• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Konsep Perwalian Menurut Hukum Positif a. Definisi Perwalian Menurut Hukum Positif

Kamus Hukum menyebutkan bahwa perkataan “wali” dapat diartikan

pula sebagai orang yang mewakili. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, hal perwalian diatur dalam Pasal 50 Ayat (1), berbunyi:

52 Mohammad Daud Ali, Op.Cit, hlm. 47

53 Mujamil Qomar, NU “Liberal” dan Tradisi Ahlussunah WalJamaah ke Universalisme

“Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”

Perwalian menurut KUHPerdata terdapat pada Pasal 330 ayat (3) yang

menyatakan “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab

ini.”

Perwalian sendiri menurut Sudarsono, memiliki pengertian yaitu pengurusan terhadap harta kekayaan dan pengawasan pribadi seorang anak yang belum dewasa sedangkan anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.54

Menurut Subekti, perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-Undang.55

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa pengertian dari perwalian adalah pengawasan terhadap harta dan anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah menikah sebelumnya secara pribadi yang anak tersebut tidak berada dalam pengawasan orang tua kandungnya. Adapun yang termasuk dalam anak di bawah perwalian, adalah;

54 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 26 55 Subekti, Op.Cit,hlm. 52

1) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua;

2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai;

3) Anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind).56 b. Dasar Hukum Perwalian Menurut Hukum Positif

Hal perwalian diatur dalam beberapa Perundang-Undangan, diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197457

Hal perwalian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Bab XI Tentang Perwalian Pasal 50 sampai Pasal 54

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata58

Hal perwalian juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Buku I Tentang Orang, Bab XV Tentang Kebelum Dewasaan dan Perwalian yang terdiri dari 13 bagian Pasal 330 sampai Pasal 418a

c. Asas-Asas Perwalian Menurut Hukum Positif

Berdasarkan sistem perwalian KUHPerdata dikenal dua asas, yakni: 1) Asas Tidak Dapat Dibagi-Bagi (Ondeelbaarheid)

56 Ibid, hlm. 53

57 Sudarsono, Op.Cit, hlm. 25-26

Pasal 331 KUHPerdata menyebutkan bahwa pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, namun asa tidak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yakni:

a) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama, maka kalau ibu menikah lagi, suaminya menjadi wali serta (Pasal 351 KUHPerdata).

b) Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige di luar Indonesia (Pasal 361 KUHPerdata).

2) Asas Persetujuan dari Keluarga

Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada, maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu. Sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan, dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUHPerdata.

d. Orang-Orang yang Dapat Melakukan Perwalian Menurut Hukum Positif KUHPerdata telah mengatur siapa-siapa saja yang dapat melakukan perwalian, diantaranya diatur dalam Pasal 321b ayat (1) tentang perwalian

bagi seorang perempuan. Pasal ini menyebutkan bahwa “perempuan

bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertuli

dari suaminya.”. Namun, jika suami tidak memberikan izin, maka bantuan

dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim (Pasal 332b ayat (2) KUHPerdata).

Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum yang tercantum dalam Pasal 335 ayat (2) KUHPerdata. Sebenarnya, KUHPerdata menyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat menjadi wali, tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan hukum harus diperintahkan oleh pengadilan.59 Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 365a KUHPerdata ayat (1) bahwa dalam hal badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan.

Selain itu, Pasal 379 KUHPerdata juga mengatur tentang golongan orang yang tidak dapat menjadi wali, yaitu:

1) Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen). 2) Mereka yang belum dewasa (minderjarigen).

3) Mereka yang berada di bawah pengampuan (curalete).

4) Mereka yang telah dipecat, baik dari kekuasaan orang tua maupun dari perwalian, namun yang demikian hanya anak-anak yang belum dewasa, yang mana dengan ketetapan hakim mereka telah kehilangan kekuasaan orang tua atau perwalian.

5) Para ketua, ketua pengganti, anggota panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku, dan agen Balai Harta Peninggalan, kecuali terhadap anak-anak atau anak tiri mereka sendiri.

e. Jenis-Jenis Perwalian Menurut Hukum Positif

Secara garis besar KUHPerdata membagi perwalian kepada tiga macam, yaitu:

1) Perwalian menurut Undang-Undang (wettelijke voogdij) yang diatur dalam Pasal 345 KUHPerdata

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup lebih lama, sekedar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

2) Perwalian Dalil (datieve voogdij)

Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 359 telah mengatur secara

otentik perwalian dalil, yakni: “Bagi sekalian anak belum dewasa, yang

tidak bernaung di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah. Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan

sah para keluarga sedarah dan semenda.”

Apabila pengangkatan itu diperlukan berdasarkan ketakmampuan untuk sementara waktu melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat juga seorang wali untuk waktu selama ketakmampuan itu ada. Atas permintaan orang yang menggantinya, wali itu boleh dipecat lagi, apabila alasan yang menyebabkan pengangkatannya tidak ada lagi.

Apabila pengangkatan itu diperlukan karena ada atau tak adanya si bapak atau si ibu tak diketahui, maka oleh pengadilan diangkat juga seorang wali.,

3) Perwalian Menurut Wasiat (testamentaire voogdij)

Ada pula kemungkinan, masing-masing orang tua melakukan kekuasaan orang tua, atau wali bagi seorang anaknya atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan orang tua yang lain. Dalam hal ini badan hukum tidak boleh diangkat menjadi wali.

Pengangkatan dilakukan dengan wasiat, atau dengan akta notaris yang dibuat untuk keperluan itu semata-mata. Dalam itu boleh juga beberapa orang diangkatnya, yang mana menurut nomor urut pengangkatan mereka, orang yang kemudian disebutnya akan menjadi wali, bilamana orang yang tersebut sebelumnya tidak ada.60

Namun, menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 51 ayat (1) menegaskan bahwa perwalian hanya ada karena penunjukkan oleh salah satu orang tua yang menjalankan

60 Sudarsono, Op.Cit, hlm. 30-31

kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi.61

f. Tata Cara Perwalian, Tugas Serta Wewenang Wali

Dalam KUHPerdata perwalian mempunyai beberapa asas. Pertama asas yang tidak dapat dibagi-bagi, asas ini menyebutkan, bahwa perwalian hanya ada satu wali, berdasarkan Pasal 331a KUHPerdata yang menyebutkan perwalian mulai berlaku:

1) Jika seorang wali dianggap oleh hakim dan pengangkatan dilakukan dalam kehadirannya. Jika terjadi pengangkatan tidak dalam kehadirannya, saat pengangkatan harus diberitahukan kepadanya. 2) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari kedua orang tua pada

saat pengangkatan itu karena meninggalnya yang mengangkat, memperoleh kekuatan untuk berlaku dari yang diangkat menyatakan kesanggupannya menerima keangkatan tersebut.

3) Jika seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali, baik oleh hakim, maupun oleh salah satu dari kedua orang tua, pada saat ia dengan bantuan atau dengan kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim, menyatakan kesanggupan menerima pengangkatan itu.

61 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1520/1/perdata-sunarto.pdf, diakses pada tanggal 26 Maret 2016, pukul 14.12

4) Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga sosial tidak atas permintaan atau kesanggupan sendiri, diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.

5) Dalam hal termaksud dalam Pasal 358 pada saat pengesahan.

6) Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadinya peritiwa yang mengakibatkan perwaliannya.

Dalam segala hal, bilamana suatu pemberitahuan tentang pengangkatan wali diatur oleh satu dan lain pasal. Balai Harta Peninggalan wajib menyelenggarakan pemberitahuan itu selekas-lekasnya.

Berdasarkan Pasal 362 KUHPerdata, setiap wali yang diangkat, kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah di muka Balai Harta Peninggalan.

Jika wali tersebut telah sah diakui, maka ada beberapa wewenang yang dilimpahkan terhadap wali tersebut, diantaranya disebutkan dalam Pasal 383

ayat (1) KUHPerdata yang menegaskan bahwa “Setiap wali harus

menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakili dalam setiap tindakan-tindakannya.” juga, dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Si belum dewasa harus menghormati walinya.”

Namun demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau didampingi oleh walinya, misalnya dalam hal pupil itu akan menikah.

Adapun tugas dan kewajiban wali adalah:

Pasal 368 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka wali dapat dikenakan sanksi berupa dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.

2) Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (Pasal 368 ayat (1) KUHPerdata).

3) Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal 1335 KUHPerdata).

4) Kewajiban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan (Pasal 338 KUHPerdata).

5) Kewajiban wali menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah tau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan dengan izin innatura oleh weeskamer (Pasal 389 KUHPerdata).

6) Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara (Pasal 392 KUHPerdata).

7) Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik minderjarigen

setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.

Jika terhadap anak-anak belum dewasa yang ada di bawah perwalian, diangkat seorang wali lain atau karena hukum orang lain menjadi wali, maka

berakhirlah perwalian yang pertama pada saat perwalian yang kedua mulai berlaku, kecuali hakim menentukan saat yang lain, sesuai Pasal 331b KUHPerdata yang menyebutkan perwalian berakhir karena:

1) Jika mereka yang belum dewasa, setelah berada di suatu perwalian, dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua, pada saat penetapan untuk keperluan itu diberitahukan kepada si wali.

2) Jika mereka yang belum dewasa, setelah berada di suatu perwalian, dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua menurut Pasal 206b atau 232b, pada saat berlangsungnya perkawinan.

3) Jika anak-anak belum dewasa luar kawin dan telah diakui menurut undang-undang, disahkan pada saat berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan absahnya anak-anak itu, atau saat pemberian surat-surat pengesahan.

4) Jika dalam hal teratur dalam Pasal 453, orang yang berada di bawah pengampuan, memperoleh kembali kekuasaan orang tuanya, pada saat pengampuan itu berakhir.

Dalam asas tersebut di atas mempunyai kekecualian dalam tiga hal. Pertama, jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama, maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali seta wali peserta (Pasal 351 KUHPerdata), apabila wali ibu dipecat dari perwalian, sepanjang perwalian itu dan selama antara suami istri tidak terpisahkan meja dan ranjang atau harta kekayaan. Demi hukum menjadi kawan wali, di

samping istrinya menanggung bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung. Perkawinan walian si suami tadi berakhir, apabila ia dipecat dari itu atau, si ibu berhentu menjadi wali. Kedua, jika sampai ditunjuk pelaksana pengurus yang mengurus barang-barang di luar Indonesia hal ini diatur dalam Pasal 361 KUHPerdata.62

2. Konsep Perwalian Menurut Islam a. Definisi Perwalian

Perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut dengan al-walayah atau al-wilayah yang secara etimologis antara lain berarti kekuasaan atau otoritas. Hakikat dari al-walayah (al-waliyah) adalah “tawalliy al-mar” yaitu

mengurus atau menguasai sesuatu.

Menurut terminologi para Ulama dan pakar hukum Islam juga merumuskan pengertian dari perwalian, antrara lain dari Wahbah az-Zuhaily merumuskan bahwa perwalian adalah kekuasaan atau otoritas yang dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung atau terikat atas izin orang lain.

Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf K perwalian diartikan sebgai kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan

dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua yang masih hidup, yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

b. Dasar Hukum Perwalian Menurut Islam

Al-Qur‟an dan hadits sebagai bagian dari sumber hukum Islam dalam

menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian merujuk kepada Firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya.

1) Al-Qur‟an

a) Firman Allah Q.S An-Nisaa ayat: 2



































Artinya: “dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig)

harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”63

Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya. Ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan

terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa), artinya dimaksudkan untuk menjaga dan mengelola harta anak yatim yang belum cakap hukum oleh walinya.64

b) Firman Allah Q.S An-Nisaa ayat: 6













































































Artinya: “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk

kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”65

Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangannya juga penjagaan terhadap harta mereka. Allah SWT akan sangat murka jika orang yang

64 http://www.landasanteori.com/2015/09-hukum-perwalian-menurut-Islam-kuhp, diakses pada tanggal 27 Maret 2016, pukul 13:33

kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).66 2) Hadits

ٍتَثَلاَث َِْع ٌَُيَقْىا َعِفُس

:

َِِعَٗ ٌَِيَتْحَٝ َٜتَح ِٚبَصّىا َِِعَٗ َظِقِْٙتْغَٝ َٜتَح ٌِِئَاْىا َِِع

َٜٞتَح ُُِْْْ٘جََْىا

َوِقْعَ

(

تغئ ِع ذَحا ٓاٗس

)

Artinya: “diangkat kalam (dibataskan ketentuan-ketentuan hukum) dari

tiga golongan, yaitu: orang yang sedang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia bermimpi (dewasa) dan dari orang gila sampai dengan ia berakal (sembuh). (HR

Ahmad dari „Aisyah)67

c. Jenis dan Syarat Perwalian Menurut Islam

Di kalangan ulama terutama Ulama Hanafiyah, perwalian dibedakan dalam tiga kelompok, yiatu:

1) Perwalian terhadap jiwa/orang (al-walayah ‘alan nafs) 2) Perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal maal) 3) Perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus

66http://www.landasanteori.com/2015/09-hukum-perwalian-menurut-Islam-kuhp, diakses pada tanggal 27 Maret 2016, pukul 13:33

67 Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibn Bakr as-Suyuthi, Al-Jami’us Shaghier, Alih Bahasa Nadjih Ahjad, Terjemahan Al-Jami‟us Saghier, Cet. I (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 134. Hadits nomor 4463 Huruf Ra‟

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjadi wali dari anak di bawah umur menurut para Ulama, di samping ia baligh dan beragama Islam, ia juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak yang diasuhnya dan tidak terikat dengan pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugasnya sebagai wali anak menjadi terlantar.

2) Dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dapat menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya banyak melakukan dosa, seperti berzinah, minum khamr, main judi tidak layak untuk menjalankan amanah sebagai wali anak.

3) Apabila seseorang itu akan menjadi wali atas harta si anak, ia juga disyaratkan dapat dipercaya dalam masalah harta, mempunyai kemampuan mengatur pembelanjaan dan juga pengembangannya. Ia bukan orang yang pemboros, berlaku mubazir, suka menghambur-hamburkan uang pada hal-hal yang tidak semestinya.

d. Cara Untuk Menjadi Wali atas Anak di Bawah Umur

Seperti yang telah tersinggung di atas, bahwa perwalian merupakan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, untuk keabsahannya harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk bertindak sebagai wali atas seorang anak bagi orang yang beragama Islam harus

terlebih dahulu memperoleh penetapan perwalian dari Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah).68

e. Penghalang-Penghalang Kecakapan

Dalam Islam, ada beberapa penghalang kecakapan (mawaa ni‟ul

ahliyyati), antara lain:

1) Penghalang kecakapan yang bersifat permanen, yaitu: a) Gila

b)Idiot

c) Penyakit yang secara medis berakhir dengan kematian d)Utang yang melebihi kekayaan yang dimiliki

Untuk poin c dan d memang tidak secara langsung mempengaruhi akal, namun akan berakibat pada fungsional akal. 2) Penghalang kecakapan yang bersifat temporer, yaitu:

a) Rusak akal, seperti amnesia

b) Mabuk, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. 3) Penghalang kecakapan yang bersifat insiden, yaitu:

a) Tidur b) Pingsan

68 Eghypandawa.blogspot.id/p/hukum-perdata-perwalian-di-bawah-umur, diakses pada tanggal 27 Maret 2016, pukul 13:36

Dokumen terkait