• Tidak ada hasil yang ditemukan

38

Untuk membuktikan apakah kondisi religiusitas masyarakat utamanya kaum profesional Muslim menunjukkan gejala kecenderungan kurve menurun karena mereka semakin membeda-kan antara yang sakral dan yang profan. Apakah kesempatan memperoleh pengetahuan keagamaan yang semakin luas atau semangat keberagamaan yang disebarluaskan secara masal memicu masyarakat untuk larut dalam tawaran identitas Muslim sebagai memperkuat status kelas menengah. Ataukah konsep semakin profesional seseorang maka semakin religius, sedang diperjuangkan oleh kaum profesional Muslim telah mencapai kedewasaan beragama.

Untuk mengetahui semua ini perlu dipelajari dan diteliti bagaimana konsep religiusitas, konsep religiusitas kaum profesional dan konsep tipologi keberagamaan secara sosial. Disamping itu juga perlu dijelaskan siapa sebenarnya kaum profesional melalui sebuah uraian singkat tentang kelas menengah.

A. Konsep Religiusitas

Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan religiusitas atau keberagamaan, perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama. Dalam konsep Islam, agama adalah interaksi (ad-din al-mu’âmalah) yaitu hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan lingkungan (baik yang hidup atau tidak), serta dengan dirinya sendiri.1 Suatu hubungan yang maknanya selalu menggambarkan

1 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 3

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

39

antara dua pihak, dimana yang satu lebih tinggi kedudukannya (yaitu Allah SWT) dari yang lain.

Beragama adalah interaksi harmonis2, dan keberagamaan3 atau religiusitas adalah wujud interaksi harmonis. Sehingga ketika semakin baik hubungan yang dibangun diantaranya, maka akan semakin baik pula keberagamaannya. Hakikat pembenaran keberagamaan bukan hanya ucapan dengan lidah, tetapi perubahan positif dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan.

Cara berinteraksi4 dengan yang berkedudukan lebih tinggi (Allah SWT), menggunakan tiga konsep dasar keberagamaan, yaitu dengan Iman, Islam dan Ikhsan. Yang dimaksud dengan iman adalah pembenar hati terhadap apa yang didengar oleh telinga, yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah SWT, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah SWT, rasul-rasul yang diutus-Nya, hari kemudian (Kiamat) serta takdir-Nya yang (dinilai manusia) baik atau buruk. Konsep keimanan seperti ini popular disebut rukun iman. Profil orang yang beriman adalah orang yang rela diatur oleh Allah, baik itu di bidang akidah maupun syari’ah.5

2 Ibid, 27

3 Roland Robertson, Sociological Interpretation of Religion (Oxford: Basil Blackwell,1972), 52. Terjemahan Achmad Fedyani Syaifuddin, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995), 294. Roland Robertson melihat keaneka ragaman dalam memberikan batasan tentang keberagamaan untuk kepentingan sebuah penelitian. Akhirnya ia memberikan jalan keluar bagaimana melakukan penelitian dengan problem masalah definisi keberagamaan, pertama, ada komitmen keagamaan dalam konteks khusus pendefinisian keberagamaan yang digunakan; kedua, mendefinisikan keberagamaan dengan kredibilitas yang tinggi, sehingga cara mendefinisikan pengertian sesuai dengan cara masyarakat mendefinisikan; ketiga, menggunakan analisis linguistic untuk menentukan berbagai hal yang dapat diartikan sebagai cara dimana individu dapat besifat religius; keempat, menemukan apakah keberagamaan itu diungkapkan dengan cara tersebut, atau mengandung sesuatu dalam bentuk lain.

4M. Quraish Shihab, op.cit., 22

5 Kosim Nurzeha dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/09/0030.html diunduh tanggal 22 Agustus 2010.

40

| Religiusitas dan Kelas Menengah

Wujud iman, sebagaimana dikatakan William James (1840-1910) ahli Psikologi Agama Amerika bahwa “kita percaya tentang wujud Tuhan, bukan karena secara rasional Dia dapat dibuktikan, tetapi karena kita merasakan kehadiran-Nya”.6 Iman berbeda dengan ilmu, karena ilmu bersumber pada akal dan iman bersumber pada qalbu. Ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan jiwa. Ilmu adalah revolusi eksternal dan iman adalah revolusi internal. Murtadha Muthahari7 mengatakan bahwa ilmu menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya, sedangkan iman menyesuaikan diri dengan jati dirinya. Puncak keimananan adalah

yaqin, yaitu pengetahuan yang mantap tentang sesuatu dan

bersamaan dengan itu menyingkirkan apa yang mengeruhkan pengetahuan tersebut.

Tanda-tanda orang beriman, pertama, apabila disebut nama Allah SWT (walau hanya sekedar mendengar nama itu dari siapapun) gentar hati mereka, karena mereka sadar akan kekuasaan dan keagungan-Nya; kedua, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, akan bertambah-tambah iman mereka sehingga hanya kepada Tuhan mereka berserah diri. Menurut Ummu ad-Darda’8 yang dimaksud dengan gejala gentar hati adalah suara kegentaran hati serupa dengan terbakarnya jerami, dan pada saat itu berdoalah kepada Allah SWT, doa akan menghilangkan itu (dan Allah SWT akan menggantikannya dengan ketenangan).

Islam adalah pengakuan akan keesaan Allah SWT dan kebenaran rasul-Nya Muhammad saw, melaksanakan shalat dengan baik dan berkesinambungan, berzakat, berpuasa Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi yang mampu.9 Konsep keislaman seperti ini populer disebut dengan rukun Islam. Islām berarti penyerahan, dan Muslim adalah orang yang menyerah kepada Allah SWT. Penyerahan diri secara penuh kepada Allah SWT atau istislām,

6 Ibid, 7. 7 Ibid, 9. 8 Ibid,12. 9Ibid, 4.

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

41

disebut sebagai religiusitas atau keberagamaan.10 Kondisi seperti ini juga dirasakan oleh Einstein ketika menyelami rahasia alam dengan peralatan seni dan sains yang dimilikinya, menemukan bahwa dibalik semua jalinan-jalinan yang tegas, masih ada sesuatu yang halus, tak dapat teraba dan tak dapat terpahami. Penghormatan terhadap daya ini di atas segala yang tak dapat dipahami, dikatakan sebagai religius.11 Antara iman dengan tradisi kumulatif adalah berbeda. Iman adalah yang menunjukkan hubungan personal dengan yang transenden. Tradisi komulatif adalah yang dengan itu (ritus, system doktrin, bangunan suci, dsb.) iman ditransmisikan dan diekspresikan.12

Dari akar kata Islām lahir kata salām yang berarti damai atau selamat. Predikat sebagai Muslim13 dapat dilihat juga dari perilaku ketika berusaha menghindari kejahilan yang lebih besar atau menunggu waktu kemampuan mencegah kejahilan, mereka melakukan hal-hal, pertama, jika tidak dapat memberi manfaat kepada orang lain, maka jangan sampai dia mencelakakannya;

kedua, jika dia tidak dapat memasukkan rasa gembira ke dalam

hatinya, maka paling tidak jangan meresahkannya; ketiga, jika tidak dapat memujinya, maka paling tidak jangan mencelanya.

Ihsan adalah menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya dan bila tidak demikian, maka (hendaklah sadar) bahwa Dia melihatmu. Kata ihsân digunakan dalam dua hal, pertama, memberi nikmat kepada pihak lain; kedua, perbuatan baik, yaitu memperlakukan orang lain lebih baik dari pada orang lain memperlakukan dirinya. Kata ihsân ketika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat dilihat dalam dua model interaksi. Yaitu ketika melakukan ihsān kepada sesama manusia, maka yang dilakukan adalah ketika dia memandang orang lain

10 Ibid,17

11 Max Jammer, Agama Einstein: Teologi dan Fisika (Yogyakarta Yayasan Relief Indonesia, 2004), 57

12 Haidar Bagir, Kata Pengantar di dalam “The Meaning and End of Religion”, Wilfred Cantwell Smith (1962/63). Terjemahan Arya Budhi, Memburu Makna Agama (Bandung, Mizan, 2004), viii.

42

| Religiusitas dan Kelas Menengah

seperti memandang dirinya, sehingga dia akan memberikan apa saja yang seharusnya mereka berikan. Ketika melakukan ihsān antara hamba dengan Allah SWT adalah leburnya diri sehingga dia hanya melihat Allah SWT.

Gambaran suatu kepercayaan spiritual, praktek religius dan keterlibatannya dengan masyarakat beriman seperti ini biasa disebut dengan religiusitas.14 Secara ekstrim, yang dimaksud dengan religiusitas atau kapasitas ketaatan beragama adalah percaya kepada Tuhan Sejati Yang Maha Esa, memaksimalkan kapasitasnya untuk memobilisasi tindakan manusia yang mengatasnamakan Tuhan.15 Religiusitas seseorang merupakan sebuah usaha keras manusia sepanjang masa, untuk menjadikan kesadaran yang dimilikinya sepenuhnya jernih atas nilai-nilai dan tujuan-tujuannya, secara bertahap memperkuat dan memperluas efeknya. Agama dipahami sebagai iman yang hidup dan vital bagi person-person individu daripada sebagai himpunan ide dan doktrin yang abstrak.16

Kalau didefinisikan secara luas, religiusitas adalah merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, mencakup pula sikap-sikap hidup yang dapat dinyatakan dalam keharuan, ketidak berdayaan diri, atau keinsyafan sebagai tenggelam ke dalam keseluruhan yang serba meliputi. Tujuan utama konsepsi-konsepsi religius bukan mengungkap dan menjelaskan apa-apa yang tersisih dan abnormal, akan tetapi apa-apa yang konstan dan beraturan.17 Setiap pribadi memiliki naluri religiusitas, yaitu berkeinginan untuk mencari dan menemukan pusat hidup.18

Seberapa keras perjuangan untuk beragama baik dalam hal teori maupun praktek sebagai bukti komitmennya kepada agama,

14 Nathaniel M. Lambert dan David C. Dollahite. “Family Relations”. Meneapolis (Vol 55, 2006): 439

15 Rodney Stark, One True God, HistoricalConsequences of Monotheism (New York: Princeton University Press, 2001). Terjemahan M. Sadat Ismail, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), 257

16 Ibid, 68

17 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religion Life (New York: Free Press, 1992). Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir, Sejarah Agama - The Elementary Forms of the Religion Life (Jogyakarta: IRCiSoD, 2003/2006), 55

Religiusitas Kaum Profesional Muslim |

43

merupakan rentang keberagamaan kaum Profesional Muslim yang menjadi sasaran kajian dalam tulisan ini.