• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEOR

B. Semiotika

1. Konsep Semiotika

Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani semeiotikos, berarti penerjemah dari tanda – tanda. Kata “semiotika” untuk pertama kali diperkenalkan oleh Henry Stubbes (1670), itu pun dalam bahasa Inggris, yang digunakan dalam ilmu kedokteran untuk menginterpretasi tanda (simptom). Pada abad ke 19, Charles Sanders Peirce mendefinisikan “semiotik” (yang kadang – kadang dieja sebagai semeiotic) sebagai “kuasa formal dari doktrin tanda –tanda” yang bersifat abstrak tentang “apa yang harus menjadi karakter dari semua tanda yang digunakan oleh atau kemampuan intelegensi manusia yang diperoleh melalui pengalaman”.15

Studi tentang bagaimana suatu masyarakat menghasilkan makna dan nilai – nilai dalam suatu sistem komunikasi disebut semiotika. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial.16 Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest mengartikan semiotic sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya

15

Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.344.

16

Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h.9.

dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakanya”.17

Semiotika adalah studi tentang (sign) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri. Studi mengenai tanda tidak saja memberikan jalan atau cara dalam mempelajari komunikasi. Tetapi juga memiliki efek besar pada hampir setiap aspek (perspektif) yang digunakan dalam teori komunikasi.18

Dalam Islam, semiotika masuk dalam pembahasan Ilmu Mantiq. Ilmu Mantiq adalah mempelajari bagaimana orang bernalar, atau bagaimana caranya orang bisa berpikir benar. Seperti dasar – dasar semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce itu ada pada konsep “dilalah”, yaitu suatu hal yang dapat membangkitkan adanya petunjuk, sedangkan apa yang diacunya atau yang ditunjuknya disebut “madlul”.19

Semiotika (semiotics) yang didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.20

17

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan

Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 95-96.

18

Morissan dan Andy Cory Wardhany, Teori Komunikasi: Tentang Komunikastor, Pesan, Percakapan,

dan Hubungan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h.27

19

Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h.253.

20

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Bandung: Jalasutra,2003), h.256.

Penggunaan metoda semiotika dalam penelitian desain harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen – elemen dasar semiotika. Elemen dasar dalam semiotika adalah tanda (penanda/penanda), aksis tanda (sintagma/sistem), tingkatan tanda (denotasi/konotasi), serta relasi tanda (metafora/metomini).21

1. Komponen tanda

Saussure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang, seperti halnya selembar kertas yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna.

Penanda + Petanda = Tanda 2. Aksis tanda

Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda – tanda lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian (rule of combination), yaitu terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik (paradigmatic), yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik (syntagmatic), yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda – tanda berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu, semacam mesin untuk memproduksi makna. Aturan main bahasa yang digunakan oleh Saussure adalah bahwa di dalam bahasa hanya ada prinsip

21

perbedaan. Perbedaan dalam bahasa menurut Saussure hanya dimungkinkan lewat beroperasinya dua aksis bahasa yang disebut aksis paradigma dan aksis sintagma.

3. Tingkatan Tanda

Rolland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertanda (staggered system), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat – tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan konotasi (connotation).

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti.Konotasi adalah tingkatan pertanda yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).

Selain itu, Rolland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna – makna yang berkaitan dengan mitos.

4. Relasi Antar Tanda

Selain kombinasi tanda, analisis semiotika juga berupaya mengungkap interaksi di antara tanda – tanda. Meskipun bentuk interaksi di antara tanda – tanda ini sangat terbuka luas, akan tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora (metaphor) dan metomini (metonymy).

Metafora adalah sebuah model interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem lainnya.Metonimi adalah interaksi tanda, yang di dalamnya

sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda tanda lain, yang di dalamnya terdapat hubungan bagian (part) dengan keseluruhan (whole).

Diantara tokoh – tokoh yang menggeluti semiotika antara lain:22

1. Charles Sanders Pierce, adalah seorang pemikir yang argumentatif. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang berhubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

2. Ferdinand de Saussure, adalah pendiri linguistik modern yang menulis buku tentang Course in General Linguistics. ada lima pandangan tentang tanda dari Saussure yaitu, (1) Signifier (penanda) dan Signified (petanda), menurut Saussure prinsip yang mengatakan bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda dan petanda. Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. (2) Form (bentuk) dan content (materi). (3) Langue (bahasa) dan Parole (tuturan, ujaran). (4) Synchronic (sinkronik) dan Diachronic (diakronik); serta (5) Syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik).

22

3. Roman Jakobson, adalah salah satu dari beberapa ahli linguistik abad 20. Pemikirannya yang penting adalah penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan), dan metonimia (kesinambungan). Jakobson berpandangan bahwa bahasa ada enam macam fungsi, yaitu (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan.

4. Louis Hjelmslev, adalah salah satu tokoh linguistik yang berperan dalam pengembangan semiologi pasca-Saussure. Hjelmslev mengembangkan sistem dwipihak (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat”. Menurut Hjelmslev, linguistik adalah sebuah contoh metasemiotika: telaah tentang bahasa yang juga adalah bahasa itu sendiri.

5. Rolland Barthes, adalah salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi – asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Dokumen terkait