• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Konsep Otonomi Daerah

Semenjak Orde Reformasi bergulir, masyarakat menuntut kesungguhan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan yang adil dan merata. Oleh karena itu, lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Untuk mendukung kedua Undang-undang tersebut, pemerintah telah mengesahkan dua Undang-undang baru pada 15 Oktober 2004 yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diikuti dengan Undang- undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Pengertian dari Desentralisasi dan Otonomi Daerah menurut Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, penyelengaraan otonomi daerah diperlukan wewenang dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri untuk mendukung pemerintahan dan pembangunan di daerah, adapun sumber-sumber keuangan daerah di antaranya adalah pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain- lain pendapatan yang sah.

Kedua, Undang-undang tersebut menyatakan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan dengan prinsip otonomi daerah dan peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakatnya.

Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 yang digantikan oleh undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, menyebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah adalah dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain- lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan asli Daerah sebagai sumber pembiayan berasal dari daerah sendiri, yang terdiri dari (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi daerah; (3) hasil perusahan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; (4) lain- lain pendapatan asli daerah yang sah, diharapkan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan di daerah. Karena semakin banyak kebutuhan daerah dapat dibiayai dengan pendapatan asli daerah, maka semakin tinggi pula tingkat kualitas otonomi daerah, juga semakin baik dalam bidang keuangan daerahnya.

Haris (2002), menyatakan bahwa otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara

nyata ada dan diperlukan secara tumbuh hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antar pusat dan daerah serta antara dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.2 Ketimpangan

Ketimpangan pendapatan sebenarnya telah terjadi di seluruh negara di dunia ini, baik negara yang sudah maju maupun negara-negara yang sedang berkembang. Namun perbedaannya adalah ketimpangan pendapatan lebih besar terjadi di negara- negara yang baru memulai pembangunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat pembangunannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro (2003) bahwa, negara-negara maju secara keseluruhan memperlihatkan pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara- negara dunia ketiga yakni kelompok negara yang tergolong sedang berkembang.

Dua model ketimpangan yaitu teori Harrod-Domar dan Neo-Klasik, memberikan perhatian khusus pada peranan kapital yang dapat dipresentasikan dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada suatu daerah untuk menarik

kapital ke dalam daerahnya, hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan daerah untuk bertumbuh sekaligus untuk menciptakan perbedaan dalam kemampuan untuk menghasilkan pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan bila dialokasikan di daerah-daerah yang dinilai mampu menghasilkan return (pengembalian) yang besar dalam waktu yang relatif cepat. Mekanisme pasar justru akan menyebabkan ketidakmerataan dimana daerah- daerah yang relatif maju akan bertumbuh semakin cepat sementara daerah yang kurang maju justru relatif lambat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya ketimpangan pendapatan antar daerah. Sehingga diperlukan suatu perencanaan dan kebijakan dalam mengarahkan alokasi investasi menuju suatu kemajuan ekonomi yang lebih berimb ang di seluruh wilayah dalam negara.

Terjadinya ketimpangan antar daerah juga diterangkan oleh Mydral (1957) yang membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya di sekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan hal tersebut, dikembangkan ide spread effect dan backwash effect

sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar.

Spread effect didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favorable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi dari pusat pertumbuhan ke wilayah sekitar. Backwash effect didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavorable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar/pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti. Terjadinya

ketimpangan regional menurut Mydral disebabkan oleh besarnya pengaruh

backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang. Perpindahan modal cenderung meningkatkan ketimpangan regional. Permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang.

Perbedaan kemajuan wilayah berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh sehingga yang timbul adalah terjadinya ketidakmerataan antar daerah. Sehubungan dengan hal ini muncul pendapat dan studi-studi empiris yang menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada suatu posisi yang dikotomis. Dalam hal ini Kuznets dalam Tambunan (2003) mengemukakan suatu hipotesa yang terkenal dengan sebutan ”Hipotesis U terbalik”.

Koefisien Gini

0 Periode

Produk Nasional Bruto per Kapita Sumber: Tambunan (2003)

Hipotesis ini dihasilkan melalui suatu kajian empiris terhadap pola pertumbuhan sejumlah negara di dunia, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah menghadapi tahap tertentu trade-off tersebut akan menghilang diganti dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan di sektor modern lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradisional.

Dari periode 1970-an hingga sekarang sudah banyak studi empiris yang menguji hipotesis Kuznets tersebut dengan menggunakan data agregat dari sejumlah negara (Tambunan, 2003). Beberapa catatan penting dari penemuan- penemuan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, sebagian besar studi-studi tersebut mendukung hipotesis Kuznets; sedangkan, sebagian lainnya menolak atau tidak menemukan adanya korelasi seperti pada Gambar 2.1. Kedua, walaupun secara umum hipotesis ini diterima, namun sebagian besar dari studi- studi tersebut menunjukkan bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan pada periode jangka panjang hanya terbukti nyata untuk kelompok negara-negara dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Ketiga, bagian kesenjangan dari kurva Kuznets (bagian kiri pada Gambar 2.1) cenderung lebih tidak stabil dibandingkan porsi kesenjangan menurun dari

kurva tersebut. Kesenjangan cenderung menurun untuk negara- negara pada tingkat pendapatan menengah dan tinggi.

Pemilihan indeks ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia menunjukkan bahwa komponen antar sektor ekonomi merupakan komponen yang sangat kecil dibanding dengan komponen di dalam sektor ekonomi yang bersangkutan. Studi yag telah dilakukan dengan menggunakan data Sakernas 1976 (BPS) menunjukkan bahwa sumbangan ”komponen antar sektor ekonomi” terhadap indeks ketimpangan distribusi pendapatan secara menyeluruh hanyalah sebesar 1,85 persen dibandingkan dengan sumbangan ”komponen di dalam sektor ekonomi” sebesar 98,15 persen Arief dalam Supriyantoro (2005).

2.3 Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)

Besar kecilnya PDRB yang dihasilkan oleh suatu wilayah dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumber daya manusia, kebijaksanaan pemerintah, letak geografis serta tersedianya sarana dan prasarana. Dalam menghitung pendapatan regional, BPS (1995) memasukan seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor yang melakukan usahanya di suatu wilayah tanpa memperhatikan pemilik atas faktor produksi. Dengan demikian PDRB secara keseluruhan menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan pada faktor- faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah produksi tersebut. Penghitungan PDRB dapat dilakukan melalui dua metode antara lain (Dumairy, 1996):

a. Metode Langsung

Dalam penghitungan PDRB ini didasarkan pada data yang terpisah antara data daerah dan data nasional, sehingga hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Unit- unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintah; (11) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi dimaksud meliputi upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung netto. Jumlah komponen semua pendapatan per sektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu

PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha.

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan le mbaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; (4) ekspor netto (ekspor – impor), dalam jangka satu tahun.

b. Metode Tidak Langsung atau Alokasi

Perhitungan PDRB dilakukan dengan cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional kedalam masing- masing ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktifitas kegiatan ekonomi tersebut.

Penghitungan PDRB pada suatu daerah/wilayah dengan menggunakan metode langsung atau tidak langsung/alokasi sangat bergantung pada data yang tersedia. Pada dasarnya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang satu sama lain, karena penghitungan dengan metode langsung akan mendorong peningkatan mutu atau kualitas data daerah, sedangkan penghitungan dengan metode tidak langsung merupakan koreksi dan pembanding bagi data daerah.

Dilihat dari penjelasan diatas PDRB dari suatu daerah lebih menunjukkan besaran produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang sebenarnya diterima

oleh penduduk daerah yang bersangk utan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

2.4 Konsep Pembangunan Manusia

Beberapa kalimat pembuka dari Human Development Report (HDR) pertama yang dipublikasikan oleh UNDP (United Nations Development Programmes) pada tahun 1990 secara jelas menekankan pesan utama yang dikandung oleh setiap laporan pembangunan manusia baik di titik global, tingkat nasional maupun tingkat daerah, yaitu pembangunan manusia ya ng berpusat pada manusia, yang menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan nasional dan bukan sebagai alat dari pembangunan (UNDP, 2004). Berbeda dengan konsep pembangunan yang memberikan perhatian utama pada pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa petumbuhan ekonomi pada akhirnya akan menguntungkan manusia. Pembangunan manusia memperkenalkan konsep yang lebih luas dan lebih komprehensif yang mencakup semua pilihan yang dimiliki manusia di semua golongan masyarakat pada semua tahap pembangunan (UNDP, 2004).

Pembangunan manusia mensyaratkan adanya kebebasan. Tujuan utama dari pembangunan manusia yaitu untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia tidak mungkin tercapai tanpa adanya kebebasan memilih apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka akan menjalani hidup. Manusia

harus bebas untuk melakukan apa yang menjadi pilihannya di dalam sistem pasar yang berfungsi dengan baik.

Konsep pembangunan manusia memiliki cakupan yang lebih luas dari teori konvensional pembangunan ekonomi. Model pertumbuhan ekonomi lebih menekankan pada peningkatan PDB daripada perbaikan kualitas hidup manusia. Pembangunan manusia cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai input bagi proses produksi.

Pembangunan manusia memiliki empat elemen yaitu (BPS, 2001): 1. Produktivitas

Manusia harus berkemampuan untuk meningkatkan produktifitasnya dan berpartisipasi penuh dalam proses mencari penghasilan dan lapangan kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari model pembangunan ma nusia.

2. Pemerataan

Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan sehingga semua orang dapat berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan dari peluang yang ada. 3. Keberlanjutan

Akses terhadap kesempatan harus tersedia bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang. Semua bentuk sumberdaya harus dapat diperbaharui.

Pembangunan harus dilakukan oleh semua orang, bukan hanya semata- mata untuk semua orang. Semua orang harus berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan dan proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Pembangunan manusia lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak anti terhadap pertumbuhan. Dalam perspektif pembangunan manusia menurut Sen dalam Todaro (2003), pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir. Pertumbuhan ekonomi adalah alat untuk mencapai tujuan akhir, yaitu memperluas pilihan-pilihan manusia. Walaupun demikian, tidak ada hubungan yang otomatis antara pertumbuhan ekonomi dengan kemajuan pembangunan manusia.

Perhatian pembangunan manusia tidak hanya terfokus pada laju pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada aspek pendistribusiannya. Jadi bukan hanya masalah berapa besar pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih ditujukan pada seperti apa? Perhatian harus lebih ditujukan pada struktur dan kualitas pertumbuhan (Tadjoedin, 2001). Untuk menjamin bahwa pertumbuhan diarahkan untuk mendukung perbaikan kesejahteraan manusia baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Perhatian utama dari kebijakan pembangunan harus ditekankan pada bagaimana keterkaitan tersebut dapat diciptakan dan diperkuat (Tadjoedin, 2001).

2.5 Pembangunan Manusia dan Pengukurannya

Pada Human Development Report (HDR) yang pertama tahun 1990, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) disusun dari Pendapatan Nasional (sebagai pendekatan dari standar hidup) dan dua indikator sosial, yaitu angka harapan

hidup dan angka melek huruf usia dewasa (kurang dari pengetahuan). Indeks ini merupakan pendekatan yang mencakup berbagai dimensi dari pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Tetapi indeks ini masih memiliki kelemahan yang sama dengan pengukuran pendapatan, yaitu bahwa angka rata-rata nasionalnya menyembunyikan ketimpangan regional dan ketimpangan lokal (UNDP, 2004).

Selama bertahun-tahun telah dilakukan berbagai penyempurnaan IPM dengan tetap mempertahankan tiga komponen intinya, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan standar hidup layak, untuk menjaga kesederhanaan dan konsep awal IPM. HDR kedua pada tahun 1991 menambahkan satu indikator baru, yaitu rata-rata lama bersekolah kedalam komponen pengetahuan. Variabel ini diberi bobot dua per tiga. Hal ini merupakan pengakuan akan pentingnya pembentukkan keterampilan tingkat tinggi serta membantu pembedaan negara-negara yang mengelompokkan data tingkat atas. IPM mencoba untuk memeringkatkan semua negara dari skala 0 (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan manusia yang paling tinggi). IPM memeringkat semua negara menjadi tiga kelompok: tingkat pembangunan manusia yang rendah (0,0 – 0,499), tingkat pembangunan manusia menengah (0,50 – 0,799), dan tingkat pembangunan manusia tinggi (0,80 – 1,0). Secara teknis, IPM dirumuskan sebagai berikut (BPS, 2001):

IPM = 1/3 (IndeksX1 + Indeks X2 + Indeks X3) (2.1)

2

X = 1/3X12 + 2/3X22 (2.2)

Dimana:

1

2

X = Indeks tingkat pendidikan

3

X = Indeks pengeluaran riil per kapita (Rp 000.)

12

X = Rata-rata lama bersekolah (tahun)

22

X = Angka melek huruf (persen)

Perhitungan Indeks dari masing- masing indikator tersebut adalah:

Indeks X(i,j) = ) ( max) ( ) ( ) , ( mim i i mim i j i X X X X − − − ∗ + + (2.3) Dimana: ) , (i j

X = Indikator ke- i dari daerah j

min) (i

X = Nilai minimum dariXi

max) (i

X = Nilai maksimum dariXi

2.6 Pengukuran Ketimpangan

Penyajian ketimpangan pendapatan antar daerah pada dasarnya hanyalah memberikan gambaran secara makro mengenai ketimpangan pendapatan rata-rata antara berbagai wilayah tertentu dan tidak memperlihatkan pola pembagian pendapatan antar go longan penerima pendapatan. Todaro (2003) menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan tingkat ketimpangan pendapatan untuk negara maju dan negara sedang berkembang dan menggambarkan ketimpangan dari negara- negara tersebut dalam tiga kelompok, dimana pengelompokan ini disesuaikan dengan tinggi, sedang dan

rendahnya tingkat pendapatan yang diukur menurut koefisien Gini dan produk nasional bruto.

Distribusi pendapatan daerah menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu daerah di kalangan penduduknya (Todaro, 2003). Dalam melakukan pengukuran terhadap ketimpangan pendapatan khususnya antar daerah perkotaan dan perdesaan, maka ukuran yang sering digunakan dalam mengukur ketimpangan ini adalah rasio konsentrasi Gini yang sering disebut dengan koefisien Gini atau indeks Gini, dengan rumus:

(

)(

)

1 1 n i t i i i t G= −

X+X Y +Y+ (2.4)

(

)

1 1 1 n i i t G= −

f Y +Y+ (2.5) Dimana: G = Rasio Gini

fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i

Xi = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i

Yi = Proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i

Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar dari angka 0 sampai 1, yang menjelaskan kadar pemerataan pendapatan. Koefisien yang semakin mendekati 0 berarti distribusi pendapatan semakin merata, koefisien yang mendekati 1 berarti distribusi pendapatan semakin timpang. Pada prakteknya, koefisien Gini untuk negara- negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50 sampai 0.70, sedangkan untuk negara- negara yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara

0.20 hingga 0.35 (Todaro, 2003). Angka atau rasio Gini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorentz yaitu perbandingan luas area yang terletak diantara kurva Lorentz dan diagonal terhadap luas area segitiga, seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Semakin melengkung kurva Lorentz akan semakin luas area yang dibagi rasio Gininya akan semakin besar, menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin timpang.

C

Persentase

Pendapatan Garis Pemerataan

Kurva Lorentz

0 Persentase Populasi Penduduk B Sumber: Todaro (2003)

Gambar 2.2 Kurva Lorentz

Selain itu, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia, adalah dengan penetapan kriteria ketidakmerataan didasarkan atas porsi pendapatan suatu daerah yang dinikma ti oleh tiga lapis penduduk (Dumairy, 1996), yakni 40 persen penduduk berpendapatan terendah (penduduk termiskin); 40 persen penduduk berpendapatan menengah; serta 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan dinyatakan parah jika 40 persen penduduk

berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12 persen pendapatan, ketimpangan dianggap sedang jika 40 persen penduduk termiskin menikmati 12- 17 persen dari pendapatan. Sedangkan jika 40 persen pendud uk yang berpendapatan terendah (penduduk termiskin) menikmati 17 persen dari pendapatan maka ketimpangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan dianggap cukup merata.

Metode CVw umum digunakan untuk mengukur ketimpangan PDRB per

kapita. Metode inilah yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia. Tingkat ketimpangan yang terjadi pada metode ini tercermin dalam sebuah angka indeks. Cara pengukuran ini diperkenalkan oleh Williamson (1965) dengan menimbang proporsi penduduk. Semakin besar angka indeks berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan regional yang terjadi. Indeks CVw yang dihasilkan dari hasil perhitungan akan sangat peka terhadap perbedaan data yang digunakan.

2.7 Penelitian Terdahulu

Dalam sub bab ini akan dibahas penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian mengenai ketimpangan dan juga ditulis beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan analisis panel data. Penelitian dengan menggunakan data dimaksudkan untuk memperkaya pemahaman terhadap panel data (meskipun topik penelitian berbeda dengan apa yang penulis lakukan).

2.7.1 Penelitian Mengenai Ketimpangan

Penelitian pertama untuk memperoleh wawasan antar daerah dilakukan oleh Esmara dalam Wijaya (2001) dengan menggunakan data PDRB dan menerapkan formulasi koefisien Williamson yang dibobot. Penelitian tersebut memperkirakan tingkat perbedaan pendapatan regional untuk tahun 1968-1972. Indeks ketimpangan Williamson dari tahun tersebut meningkat tajam dari 0.571 menjadi 0.945 jika semua pendapatan dimasukkan. Tetapi, jika pendapatan dari minyak bumi dikeluarkan dari PDRB propinsi-propinsi yang kaya minyak (Riau dan Kalimantan Timur) maka angka-angka itu berkisar antara 0.340 sampai 0.552. Propinsi-propinsi dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi juga mempunyai biaya hidup yang lebih tinggi, sehingga kalau PDRB per kapita dikoreksi berdasarkan perbedaan-perbedaan harga, indeks ketidakmerataan tersebut akan banyak merosot.

Mattola (1985) melakukan penelitian untuk me nganalisis besarnya ketimpangan pendapatan daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan menggunakan formulasi Williamson. Mattola juga menganalisis peran sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Untuk melihat peranan tersebut, diband ingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam penghitungan. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi.

Tabel 2.1. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Jawa Barat Tahun CVw Tanpa PDRB Sektor Pertanian CVw Dengan PDRB Sektor Pertanian Persentase Penurunan Ketimpangan Pendapatan daerah 1977 0.467 0.323 44.6 1978 0.380 0.256 48.4 1979 0.382 0.269 42.0 1980 0.377 0.274 37.6 1981 0.316 0.222 42.3 Sumber: Mattola (1985)

Hendra (2004) menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan daerah di propinsi Lampung tahun 1995-2001 dengan menggunakan formulasi Williamson. Selain itu juga dianalisis peran sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan

Dokumen terkait