• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Konsep Pembangunan Perekonomian Indonesia

B. Konsep Pembangunan Ekonomi

Dalam Islam ilmu ekonomi sudah banyak dipergunakan dan dikembangkan oleh para ekonom muslim, jauh sebelum Adam Smith dengan pandangannya dalam An Inquiry into the Natural and Causes of Wealth of Nations yang disebut sebagai kebangkitan ilmu ekonomi modern.

Siddiqi mengidentifikasi sejarah ekonomi Islam dalam tiga tahap.6 Tahap Pertama, 4,5 abad setelah Hijriah (sampai tahun 1058 M/ 450 H), pada periode pertama ini kaum Quraisy telah melakukan perniagaan ke timur dan barat yang menghubungkan Bahrain dan Selat Persia (Teluk Arab), juga penduduk Syria, Mesir, Iran, Irak, Yaman dan Ethiopia. Perniagaan ini tidak hanya menghasilkan materi yang menguntungkan tetapi juga turut mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan, namun sebelum datangnya Islam tradisi perniagaan yang banyak dilakukan dengan menggunakan sistem riba yaitu meminta kelebihan pada saat telat dalam pembayaran.

Saat Rasulullah hadir, sistem ekonomi Islam dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat, yang sudah menggunakan uang sebagai alat jual beli yaitu mata uang Persia dan Romawi. Bahkan tukar menukar mata uang asing atau Sharf telah dilakukan. Lembaga Baitul Maal dibangun oleh Rasulullah untuk mengurusi pengumpulan dan pendistribusian dana. Bahkan

6

Riba yang mendarah daging diganti dengan sistem keadilan yang menjunjung tinggi keadilan.7 Kemudian dilanjutkan perkembangannya oleh para fuqaha dan sufi pada masa Khulafa Ar-Rasyidin, Daulah Umawiyah, Abbasyiah.

Tahap Kedua, yaitu antara tahun 1058-1446 M, pada masa ini banyak ekonom Islam yang muncul dan sangat berpengaruh seperti Abu Hamid Al-Ghazali (1055-1111 M), Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328 M), Ibnu Khaldun (1332-1404 M). Al Ghazali mengembangkan sistem ekonomi yaitu adanya pembagian kerja, evolusi uang, dan pelarangan riba fadl. Ibnu Taymiyah menemukan sistem bagi hasil, manajemen uang, kontrol harga, peranan permintaan dan penawaran dan analisis beban pajak tidak langsung. Ibnu Khaldun berperan pada penelitian analisis mengenai pasang surutnya suatu dinasti dan siklus kemiskinan dan kemakmuran serta pembagian kerja, perdagangan internasional, dan keuangan negara.

Tahap Ketiga, yaitu antara 1446-1932 M, munculnya para pemikir independen yang cenderung stagnasi, namun mengajak kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Diantaranya Shah Waliyullah (1703-1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787), Jamaludin Al Afgani (1897), Mufti Muhammad Abduh (1905), dan Muhammad Iqbal (1938).

7

1. Pengertian Pembangunan Ekonomi Islam

Ada beberapa ahli yang mendefinisikan ekonomi Islam diantaranya:8 a. Menurut Hasanuzzaman adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan

syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia sehingga dapat menjalankan kewajibannya pada Allah dan masyarakat. b. Menurut Umar Chapra, adalah cabang ilmu yang membantu

merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan ekonomi makro dan ekologis.

2. Konsep Pembangunan Ekonomi Islam

Berbeda dengan konsep dalam ekonomi konvensional yang memaksimalkan kekayaan dan konsumsi, ekonomi Islam melaksanakan ekonomi dengan melihat keseimbangan antara material dan spiritual, sehingga dalam ekonomi Islam keadilan sosial sebagai tujuan utama, Q.S As-Syura: 27

                           8

“Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”

Manusia merupakan fokus utama dalam proses pembangunan sebagai agen perubahan bertanggung jawab secara pribadi dan makhluk sosial dalam mengembangkan diri dan lingkungannya. Dalam Islam, dan sumber utama Islam adalah Al-Quran dan Sunnah maka setiap tujuan, perencanaan, proses hingga akhir merujuk pada acuan utama tersebut. Islam menekankan pembangunan spiritual, moral dan etika. Jika hal tersebut belum dibangun secara baik, maka pembangunannya pun dianggap gagal. Pembangunan materi dengan keadilan tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pembangunan moral.9

Menurut Aidit Ghazali (1990) ada lima pondasi filosofis yang mendasari pembangunan dalam Islam, yaitu:10

a. Tauheed Uluhiyah, yaitu percaya pada ke-Maha Tunggal-an Tuhan dan semua yang di alam semesta merupakan kepunyaan-Nya.

9

Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 9.

10

b. Tauheed Rububiyyah, yaitu percaya bahwa Tuhan yang menentukan keberlanjutan hidup, serta menuntun siapa saja yang percaya kepada-Nya kepada kesuksesan.

c. Khilafah, yaitu peranan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi.

d. Tazkiyyah An-Nas, ini merujuk kepada pertumbuhan dan penyucian manusia sebagai prasyarat sebelum manusia menjalankan tanggung jawab yang ditugaskan kepadanya.

e. Al-Falah, yaitu keberhasilan yang dicapai di kehidupan dunia akan mempengaruhi keberhasilan di akhirat sepanjang keberhasilan yang dicapai di dunia tidak menyalahi petunjuk yang telah Tuhan tetapkan.

Konsep pembangunan menurut Islam adalah tercapainya tujuan utama pembangunan dalam Islam yaitu kesuksesan di akhirat. Sehingga indikator dalam pembangunan Islam tidak hanya diukur dengan pertumbuhan namun juga mencangkup perubahan kuantitif dan kualitatif.

Gambar 2. Konsep Pembangunan dalam Islam.11

= +

Kualitatif Kuantitatif VI. Sosial VIII. Teknologi Ekonomi

11

Ibid., h. 25.

PEMBANGUNAN PERTUMBUHAN PERUBAHAN

IV. Fisik V. Lingkungan I. Spiritual

II. Moral III. Etika

Sumber Manifestasi: I. Takut akan Tuhan II & III Nilai-Pola Islam

IV & V Pertumbuhan Sosial-Ekonomi

VI & VII Usaha Sendiri (Indegenous Effort) C. Perkembangan Pemikiran Ekonomi di Indonesia

1. Membangun Ekonomi Nasional (1945-1959)

Pertengahan tahun 1945 Indonesia merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia yang saat itu dalam masa penjajahan Jepang, akhirnya dibentuklah Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Widyodiningrat dengan beranggotakan 68 orang yang ditunjuk untuk merumuskan dasar negara dan juga “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka” yang membahas bagaimana kesertaan pemerintah dalam perusahaan besar (milik asing saat jaman Belanda) yang di dalamnya banyak rakyat Indonesia yang bergantung hidupnya. Dalam sidang BPUPKI tersebut juga dibahas mengenai butir-butir UUD 1945 yang menjiwai pasal 33 tentang „Kesejahteraan Sosial‟ yang kemudian disahkan pada tanggal 18 Agustus pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Banyak yang mendebatkan mengenai arti dari pasal 33 tersebut yang dicanangkan oleh Mohammad Hatta. Maka dalam pidatonya yang berjudul

“Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang”,12 Mohammad Hatta mencoba menjelaskan arti dari pasal 33 tersebut. Beliau menyatakan bahwa ekonomi Indonesia akan secara perlahan menghilang dari sifat individualisme dan akan mengacu pada sistem kolektivisme. Sistem yang sesuai dengan semangat kolektivisme itu adalah koperasi, maka seluruh perekonomian rakyat harus berdasar pada koperasi yang kemudian di atasnya ada pemerintah yang mengkoordinir segala usaha produktif bagi kesejahteraan rakyat.

Perekonomian Indonesia pada jaman penjajahan sangatlah buruk karena upah yang sangat rendah, efisiensi tinggi di sektor perkebunan dan juga investasi yang besar oleh perusahaan-perusahaan Belanda di sektor pertambangan dan jasa. Sistem ini sangat menguntungkan bagi pihak penjajah karena Indonesia hanya mendapatkan 8% dari pendapatan tersebut.

Setelah kemerdekaan diraih, maka Indonesia mulai melakukan transformasi sistem ‘ekonomi kolonial’ ke ‘ekonomi nasional’, hal tersebut tidaklah mudah karena terhambat dengan adanya agresi militer Belanda dan juga usaha diplomatik internasional agar Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia yang hingga saat ini tidak juga mengakui Indonesia secara

de jure, tapi Syafruddin Prawiranegara tidak terlalu memikirkan dan

12

Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang.” Pidato diucapkan sebagai

Wakil Presiden dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1946. (Jakarta: UI, 1985), h. 1-13.

mengambil sikap bahwa Indonesia harus mengambil dan menghargai isi dari nilai kemerdekaan itu sendiri.13

Transformasi yang nyata mulai dapat dilakukan pada masa kabinet Natsir. Banyak tokoh yang berkontribusi dalam menggagas ekonomi nasional ini, diantaranya Soemitro Djojohadikoesoemo yang mengembangkan industri skala kecil melalui induk-induk untuk menyalurkan kredit, memberikan bantuan teknik dan outlet pemasaran, juga penggagas ‘Indonesianisasi’ dengan membuat program Benteng yang memberikan lisensi khusus kepada pribumi untuk melakukan impor, namun tersendat karena ada penerima lisensi yang menjual lisensinya pada pengusaha non pribumi juga pada etnis Tionghoa sehingga kalah bersaing, dan juga rencana pembangunan lima tahun (1956-1960) yang tujuannya untuk menetapkan pembangunan berbagai industri dasar yang bisa dilaksanakan tanpa melakukan pembiayaan defisit yang besar karena dibiayai oleh anggaran negara tanpa banyak mengandalkan bantuan luar negeri14 tapi belum dapat terlaksana. Selain Soemitro tokoh lain yang sangat pragmatis yang berorientasi ekonomi/pembangunan adalah Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Djuanda, dan Jusuf Wibisono.

13

Sjafruddin Prawiranegara, Islam dalam Pergolakan Dunia, cet.1 (Bandung: Al- Ma‟arif,

1950), h.56.

14

Sarbini Sumawinata dalam tulisannya mengenai Pembangunan Ekonomi Indonesia15 tidak terlalu mempermasalahkan mengenai transformasi ekonomi kolonial ke ekonomi nasional karena menurutnya tidak ada hal yang spesifik yang menggambarkan bagaimana sistem ekonomi nasional itu sendiri. Maka menurutnya yang harus dicari adalah tujuan yang ingin dicapai, misalnya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Langkah yang menurutnya untuk mencapai kemakmuran rakyat adalah bagaimana cara untuk meningkatkan tingkat konsumsi rakyat Indonesia dengan menanamkan modal pada usaha yang menciptakan alat-alat untuk menaikkan tingkat produksi sehingga juga meningkatkan pendapatan dan tingkat konsumsi, selain itu juga mengoreksi struktur agraris yang berat sebelah karena hampir 70% saat itu, rakyat Indonesia bekerja sebagai petani. Selain itu juga meningkatkan ekspor dan penanaman modal asing.

Program kabinet dalam melaksanakan ekonomi nasional:

a. Kabinet Hatta (Desember 1949 - September 1950): Melakukan pengguntingan uang dan penggunaan sertifikat ekspor.

b. Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951): Pengetatan anggaran pemerintah untuk mengurangi inflasi, pengetatan kredit perusahaan asing,

15Sarbini Sumawinata, “Garis-garis Besar Pembangunan Indonesia” dalam Hadi Soesastro ed.,

Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959: Membangun Ekonomi Nasional (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 131-142.

Rencana Urgensi Perekonomian atau Rencana Urgensi Industri dan program Benteng.

c. Kabinet Sukiman (April 1951-Pebruari 1952): Menasionalisasikan De Javasche Bank karena defisit anggaran meningkat.

d. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953): Menerapkan anggaran berimbang, dan melakukan pengetatan impor.

e. Kabinet Ali Sastroamidjojo (Agustus 1953- Juli 1955): Karena utang pemerintah meningkat dan cadangan internasional terkuras maka melakukan pembatalan sebagian perjanjian KMB mengenai kebijakan perdagangan secara sepihak.

f. Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956): Menghapuskan sistem sertifikasi impor, screening terhadap importir terus dilakukan, mengakhiri diskriminasi dengan memberikan kesempatan kepada keturunan cina untuk terlibat dalam kegiatan impor, dan juga meninggalkan sama sekali perjanjian KMB.

g. Kabinet Ali Sastroamidjoojo II (April 1956- Maret 1957): Karena defisit anggaran dan inflasi meningkat, maka tahun 1956 pemerintah meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 55 juta.

h. Kabinet Djuanda (Maret 1957): Dibentuk secara sepihak setelah sistem Demokrasi Terpimpin dicanangkan oleh presiden Soekarno, di mana kemudian melaksanakan pengambil alihan perusahaan Belanda. Karena

sektor swasta nasional belum berkembang, maka sektor negara mengambil alih, dan lahirlah ekonomi nasional yang etatis.

2. Ekonomi Terpimpin (1959-1966)

Periode ini dimulai sistem „Ekonomi Terpimpin‟ yang dicetuskan oleh presiden Soekarno pada 21 Pebruari 1957 sebagai bentuk jalan keluar dari berbagai kesulitan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia, yang dikenal sebagai „Konsepsi Presiden‟ yang menurut Sarbini bahwa Soekarno dan PKI berupaya menguasai segalanya berdasarkan Manipol (Manifesto Politik) Soekarno.16

Periode ini merupakan periode gelap dalam sejarah Indonesia karena semangat revolusioner sangat membara yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah ekonomi, awal mula ini pada tahun 1957 dimana banyak buruh yang mogok kerja. Awal ekonomi terpimpin masa Orde Lama Soekarno ini ditandai dengan merosotnya PDB perkapita, kenaikan inflasi, surutnya penanaman modal dan berlanjutnya struktural regression. Simpanan Devisa yang semakin berkurang karena habis untuk biaya keamanan dan juga pengamanan nasional, Indonesia yang penghasil beras terbesar malah menjadi impor beras terbesar dan karena kelangkaan menjadikan inflasi naik hingga 650%. Banyaknya perencanaan dalam pembangunan yaitu Dewan Perancang Nasional yang diketuai oleh Mohammad Yamin yang dibentuk oleh Soekarno

16

Sarbini Sumawinata, dalam Thee Kian Wie ed., Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-1950-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 84.

tanpa ada ekonom di dalamnya, yang menghasilkan program Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (1961-1968) dengan menggali kekayaan alam secara besar-besaran untuk membiayai program pembangunan nasional.

Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) tidak selancar yang direncanakan, kemudian untuk menutupi kemerosotan ekonomi tersebut presiden mengumumkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) tentang peraturan dalam bidang impor, ekspor, harga dan lain-lain yang disebut sebagai peraturan 26 Mei 1963. Ternyata tidak membuahkan hasil baik karena adanya campur tangan PKI yang awalnya tidak setuju dengan butir-butir Dekon yang asli,17 hingga akhirnya PKI menyetujui dengan ditambah 12 butir awal yang diajukan oleh PKI untuk kepentingannya kemudian ditambah adanya konfrontasi dengan Malaysia yang pada akhirnya Indonesia keluar dari PBB karena PBB menerima Malaysia menjadi Dewan Keamanan, dan dari situlah Soekarno menetapkan BERDIKARI atau Berdiri di Bawah Kaki Sendiri yang artinya penegasan pendirian Indonesia untuk tidak bergantung pada luar negeri. Berdikari pun terlalu berat untuk dilakukan dengan naiknya harga bahan makanan, nilai rupiah yang merosot dan pemerintah tidak

17

Soebandrio sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri meminta bantuan Soedjatmoko untuk merumuskan program pembangunan ekonomi Indonesia baru, yang juga melibatkan Sarbini sebagai satu-satunya ekonom di dalamnya.

sanggup untuk membiayai pembangunan nasional, akhirnya melakukan pinjaman luar negeri sampai sebesar US$ 2.358 juta di tahun 196618.

Kegagalan yang terjadi pada masa Orde Lama dengan sistem ekonomi terpimpin yang dicetuskan, namun ada juga keberhasilan yang dicapai yaitu mengenai pelayaran dan bongkar muat yang saat itu Soekarno menunjuk Ali Sadikin sebagai Menteri Pelayaran, dan Ali Sadikin meminta nasehat kepada pengusaha yang bergerak dalam industri ini yang salah satunya adalah pengusaha pribumi yang masih dapat bertahan dengan kegagalan dalam program Benteng yaitu Soedarpo Sastrosatomo. Soedarpo mengatakan bahwa bongkar muat kapal dan keagenan merupakan sumber devisa bagi negara namun karena pendapatan tersebut harus disetor kepada Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri untuk ditukar dengan kurs resmi yang rendah maka pengusaha dan juga negara kehilangan banyak uang, sehingga jalan keluarnya adalah dengan mengijinkan pengusaha memiliki kapal sendiri dengan kebebasan untuk menggunakan devisa. Akhirnya dikeluarkan peraturan bahwa setiap perusahaan asing maupun domestik harus memiliki surat izin bongkar-muat, yang menjadi asal usul pemesanan muatan dimana semua muatan untuk proyek pemerintah harus diangkut di bawah bendera Indonesia. Hal itu sangat memudahkan bagi pengusaha industri pelayaran untuk bertahan

18 Bisuk Siahaan, “Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun, 1961-1968”,

dalam Hadi Soesanto ed., Pemikiran dan Permasalahan di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 1959-1966: Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Canisius, 2005), h. 133-137.

dalam kondisi krisis Orde Lama. Serta berdirinya pabrik-pabrik besar telah memberi para insinyur, manajer dan buruh pabrik Indonesia keterampilan industri dan pengalaman dalam mengoperasikan pabrik modern, sehingga pada masa awal Soeharto tidak perlu memulai upaya industrialisasi dari nol.19 3. Paruh Pertama Orde Baru (1966-1982)

Tahun 1966 merupakan tahun awal Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Pada masa pemerintahannya Soeharto mewarisi masalah-masalah Orde Lama seperti tingkat inflasi yang mencapai 650%, utang luar negeri sebesar US$ 2,5 Miliar, serta tingkat pertumbuhan yang rendah.

Maka pada awal pemerintahannya Soeharto melakukan langkah reformasi perekonomian seperti mengembangkan sektor swasta, menarik investor asing, menghilangkan subsidi pada perusahaan pemerintah. Orde Baru juga mengupayakan untuk mengurangi tingkat kenaikan harga yang disertai upaya untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendasar yaitu ketersediaan beras bagi rakyat.

Prestasi yang dicapai pada masa awal Orde Baru membuat Indonesia begitu menonjol, dengan pencapaian kenaikan pertumbuhan rata-rata 6,7% pertahun selama tiga dekade, juga sektor industri yang meningkat cukup pesat bahkan melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama

19

Thee Kian Wie ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. xiii.

2009. kecuali pada tahun 1973 dan 1983 (krisis minyak) dan 1997 (krisis moneter). Pencapaian itu dilatarbelakangi oleh dua kekuatan selain Soeharto dalam mengendalikan dan juga perencanaan ekonomi yaitu kelompok ekonom yang dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro yang dijuluki “Mafia Barkeley” dan kekuatan Mahasiswa. Mahasiswa melakukan seminar ekonomi dan keuangan di FEUI di bawah bimbingan Widjojo Nitisastro yang akhirnya hasil dari seminar tersebut dijadikan legitimasi kebijakan pada masa awal Orde Baru.20 Dimana prinsip ekonomi itu mencangkup: (1) Asas keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan, ekspor dan impor, arus barang dan arus uang, kesempatan bekerja dan pertambahan penduduk, (2) Asas efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber ekonomi, (3) Asas keadilan dalam pembagian beban dan pembagian rezeki, dan (4) Asas perlunya investasi bagi pertumbuhan ekonomi.21

Permasalahan yang telah dialami pada periode pertengahan 1960 dengan sistem ekonomi yang relatif tertutup dan bersifat nasionalis membuat perubahan besar dalam sistem ekonomi di masa Orde Baru dengan sistem ekonomi terbuka seperti banyaknya modal asing yang masuk dan pinjaman luar negeri yang deras. Hingga diberlakukannya undang-undang Penanaman

20

Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 249.

21

Hadi Soesanto, ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 3 1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 24.

Modal Asing tahun 1967 dan diperkenalkan konsep Anggaran yang berimbang. Pada masa itu juga terlihat dua pemikiran yang saling bertolak belakang dimana kelompok pemikir pertama lebih fokus pada peran negara yang besar demi kesejahteraan rakyat dan dicerminkan dengan berbagai alokasi dana terhadap program pembangunan sosial berupa pendidikan dan kesehatan. Sedang kelompok pemikir yang kedua adalah kelompok yang mendukung liberalisasi perekonomian dengan membuka aliran modal dan pasar seluas-seluasnya sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat dalam rangka pemulihan makroekonomi.22

4. Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (1982-1997)

Pada periode ini terjadi penurunan harga minyak secara drastis yang sangat memukul Indonesia. Pada dasawarsa 1970 penerimaan migas sangat menyokong negara hingga pada 1982 dan 1986 harga minyak anjlok maka penerimaan dari minyak dan gas (migas) turun drastis.

Saat muncul krisis tersebut pemerintah cepat tanggap dengan melakukan liberalisasi serta deregulasi di bidang moneter, fiskal, perdagangan, dan investasi. Juga mengubah ketergantungan negara terhadap sektor migas dan beralih kepada komoditas lain, mobilisasi dana dalam negeri

22

(pajak dan tabungan), serta mengurangi campur tangan pemerintah di banyak sektor yang dirasa menghambat kemajuan dunia usaha.

Sistem deregulasi tersebut menaikkan iklim persaingan khususnya di industri manufaktur yang ditandai dengan peningkatan jumlah perusahaan yang tumbuh. Seperti pada tahun 1986 saat harga minyak jatuh lebih tajam dari tahun 1982, akhirnya dilakukan deregulasi dan liberalisasi di sektor perbankan, perdagangan dan pasar modal. Sektor pasar modal yang lama vakum, dapat bangkit dan mencetak prestasi baik dalam nilai dan volume perdagangan untuk ukuran dunia. Juga sektor perbankan, dimana perbankan swasta mulai bersaing secara agresif untuk mendapatkan konsumen dan pangsa pasar. Namun berbeda dengan bank pemerintah yang malah melemah dalam menyesuaikan diri terhadap kesempatan komersial tersebut karena terbiasa dengan adanya bantuan dari pemerintah dan Bank Sentral.23

Banyak teknokrat, ekonom, dan teknolog yang berperan dalam menerapkan kebijakan rekonstruksi dan deregulasi. Habibie dengan konsep “Delapan Wahana Industri”-nya yaitu pesawat terbang, kimia, elektronika, trasnportasi darat, peralatan pertanian, kapal laut, rekayasa, dan pemesinan umum, menitikberatkan pada peningkatan SDM untuk mencapai keunggulan kompetitif agar indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dalam bidang

23

Hadi Soesanto, ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 4 1982-1997: Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 25.

teknologi. Peranan ekonom, teknokrat seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mohammad Sadli juga sangat berperan dalam kebijakan deregulasi, restrukturisasi, penyesuaian eksternal, peningkatan daya saing, dan efisiensi.

Habibie mengusulkan adanya lompatan teknologi dalam memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi dari produk hasil industri dengan mengenali produk yang diprioritaskan maka diterapkan teknologi canggih pada produk tersebut namun karena kebutuhannya yang mahal maka butuh subsidi dari pemerintah, Habibie juga mengkritisi para ekonom yang terlalu mengandalkan keunggulan komparatif dengan orientasi pasar bebas dan ekspor produk-produk padat karya dan sumber daya alam. Namun Soemitro Djojohadikoesoemo dan juga Kwik Kwan Gie mengkritik Habibie, Kwan Gie malah lebih setuju dengan ekonom konvensional yang memanfaatkan keunggulan komparatif dinamis tanpa teknologi yang tinggi dan subsidi pemerintah, karena menurutnya lompatan teknologi tinggi mudah terperangkap ke dalam hobi hingga tidak mempunyai trickle down effect.

Namun kebijakan deregulasi dan liberalisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1983 sampai pertengahan 1990 malah menyebabkan permasalahan baru seperti meningkatnya utang luar negeri, lemahnya pengawasan perbankan,

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang secara faktor internal akhirnya menyebabkan Indonesia mengalami masa krisis di tahun 1997/1998.24

5. Krisis dan Pemulihan (1997-2004)

Tahun 1997 merupakan awal krisis di Indonesia yang berdampak cukup besar kepada sektor industri. Sektor manufaktur mengalami penurunan yang sebelumnya 12% tetapi pada tahun 1997 menurun menjadi 5,3%, namun setelah periode krisis Asia manufaktur kembali naik secara perlahan hingga pada tahun 2004 mencapai 6,4% dan hanya meningkat satu digit saja karena pertumbuhannya yang tersendat-sendat.

6. Pemulihan dan Pengembangan (2005-2009)

Periode ini merupakan masa pemulihan paska krisis di tahun 1997-1998, dengan melakukan pengembangan revitalisasi, konsolidasi dan rekonstruksi industri untuk dapat unggul dan kompetitif .

Industri Indonesia tidak sama dengan industri di negara Asia Timur lainnya karena tidak memiliki pengalaman industrilisasi yang panjang, belum

Dokumen terkait