• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ASPEK HUKUM PENGALIHAN SAHAM PERSEROAN

A. Konsep Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.73

Mr. Dr. H.F. Vollmar, di dalam bukunya “Inleiding tot de Studie van het Nederlands Bugerlijk Recht” (1) mengatakan sebagai berikut:

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

74

Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu, bersumber pada apa yang disebut dengan perjanjian atau sumber lainnya, yaitu undang-undang. Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat “Ditinjau dari isinya ternhyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim”.

73

Subekti, Hukum Perjanjian (Bandung: PT. Intermasa, 2001), hlm. 1 (Selanjutnya disebut Subekti II).

74

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 1.

tanpa kehendak dari para pihak yang bersangkutan. Jadi, perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah hal yang konkrit atau merupakan suatu peristiwa.

Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maksudnya yakni bahwa suatu perjanjian adalah suatu

recht handeling, artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang bersangkutan

ditujukan agar timbul akibat hukum.

Wirjono Prodjodioro mengatakan bahwa:75

75

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu (Bandung: Sumur, 1981), hlm. 11.

“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.”

Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Perjanjian merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Dalam kaitannya sebagai hukum yang berfungsi melengkapi saja, ketentuan-ketentuan perjanjian yang terdapat di dalam KUHPerdata akan dikesampingkan apabila dalam suatu perjanjian para pihak telah membuat pengaturanna sendiri.

Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana hal tersebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

M.D. Badrulzaman menyatakan bahwa pengertian sepakat dapat dimaknai sebagai berikut: “Pernyataan kehendak yang disetujui di antara pihak dimana pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran, sedangkan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi.”76

76

Mariam Darus Badrulzaman dkk., Op. Cit., hlm. 74.

Pemberian pernyataan kehendak baik pihak yang menawarkan maupun yang menerima penawaran dengan kehendak yang besar artinya pernyataan itu harus diberikan secara bebas dan sempurna. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak ada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Terjadi kehilafan bila satu pihak keliru tentang hal-hal pokok yang diperjanjikan atau kekeliruan terhadap sifat penting objek perjanjian atau kekeliruan tentang orang dengan siapa dibuatnya perjanjian itu. Penipuan terjadi jika salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu kemudian disertai tipu muslihat sehingga pihak yang diajak melakukan perjanjian menjadi terpengaruh untuk memberikan persetujuannya. Karena diancam atau ditakuti secara psikis. Dalam perkembangannya penyalahgunaan keadaan dapat juga dijadikan alasan yang menyebabkan kesepakatan tidak sempurna atau mengandung cacat yang mempengaruhi syarat-syarat subjektif perjanjian. Hal demikian terjadi apabila salah satu pihak dalam perjanjian berdasarkan keunggulannya di bidang ekonomi dan keunggulan di bidang sosial

melakukan tekanan sedemikan rupa, sehingga pihak lain menyetujui perjanjian tersebut.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan untuk melakukan tindakan hukum merupakan kewenangan yang diberikan dan dijamin oleh hukum baik terhadap orang pribadi dan juga korporasi (legal entity) sebagai subjek pendukung hak dan kewajiban.77

c. Suatu hal tertentu

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata “setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.” Selanjutnya yang dinyatakan tidak cakap oleh Pasal 1330 KUHPerdata ditetapkan bagi orang-orang yang belum dewasa, mereka yang di bawah pengampuan untuk mengurus dirinya sendiri dan harta kekayaannya karena jiwanya dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang artinya isi perjanjian sendiri yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian.

Yaitu mengandung arti apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangannya siberhutang pada waktu perjanjian tersebut dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang, juga jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

77

Ricardo Simanjntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), hlm. 196.

d. Suatu sebab yang halal

Suatu “sebab” dikatakan halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan yang dimaksud dalam Pasal 1337 KUHPerdata.

Dari keempat syarat-syarat sahnya suatu perjajian, syarat pertama dan kedua yaitu kesepakatan mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian merupakan syarat subjektif dari suatu perjanjian.. Apabila syarat subyektif dalam suatu perjanjian tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan syarat sahnya perjanjian yang ketiga dan keempat yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, merupakan syarat objektif dari perjanjian, dan apabila syarat obyektif ini tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum

Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhi semua ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut di atas. Pernyataan sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian, sedangkan tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian.

1. Pengertian Perjanjian Jual-Beli

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang kerap kali diadakan, yang subjeknya terdiri dari pihak penjual dan pembeli. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli ini diatur pada Buku Ketiga Bab Kelima. Pengertian jual beli dapat dilihat pada bunyi Pasal 1457 KUHPerdata yang berbunyi:

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan:78

Selanjutnya Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat, mengatakan bahwa:

“jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikatkan diri untuk wajib menyerahkan suatu barang dan pihak lain wajib membayar harga yang dimufakati mereka berdua.”

79

Menurut Hukum Adat Indonesia yang dinamakan jual beli, bukanlah persetujuan belaka yang berada di antara keua belah pihak, tetapi adalah suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud

“Jual-beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikatkan dirinya kepada pihak lainnya pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang”.

78

Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 17. 79

R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian (Bandung: Tarsito, 1996), hlm. 14.

memindahkan hak milik, atas barang itu dengan syarat pembayaran harga tertentu, berupa uang oleh pembeli kepada penjual. Dengan demikian dalam Hukum Adat setiap hubungan jual beli tidak mengikat kepada asas atau Sistem Obligatoir, atau sistem/ asas yang lainnya.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa;80

Cara dan terbentuknya perjanjian jual beli, bisa terjadi secara

openbar/terbuka, seperti yang terjadi pada penjualan atas dasar Eksekutorial atau yang disebut executorial verkoop. Penjualan Eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka umum oleh pejabat lelang. Akan tetapi cara dan bentuk penjualan

Eksekutorial yang bersifat umum ini, jarang sekali terjadi. Penjualan demikian “Dalam Hukum Adat ada juga persetujuan antara kedua belah pihak yang berupa mufakat tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli dan pembayaran harga pembeli oleh pembeli kepada penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa penyerahan tadi. Selama penyerahan barang belum terjadi, maka belum ada jual beli, dan pada hakikatnya belum ada mengingat apa-apa bagi kedua belah pihak.”

Perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUHPerdata). Jual beli tiada lain dari persesuaian kehendak (wis overeensteeming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang menjadi essensial perjanjian jual beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual beli dianggap tidak ada.

80

harus memerlukan keputusan pengadilan. Karena itu jual beli yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah jual beli antara tangan ke tangan, yakni jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak resmi, dan tidak perlu di muka umum. Bentuk jual belinya pun terutama jika objeknya barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan. Kecuali mengenai benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak pada umumnya, selalu memerlukan bentuk akta jual beli. Tujuan akta ini hanya sekedar mempelajari jual beli itu dengan keperluan enyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis di samping penyerahan nyata.

2. Hak dan Kewajiban Dalam Suatu Perjanjian Jual beli

Hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian jual beli pada dasarnya meliputi kewajiban-kewajiban pihak penjual maupun pihak pembeli.

2.1 Kewajiban Penjual

Tentang kewajiban penjual ini, pengaturannya dimulai dari Pasal 1472 KUHPerdata, yaitu:

“Jika pada saat penjualan, barang yang dijual sama sekali telah musnah maka pembelian adalah batal”.

Ketentuan penafsiran yang merugikan penjual ini seolah-olah dengan pembeli ketentuan umum. Penjual yang dibebani kewajiban untuk menyerahkan barang ditinjau dari segi ketentuan umum hukum perjanjian, adalah berkedudukan sebagai pihak debitur. Akan tetapi, barangkali rasionya terletak pada hakikat jual beli itu sendiri.

Umumnya pada perjanjian jual beli, pihak penjal selamanya yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibanding dengan kedudukan pembeli yang lebih lemah. Jadi, penafsiran yang membebankan kerugian pada penjual tentang pengertian persetujuan yang kurang jelas atau yang mengandung pengertian kembar, tidak bertentangan dengan ketertiban umum (openbare-orde).

Pada Pasal 1473 KUHPerdata tidak menyebutkan hal-hal yang menjadi kewajiban pihak penjual. Kewajiban pihak penjual secara umum baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya, yakni Pasal 1474 KUHPerdata yang menyebutkan pada pokoknya kewajiban pihak penjual dalam hal perjanjian jual beli menurut pasal tersebut terdiri dari 2 (dua), yaitu:

1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli;

2. Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkut apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembedaan.

Penyerahan barang dalam jual beli merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan barang tadi diperlukan penyerahan yuridis (Juridische Levering) di samping penyerahan nyata (Eitel Jke Levering) agar pemilikan pembeli menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan tersebut (Pasal 1475 KUHPerdata). Misalnya penjualan rumah dan tanah sebagai benda tidak bergerak. Penjual menyerahkan kepada pembeli, baik secara nyata maupun secara yuridis, dengan jalan melakukan akte balik nama (overschijving) dari nama penjual

kepada nama pembeli, umumnya terdapat pada penyerahan benda-benda tidak bergerak.

Lain halnya dengan penyerahan kebendaan bergerak. Penyerahannya sudah cukup sempurna dengan penyerahan nyata saja (Pasal 612 KUHPerdata). Tetapi pada benda bergerak seperti saham atas nama Perseroan, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu telah dilimpahkan kepada orang lain (Pasal 613 KUHPerdata). Mengenai ongkos penyerahan barang yang dijual, diatur dalam Pasal 1476 KUHperdata yang berbunyi:

“biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli jika tidak telah diperjanjikan sebelumnya:

a. Ongkos penyerahan barang ditanggung oleh si penjual;

b. Biaya untuk datang mengambil barang dipikul oleh si pembeli.”

Jika para pihak tidak menentukan tempat penyerahan dalam persetujuan jual beli, maka penyerahan dilakukan di tempat terletak barang yang dijual pada saat persetujuan jual beli terlaksana. Ketentuan ini terutama jika barang yang dijual terdiri dari benda tertentu (bepaalde zaak). Bagi jual beli barang yang di luar barang-barang tertentu, penyerahan dilakukan menurut ketentuan Pasal 1393 ayat (2) KUHPerdata, penyerahan dilakukan di tempat tinggal kreditur, dalam hal ini di tempat si penjual.

Adapun barang yang diserahkan harus dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat persetujuan dilakukan serta mulai saat terjadinya penjualan, segala hasil yang timbul dari barang, menjadi kepunyaan si pembeli (Pasal 1481

KUHPerdata). Itu artinya sejak terjadinya persetujuan jual beli, pembeli berhak atas segala hasil dan buah yang dihasilkan barang sekalipun barang belum diserahkan kepada pembeli. Hal ini erat sekali hubungannya yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat dibeli adalah atas tanggung si pembeli.

Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antar penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHperdata yang berbunyi, “ jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.” 2.2 Kewajiban Pembeli

Adapun yang menjadi kewajiban pembeli adalah:

Kewajiban membayar harga (Pasal 1513 KUHPerdata) yang berbunyi: “Kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian, pada waktu dan tempat yang sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan.” Kewajiban membayar harga merupakan kewajiban yang paling utama bagi pihak pembeli. Pembeli harus menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan barang. Jual beli tidak akan ada artinya tanpa pembayaran harga. Itulah sebabnya Pasal 1513 KUHPerdata sebagai pasal yang menentukan kewajiban pembeli dicantumkan sebagai pasal pertama, yang mengatur kewajiban

pembeli membayar harga barang yang dibeli. Oleh karena itu, sangat beralasan sekali menganggap pembeli yang menolak melakukan pembayaran, berarti ia telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum” (onrechtmatig).

2.2.1 Tempat Pembayaran

Tempat dan saat pembayaran pada prinsipna bersamaan dengan tempat dan saat penyerahan barang. Inilah prinsip umum mengenai tempat dan saat pembayaran. Tentu tempat dan saat pembayaran yang utama harus dilakukan di tempat dan saat yang telah ditentukan dalam persetujuan. Jika tempat dan saat pembayaran tidak ditentukan dalam perjanjian, barulah dipedomani prinsip umum di atas, yakni pembeli wajib melakukan pembayaran di tempat dan saat dilakukan penyerahan barang. Atas dasar aturan yang diuraikan, maka dapat dilihat:

a. Pembayaran barang generic harus dilakukan di tempat tinggal pembeli. Hal ini sesuai dengan ketentuan, bahwa penyerahan atas barang generic dilakukan di tempat tinggal/kediaman pembeli.

b. Pembayaran barang-barang tertentu dilakukan di tempat dimana barang tertentu tadi terletak ataupun di tempat penjual. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1393 KUHPerdata, yang menentukan penyerahan atas barang-banrang tertentu harus dilakukan di tempat dimana barang tertentu terletak ataupun di tempat kediaman penjual. Pada pasal 1514 KUHPerdata dijelaskan pula mengenai pembayaran harus dilakukan di tempat penyerahan barang, bertujuan agar pembayaran dan penyerahan barang yang dibeli, terjadi bersamaan dalam waktu yang sama, sehingga

pembayaran dan penyerahan barang terjadi serentak pada tempat dan saat yang sama.

2.2.2 Hak Menunda Pembayaran

Hak menangguhkan/ menunda pembayaran terjadi sebagai akibat gangguan yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya. Hak menunda sengaja diberikan kepada pembeli demi untuk melindungi kepentingan pembeli atas kesewenangan penjual yang tidak bertanggung jawab atas jaminan barang yang dijualnya terbebas dari gangguan dan pembebanan. Oleh karena itu, hak menangguhkan pembayaran akibat gangguan baru berakhir sampai ada kepastian lenyapnya gangguan (Pasal 1516 KUHPerdata). Kalau yang mengalami gangguan hanya sebagian saja, maka penyelesaiannya terdapat pada Pasal 1500 KUHPerdata yang berbunyi:

“Jika yang harus diserahkan hanya sebagian dari harganya, sedangkan bagian itu dalam hubungan dengan keseluruhannya adalah sedemikian pentingnya hingga si pembeli seandainya bagian itu tidak ada, takkan membeli barangnya maka ia dapat meminta pembatalan pembeliannya.”

Atas kebijaksanaan mempergunakan analogi Pasal 1500 KUHPerdata tersebut, maka dengan sendirinya telah dapat diatasi permasalahan penanggulangan pembayaran atas gangguan yang terjadi atas sebagian barang. Yakni jual beli bisa dilanjutkan dengan jalan menunda pembayaran hanya sekedar harga bahagian barang terganggu, dan selebihnya dapat dilunasi oleh pembeli.

3. Risiko dalam Perjanjian Jual Beli

Jika objek jual beli terdiri dari barang tertentu, maka risiko atas barang berada pada pihak pembeli terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian. Sekalipun penyerahan barang belum terjadi, penjual menuntut pembayaran harga seandainya barang tersebut musnah (Pasal 1460 KUHPerdata).

Dari ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata, jual beli mengenai barang tertentu, sekejap setelah penjualan berlangsung, maka risiko telah berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak di levering lenyap, si pembeli tetap wajib membayar. Hanya saja ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata di atas adalah hukum yang mengatur, bukan hukum yang memaksa, karenanya ketentuan tersebut dapat dikesampingkan oleh persetujuan.

Adalah lebih baik untuk menetukan risiko dalam jual beli barang tersebut, tetap berada pada pihak penjual selama barang belum diserahkan pada pihak pembeli. Paling tidak risiko kemusanahan barang tidak menyebabkan pembeli harus membayar harga barang yang musnah. Kurang baik rasanya jika pembeli dibebani membayar harga barang yang musnah. Bagaimana dapat diterima akal, jika tetap ada kewajiban membayar sesuatu yang telah musnah nilainya. Apalagi jika ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan Pasal 1237 KUHPerdata yang menentukan sejak terjadinya perjanjian, barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan bagi pihak kreditur. Jika debitur melakukan kealpaan, maka debitur harus menanggung kealpaan tersebut, terhitung sejak debitur melakukan tersebut.

Jika objek jual beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan bilangan atau ukuran, risiko atas barang tetapberada di pihak penjual, sampai pada saat barang itu ditimbang, diukur, atau dihitung (Pasal 1416 KUHPerdata).

Akan tetapi jika barang telah dijual dengan tumpukan, maka barang-barang itu menjadi risiko pihak pembeli, meskipun barang-barang-barang-barang itu belum ditimbang, diukur, atau dihitung (Pasal 1462 KUHPerdata).

Memperhatikan ketentuan Pasal 1461 KUHPerdat, risiko beli atas barang-barang nyata tetap berada pada pihak penjual sampai saat barang-barang-barang-barang itu ditimbang, diukur, atau dihitung. Dengan syarat jika barang nyata tadi dijual tidak dengan tumpukan. Apabila barangnya dijual dengan tumpukan, maka barang menjadi risiko pembeli, sekalipun belum dilakukan penimbangan, pengukuran, atau perkiraan.

4. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli

Unsur pokok terjadinya jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian dalam KUHPerdata, perjanjian itu sudah dilahirkan pada dtik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Setelah keua belah pihak setuju atas barang dan harga maka terlahirlah jual beli yang sah. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata, yang mengatakan:

“ Jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”

Asas konsensualitas menetukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua orang atau telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atas konsensus, meskipun kesepakatan itu telah dicapai secara lisan semata-mata.81

Jual beli tiada lain daripada persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan harga inilah yang menjadi

essensialia perjanjian jual beli. Sebaliknya, jika barang objek jual beli tidak

Dokumen terkait