• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep “Social Studies” Secara Umum

Dalam dokumen Materi Persiapan Uji Kompetensi Guru 2015 (Halaman 151-157)

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

B. Konsep “Social Studies” Secara Umum

Untuk melihat bagaimana konsep :”social studies”, secara umum nampaknya perlu dikembalikan kepada perkembangan pemikiran dan praksis dalam bidang itu di Amerika Serikat (AS) yang dianggap sebagai salah satu negara yang telah menunjukan reputasi akademus dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu, seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang dipublikasikan oleh Nasional Council for the social studies (NCSS), sejak pertemuan organisasi tersebut pertamakalinya tanggal 20-30 November 1935 sampai sekarang. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curiculum”, dengan kerangka pemikiran yang belum solid, yang oleh Longstreet (1965: 356) digambarkan sebagai pertemuan yang penuh kebingungan dan dengan refleksi pemikiran yang tidak jelas sebagai dampak dari perdebatan intelektual yang tak terselesaikan, di tengah-tengah situasi sosial, politik dan ekonomi yang penuh gejolak. Namun demikian terkuak harapan pada satu saat dapat dipakai suatu hasil yang gemilang di dalam “social studies”. Dihadapkan pada tantangan untukdapat membangun dirinya sebagai disiplin yang solid.

Pilar Historis-epiotemologis, social studies yang pertama berupa suatu definisi tentang “social studies” telah dipancangkan oleh Edgar Bruce Wesley pada tahun 1917 (Barr, Barth, dan Shermis, 1977:1-2) yaitu The Social Sciencies simplified pedagogical purposes. Majsudnya bahwa the social studies adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Pengertian ini kemudian dibakukan dalam The United States of Educacion’s

kawan-kawan, 1977:2).

Bila dianalisis dengan cermat, didalam pengertian awal social studies tersebut di atas mengisyaratkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, social studies merupakan disiplin dari ilmu-ilmu sosial atau menurut Welton dan Mallan (!988:14) sebagai an offsprings’ of the social sciencies. Kedua, disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan /pembelajaran baik pada tingkat persekolahan maupun tingkat pendidikan tinggi. Ketiga, olehkarenanya aspek- aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi sesuai dengan tujuan tersebut.

Walaupun telah ada difinisi awal sebagai pilar pertama. Didalam perkembangan berikutnya ternyata bidang social studies didera oleh ketidakmenentuan, yang oleh pioner social studies Edgar Bruce Wesley (Barr dan kawan-kawan, 1978:4) berdasar pengamatannya selama 40-an tahun dikemukakan bahwa the field of the social studies has long suffered from conflicting definition, an overlapping functions, and a confusion of philosophies. Keadaan itu dinilai telah menimbulkan uncertainties: …perpetuated indecision; … hindered unification: …and delayed progress. Keadaan ketakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan tersebut dirasakan terutama pada masa tahun 1940- 1970-an.

Pada periodetersebut seperti digambarkan oleh Bar, Barth dan Shermis, (1977:33-46), social studies menjalani periode yang sangat sulit. Antara tahun 1940-1950-an ia mendapat serangan hampir dari segala penjuru, yang pada dasarnya berkisar pada pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap demikratis kepada generasi muda. Hal itu tumbuh sebagai salah satu dampak dari perang yang berkepanjangan, yang melahirkan tuntutan bagi sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap

demokratis. Tuntutan tersebut telah mendorong munculnya upaya pemberian tekanan pada pentingnya pengajaran sejarah, berupa fakta-fakta sejarah yang perlu mendapat perhatian, kelembagaan pemerintah amerika; dan analis rinci mengenai Konstitusi Amerika. Situasi pembelajaran kelihatan sangat kuat menekankan pada mata pelajaran sosial yang terpisah-pisah, memorisasi informasi faktual, dan transmisi secara tidak kritis dari nilai-nilai budaya terpilih.

Yang sangat menonjol terjadi pada tahun 1940-1960, demikian ditegaskan oleh Barr, dan kawan-kawan (1977-:36), adalah terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies. Disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan bebagai disiplin ilmu sosial untuktujuan citizenship education yang terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Di lain pihak terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsep sosial studies education. Hal tersebut antara lain merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu hal tersebut juga merupakan dampak dari opini publik berkaitan dengan perang dunia ke II, Perang Dingin, dan perang Korea, serta kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktek pendidikan persekolahan.

Tekanan perubahan lain yang cukup dahsyat muncul pada tahun 1957 dalam bentuk upaya konperhenship untuk mereformasi “social studies’ yang menjadi pemicu dan pemacu perubahan tersebut adalah keberhasilan Rusia meluncurkan pesawat ruang angkasa sputhnik yang telah membuat Amerika panik dan merasa jauh tertinggal dari Rusia, dan dipublikasikannya hasil penelitian dua orang dosen University, HH Rommera dan D.H. Radior yang dikenal dengan Purdue Opinion Poll. Penelitian dengan sample anak usia

35 % dari pemuda yang percaya bahwa surat kabar perlu diijinkan untuk menerbitkan apa saja yang diinginkan; Kedua sebesar 34% percaya bahwa pemerintah perlu melarang sebagian orang untuk berbicara, Ketiga sebesar 26% percaya bahwa polisi perlu diijinkan untuk mengledah rumah seseorang tanpa jaminan; Keempat, sebesar 25% merasakan bahwa beberapa kelompok tidak perlu diijinkan mengadakan pertemuan. Hasil penelitian dinilai merupakan salah satu petunjuk kegagalan social studies yang pada saat itu memang masih bersifat content-concered dan didominasi pendekatan expository dan sekaligus memberi indikasi perlunya perubahan pembelajaran social studies menjadi pembelajaran yang berorientasi kepada the integrated, reflektive inquiry, and problem- centered (Barr, dan kawan-kawan;41-42). Kesemua itu telah memperkuat munculnya gerakan the new social studies.

Perkembangan selanjutnya, yakni antara th 1976-1983, seperti dilaporkan oleh Stanley (1965:310)mencatat penggunaan istilah social studies sebagai social sciencies, social service, socialism, radical, left-wing thinking social reform, anti history, a unification of social subyect, a field, afederation, an integrated curriculum, a pro- child reform, and curriculum innovation. Terlepas dari adanya aneka penggunaan pengertian tersebut, ditegaskan bahwa the heart of the social studies is relattionships primarrily between and ammong human beings. Sedangkan jika dilihat dari visi, misi dan strateginya, Barr, dan kawan-kawan (1978:17-19) social studies telah dapat dikembangkan dalam tiga tradisi, yakni “Social Studies Taught as Citizenship transmition, Social studies taught as Social Sciencies, an Social Studies Taught as Refflektif Inquiry,

Definisi social studies dan pengidentifikasian “social studies” atas tiga tradisi pedagogis di atas dapat dianggap sebagai pilar utama dari “social studies” pada dasa warsa 1970-an. Dalam difinisi

merupakan sistem pengetahuan terpadu, kedua, misi utama “social studies” adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis; Ketiga, sumber utama konten social studies adalah social sciencies dan humanities,

Demikian secara umum perkembangan social studies sebagai suatu bidang kajian telah dibahas. Perkembangan tersebut melukiskan bagaimana social studies pada dunia persekolahan telah menjadi dasar ontologi dari suatu sistem pengetahuan yang terpadu, yang secara epistemologi telah mengarungi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang dimotori oleh NCSS sejak tahun 1935. pemikiran secara tersurat dan tersirat merentang dalam suatu kontinum gagasan social studies Edgar Bruce Wesly (1935) sampai ke gagasan social studies terbaru dari NCSS (1994).

Pemikiran mengenai social studies , tercatat telah banyak mempengaruhi pemikiran dalam bidang itu di negara lain, termasuk pemikiran mengenai Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia.

Rasional Mempelajari IPS

Khasanah pengetahuan, ketrampilan dan sikap siswa dalam segala hal berasal dari berbagai sumber. Siswa datang kesekolah berasal dari lingkungan masing-masing. Pengenalan mereka tentang masyarakat tempat mereka menjadi anggota diwarnai oleh lingkungan mereka tersebut. Dalam hal ini sekolah bukanlah satu- satunya wahana atau sarana untuk mengenal masyarakat. Para siswa dapat belajar mengenal dan memahami masyarakat melalui acara telivisi, siaran radio, koran dan lain-lain. Singkatnya mereka mempelajari tentang masyarakat dapat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Disamping itu mereka juga dapat mengenal

tengah masyarakat.

Pengetahuan siswa melalui wahana luar sekolah mungkin masih bersifat umum, terpencar-pencar, dan samar-samar. Oleh karena itu, agar pengenalan itu dapat lebih bermakna, maka bahan atau informasi yang masih umum dan samar-samar itu perlu disistimasikan. Disinilah sekolah mempunyai kedudukan dan peran yang penting. Apa yang telah diperoleh diluar sekolah, dikembangkan dan diintegrasikan menjadi sesuatu yang lebih bermakna di sekolah, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan siswa. Perlu disadari bahwa, sesuai dengan tingkat perkembangannya, siswa sekolah dasar belum mampu memahami keluasan dan kedalaman masalah-masalah sosial secara utuh. Akan tetapi mereka dapat diperkenalkan kepada masalah-masalah tersebut. Melalui pengajaran IPS mereka dapat memperoleh pengetahuan, ketrampilan, sikap dan kepekaan untuk menghadapi hidup dengan tantangan-tantangannya. Selanjutnya mereka kelak diharapkan mampu bertindak secara rasional dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi pertetanggaan antar negara akan menjadi lebih luas, karena dunia seakan-akan menjadi tetangga dekat. Hal ini disebabkan kemajuan transportasi dan komuniklasi. Dengandemikian seolah-olah “dipindahkan” keruang didalamrumah sendiri. Dalam hal ini IPS pun berperan mendorong saling pengertian dan persaudaraan antara umat manusia. IPS memusatkan perhatiannya pada hubungan antar manusia dan pemahaman sosial. Dengandemikian IPS dapat membangkitkan kesadaran bahwa kita akan berhadapan dengan kehidupan penuh tantangan. Dapatlah dikatakan bahwa IPS mendorong kepekaan siswa terhadap hidup dan kehidupan sosial.

dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna.

• Supaya para siswa dapat lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab. • Supaya para siswa dapat mempertinggi rasa toleransi dan

persaudaraan dilingkungan sendiri dan antar manusia.

Dalam dokumen Materi Persiapan Uji Kompetensi Guru 2015 (Halaman 151-157)

Dokumen terkait