• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Proses Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Proses Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PROSES KEBIJAKAN ALOKASI DANA

DESA/KELURAHAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN ANGGARAN 2013

(Studi Pada: Desa Godung Borotan Kecamatan Pangaribuan dan Desa Lontung Jae II Kecamatan Garoga)

Oleh:

BONTOR TAMBUNAN (090903060)

ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan karunia kesehatan dan belas kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Implementasi Proses Kebijakan Alokasi

Dana Desa/Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013”.Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan

akademis dalam memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna, baik dari sisi substansi dan redaksi.Untuk itu, penulis tidak menutup diri dari kritik atau saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Drs. Husni Thamrin, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

4. Bapak Drs. Ridwan Rangkuti, M.S selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan kritik dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

5. Bapak Dadang Darmawan, S.Sos, M.Si selaku dosen penguji seminar yang telah menyempatkan waktu dan memberi kritik dan saran terhadap proposal penelitian.

6. Bapak Drs. Robinson Sembiring, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis

7. Seluruh dosen di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan bekal berupa ilmu pengetahuan, arahan dan bimbingan selama penulis menimba ilmu di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

8. Seluruh staf di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya Kak Mega dan Kak Dian, yang telah mempermudah penulis dalam mengurus berbagai keperluan administrasi selama penulis menuntut ilmu di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(4)

langsung, Kepala Desa Lontung Jae II, Ketua Tim Pelaksana Kegiatan Desa Lontung Jae II beserta masyarakat yang mendukung penelitian, baik langsung maupun tidak langsung yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Teristimewa rasa terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada orang tua penulis, Bapak E. Tambunan dan Ibu L. Butar-Butar (+) tercinta yang memberi cinta kasih tanpa berharap kembali. Buat abang penulis, Sabam Tambunan dan adik penulis, Lamria Tambunan, terima kasih untuk setiap doa dan dukungan dan semangat tentunya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Seluruh teman-teman di Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak memberi ilmu dalam kehidupan sehari-hari dan berbagi rasa atas kebersamaan.

Akhirnya terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini maupun selama perkuliahan.Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2014 Penulis

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2. Fokus Masalah ... 8

I.3. Perumusan Masalah ... 9

I.4. Tujuan Penelitian ... 9

I.5 Manfaat Penelitian ... 9

(6)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 12

II.1 Kerangka Teori ... 12

II.1.1 Kebijakan Publik ... 12

II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik ... 15

II.1.2.1 Model Implementasi Kebijakan ... 18

A. Model Meter dan Horn ... 18

B. Model Merilee S Grindle (1980) ... 21

C. Model Mazmanian dan Sabatier (1983) Kerangka Analisis Implementasi ... 23

D. Model George Edwards III ... 26

II.1.3 Variabel yang Relevan dengan Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan (ADD/K)di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013 ... 29

II.1.4 Desa ... 32

II.1.4.1 Konsep Otonomi Desa ... 35

II.1.4.2 Pemerintahan Desa ... 40

A. Penyelenggaraan Pemeritahan Desa ... 42

(7)

II.2 Definisi Konsep ... 48

II.3 Operasionalisasi Konsep ... 50

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

III.1 Bentuk Penelitian ... 52

III.2 Lokasi Penelitian ... 52

III.3 Informan Penelitian ... 53

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 54

III.5 Teknik Analisa Data ... 55

III.6 Pengujian Keabsahan Data ... 56

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 58

IV.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 58

IV.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Utara ... 58

IV.1.2 Gambaran tentang Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Tapanuli Utara selaku Penanggung Jawab di tingkat kabupaten ... 61

IV.1.3 Struktur Organisasi ... 81

(8)

IV.3 Kondisi Umum Desa Lontung Jae II ... 85

BAB V PENYAJIAN DATA ... 87

V.1 Gambaran Umum Kebijakan Alokasi Dana Desa ... 87

V.2 Alur Proses Pelaksanaan Alokasi Dana Desa/Kelurahan

Kabupaten Tapanuli Utara ... 94

V.3 Deskripsi Hasil Wawancara Implementasi Proses Kebijakan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Tapanuli Utara ... 100

V.3.1 Deskripsi Hasil Wawancara tentang Implementasi

Kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Godung Borotan .. 100 V.3.2 Deskripsi Hasil Wawancara tentang Implementasi

Kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Lontung Jae II ... 117

V.4 Data Sekunder ... 134

V.4.1 Proyeksi Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013 ... 134

V.4.2 Alur Pelaksanaan Kebijakan Alokasi DanaDesa/Kelurahan

di Kabupaten Tapanuli Utara ... 136

V.4.3 Data Sekunder di Desa Godung Borotan ... 138

(9)

BAB VI ANALISA DATA ... 144

VI.1 Analisis Implementasi Kebijakan Alokasi DanaDesa di Desa Godung Borotan ... 144

VI.2 Analisis Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Lontung Jae II ... 159

VI.3 Analisa Pelaksanaa Kebijakan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013 ... 173

BAB VII PENUTUP ... 177

VII.1 Kesimpulan ... 177

VII.2 Saran ... 181

DAFTAR PUSTAKA ... 182

(10)

ABTRAKSI

IMPLEMENTASI PROSES KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA/KELURAHAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN

ANGGARAN 2013 Skripsi ini disusun oleh:

Nama : Bontor Tambunan

NIM : 090903060

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU Dosen Pembimbing : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Keberadaan desa secara hukum diakui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.Desa ditempatkan sebagai organisasi pemerintahan yang memiliki kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur warganya.Konsekuensinya adalah tersedianya dana yang cukup untuk desa, salah satunya ialah dana ADD. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara telah mengeluarkan Peraturan Bupati Tapanuli Utara Nomor 3 Tahun 2013 dan Keputusan Bupati No. 59 Tahun 2013 terkait ADD. ADD dialokasikan menjadi tiga bagian, yakni penghasilan tetap pemerintahan desa, biaya operasional pemerintahan desa dan biaya pemberdayaan masyarakat. Untuk biaya pembangunan desa, yang digunakan ialah biaya pemberdayaan masyarakat. Jumlah biaya pemberdayaan masyarakat jumlah nominal yang diterima desa/kelurahan bervariasi, namun berada pada kisaran Rp. 10.000.000,- sampai dengan Rp.19.000.000,-, terkecuali pada Desa Lontung Jae II Kecamatan Garoga. Desa Lontung Jae II Kecamatan Garoga mendapat jumlah bantuan sebesar Rp. 52.012.000,-.Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan mengangkat judul Implementasi Proses Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan (ADD/K) di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013.

Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dimana penelitian ini memaparkan dan menggambarkan pelaksanaan kebijakan ADD di Kabupaten Tapanuli Utara berdasarkan variabel dan kemudian dianalisis secara kualitatif. Sampel dalam penelitian ini yaitu pembangunan selokan di Desa Godung Borotan dan pembangunan tujuh unit gorong-gorong di Desa Lontung Jae II.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan alokasi dana desa di kabupaten tapanuli utara khususnya di Desa Godung Borotan belum tidak dapat dilaksanakan dengan baik, sedangkan di Desa Lontung Jae II telah dilaksanakan dengan baik. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara sendiri dalam melaksanakan kebijakan ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, terutama dalam hal pengalokasian dana dan pencairan dana ke seluruh desa/kelurahan. Oleh karenanya, dibutuhkan juklak/juknis dalam pelaksanaannya serta memperhatikan undang-undang di atasnya yang mengatur tentang alokasi dana desa.

(11)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Keberadaan desa secara hukum diakui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini, desa diberi pengertian sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemahaman desa di atas menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan yang memiliki kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur warga atau komunitasnya. Dengan posisi tersebut, desa memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang kesuksesan pemerintahan nasional secara luas. Desa menjadi garda terdepan dalam menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program dari Pemerintah. Hal ini juga sejalan apabila dikaitkan dengan komposisi penduduk Indonesia menurut sensus terakhir pada tahun 2010 bahwa sekitar 50.21 % penduduk Indonesia saat ini masih bertempat tinggal di kawasan permukiman pedesaan (http://www.bps.go.id). Maka menjadi sangat logis apabila pembangunan desa menjadi prioritas utama bagi kesuksesan pembangunan nasional.

(12)

ada berdasarkan hak asal usul desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Sebagai konsekuensi adanya kewenangan dan tuntutan dari pelaksanaan otonomi desa adalah tersedianya dana yang cukup. Sadu Wasistiono ( 2006;107 ) menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. Sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa “autonomy“ identik dengan “automoney“, maka untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri desa membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya.

Sumber pendapatan desa berdasarkan Pasal 212 Ayat (3) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri dari :

1. Pendapatan Asli Desa, meliputi : - Hasil usaha desa;

- Hasil kekayaan desa;

- Hasil swadaya dan partisipasi; - Hasil gotong royong;

- Lain-lain pendapatan asli desa yang sah.

2. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota;

(13)

4. Bantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; 5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Lebih lanjut Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyebutkan bahwa sumber pendapatan desa terdiri atas:

1. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;

2. Bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi desa;

3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa;

4. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;

5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Dan lebih diperjelas lagi pada Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Desa yang menyebutkan bahwa pendapatan desa terdiri dari:

1. Pendapatan Asli Desa;

(14)

5. Bantuan Keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Desa lainnya;

6. Hibah;

7. Sumbangan Pihak Ketiga.

ketentuan pasal - pasal diatas mengamanatkan kepada pemerintah kabupaten untuk mengalokasikan dana perimbangan yang diterima kabupaten kepada desa-desa yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan prinsip keadilan dan menjamin adanya pemerataan, termasuk Kabupaten Tapanuli Utara.

(15)

Tabel 1: Jumlah Desa dan Kelurahan menurut kecamatan

No. Kecamatan Desa Kelurahan Jumlah

1. Parmonangan 14 - 14

Sumber: Tapanuli Utara Dalam Angka 2013

(16)

Maksud pemberian bantuan langsung Alokasi Dana Desa adalah untuk membiayai program pemerintahan desa/kelurahan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.

Tujuan pemberian bantuan langsung Alokasi Dana Desa antara lain meliputi menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan, meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat, meningkatkan infrastruktur desa, meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat, mendorong peningkatan swadaya dan gotong royong masyarakat, meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan Usaha Desa (BUMDesa), meningatkan pemerataan pendapatan desa, kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa.

(17)

a. Honor/ penghasilan tetap pemerintahan desa Rp. 6.005.605.200,- b. Biaya operasional pemerintahan desa Rp. 1.666.592.400,- c. Biaya pemberdayaan masyarakat Rp. 3.282.283.000,-

Total ……… Rp. 10.954.480.600,- Berdasarkan Keputusan Bupati No. 59 Tahun 2013 tentang Penetapan Bantuan Alokasi Dana Desa/Kelurahan (ADD/K) di Kabupaten Tapanuli Utara, jumlah nilai bantuan yang diperoleh masing-masing desa/kelurahan bervariasi. Untuk biaya honor/penghasilan tetap pemerintahan desa jumlah nominal yang terima desa/kelurahan berada pada angka Rp. 23.824.800,-, Rp. 24.735.600,-, Rp. 25.646.400,-, Rp. 26.860.800,-, dan Rp. 27.771.600,-. Untuk biaya operasional pemerintahan desa jumlah nominal yang diterima tiap desa adalah sama yakni sebesar Rp. 6.915.0000,-. Dan untuk biaya pemberdayaan masyarakat jumlah nominal yang diterima desa/kelurahan bervariasi, namun berada pada kisaran Rp. 10.000.000,- sampai dengan Rp.19.000.000,-, terkecuali pada Desa Lontung Jae II Kecamatan Garoga. Desa Lontung Jae II Kecamatan Garoga mendapat jumlah bantuan sebesar Rp. 52.012.000,-.

(18)

Melalui implementasi kebijakan, selanjutnya tujuan dan sasaran dari sebuah kebijakan dapat dilihat dan diukur. Tercapainya tujuan dari sebuah kebijakan dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu seluruh komponen-komponen yang berhubungan dengan cara untuk mencapai sasaran dan tujuan dari sebuah kebijakan. Untuk tahapan implementasi aspek yang dilihat adalah proses implementasi yaitu tahapan setelah proses pembuatan sebuah kebijakan.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan mengangkat judul Implementasi Proses Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan (ADD/K) di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013.

I.2 Fokus masalah

Penelitian ini memiliki fokus masalah yang menjadi batasan peneliti dalam melakukan penelitian. Peneliti melakukan fokus masalah yang akan diteliti karena begitu banyak teori dalam ilmu sosial dengan persepsi yang berbeda-beda sehingga perlu dilakukan fokus masalah agar menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan.

(19)

I.3 Perumusan Masalah

Pada dasarnya penelitian itu dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang antara lain dapat dingunakan untuk memecahkan masalah. Kedudukan masalah yang akan diteliti sangat sentral dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, pemilihan masalah penelitian, haruslah dipertimbangkan secara sungguh-sungguh (Sanapiah, 2007: 37).

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka masalah yang ingin diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini adalah bagaimana Implementasi Proses Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara untuk Tahun Anggaran 2013.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Tapanuli Utara untuk Tahun Anggaran 2013, melihat adanya keberagaman jumlah nominal yang diterima oleh tiap-tiap desa/kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara. Sehubungan dengan fakta diatas, penulis berusaha mendeskripsikan apa yang terjadi dengan proses pelaksanaan kebijakan tersebut.

I.5 Manfaat penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini antara lain:

(20)

2. Dari segi keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi media untuk mengaplikasikan berbagai teori yang dipelajari, sehingga akan berguna dalam pengembangan pemahaman, penalaran, dan pengalaman penulis, juga berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu sosial, khusunya Ilmu Administrasi Publik, sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian-penelitian berikutnya.

(21)

I.6 Sistematika Penulisan

Bab I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat tentang teori-teori yang berhubungan dengan judul penelitian dan definisi konsep yang diperlukan peneliti

Bab III : METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

Bab IV : TEMUAN PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian yang ditemukan di lapangan.

Bab V PENYAJIAN DATA

Bab ini menyaikan data-datayang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi lainnya.

Bab VI : ANALISIS TEMUAN PENELITIAN Bab ini memuat hasil analisa penelitian Bab VII: PENUTUP

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok , sub variabel , atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto , 2002: 92 ). Sebagai landasan berfikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti.

II.1.1 Kebijakan Publik

(23)

James E. Anderson mendefinisikan kebijaksanaan itu adalah “a purposive course of action followed by an actor or set actors in dealing with a problem or metter of concern “ (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Sedangkan Amara Raksasataya menyebutkan bahwa kebijaksanaan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga) elemen, yaitu :

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

(24)

sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.

George C. Edward III dan Ira Sharkansky memiliki pendapat yang hampir sama dengan Thomas R. Dye mengenai kebijakan publik, yaitu “...is what government say to do or not to do, it is goals or purpuses of government program …” (…adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, kebijakan public itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah…). Namun dikatakan bahwa kebijakan publik itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundangundangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah (Irfan Islamy, 2001: 19)

Oleh karenanya dalam terminology ini, kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan riil yang muncul ditengah-tengah masyarakat untuk dicarikan jalan keluar baik melalui peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan pejabat birokrasi dan keputusan lainnya termasuk peraturan daerah, keputusan pejabat politik dan sebagainya.

Dalam perannya untuk pemecahan masalah, Dunn (1994: 30) berpendapat bahwa tahap penting dalam pemecahan masalah publik melalui kebijakan adalah : a. Penetapan agenda kebijakan (Agenda setting)

b. Formulasi kebijakan (Policy formulation) c. Adopsi kebijakan (Policy adoption)

(25)

Setiap tahap dalam pengambilan kebijakan harus dilaksanakan dan dengan memperhatikan sisi ketergantungan masalah satu dengan yang lainnya.

Proses penetapan kebijakan atau yang sering dikenal dengan policy making process, menurut Shafrits dan Russel dalam Keban (2004: 63) yang pertama merupakan agenda setting dimana isu-isu kebijakan diidentifikasi, (2) keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) tahap implementasi kebijakan, (4) evaluasi program dan analisa dampak, (5) feedback yaitu memutuskan untuk merevisi atau menghentikan. Proses kebijakan diatas bila diterapkan akan menyerupai sebuah siklus tahapan penetapan kebijakan.

Dengan demikian kebijakan publik adalah produk dari pemerintah maupun aparatur pemerintah yang hakekatnya berupa pilihan-pilihan yang dianggap paling baik, untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi publik dengan tujuan untuk dicarikan solusi pemecahannya secara tepat, cepat dan akurat, sehingga benar adanya apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan pemerintah dapat saja dipandang sebagai sebuah pilihan kebijakan.

II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

(26)

kebijakan diukur. Komponen inilah yang disebut dengan implementasi (Wibawa, dkk., 1994: 15).

Implementasi kebijakan, sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari pada itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle, 1980). Mengenai hal ini Wahab (2002: 59) menegaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji (dalam Wahab, 2002: 59) mengatakan bahwa “the execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue print file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplemantasikan).

(27)

memecahkannya, dan pemerintah telah membuat beberapa pilihan dari alternatif tersebut, yang menempatkan keputusan menjadi pelaksanaan, ...implementasi kebijakan merupakan proses dari sebuah program atau kebijakan dilaksanakan ; yang ditandai dengan terjemahan dari rencana menuju pelaksanaan”.

Senada dengan apa yang dikemukakan para ahli diatas, Winarno (2002: 29) mengemukakan bahwa ”suatu program kebijakan akan hanya menjadi catatan-catatan elit saja jika program tersebut tidak dimplementasikan”. Artinya, implementasi kebijakan merupakan tindak lanjut dari sebuah program atau kebijakan, oleh karena itu suatu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.

Metter dan Horn (1975: 6) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Definisi ini menyiratkan adanya upaya mentransformasikan keputusan kedalam kegiatan operasional, serta mencapai perubahan seperti yang dirumuskan oleh keputusan kebijakan.

(28)

yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara, baik itu usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa. Sedangkan Wibawa (1994: 5), menyatakan bahwa “implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dari suatu kebijakan atau program”.

Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri target group, melainkan menyangkut lingkaran kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa konsekuensi logis terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun dampak yang tidak diharapkan (spillover/negatif effects).

II.1.2.1 Model Implementasi Kebijakan A. Model Meter dan Horn

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan. 2. Sumber daya.

3. Karakteristik organisasi pelaksana. 4. Sikap para pelaksana.

(29)

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik.

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar Dan Sasaran Kebijakan / Ukuran Dan Tujuan Kebijakan

Standar dan ketepatan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. Mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut (Subarsono, 2005:99).

2. Sumber Daya

(30)

3. Karakteristik Organisasi Pelaksana

Karakteristik organisasi pelaksana maksudnya adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

4. Hubungan antar organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

5. Disposisi atau Sikap Para Pelaksana

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

6. Kondisi Sosial, Politik dan Ekonomi

(31)

Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 1: Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Sumber: Subarsono, 2005:100

B. Model Merilee S Grindle (1980)

Merilee memberi pemahaman bahwa studi implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Merilee juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada

(32)

kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan yang cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi: 1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan 2. Jenis manfaat yang dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Kedudukan pembuat kebijakan 5. Para pelaksana program

6. Sumber daya yang dikerahkan

Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud adalah: 1. Kekuasaan

(33)

Gambar 2: Implementasi sebagai proses politik dan administrasi menurut Merilee dan Grindle

Sumber: Subarsono, 2005:94

C. Model Mazmanian dan Sabatier (1983) Kerangka Analisis Implementasi

Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan publik adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangkan analisis implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:

I. Karakteristik dari masalah, indikatornya adalah:

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan

Implementasi dipengaruhi oleh A. Isi Kebijakan

1. Kepentingan kelompok sasaran 2. Tipe manfaat

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Pelaksanaan program

5. Sumber daya yang dilibatkan B. Lingkungan Implementasi

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

Hasil kebijakan di desain dan didanai

Tujuan kebijakan

(34)

D. Model George Edwards III

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implemetasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pemebentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhuinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekali pun kebijakan itu diimplemetasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Dalam kajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yaitu: prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Kedua, hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Menurut Edwards, terdapat empat faktor atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor atau variable tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi (Winarno, 2002:174-202). a. Komunikasi

(35)

II. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah: a. Kejelasan isi kebijakan

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis

c. Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institut

pelaksana

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan

III. Variabel Lingkungan, indikatornya adalah:

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi b. Dukungan publik terhadap suatu kebijakan

c. Sikap dari kelompok pemilih

(36)

Gambar 3: Variabel-Variabel yang Memengaruhi Proses Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier

Sumber: Subasono, 2005:95 Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses impelementasi 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 2. Digukannya teori klausal yang

memadai

3. Ketepatan alokasi sumber daya 4. Keterpaduan hirearki dalam dan

antara lembaga pelaksana

5. Aturan-aturan keputusan dan badan pelaksana

6. Rekruitmen pejabat pelaksana 7. Akses formal pihak luar

Tahap-tahap dalam proses implementasi (Variabel Tergantung)

Output kebijakan Kepatuhan dampak nyata dampak output perbaikan

Dari badan-badan kelompok sasaran output kebijakan mendasar

Pelaksana terhadap output kebijakan sebagaimana dalam

kebijakan dipersepsi undang- undang Variabel diluar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi 1. Kodisi sosi- ekonomi dan

teknologi

2. Dukungan publik

3. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok pemilih 4. Dukungan dari kelompok atasan 5. Komitmen dan ketrampilan

kepemimppinan pejabat-pejabat pelaksana

Mudah/tidaknya masalah dikendalikan

1. Kesulian teknis 2. Keragaman perilaku

kelompok sasaran 3. Presentase kelompok

sasaran dibanding jumlah populasi

(37)

Akan tetapi banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan hambtan-hambatan ini mungkin menghalangi pelaksanaan kebijakan.

b. Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemhkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik.

c. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit. d. Struktur Birokrasi

(38)

sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.

Gambar 4: Faktor Penentu Implementasi menurut Edward III

Sumber: Subarsono, 2005:91

komunikasi

implementasi sumber daya

struktur organisasi

(39)

II.1.3 Variabel yang Relevan dengan Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan (ADD/K) di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013

Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Solichin (2004:70) mengemukakan semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin maendalam analisis yang dilakukan semakin diperlukan teori atau model yang relative operasional, model yang mampu menghubungkan kausalias antar variabel yang menjadi fokus masalah. Oleh karena itu, model yang dipakai dalam penelitian Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013 adalah dengan melihat variabel:

1. Komunikasi

(40)

Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsun efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah-perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.

2. Sumber Daya

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian sumber-sumber dapat merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik (Winarno, 2002:132). Unsur manusia di dalam organisasi mempunyai kedudukan yan sangat strategis karena manusialah yang bisa mengetahui input-input apa yang perlu diambil dari lingkungan, dan bagaimana caranya untuk mendapatkan atau menangkap input tersebut, teknologi dan cara apa yang dianggap tepat untuk mengolah atau mentransformasikan input-input tersebut menjadi output-output yang memenuhi keinginan lingkungan. Winarno (2002:138) juga menyebutkan bahwa sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan yang efektif terdiri dari jumlah staf yang mempunyai ketrampilan yang memadai serta jumlah yang cukup, kewenangan,informasi dan fasilitas. unsur

3. Struktur Organisasi

(41)

sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.

4. Sikap

Sikap adalah reaksi atas rangsangan suatu obyek tertentu yang diikuti dengan

kecenderungan untuk bertindak atau bertingkah laku, baik berua sikap mendukung

atau menolak. Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit. 5. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Menurut Van Metter dan Van Horn ( Winarno, 2002 : 110 ) identikasi

indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis

(42)

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran

dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan

kebijakan secara menyeluruh. Namun demikian, dalam banyak kasus ditemukan

beberapa kesulitan untuk mengidentifikasi dan mengukur pencapaian. Van Meter dan

Van Horn mengemukakan bahwa ada dua penyebab untuk menjawab hal ini, yaitu

pertama, disebabkan oleh bidang program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang

kompleks. Kedua, akibat dari kekaburan-kekaburan dan kontradiksikontradiksi dalam

pernyataan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan.

Sejalan dengan pendapat di atas, Mazmanian dan Sabatier (Subarsono

2001:102), menyatakan bahwa standar dan tujuan kebijaksanaan yang dirumuskan

dengan cermat dan disusun dengan jelas dengan urutan kepentingannya memainkan

peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai

pedoman yang konkrit bagi pejabat pelaksana dan sebagai sumber dukungan bagi

tujuan itu sendiri.

II.1.4 Desa

Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sanskerta, “deca” yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa

atau “village” diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional danberada di Daerah Kabupaten.

(43)

Landasanpemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”(Widjaja, 2003: 3). Menurut Nurcholis dalam bukunya yang berjudul “Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa” menyebutkan bahwa desa adalah wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan menggatur urusan masyarakat setempat berdasarkan asal usulnya.

Menurut P.J. Bournen dalam Nurcholis desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan, dan kaidah-kaidah sosial. Menurut R.H. Unang Soenardjo masih dalam Nurcholis menyebutkan desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hokum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karna sama-sama memiliki kepentingan ekonomi, politik, social, dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

(44)

menjadi kesatuan masyarakat hokum berdasarkan adat sehingga tercipta ikatan lahir batin antara masing-masing warganya, mempunyai hak mengatur rumah tangga sendiri, dan secara administratif berada di bawah pemerintahan kabupaten/kota.

Dengan pemahaman bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikanperwujudan otonomi daerah.

Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yakni:

a. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat;

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota;

(45)

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakanpembangunan hingga di tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa, yakni: Pertama, faktorpenduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga. Kedua, faktor luas yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat. Ketiga, faktorletak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun. Keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa. Kelima, faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat. Keenam, faktor kehidupan masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.

II.1.4.1 Konsep Otonomi Desa

Widjaja (2003: 165) menyatakan bahwa otonomi desa merupakanotonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya, pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memilikikekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

(46)

dalam mewujudkan “Development Community”, dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community”, yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengaturnya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial danpolitik.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.

Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskansebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang;

(47)

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan kabupaten/ kota diserahkanpengaturannya kepada desa.

Menurut Soetardjo dalam Nurcholis (2011:21) bentuk dan isi otonomi dapat dilihat dari ciri-cirinya, antara lain:

1. Otonomi di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat. Desa secara otonom mengatur sistem keamanan menyeluruh yang mencakup, membuat, dan memelihara gardu desa, penjagaan di gardu, penjagaan keliling desa, penjagaan atas keselamatan pengairan dan pembagian air, dan penjagaan lumbung desa.

2. Otonomi di lapangan pertanian/peternakan/perikanan. Desa memikul tanggung jawab atas tersedianya pangan bagi warganya untuk itu, desa mangatur system pengairan dan mengelola lumbung desa.

3. Otonomi di bidang keagamaan. Bagi warga desa pranata keagamaan mempunyai fungsi khusus, yaitu menciptakan harmoni antar warga desa. 4. Otonomi di bidang kesehatan rakyat. Desa mempunyai kewajiban menjaga

(48)

5. Otonomi di bidang pengajaran. Pemerintah berkewajiban mendata anak usia sekolah. Pemerintah desa bertanggung jawab terhadap pemeliharaan gedung sekolah dan keamanan sekolah.

6. Otonomi di bidang perkreditan/lumbung desa. Desa mempunyai hak untuk menyelenggarakan usaha perkreditan bagi warga desanya. Lembaga ini dikenal dengan lumbung desa. Lumbung desa adalah usaha perkreditan yang diusahakan sendiri dari dan oleh warga desa sendiri yang berbentuk simpan pinjam padi. Pada saat panen, petani menyimpan sebagian hasil panennya di lumbung desa. Kemudian menjelang musim tanam, padi diambil kembali.

7. Otonomi di bidang pasar desa. Desa mempunyai hak untuk

menyelenggarakan pasar desa. Pasar desa dikelolah oleh sendiri. Penghasilan dari pasar desa masuk ke kas desa yang selanjutnya dipakai untuk kesejahteraan dan pembangunan desa.

(49)

9. Otonomi di bidang Gotong Royong/ Kerja bakti. Pemerintah desa mempunyai hak untuk mengerahkan warganya bekerja bakti untuk kepentingan desanya, misalnya pemeliharaan jalan dan panggung, pemerliharaan parit dan selokan, banjir, rumah roboh, dan lain-lain.

10. Otonomi di bidang Arisan. Arisan adalah suatu perkumpulan warga desa yang bertujuan menyelesaikan pekerjaan salah satu anggotanya secara bersama contoh kegiatan-kegiatan yang dilakukan degan cara arisan adalah mencangkul sawah, menanam padi, perayaan desa, dan sebagainya.

11. Otonomi di bidang pengadilan . Pengadilan adalah lembaga hukum asli yang dimiliki oleh hampir semua desa di Indonesia. Dalam asasnya pengadilan hanyalah menjalankan hukum pendidikan berdasarkan prinsip bahwa hukum itu ada bukan untuk dilanggar melainkan untuk dihormati dan ditaati. Orang yang melanggar hukum akan merasakan suatu keberatan batin.

(50)

II.1.4.2 Pemerintahan Desa

Pemerintahan desa merupakan bagian dari pemerintahan nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutandipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (Maria Eni Surasih, 2002: 23).

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan pemerintah desa dengan Undang-Undang

Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalahsuatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untukmenyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun juga disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.

(51)

provinsi terhadap daerah hilang. Dikhawatirkan undang - undang ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengahmasyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara Undang- Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perubahan positif dalam Undang-Undang No. 32Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorongpeningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain:

a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai 119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam kerangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol.

b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 jo. Pasal 7Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa

(52)

c. Dalam pengaturan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian(alokasi). Hal ini tentu berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relatif pasti telah ditentukan dalam Pasal 68 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa, yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangankeuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.

A. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Pemerintah desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah desa yang dimaksud terdiri dari Kepala desa dan Perangkat desa. Sesuai dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa adalah “lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah”. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

(53)

Berdasar Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 pasal 30 tentang Desa dijelaskan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari ketua rukun warga,pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Sedangkan masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan adalah enam tahun dan dapat diangkat atau diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit lima orang dan paling banyak sebelas orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.

B. Kewenangan Pemerintah Desa I. Kepala Desa

Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,

pembangunan, dan kemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, kepala desa memiliki wewenang sebagaiberikut:

1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD.

2. Mengajukan rancangan peraturan desa.

3. Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersamaBPD. 4. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB untuk

dibahas dan ditetapkan bersama BPD. 5. Membina kehidupan masyarakat desa. 6. Membina perekonomian desa.

(54)

8. Mewakili nya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturanperundang-undangan, dan. 9. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, kepala desa mempunyai kewajiban berdasar ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yaitu:

1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

3. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

4. Melaksanakan kehidupan demokrasi;

5. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme;

6. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa;

7. Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;

8. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;

9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa;

10. Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;

11. Mendamaikan perselisihan masyarakat desa;

12. Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;

13. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;

(55)

15. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Di atas telah disebutkan bahwa tugas dari kepala desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang dimaksud dari urusan pemerintahan yaitu antara lain pengaturan kehidupan masyararakat sesuai kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa dan pembentukan lembaga kemasyarakatan. Kemudian tugas kepala desa dalam hal pembangunan yaitu antara lain pemberdayaan masyarakat dalam penyediaansarana prasarana fasilitas umum, sedangkan tugas kemasyarakatan kepala desa yaitu meliputi pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial budaya masyarakat.

Atas pelaksanaan tugas tersebut, kepala desa berkewajiban memberikan pertanggungjawaban berupa pembuatan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa yang ditujukan kepada bupati/walikota, dan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemberdayaan serta menginformasikan seluruh laporan penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Di dalam laporan tersebut berisi laporan dari semua kegiatan desa berdasarkan kewenangan desa yangada, serta tugas-tugas dan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Laporan pertanggungjawaban atas tugas kepala desa

(56)

II. Badan Permusyawaratan Desa

Dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa mempunyai hak sebagai berikut:

1. Mengajukan rancangan peraturan desa ;

2. Mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat; 3. Memilih dan dipilih;

4. Memperoleh tunjangan.

Sedangkan kewajiban Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah sebagaiberikut:

1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;

2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;

3. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, memproses pemilihan kepala desa, mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dangolongan;

(57)

Wewenang Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut: 1. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;

2. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa danperaturan kepala desa;

3. Mengusulkan pengankatan dan pemberhentian kepala desa;

4. Membentuk panitia pemilihan kepala desa, menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat;

5. Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggung jawab utama dalam bidang pembangunan kepala desa dapat dibantu lembaga kemasyarakatan yang terdapat di desa. Sedangkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sekretaris desa, kepala seksi, dan kepala dusun berada di bawah serta bertanggung jawab kepada kepala desa, sedang kepala urusan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada sekretaris desa.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 209 meyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa

adalah sebagai berikut:

1. Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

2. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

(58)

4. Urusan pemerintahan lainnya oleh peraturan perundang-undangandiserahkan kepada desa.

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dititik-beratkan pada proses penyelenggaraan pemerintah desa yang reponsif. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintahyang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, pembuatan Perdes bersama dengan pemerintah desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dalam pelaksanaan otonomi desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.

II.2 Defenisi Konsep

(59)

Berdasarkan penjelasan tersebut, berikut merupakan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, defenisi konsep tersebut antara lain:

1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah sesuatu yang dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara dengan cara pemanfaatkan sumber daya yang tersedia. Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Bupati Tapanuli Utara Nomor 3 Tahun 2013 Tetang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa /Kelurahan (ADD /K) Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013.

2. Implementasi kebijakan

Implementasi kebijakan adalah serangkaian usaha dalam bentuk analisis untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan hubungan kebijakan tersebut secara vertical maupun secara horizontal dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan , baik jangka panjang maupun saat ini. Implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini yaitu proses pelaksanaan kebijakan tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Tapanuli Utara.

(60)

3. Kebijakan Alokasi Dana Desa

Alokasi Dana Desa/Kelurahan adalah bantuan keuangan yang diterima oleh pemerintah desa/kelurahan dari pemerintah kabupaten, dalam hal ini Kabupaten Tapanuli Utara, yang dimaksudkan untuk membiayai program pemerintahan desa/kelurahan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.

II.3 Operasionalisasi Konsep

Adapun operasionalisasi konsep yang digunakan peneliti dalam rangka mempermudah dalam mengumpulkan data yang akan dibutuhkan penelitii lewat penyusunan daftar wawancara adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Intensitas sosialisasi kebijakan Alokasi Dana Desa

b. Kejelasan sosialisasi kebijakan Alokasi Dana Desa dari para pelaksana 2. Sumber Daya

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Kemampuan sumber daya manusia dan modal dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa

(61)

3. Struktur Birokrasi

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Pembentukan struktur organisasi, yaitu berkaitan dengan pengelompokan kerja dari masing-masing pelaksana Alokasi Dana Desa

b. Pembagian tugas

c. Koordinasi dari para pelaksana 4. Sikap

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Persepsi pelaksana terhadap kebijakan Alokasi Dana Desa b. Respon pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa

c. Tindakan pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa 5. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Adapun fenomena yang diamati adalah:

(62)

BAB III

METODE PENELITIAN III.1 Bentuk Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Zuriah (2006) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian- kejadian, secara sistematis dan akurat, mengenai sifat- sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling berhubungan dengan menguji hipotesis. Oleh karenanya, dalam penelitian ini sendiri penulis akan mencari gejala, fakta-fakta kejadian dan yang berhubungan dengan implementasi dari Peraturan Bupati Peraturan Bupati Tapanuli Utara Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa /Kelurahan (ADD /K) Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013.

Didalam penelitian ini sendiri penulis akan berusaha menghubungkan secara sistematis akan gejala-gejala yang berhubungan dengan implementasi kebijakan sehingga lahir suatu analisis yang akan melahirkan suatu pandangan baru akan kebijakan Peraturan Bupati Tapanuli Utara Nomor 3 Tahun 2013 Tetang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa/Kelurahan (ADD/K) Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013.

III.2 Lokasi Penelitian

(63)

Lumbantobing, No.8, Tarutung dan juga di Kantor Kepala Desa Godung Borotan Kecamatan Pangaribuan dan Kantor Kepala Desa Lontung Jae II Kecamatan Garoga.

III.3 Informan Penelitian

Sesuai dengan penjelasan diatas, bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hendarso menjelaskan bahwa penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga subjek penelitian yang telah tercermin dalam focus penelitian ditentukan secara sengaja atau bertujuan. Subjek penelitian inilah yang akan menjadi informan yang akan memberikan berbagi informasi yang diperlukan selama proses penelitian.

Informan penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Menurut Bagong (2005) informan peneliti meliputi beberapa macam yaitu:

1. Informan Kunci (Key Informan) yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan oleh peneliti.

Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah kepala Badan Pemberdayaan Masyaraakat dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara. 2. Informan Utama adalah mereka yang terlibat langsung dalam interaksi social

yang diteliti.

(64)

3. Informan Tambahan yaitu mereka yang memberikan informasi walaupun tidak terlibat dalam interaksi social yang diteliti. Dalam hal ini akademisi, dan pihak-pihak yang berkepentingan.

III.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik ini dilakukan melalui :

a. Wawancara, yaitu dengan cara wawancara mendalam untuk memperoleh data yang lengkap dan mendalam dari informan. Metode ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.

b. Observasi, adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap objek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data- data yang diperlukan sebagai acuan untuk yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

2. Data Sekunder

(65)

III.5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses penelitian dilaksanakan. Data diperoleh, kemudian dikumpulkan untuk diolah secar sistematis. Menurut Moleong (2006:274 ), teknik analisis data kualitatif dilakukan dengan menelaah seluruh data yang terkumpul, mempelajari data, menelaah, dan menyusunya dalam satuan-satuan, yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya, dan memeriksa keabsahan dan serta menafsirkannya dengan analisis sesuai dengan kemampuan daya nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.

Menurut Burhan Bungin (2012) terdapat beberpa aktifitas dalam analisis data yaitu:

1. Data reduction/reduksi data

Gambar

Tabel 1: Jumlah Desa dan Kelurahan menurut kecamatan No. Kecamatan Desa Kelurahan Jumlah
Gambar 1: Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Gambar 2: Implementasi sebagai proses politik dan administrasi menurut
Gambar 3: Variabel-Variabel yang Memengaruhi Proses Implementasi                       menurut Mazmanian dan Sabatier
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang mereka buat harus tampak bagus. Hal ini tampak pada mahasiswa puteri yang terlihat sangat ragu-ragu untuk membuatnya, padahal secara umum mereka memahami teks

Metode ini digunakan dengan tujuan untuk dapat membantu dalam memilih pengembangan alternatif fasilitas listrik terbaik yang harus dilakukan terlebih dahulu. Kesimpulan yang

Pernyataan yang secara luas menggambarkan pencapaian karir dan professional yang disiapkan oleh program studi untuk dicapai oleh lulusannya dalam beberapa tahun. pertama

In order to improve students’ ability in academic reading (academic English), the teaching and learning process need to be revised by providing activities that lead to the

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang

The relationship between independent latent variables (MKT) and dependent latent variables (PKK) as well as manifest variables and its latent variables other than

2.0 FAKTOR UTAMA YANG MENDORONG KEPADA PERUBAHAN PERANAN WANITA DALAM INSTITUSI KELUARGA.. Keluarga adalah unit asas sosial terkecil di dalam sistem masyarakat

According to the mathematical (Eq. 4 and 5) the linear and quadratic terms of temperature, pressure, and extraction time highly significantly affected both extracted oil yield and