• Tidak ada hasil yang ditemukan

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

43

merupakan rentang keberagamaan kaum Profesional Muslim yang menjadi sasaran kajian dalam tulisan ini.

B. Konsep Religiusitas Kaum Profesional Muslim

Masyarakat religius tidak dapat meninggalkan simbol-simbol keberagamaan dalam kehidupan sebagai pribadi maupun kehidupan sosialnya. Sikap batin dan segenap kecenderungan jiwa yang lintas batas, berpihak pada transendental dan menghapuskan sekat-sekat, sehingga ketika melakukan interaksi antara individu satu dengan yang lainnya, lebih mencerminkan religiusitasnya. Suatu perilaku yang memiliki muatan makna simbolik karena ia mengacu pada nilai atau sesuatu yang supernatural.19 Konsep supernatural inilah yang menjadi karakteristik segala sesuatu yang religius20. Yang supernatural adalah tatanan hal-ihwal yang berada di luar kemampuan pemahaman masuk dalam ranah keyakinan.

Oleh karena itu, beragama didefinisikan sebagai hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan kekuatan Yang Maha Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna, serta mendorong jiwa untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. Baik pengabdian yang dilakukan karena takut, atau karena berharap memperoleh kasih-Nya, bahkan karena dorongan cinta atau kagum kepada Allah SWT.21 Melihat kenyataan seperti ini maka seseorang jika akan mendefinisikan keberagamaan harus sesuai dengan cara masyarakat mendefinisikan konsep tersebut.22

M. Quraish Shihab melihat bahwa seseorang dapat disebut religius atau beragama paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi, pertama, merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan Yang Maha Agung, Yang mencipta dan mengatur alam raya. Merasakan suatu kehadiran yang senantiasa bersambung, tidak terputus dengan alasan atau kondisi apapun. Kemampuan orang dalam merasakan kehadiran Tuhan, setiap orang tidak sama,

19Eliade di dalam, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Brian Morris (terj. Imam Khoiri) (Yogyakarta: AK Group 2003), 220

20Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religion Life, Op.Cit., 49 21M. Quraish Shihab, Op.Cit., 23

44

| Religiusitas dan Kelas Menengah

bergantung kepada kepekaan yang mereka miliki. Kepekaan terhadap kehadiran Tuhan dihadirkan bersamaan dengan kesadaran beragama yang dialami dalam hidup sehari-hari, melalui peristiwa-peristiwa penting dalam sebuah kehidupan. Kedua, lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan tersebut. Suatu hubungan yang merupakan pantulan ketaatan melaksanakan apa yang diyakini sebagai perintah atau kehendak-Nya, serta menjauhi larangannya. Dorongan hati ingin melaksanakan perintah Tuhan semua yang tersebut dalam rukun Islam, merupakan wujud kesungguhan dalam membangun interaksi efektif antara hamba dengan Tuhan, hamba dengan sesama dan hamba dengan lingkungan. Ketiga, meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga dipastikan akan memberikan balasan dan ganjaran sempurna atas apa yang telah dilakukannya, pada waktu yang telah ditetapkan-Nya.23 Interaksi yang dibangun selama dalam kehidupannya semakin kuat ketika juga memiliki keyakinan bahwa semua yang dilakukan itu akan memiliki dampak positif (berpahala) bagi dirinya.

Dalam konsep R. Stark and C.Y. Glock24 untuk melihat keberagamaan seseorang atau cara bagaimana individu dapat bersifat religius adalah dengan melihat inti dari keberagamaan itu sendiri. Di dalam inti keberagamaan terdapat lima dimensi yang perlu ada, pertama, dimensi keyakinan yang berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologi tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Isi dan ruang lingkup keyakinan yang bervariasi, tidak hanya di antara agama-agama tetapi juga antara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. Dalam konteks Islam, hal ini termaktub dalam konsep rukun iman. Kedua, dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keberagamaan yang terkandung didalamnya. Misalnya perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dalam konteks Islam hal ini termaktub dalam konsep rukun Islam. Ketiga, dimensi pengalaman keberagamaan yang

23M. Quraish Shihab, Loc.Cit.

24R. Stark and C.Y. Glock, American Diety: The Nature of Religious Commitment (1968), 51. Juga lihat Achmad Fedyani Syaifuddin, Op.Cit., 295-297

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

45

menuju pada seluruh keterlibatan subjectif dan individual dengan hal-hal suci dari suatu agama. Hal ini berkaitan dengan pengalaman keberagamaan, perasaan-perasaan, persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami oleh pelaku. Dalam konteks Islam, hal ini banyak ditemukan pada kaum sufi, walaupun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada orang awam yang melakukan peribadatan secara

istiqomah (kontinyu dan konsisten). Keempat, dimensi pengetahuan

agama. Orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, keyakinan, ritus, kitab suci dan tradisi. Dalam konteks Islam, semua keyakinan, ritus dan konsistensi keberagamaannya, dibarengi dengan sejumlah perangkat ilmu untuk mempraktekkan sebuah ajaran. Sehingga jumlah pengetahuan tentang ajaran yang mampu dimiliki oleh seorang beragama Islam, menjadi salah satu faktor adanya perbedaan kapasitas keberagamaan atau religiusitas seorang Muslim. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Disini orang beragama memahami bagaimana konsekuensi keberagamaan mereka, yaitu mereka akan mendapatkan ganjaran atas apa yang dilakukannya. Dalam konsep Islam terdapat konsep kepercayaan pada hari akhir, yaitu hari Kiamat. Suatu hari yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak ada orang yang tahu kapan hari itu akan terjadi, dimana semua orang mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan ketika hidup di dunia, maka seorang Muslim akan berperilaku ihsan, yaitu berperilaku dalam koridor selalu dilihat Tuhan. Oleh karena itu ketika akan menggolongkan keberagamaan seseorang, maka yang dilakukan adalah (antara lain) dengan mendasarkan pada komitmen keberagamaan mereka.

Dalam hal ini Gordon W. Allport membedakannya dalam dua macam cara beragama yang didasarkan atas motif-motif bagi kelakuan itu dan batas-batas konsekuensi perilaku keberagamaan-nya dalam aspek kehidupan yang lain, yaitu tipe intrinsik dan

46

| Religiusitas dan Kelas Menengah

ekstrinsik.25 Ciri-ciri tipe Ekstrinsik memandang bahwa agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan dan bukan untuk kehidupan (something to use but not to live). Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain, misalnya kebutuhan akan status, rasa aman dan harga diri. Seseorang yang melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, berpuasa, shalat, naik haji dan sebagainya, tetapi tidak terjadi di dalam dirinya, maka beragama secara ekstrinsik ini dikatakan Alport sebagai beragama yang erat kaitannya dengan penyakit mental.26 Agama hanya bersifat menenteramkan (palliative). Ciri-ciri tipe Intrinsik adalah kebalikan dari tipe ekstrinsik, dimana agama dapat menentukan eksistensi seseorang, tanpa diwujudkan dalam konsep-konsep terbatas dan kebutuhan-kebutuhan egosentrik. Agama dipandang sebagai comprehensive commitment dan

driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup, dan agama

sebagai faktor pemandu (unifying faktor).27 Kondisi seperti ini hanya dapat dilihat pada penelitian tentang apa makna agama bagi kaum profesional Muslim.

Tindakan religius merangsang individu-individu berpartisipasi secara positif dalam kehidupan sosial28, sekaligus menghadapi kecenderungan-kecenderungan individu untuk lari dari kehidupan sosial.29 Religion melandaskan keyakinan keberagamaannya lebih pada watak manusia atau pada diktum-diktum pengalaman etika daripada atas dasar argumen-argumen yang murni kognitif, dan menitik beratkan pada realitas sui generis (unik).30

Religiusitas juga dipahami sebagai sebuah upaya bagi pengembangan diri31, dimana individu memiliki kemampuan untuk

25 Gordon W. Allport, Religion in the Developing Personality (New York: New York University Press, 1960), 33 . Juga lihat Roland Robertson, Op.Cit., 299

26 Jalaluddin Rahmat, Op.Cit., 26-27 27 Ibid

28 Emile Durkheim, Op.Cit., jilid 2 bab 7. 29 Ibid, jilid 3 bab 5.

30 Ibid

31 Luis Greenspan dan Stepan Andersen (ed.), Russell on Religion (1999). Terjemahan Imam Baehaqi, Bertuhan Tanpa Agama (Yogyakarta: Resist Book, 2009), xxix. Nama lengkap Russell adalah Bertrand Russell, sosok yang

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

47

mentransformasikan penafsiran subyektif terhadap ajaran-ajaran agama dalam rangka mengembangkan perspektif etik, dan moral individual menjadi penafsiran obyektif yang memiliki fungsi perubahan sosial32, misalnya, seseorang dengan mentransendesikan teks (Al Qur’an) diharapkan dapat menemukan pesan-pesan universal sekaligus transendental dari sebuah teks. Misalnya dari surat Ali Imron33 dapat ditarik tiga etika profetik yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.

Humanisasi yang berakar pada humanisme-teosentris. Yaitu manusia harus memusatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan untuk kepentigannya sendiri, dan selalu dikaitkan dengan kegiatan amal. Suatu liberasi yang berada dalam konteks ilmu dan bukan dalam kontek ideologis, yaitu ilmu yang didasari nilai-nilai luhur dan memiliki tanggungjawab profetik, yang membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan dan hegemoni kesadaran palsu. Transendensi yang memiliki ketergantungan kepada Sang Pencipta (Allah SWT), mengakui adanya kontinuitas dan ukuran antara Tuhan dan manusia, serta mengakui keunggulan Mutlak yang melampaui pikiran manusia.34 Transendensi35 adalah sebuah realitas yang dapat dipahami oleh pemikiran manusia, yang tidak mempunyai keistimewaan-keisimewaan atau preferensi-preferensi yang bertentangan dengan universalismenya. Dan sebagai suatu tindakan jiwa atau perasaan yang diperoleh dalam pengalaman manusia. Transendensi bukan realitas eksternal, tetapi sebagai realitas menyeluruh (yaitu obyek dan subyek).

dikatakan orang sebagai atheis karena kekritisannya terhadap agamanya, tetapi teman dekat dan anak-anaknya memandang sebagai sosok yang sangat religius. 32M. Fahmi, Islam Transendental: Menelusuri Jejak-Jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), xi

33Al Qur’an surat Ali Imron, 3 (110): ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.

34Ibid, xiii 35Ibid

48

| Religiusitas dan Kelas Menengah

Agama adalah satu keseluruhan gejala religious.36 Agama merupakan fakta yang dimulai bukan hanya dari dalam perasaan-perasaan individual saja, tetapi juga dari pikiran (kesadaran) kolektif yang bervariasi menurut keadaan.37 Agama menjadi sesuatu yang dapat diterangkan dan alami (natural) bagi kecerdasan/intelegensia manusia, dan pada waktu yang sama bertahan di dalam hubungan (di area labirin - Derrida) untuk pertimbangan alasan individual sebagai karakteristik transcendence.

Agama merupakan alat utama yang memberikan jawaban terhadap masalah-masalah eksistensi manusia yang mendasar ketika masalah-masalah itu berbeda, akan muncul respon keberagamaan yang bertujuan untuk mengatasi perbedaannya itu.38 Gejala religius dalam kehidupan sehari-hari muncul-tenggelam antara yang sakral dan yang propan39 dan merupakan upaya yang selalu mengadakan pembaharuan dalam kualitas keberagamaan.

36 Emile Durkheim, “Concerning the Definition of Religious Phenomena” di dalam Durkheim on Religion: A Selection of Readings with Bibliographies and Introductory Remarks, edited by W.S.F.Pickering (Routhledge & Kegan Paul, London and Boston, 1975), 74

37Ibid, 92

38 Yinger J. Milton, The Scientific Study of Religion (New York: Macmillan, 1970), 9 39 Emile Durkheim, “Concerning…, Op.Cit., 95.

Yang sakral dan yang profan merupakan suatu dualitas keadaan mental yang melembaga dari gejala intelektual, dimana yang satu diproduksi oleh otak tunggal dan pikiran tunggal (a single brain and a single mind); dan yang lain diproduksi oleh banyak acting dari otak dan pikiran (brains and minds) yang saling mempengaruhi. Ketika individu memutuskan untuk masuk kedalam suatu kehidupan religius, ia mengasumsikan sifat lain dan (akan) menjadi “seorang yang baru”.

Yang sacral adalah representasi masyarakat yang meliputi keadaan kolektif, tradisi-tradisi dan emosi-emosi, yang dirasa mempunyai hubungan pada obyek dan minat umum, dimana elemen-elemen itu dikombinasikan menurut hukum sesuai mentalitas sosialnya.

Yang profan adalah dimana masing-masing kita membangun dari pengalaman dan cita-cita kita sendiri; ide yang kita miliki tidak tercampuri, merupakan citra individual, dan itulah mengapa mereka tidak memiliki kesamaan prestise di mata kita sebagai orang-orang terdahulu. Kita hanya masuk ke dalam (mereka yang umum) dan melihat (mereka yang umum) mengungkapkan pengalaman empiris untuk kita.

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

49

Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa muara sebuah religiusitas adalah suatu komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keberagamaan. Agama diwahyukan untuk manusia dan bukan manusia untuk agama. Baik buruknya sikap hidup beragama dengan menggunakan standar dan kategori kemanusiaan, bukan ideologi dan sentimen kelompok. Yang menjadi muara akhirnya adalah harmonisasi, yaitu mampu mengakomodasi berbagai tuntutan lembaga sekuler dan ajaran Islam dalam formulasi teologis sebagai legitimasi posisi kaum profesional Muslim dalam sebuah lembaga sekuler.40

Perbedaan situasi sosial dan pengalaman keberagamaan memberikan bentuk formulasi secara polaritatif. Posisi kaum profesional Muslim ini dipertahankan dan dipelihara dalam berbagai bentuk komunikasi keberagamaan dan lembaga keberagamaan.41 Kaum Profesional Muslim tidak dapat terlepas dari komunikasi keberagamaan dan lembaga keberagamaan dalam proses islamisasi di Indonesia, yang berdampak pada polarisasi tradisi keberagamaan. Pada saat yang sama hal itu semakin mengaburkan batas tradisi santri dengan tradisi priyayi dan abangan, serta melahirkan varian baru tradisi keberagamaan yang condong kepada kesantrian yang semakin bervariasi. Mengapa hal ini dapat terjadi ?

Jika menilik konsep agama dalam pengertian Clifford Geertz bahwa agama sebagai suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsep-konsep mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya unik adalah

40Komaruddin Hidayat dalam Andito (Ed.), Op.Cit., 35

41Smitt dalam Abdul Munir Mulkhan “Sekularisasi dan Ideologi Kaum Santri” dalam Sukardi, AK (penyunting), Prof.Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001/3), 204

50

| Religiusitas dan Kelas Menengah

nyata ada.42 Oleh karena itu proses islamisasi di era kebangkitan nampaknya telah berhasil menyamakan simbol tradisi keberagama-an mereka ke dalam skeberagama-antri dengkeberagama-an kekhaskeberagama-an masing-masing.

Yang menjadi persoalan disini adalah ketika sudah dalam satu simbol yaitu santri, maka perlu juga diketahui santri yang mana? Santri Tradisional atau Santri Modern, ataukah Santri Sufi, atau Santri dalam bentuk yang lain hasil temuan penelitian ini. Karena dalam kenyataan empiris, Islam adalah tidak tunggal, sangat bergantung pada pengalaman hidup, lingkungan hidup dimana dia tinggal atau tradisi setempat yang tengah berkembang.

Dikhotomi tradisi keberagamaan dengan corak modern atau kultural, santri atau priyayi sudah mulai memudar, dan bermetamorfosis menjadi sebuah Kultur Muslim tetap heterogen, bukan berhadap-hadapan tetapi beriringan menuju suatu Peradaban Muslim Ramah Lingkungan. Ataukah sebagaimana dikatakan Moeslim Abdurrahman bahwa kini Islam sedang menjadi identitas yang Plural suatu peradaban Muslim yang hanya mewah bungkusnya saja tanpa isi yang berarti.43

Terdapat gejala negatif yang dimunculkan oleh pluralisme utamanya yang berkaitan dengan ukuran moral dan keyakinan agama. Konsep yang menyatakan bahwa kebenaran tidak tunggal membuat kebingungan warga masyarakat yang sudah memiliki konsep kebenaran tunggal, yaitu yang berasal dari Tuhan. Kebingungan atas ketidak pastian kebenaran ini harus dilawan dengan gerakan kepastian yang lebih pasti, yang akhirnya memunculkan fundamentalisme Islam yang ingin memperjelas kepastian iman.44

Mereka yang belum bisa masuk ke dalam identitas santri yang sesungguhnya atau masih berada di luar, adalah yang masih tetap teguh mencari alternatif jalan keluar bagaimana syari’at dapat

42 Kata Pengantar Parsudi Suparlan dalam Cliffort Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960). Diterjemahkan Aswab Mahasin, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1981/1989), xi

43 Moeslim Abdurrahman, Op.Cit., 53. 44 Ibid, 13.

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

51

masuk ke dalam negara secara langsung maupun tidak langsung melalui kekerasan atau strategi politis, yang disebut Syafi’i Ma’arif sebagai neo-khawarij. 45

Gerakan santri modernis berkembangan ke arah lebih populis, yaitu melampaui identitas santri kota dengan budaya industrial dan profesional selain melintasi orientasi formal-legalistik dan institusional. Gerakan santri ini mulai mengembangkan diri terlibat berbagai proyek kegiatan pemberdayaan umat dan kepedulian rakyat di pinggiran kota, pedesaan, dan yang bekerja sebagai buruh, petani dan nelayan. 46

Demikian juga dengan ciri kultural gerakan NU mulai berubah dan berkembang dari pola dan model budaya agraris memasuki wilayah budaya industrial; gerakan yang dulu berkisar pada pewarisan dan pelestarian mulai mengembangkan dirinya ke wilayah pluralitas dan ide progress. Dua arus besar kekuatan umat Islam NU dan Muhammadiyah, sudah bersama-sama mengembang-kan diri saling mengisi. NU yang kultural juga membuka diri secara lebar terhadap pemikiran-pemikiran baru Islam, demikian juga sebaliknya Muhammadiyah yang modernis bergerak membuka diri ke ranah kulural. Apa makna agama bagi kaum profesional sehingga lintas gerak keberagamaan semakin terpolarisasi ke arah lebih propan, dan apa yang terjadi pada agama ditengah masyarakat modern di kota Surabaya? Untuk dapat menggambarkan bagaimana masyarakat modern di sini digunakan konsep Durkheim tentang agama dalam masyarakat.

Agama dalam konsep Durkheim47 adalah cara masyarakat mengekspresikan dirinya, dalam bentuk fakta sosial non-material. Sebagai konsekuensinya, ketika melakukan penelitian akan lebih mudah ketika diarahkan kepada fakta sosial materiil lebih dahulu, walaupun bisa juga langsung pada fakta sosial non-material. Ketika kaum Profesional Muslim di kota Surabaya tidak mampu mengekspresikan keberagamaannya, sangat mungkin agama Islam

45 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: sebuah refleksi sejarah (Bandung: Mizan & Ma’arif Institut, 2009), 185.

46 Ibid, xxix 47 Ibid, 20.

52

| Religiusitas dan Kelas Menengah

di wilayah kota Surabaya akan mengalami penurunan atau pelemahan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah dalam kenyataan yang ada sekarang memang tidak banyak lagi manuver-manuver ekspresi keberagamaan diruang publik atau masal seperti yang terjadi di era tahun 1998-2000an. Apa yang terjadi sekarang, apakah memang keberagamaan kini sudah mulai surut ataukah dalam ekspresi yang berbeda ?

Apakah hal itu disebabkan oleh adanya dampak islamisasi sehingga yang muncul ke permukaan justru Islam yang semakin menonjolkan golongan agamanya, yang disebut Nurcholish Madjid sebagai terjebak dalam kondisi komunalisme. Jebakan komunalisme dapat berbentuk faham keberagamaan, sikap politik, pandangan ideologi, prasangka rasial, (dsb) yang membuat orang kehilangan kemampuan untuk melakukan transendensi. Kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional.48 Komunalisme merupakan upaya membungkus dirinya agar tidak terkena dampak modernitas ini, juga ditengarai akan mengakibatkan luntur atau rusaknya keimanan mereka. Islamisasi sebagai sebuah interaksi ternyata membuahkan sesuatu dan mematuhi hukumnya sendiri.49 Mengapa hal ini dapat terjadi, lalu dalam wujud apa komunalisme itu muncul dan mengganggu pertumbuhan masyarakat santri.

Kaum profesional Muslim di kota Surabaya memiliki bertumpuk pekerjaan dan hubungan sosial yang luar biasa sibuknya. Bekerja menjadi sarana untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh uang. Pekerjaan bukan lagi menjadi milik pribadinya ketika merasa tidak nyaman lagi saat bekerja dan merasa nyaman ketika tidak bekerja.50 Sebagai manusia religius, perasaan tidak nyaman ketika terjadi keterlibatan yang luar biasa pada pekerjaannya hingga suatu ketika pada kondisi tertentu akan merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Individu ini mengalami alienasi dari pekerjaannya sendiri.

48 Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Jakarta: Paramadina, 2002), 21

49 Ibid, 84 50 Ibid, 55

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

53

Yang menjadi persoalan disini adalah apakah kaum profesional Muslim tersebut mengalami alienasi terhadap pekerjaannya sehingga untuk mengisi ketidak bermaknaan hidup mereka melarikan diri ke ranah kegiatan atau aktivitas keberagamaan, ataukah lari ke ranah yang bukan kegiatan atau aktifitas keberagamaan, atau justru kaum profesional ini tidak atau belum mengalami alienasi terhadap pekerjaan mereka, tetapi telah menemukan lingkungan baru dengan kegiatan atau aktivitas keberagamaan yang menyenangkan dan patut untuk diikuti. Misalnya tertarik kepada kultus-kultus51, yang menawarkan keakraban dan kehangatan persahabatan seperti menawarkan ketenangan batin yang hanya sementara, dan kultus akan berefek

palliative.

Ketertarikan ke dalam suatu ranah kegiatan keberagamaan bagi kelas menengah Muslim khususnya kaum profesional itu, dalam konsep Karl Marx, apakah ada pertimbangan nilai-guna komoditas bagi diri atau asosiasi langsung mereka, ataukah sudah dalam pertimbangan nilai-tukar untuk kepentingan orang lain?52 Dalam konsep Durkheim, keterlibatan mereka dengan ranah kegiatan keberagamaan atau suatu lembaga keberagamaan yang mudah diamati ini sebagai fakta sosial material untuk mengekspresikan kekuatan moral sebagai fakta sosial non-material yang lebih besar dan kuat, ataukah untuk tujuan tertentu yang lain, perlu dicari dan dibuktikan.

Kaum profesional kelas menengah Muslim ketika berada dalam situasi dan kondisi era kebangkitan agama, merupakan suatu kelompok intelektual muda yang berhasil, dengan kehidupan ekonomi yang mapan, dipercaya masyarakat sekaligus menjadi harapan masyarakat dalam hal perbaikan ekonomi masyarakat. Kondisi ini pada saat itu mampu membangun perasaan bersama untuk memperbaiki kehidupan keberagamaan dan perekonomian.

51 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), 129

52 George Ritzer dan Douglas J.Goodman, Teori Sosial Modern, Terjemahan Alimandan, (Jakarta:Prenada Media, 2004), 59

54

| Religiusitas dan Kelas Menengah

Dalam konsep Durkheim53 ini disebut kesadaran kolektif atau representasi kolektif, suatu kesadaran yang dapat terwujud ketika terdapat kesadaran individual. Representasi kolektif digunakan Durkheim untuk mengacu konsep kolektif atau daya sosial yang memaksa individu antara lain symbol agama, mitos dan legenda populer. Reprentasi kolektif ini merupakan cara-cara masyarakat merefleksikan dirinya serta merepresentasikan kepercayaan, norma dan nilai kolektif, serta mendorong diri untuk menyesuaikan