• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Sistem Tataniaga

Banyak definisi dari para ahli bidang pemasaran yang menjelaskan arti dari pemasaran atau tataniaga, khususnya tataniaga produk-produk pertanian. Tataniaga dan pemasaran sering digunakan secara bergantian karena mempunyai makna yang sama. Tataniaga disebut juga pemasaran yang dalam bahasa Inggris

berasal dari kata marketing merupakan salah satu bagian dari ilmu pengetahuan

ekonomi (Limbong dan Sitorus 1985). Pengertian pemasaran yang dikemukakan para ahli pada umumnya menjelaskan bagaimana dan apa yang terjadi dengan produk-produk pertanian setelah produk tersebut lepas dari tangan petani atau

farm gate (Purcell 1979, diacu dalam Asmarantaka 2009). Pemasaran juga memiliki arti sebuah proses yang mengakibatkan aliran produk melalui suatu

sistem dari produsen ke konsumen (Downey dan Erickson 1992). Seperich et al.

(1994) mendefinisikan tataniaga sebagai keseluruhan aktivitas bisnis yang membantu memuaskan kebutuhan konsumen dengan cara mengkoordinasikan aliran barang dan jasa dari produses ke konsumen dan pengguna jasa.

Asmarantaka (2009) menyebutkan bahwa pengertian dari tataniaga dapat dilihat dari dua aspek sudut pandang yang berbeda, yaitu tataniaga dilihat dari aspek ekonomi (makro) dan aspek manajemen (mikro). Pengertian tataniaga ditinjau dari aspek ekonomi adalah :

1. Tataniaga produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis

dalam mengalirkan barang dan jasa dari petani sebagai titik awal produksi (usahatani) hingga sampai ke konsumen akhir (Kohls dan Uhl 2002).

2. Tataniaga produk pertanian merupakan serangkaian tahapan, fungsi yang

diperlukan untuk memperlihatkan pergerakan input atau produk dari tingkat produksi primer (usahatani) di tingkat petani hingga konsumen akhir. Tahapan pergerakan tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi ataupun hubungan antara lembaga tataniaga yang terlibat (Hammond dan Dahl 1977).

3. Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan

nilai tambah (value added) berupa nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility), waktu (time utility) dan kepemilikan (possesion utility) (Asmarantaka 2009). Kondisi ini dapat terlihat pada saat petani melakukan usahatani dengan merubah input-input pertanian menjadi output produk pertanian (nilai guna bentuk dan kepemilikan). Pedagang pengumpul mengumpulkan sekaligus melakukan pengemasan pada sebuah produk dan kemudian menjual produk tersebut di pasar (nilai guna kepemilikan dan tempat). Pabrik saus sambal yang menggiling tomat, cabai dan bahan-bahan lain sehingga menjadi produk saus sambal dan menjualnya (nilai guna bentuk dan tempat). Pabrik pengolah yang memanfaatkan output pertanian sebagai bahan baku (gandum) diolah menjadi tepung lalu mengemas dan menjualnya kepada grosir (nilai guna bentuk dan kepemilikan), grosir ke pedagang eceran (nilai guna tempat dan waktu) yang akhirnya ke pabrik roti (nilai guna bentuk) dan konsumen akhir (kepuasan). Selama proses tataniaga ini berlangsung dari produsen hingga konsumen akhir, banyak peningkatan atau penciptaan nilai guna yang terjadi dan mempunyai nilai ekonomi tinggi.

4. Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sistem dari sistem agribisnis

yaitu sub-sistem : sarana produksi pertanian, usahatani, tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan subsistem penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan dan kebijakan tataniaga). Pelaksanaan aktivitas tataniaga merupakan faktor penentuan efektivitas dan efisiensi dari pelaksanaan sistem agribisnis.

Tataniaga menurut Ricketts dan Rawlins (2001) dilihat dari aspek manajemen (mikro) merupakan suatu proses manajerial yang dilakukan oleh pihak-pihak baik individu maupun kelompok dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain melalui prosess bauran pemasaran yaitu perencanaan produk, penetapan harga, promosi dan distribusi. Di sisi lain Assauri (2004) menyebutkan bahwa tataniaga dilihat dari aspek manajemen merupakan penerapan dari berbagai teori diantaranya teori utilitas, permintaan dan penawaran, teori harga, struktur pasar, dan pendekatan

23

(kepuasan) pemasaran dikaji dengan melihat tingkat kebutuhan dan preferensi konsumen, sedangkan dalam penerapan teori permintaan dan penawaran dilihat melalui pengaruh perbedaan tingkat elastisitas permintaan dan penawaran pada

kegiatan pemasaran yang tercermin dalam tanggapan (response) pembeli.

Penerapan teori harga dalam pemasaran berhubungan dengan keadaan keseimbangan pasar. Penekanan dan penerapan dengan menggunakan pendekatan

aspek mikro adalah untuk memaksimalkan laba (profit maximization) pada

berbagai struktur pasar. Pada kondisi ini tataniaga dipandang sebagai sebuah manajemen tataniaga dengan melakukan strategi tataniaga yang dikenal dengan bauran tataniaga (pemasaran) sehinngga tercipta pertukaran untuk memuaskan konsumen (individu dan organisasi).

Sistem tataniaga pertanian dituntut untuk dapat dideskripsikan secara lebih komperhensif yang dapat tergambarkan dalam bentuk sistem yang terintegrasi antara sub-sistem yang ada dan tergambarkan secara utuh, bukan hanya sebuah alur pemindahan produk yang ditunjukkan oleh panjang pendeknya saluran tataniaga (Wagiono 2009). Sistem tataniaga dideskripsikan sebagai kumpulan komponen-komponen kegiatan ekonomi yang saling terkait dan terkoordinasi yang dilakukan oleh individu-individu atau lembaga-lembaga yang ditujukan untuk melaksanakan dan memperlancar proses transaksi antara produsen dan konsumen melalui peningkatan kegunaan hak milik, kegunaan tempat, serta kegunaan waktu dan bentuk.

Dalam menganalisis suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Masing-masing pendekatan akan menunjukkan perspektif secara nyata dan pelaksanaan proses dari aktivitas tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu sistem tataniaga diantaranya:

1. Pendekatan Fungsi (The Functional Approach); diartikan sebagai spesialisasi

aktivitas yang dilakukan dalam upaya menyempurnakan sistem tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Pendekatan ini mencoba untuk mengetahui beragam aktivitas fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga, menganalisis biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan serta memahami perbedaan biaya dan fungsi antar lembaga tataniaga (Asmarantaka 2009)

terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, risiko dan informasi pasar).

2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); digunakan untuk

mengetahui para pelaku serta pihak-pihak yang terlibat dalam suatu sistem tataniaga. Kelembagaan tataniaga adalah berbagai organiasasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan atau mengembangkan aktivitas bisnis berupa kegiatan-kegiatan produktif yang diwujudkan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Pendekatan ini mempertimbangkan sifat dan karakter

dari pedagang perantara (middlemen), hubungan agen perantara dan

susunan/perlengkapan organisasi yang terdiri dari merchant middlemen

(pedagang pengecer dan grosir), agent middlemen (makelar), speculative

middlemen (pedagang spekulan), processor and manufacturers (industri

pengolah), facilitative organizations yaitu organisasi yang tidak secara

langsung berhubungan dengan proses tataniaga tetapi membantu kelancaran proses tataniaga.

3. Pendekatan Sistem Perilaku (Behavioural-systems Approach); pendekatan

yang menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga untuk mengetahui efisiensi dan kontinuitas dari pelaksanaan sistem tataniaga (Asmarantaka 2009). Dengan demikian pendekatan ini menganalisa keterkaitan yang kontinu diantara subsitem-subsistem yang memberikan tingkat efisiensi tinggi. Seperti yang telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu sistem tataniaga terdapat berbagai pelaku/lembaga tataniaga yang terlibat. Para pelaku/lembaga tataniaga dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang digunakan dalam membuat suatu keputusan khususnya yang terkait dengan kegiatan pemasaran/tataniaga

dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari input-output system, power

system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal-external change.

Adapun Cramer dan Jensen (1991) menyebutkan bahwa dalam menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu

25 approach) dan pendekatan struktur pasar (market structure approach). Pendekatan analisis struktur pasar menekankan pada sifat persaingan yang terjadi

dan merupakan upaya untuk mengubungkan variabel keragaan pasar (market

performance) kepada jenis struktur pasar (market structure) dan perilaku (market conduct). Perilaku pasar berkaitan dengan perilaku pada setiap lembaga yang terlibat dalam tataniaga dalam menghadapi para pesaingnya.