• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Model George Edwards III

II.1.4.1 Konsep Otonomi Desa

Widjaja (2003: 165) menyatakan bahwa otonomi desa merupakanotonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya, pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memilikikekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi desa

dalam mewujudkan “Development Community”, dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community”, yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengaturnya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial danpolitik.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.

Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskansebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang;

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masadepan.

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan kabupaten/ kota diserahkanpengaturannya kepada desa.

Menurut Soetardjo dalam Nurcholis (2011:21) bentuk dan isi otonomi dapat dilihat dari ciri-cirinya, antara lain:

1. Otonomi di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat. Desa secara otonom mengatur sistem keamanan menyeluruh yang mencakup, membuat, dan memelihara gardu desa, penjagaan di gardu, penjagaan keliling desa, penjagaan atas keselamatan pengairan dan pembagian air, dan penjagaan lumbung desa.

2. Otonomi di lapangan pertanian/peternakan/perikanan. Desa memikul tanggung jawab atas tersedianya pangan bagi warganya untuk itu, desa mangatur system pengairan dan mengelola lumbung desa.

3. Otonomi di bidang keagamaan. Bagi warga desa pranata keagamaan mempunyai fungsi khusus, yaitu menciptakan harmoni antar warga desa. 4. Otonomi di bidang kesehatan rakyat. Desa mempunyai kewajiban menjaga

kebersihan rumah dan lingkungan warganya, kandang hewan, selokan-selokan dalam desa, dan kuburan desa. Secara berkala desa bekerjasama dengan petugas kesehatan mengadakan suntik cacar, disentri, dan malaria.

5. Otonomi di bidang pengajaran. Pemerintah berkewajiban mendata anak usia sekolah. Pemerintah desa bertanggung jawab terhadap pemeliharaan gedung sekolah dan keamanan sekolah.

6. Otonomi di bidang perkreditan/lumbung desa. Desa mempunyai hak untuk menyelenggarakan usaha perkreditan bagi warga desanya. Lembaga ini dikenal dengan lumbung desa. Lumbung desa adalah usaha perkreditan yang diusahakan sendiri dari dan oleh warga desa sendiri yang berbentuk simpan pinjam padi. Pada saat panen, petani menyimpan sebagian hasil panennya di lumbung desa. Kemudian menjelang musim tanam, padi diambil kembali.

7. Otonomi di bidang pasar desa. Desa mempunyai hak untuk

menyelenggarakan pasar desa. Pasar desa dikelolah oleh sendiri. Penghasilan dari pasar desa masuk ke kas desa yang selanjutnya dipakai untuk kesejahteraan dan pembangunan desa.

8. Otonomi atas tanah. Desa mempunyai dua hak atas tanah: 1) Hak Yasan dan 2) Hak Komunal. Hak Yasan adalah hak yang diberikan kepada seorang warganya untuk dimiliki secara perorangan atas hak ini, yang bersangkutan bisa menjual atau memberikannya kepada orang lain. Jadi, hak Yasan ini sama dengan hak milik. Sedangkan Hak Komunal adalah hak untuk memiliki tanah desa secara tetap. Warga yang menerima hak ini hanya mempunyai hak menggarap. Warga tidak boleh menjualnya. Pemilikannya sepenuhnya tetap ada pada desa.

9. Otonomi di bidang Gotong Royong/ Kerja bakti. Pemerintah desa mempunyai hak untuk mengerahkan warganya bekerja bakti untuk kepentingan desanya, misalnya pemeliharaan jalan dan panggung, pemerliharaan parit dan selokan, banjir, rumah roboh, dan lain-lain.

10. Otonomi di bidang Arisan. Arisan adalah suatu perkumpulan warga desa yang bertujuan menyelesaikan pekerjaan salah satu anggotanya secara bersama contoh kegiatan-kegiatan yang dilakukan degan cara arisan adalah mencangkul sawah, menanam padi, perayaan desa, dan sebagainya.

11. Otonomi di bidang pengadilan . Pengadilan adalah lembaga hukum asli yang dimiliki oleh hampir semua desa di Indonesia. Dalam asasnya pengadilan hanyalah menjalankan hukum pendidikan berdasarkan prinsip bahwa hukum itu ada bukan untuk dilanggar melainkan untuk dihormati dan ditaati. Orang yang melanggar hukum akan merasakan suatu keberatan batin.

Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (Widjaja, 2003:166).

Dokumen terkait