Falsafi>

Metode tafsi>r falsafi> adalah corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Berdasarkan corak ini, para mufassir

35M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, cet. 3, (Bandung: Mizan, 2009), 108. 36Samsurrohman, Pengantar Ilmu.., 189-190.

(43)

31

berusaha menafsirkan ayat-ayat mutasha>biha>t dengan ta’wil sifat-sifat sesuai dengan pertimbangan akal atau rasio saja, merkea menjadikan akal

sebagai dasar untuk memahami al-Qur’an serta ta’wil ayat-ayatnya, tidak

menjadikan al-Qur’an sebagai dasar bagi akal tetapi mereka menafsirkan

sesuai kemampuan akalnya saja.39 Diantara kitab tafsir yang ditulis

berdasarkan corak falsafi> ini adalah kitab tafsir al-Kabi>r Mafa>tih} al-Ghayb

karya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (w. 606 H).40

e. Tafsi>r Adabi> Ijtima>’i>

Metode tafsi>r adabi> ijtima>’i> adalah corak penafsiran yang berusaha

memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara, pertama dan utama,

mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya

menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan

gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah berikutnya,

penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji

dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini

sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan

menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya

sebatas kebutuhan.41

Kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak ini, antara lain: tafsi>r al-Mana>r karya Muh}ammad Abduh} dan Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, tafsi>r

(44)

32

Qur’a>n al-Kari>m karya al-Syaikh Mah}mud Shaltut, dan tafsi>r al-Mara>ghy

karya al-Maraghy.42

D.Syarat dan Etika Mufasir

Orang-orang yang bermaksud menafsirkan al-Qur’an al-Karim harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Memiliki i’tikad yang benar dan mematuhi segala ajaran agama.

2. Mempunyai tujuan yang benar, artinya seorang mufasir dengan karyanya harus

semata-mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, bukan

untuk tujuan yang lain, seperti untuk mendapatkan pujian atau sanjungan,

mencari popularitas dan lain sebagainya.

3. Seorang penafsir seyogyanya hanya berpegang kepada dalil naqli dari Nabi,

sahabat dan orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka, serta harus

menghindari segala sesuatu yang tergolong bid’ah.

4. Seorang penafsir harus menguasai ilmu-ilmu yang semestinya diperlukan oleh

penafsir, yaitu ada lima belas macam ilmu, diantaranya adalah: Ilmu Bahasa

Arab, Ilmu Nahwu, Ilmu Tas}ri>f atau S}arf, Ilmu Ishtiqaq (asal usul kosakata), Ilmu al-Ma’ani, Ilmu al-Baya>n, Ilmu al-Badi>’, Ilmu al-Qira>’at, Ilmu

Us}u>luddin, Ilmu Us}u>l al-Fiqh, Ilmu Asba>b Nuzu>l, Nasikh wa al-Mansu>kh, Ilmu Fiqih, Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan penafsiran hal-hal yang mujmal dan mubham. Ilmu al-Mawhibah yaitu suatu ilmu yang

(45)

33

dianugerahkan oleh Allah kepada orang yang mengamalkan apa yang ia

ketahui.43

Mufasir harus memiliki etika dalam menafsirkan al-Qur’an. Ada

beberapa etika yang harus dimiliki mufasir. Apabila mufasir tidak memiliki salah

satunya, hendaknya ia diam dan tidak menafsirkan al-Qur’an sama sekali.

Etika-etika tersebut adalah:

1. Memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, baik ibadah maupun

muamalah, agar mufasir dapat menyusun tafsirnya secara sistematis.

2. Mengetahui pendapat-pendapat yang disampaikan oleh ulama salaf dan ulama

khalaf.

3. Berperangai baik dan cerdas.

4. Dapat membedakan antara ilham dari Allah SWT dan bisikan dari setan.

5. Mampu mebedakan antara maslahat dan mudarat.

6. Selalu menyerahkan segala urusan kepada Allah serta selalu mendekatkan diri

kepada-Nya.

7. Tidak berbangga diri serta tidak mengandalkan kemampuan akalnya. Mufasir

harus ikhlas dan tawakkal kepada Allah. 44

8. Berniat baik dan bertujuan benar.

9. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufasir tidak berbicara atau

menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara

ini ia akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.

43Al-Farma>wi>, Metode Tafsir.., 9-10.

(46)

34

10. Tawad}u’ dan lemah lembut.

11. Berjiwa mulia.45

E.Makna Dukha>nDalam Al-Qur’an

Al-Baqy dalam kitabnya yang berjudul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>zh al-Qur’a>n al-Kari>mmenyebutkan bahwa kata dukha>ndisebut dua kali di dalam

al-Qur’an, yakni pada surat Fus}s}ilat ayat 11 dan surat al-Dukha>n ayat 10. Akan tetapi kata dukha>n yang terdapat dalam surat yang disebut kedua tidak berbicara tentang proses penciptaan alam semesta seperti dalam surat yang disebut pertama.

Kata dukha>n, tampaknya menjelaskan tentang bentuk alam semesta ketika berlangsungnya fase awal penciptaannya.46

Dalam surat al-Dukha>n ayat 10, kata dukha>n artinya asap, kerusakan, kematian, kekeringan, atau kelaparan. Para mufassir sepakat bahwa kata dukha>n

disini musim kering. Menurut salah satu mufassir, kata dukha>n berarti jadab

artinya kematian atau kekeringan, dan berarti pula ju>’ artinya kelaparan, karena

musim kering mendatangkan duka-cita begitu rupa hingga orang yang menderita

kelaparan seakan-akan melihat asap yang melayang antara dia dan langit, tetapi

mufassir lain menerangkan alasan yang sebenarnya mengapa kelaparan disebut

dukha>n yaitu karena pada waktu musim kering bumi yang tandus menimbulkan debu sehingga terjadilah udara berdebu, seakan-akan itu menyerupai asap.47

Secara ilmiah, asap atau kabut (dukha>n) didefinisikan sebagai subtansi yg sebagian besar materinya berupa gas dan sebagian berupa partikel padat, sebagian

45Al-Qat}t}an,Studi Ilmu-Ilmu.., 466. 46Rosyadi, Awal Kejadian.., 102.

47Maulana Muhammad Ali, Qur’an Suci: Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa

(47)

35

berwarna gelap dan sebagian lagi panas.48 Ayat al-Qur’an mengisyaratkan hal

tersebut melalui firman-Nya: (Qs. Fushilat: 11)

اَنْ يَ تَأ اَتَلاَق ا ْرَك ْوَأ ا عْوَط اَيِتْئِا ِضْرِْلَو اَهَل َلاَقَ ف ناَخُد َيَِو ِءاَمّسلا ىَلِإ ىَوَ تْسا ّمُث

يِعِئاَط

( َن

11

)

Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".49

Dari ayat diatas terbesit pertanyaan, apakah bumi dan langit bisa berbicara

sehingga keduanya bisa menjawab perintah Allah, “kami datang dengan patuh”

ataukah jawaban tersebut hanya bersifat simbolis-majasi?.50

Para ahli astronomi menyatakan bahwa yang mengontrol perilaku

benda-benda langit setelah kehendak Allah adalah massa materi (mass of matter) dan

energi (mass of energy) yg berkumpul di dalam benda-benda itu. Jadi, yg

membuat bumi menjadi planet yang dingin, memiliki selimut gas (atmosfer), dan

air (laut), dan baik untuk kehidupan manusia adalah massa tersebut.51

Massa sendiri adalah sekumpulan materi dan energi yang dibawa oleh

benda-benda angkasa sewaktu terlepas dari gumpalan asap setelah ledakan besar.

Materi dan energi itu kemudian menyesuaikan diri dengan membentuk kekuatan

gravitasi.52

48Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains Al-Qur’an: Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman

Allah, (Jakarta: Zaman, 2014), 336. 49Al-Qur’a>n,41: 11.

50Thayyarah, Buku Pintar.., 336. 51Ibid., 336-337.

(48)

36

Al-Qur’an menegaskan bahwa ledakan besar mengubah alam ke bentuk

gumpalan asap. Lalu, dari asap itulah Allah menciptakan semua benda-benda

angkasa. Asap yang tersisa kemudian memenuhi ruang-ruang diantara

benda-benda angkasa. Asap tersebut pernah diambil gambarnya di beberapa sisi jagat

raya yg sudah terpantau. Bahkan, akhir-akhir ini kita berhasil melihat

bintang-bintang baru yg tercipta dari asap tersebut. Bintang-bintang-bintang itu terletak di dalam

kabut (nebula), persis seperti pada masa awal penciptaan.53

(49)

BAB III

BIOGRAFI AL-RA>ZI>, T}ANT}A>WI DAN KARYA TAFSIRNYA

A.Biografi al-Ra>zi>

1. Biografi al-Ra>zi>

Fakhruddi>n al-Ra>zi> nama lengkapnya adalah Muhammad ibn ‘Umar ibn

al-H}usayn ibn ‘Aliy al- Qurasyi> al-Taimi> al-Bakri> al- T}abrastani>. Ia lahir pada

tanggal 25 Ramadhan 544 H bertepatan dengan tahun 1148 M di Rayy, sebuah

kota yang sangat terkenal di Iran, berdekatan dengan Khurasan dan Teheran. Pada

masanya, ia mendapat gelar al-Ima>m maupun lainnya, seperti: Syaikh Isla>m,

al-Ra>zi> dan Fakhruddi>n. Julukan dari garis keturunannya menurut sumber yang

termasyhur adalah Ibn al-Khat}i>b atau ibn Khat}i>b al-Rayy, namun sebagian yang

lain ada yang menisbahkan pada Abiy al-Fad}l, Abi> ‘Abdillah, Abi> al-Ma’aliy.

Namun, sebutan yang paling populer dikalangan para mufassir adalah Fakhruddi>n

al-Ra>zi>, Fakhr al-Ra>zi>, atau al-Ra>zi>.1

Pada masa mudanya, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> dikenal sebagai seorang

pengembara yang giat mencari ilmu. Banyak tempat yang pernah dikunjunginya

seperti: Khawa>rizm, Khurasa>n dan Mesir. Selain sebagai seorang mufassir yang

terkenal pada masanya, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> juga dikenal sebagai seorang

ilmuwan yang memiliki akumulasi ilmu, baik ilmu pengetahuan umum maupun

ilmu pengetahuan agama, seperti: Ilmu Fiqh, Ilmu al-Lughah, Ilmu Kalam, Ilmu

Sastra, Filsafat, Tasawwuf, Kedokteran, Matematika, Fisika, Ilmu Astronomi, dan

1Aswadi, Konsep Syi>fa’ dalam Al-Qur’an: Kajian Tafsi>r Mafa>ti>h} al-Ghaib Karya

Fakhruddi>n al-Ra>zi>, cet 1, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012),

(50)

38

sebagainya. Di samping itu, al-Ra>zi> juga dikenal sebagai tokoh reformis yang

sangat progresif di dunia Islam pada abad VI H, sebagaimana al-Ghazali> sebagai

reformis pada abad V H. Bahkan al-Ra>zi> sering dijuluki sebagai tokoh

pembangunan sistem teologi melalui pendekatan filsafat. Dalam konteks ini,

Sayyed Nasr- pemikir mistik modern dari Iran mengemukakan bahwa dalam

risalahnya yang berjudul Asra>r al-Tanzi>l, al-Ra>zi> telah berhasil mengawinkan

tema etika (filsafat) dengan pembahasan teologi.2

Al-Ra>zi> adalah seorang pengarang muslim, teolog juga seorang filosof

yang dilahirkan dari sebuah kelurga yang sangat peduli terhadap pendidikan dan

kasih sayang. Ia adalah seorang putra dari D}iya>’ al-Di>n ‘Umar, salah satu ulama

terkemuka di Rayy, murid dari Muh}yi al-Sunnah Abi> Muh}ammad al-Baghawiy.

Berangkat dari orangtuanyalah al-Ra>zi memperoleh pendidikan dasarnya hingga

orang tuanya wafat. Ketika orang tuanya wafat, al-Ra>zi> berguru pada Kama>l

al-Sama>niy dalam beberapa waktu yang tidak lama, kemudian meneruskan studinya

dalam waktu yang cukup lama di Maraghah di bawah asuhan seorang filosof Majd

al-Di>n al-Ji>li> seorang murid dari al-Ghaza>liy, dengan diajarkan berbagai

karya-karya filsafat Aristoteles, Plato dan pemikir-pemikir muslim lainnya yang

berafiliasi pada pemikiran Aristoteles seperti Ibnu Si>na>, Fa>ra>biy dan Abu>

al-Baraka>t al-Baghda>di>.3 <

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini kepuasan pada pimpinan tidak berpengaruh pada kinerja tenaga penjual, sehingga dapat disimpulkan meskipun kinerja tenaga penjual meningkat

Teori Produksi :  ­  Untuk melihat hubungan antar input (faktor produksi)  ­  Dan, output (hasil poduksi)  Teori produksi diharapkan : 

Luas daerah yang diarsir pada gambar akan mencapai maksimum jika koordinat titik M adalah …... Suatu pekerjaan dapat diselesaikan dalam x hari dengan biaya ( 4x – 160 + )

Akhir sekali menerang secara deskriptif pula ialah menghuraikan proses, struktur dan proseduar. Contohnya, guru menerangkan kepada pelajar bahawa kita  boleh bersuci

[r]

1. Dalam pelaksanaan kegiatan MCA tidak diperlukan dana pendampingan dari Pemerintah seperti yang disyaratkan oleh beberapa lembaga donor yang lain. Namun demikian ada

12 Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan modul sebagai suatu kesatuan bahan belajar yang disajikan dalam bentuk “self- instruction”, artinya bahan belajar yang

Karakteristik umum para akademisi yang ada di perguruan tinggi adalah (1) Menyampaikan pengetahuan, tetapi hanya sedikit yang mengembangan pengetahuan, (2) Kegiatan akademik