Dalam konsep perjanjian yang dimana dipertegas dalam rumusan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.” Dengan didasarkan
pada rumusan pengertian tersebut dijabarkan bahwa suatu perjanjian ada karena adanya kesepakatan antara satu orang atau lebih untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian.
Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara “Sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut.63Hal ini dijelaskan dalam pasal 1234 KUH Perdata yaitu bahwa “Perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu”. Dengan didasarkan pada pasal tersebut dapat menyatakan bahwa
suatu perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu baik perikatan yang bersumber dari Undang – Undang atau Perjanjian.
Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.
37
pernyataan “Sukarela” menunjukkan bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. 64Dengan adanya pernyataan sukarela tersebut maka perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban guna pemenuhan suatu prestasi para pihak dapat terwujud. Salah satu bentuk adanya pernyataan sukarela berkaitan dengan mengikatkan diri dalam perjanjian adalah menyetujui atau menolak perjanjian.
Istilah meyetujui suatu perjanjian merupakan bentuk dari adanya
Consensus atau kesepakatan para pihak berkaitan dengan membuat perjanjian.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata menjelaskan bahwa :
“suatu perjanjian dikatan sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang terlarang. “
Dengan didasarkan pada pasal tersebut, bahwa adanya kesepakan antara para pihak dalam melakukan perjanjian merupakan salah satu syarat yang harus ada berkaitan dengan syarat sahnya suatu perjanjian.
Dengan didasarkan pada penjelasan tersebut, suatu perjanjian harus terdapat kata “setuju” dari para pihak dalam melakukan hubungan kontraktual dan hal ini tercermin pada konsep Take It Or Leave It. Pengertian mengenai istilah “Take It Or Leave It” jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah “ambil atau tinggalkan”. Maksud dari arti ambil atau tinggalkan ini adalah menyetujui atau menolak perjanjian. Dengan didasarkan pada uraian yang
38
telah dijelaskan bahwa Konsep Take It Or Leave It merupakan suatu konsep dasar dalam perjanjian yakni berkaitan dengan menyetujui atau menolak perjanjian karena perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak para pihak untuk mengikatkan diri secara sukarela guna memenuhi suatu prestasi yang melahirkan hak dan kewajiban.
Dengan diberlakukannya sistem baku atau sistem yang telah distararisasi dalam pembuatan perjanjian baku, akibat dari berkembang pesatnya dunia bisnis yang menuntut adanya efisiensi dalam hal pembuatan perjanjian yaitu bahwa dalam hal tidak terjadi adanya keseimbangan berkaitan dengan proses pembuatan perjanjian atau kontrak antara pihak satu dengan pihak lainnya khusunya berkaitan dengan substansi atau isi perjanjian. Maka dikenal Konsep
Take It Or Leave It.
Konsep Take It Or Leave It dalam Perjanjian Baku merupakan salah satu Opsi yang diberikan oleh pihak yang lebih dominan kedudukannya kepada pihak yang memiliki kedudukan lebih rendah dikarenakan perbedaan dominasi kedudukan. Dengan berlakunya konsep tersebut dalam Perjanjian baku, para pihak khususnya yang berada dalam posisi yang lemah dapat diberikan pilihan untuk menentukan akan mengikatkan dirinya pada perjanjian tersebut atau tidak. Jika dirasa isi klausul – klausul dalam perjanjian tersebut cenderung memberatkan atau mungkin merugikan salah satu pihak.
Konsep Take It Or Leave It merupakan salah satu solusi yang disodorkan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah dalam perjanjian baku. prinsip ini bersifat alternatif. Jika pihak lain memilih alternatif Take It, maka sebagai
39
konsekuensinya adalah bahwa ia dianggap secara hukum menyetujui isi perjanjian yang telah dituangkan dalam formulir baku yang disodorkan kepadanya.65 Sedangkan Leave It diartikan bahwa ia dianggap telah menolak untuk mengikatkan dirinya pada perjanjian tersebut. Take It Or Leave It dalam artiannya hanya ada dua pilihan yaitu sepakat membuat kontrak atau tidak sepakat membuat Kontrak.66
Konsep Take It Or Leave It terjadi dalam proses prakontraktual sebelum melakukan hubungan kontraktual yang selanjutnya akan berakibat hukum berkaitan dengan pemenuhan prestasi para pihak yang berisi hak dan kewajiban masing – masing pihak. Prakontraktual merupakan tahap penawaran dan penerimaan.67 Dimana dalam perjanjian atau kontrak baku, sebelum pihak (debitur atau pihak dalam posisi lemah) menyatakan untuk bersepakat mengadakan hubungan kontraktual (dalam praktik biasanya ditunjukan dengan penandatanganan formulir perjanjian atau kontrak baku sebagai bukti pihak tersebut mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut), pihak (kreditur atau pihak yang dalam posisi yang dominan) memberikan form untuk dilihat terlebih dahulu berkaitan dengan substansi atau isi perjanjian. Jika setuju maka Take It, jika menolak maka Leave It.
Berangkat dari perndapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa lahirnya Konsep Take It Or Leave It dalam pelaksanaan Perjanjian Baku disebabkan adanya posisi yang tidak seimbang antara satu pihak dan pihak lainnya dalam
65 Christiana Tri Budhayati, Dinamika Perkembangan Hukum Kontrak Di Indonesia, Jurnal yang dibukukan dalam buku yang berjudul “Dinamika Hukum Kontrak “ dengan Editor Dyah Hapsari Prananingrum, Universitas Kristen Satya Wacana, Cetakan Pertama, 2013, hlm.58.
66 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit.,hlm 216.
67 Salim H.S. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Hlm.4.
40
hal pembuatan perjanjian. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti :
a) Perbedaan Ilmu Pengetahuan yang dimiliki para pihak. Seperti contohnya dalam Perjanjian Terapeutik antara Dokter dengan Pasien, yang dimana sebagian besar pasien tidak terlalu mengerti bagaimana cara menyembuhkan penyakitnya sehingga membutuhkan tenaga kesehatan atau Dokter untuk membantu dalam penyembuhan penyakitnya dikarenakan telah mendapatkan ilmu pengetahuan yang cukup untuk mengerti bagaimana cara menyembuhkan penyakit pasiennya. Contoh lainnya dalam Perjanjian dilingkungan Advokat atau Notaris. Klien akan membutuhkan peran kedua profesi hukum tersebut untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapinya. Dengan didasarkan ilmu pengetahuan lebih khusunya dalam bidang hukum maka baik advokat maupu notaris dapat mebantu meyelesaikan permasalahan berkaitan dengan hukum tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Undang – Undang Advokat Pasal 1 ayat 1 yang menjelaskan mengenai fungsi dan peran Advokat yang berbunyi : “Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan
jasa hukum baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan kerentuan Undang – Undang ini.”
41
b) Perbedaan Kedudukan atau Jabatan para pihak
Seperti contohnya adalah dalam Perjanjian Kerja baik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dalam Perjanjian Kerja, terdapat dua subyek hukum yaitu Pengusaha sebagai pemberi kerja dan Perkerja/ Buruh sebagai penerima kerja. Kedudukan antara Pengusaha dengan Pekerja sangat berbeda, dimana dengan adanya unsur Perintah dalam hubungan kerja maka Pengusaha dianggap memiliki kedudukan yang sedikit lebih tinggi daripada pekerja yang hanya sebagai penerima perintah. Dalam hal ini, Pengusaha dianggap sebagai pemegang otoritas untuk memberikan perintah kepada Pekerja untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang diperintahkan sebelumnya. Djumialdji berpendapat bahwa dengan adanya unsur wewenang perintah berarti antara kedua belah pihah (dalam hal ini Pengusaha dengan Perkerja) ada kedudukan yang tidak sama yang disebut Subordinasi. Jadi disini ada pihak yang kedudukannya diatas yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya dibawah yaitu yang diperintah.68
c) Perbedaan berkaitan dengan kepentingan para pihak Seperti contohnya dalam Perjanjian Asuransi antara Perusahaan Asuransi dengan Pemegang Polis. Dimana
68 Djumadi, Hukum Pemburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 24.
42
Perusahaan Asuransi sebagai pemberi jasa berupa pihak yang menyelenngarakan usaha Asuransi dengan tujuan bahwa program asuransi tersebut dapat memberikan perlindungan berkaitan dengan Objek Asuransi. Objek Asuransi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 25 Undang – Undang nomor 40 tahun 2014 tentang Peransuransian yang berupa jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya. Dengan didasarkan pada penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara Perusahaan Asuransi dengan Pemegang Polis (klien) dapat dikatakan tidak seimbang karena terdapatnya perbedaan kedudukan yaitu yang satu sebagai pemberi jasa dan yang satunya sebagai penerima jasa. Sehingga dalam hal ini adalah pemegang polis atau bisa disebut sebagai klien membutuhkan jasa dari Perusahaan Asuransi untuk membantu kepentingannya dalam hal melindungi harta benda yang akan dijadikan sebagai objek asuransi jika terjadi sesuatu peristiwa yang tidak terduga dan berakibat merugikan nasabah.
Meskipun dipermukaan dapat dikatakan terjadi ketidakseimbangan posisi yang dimana pihak yang satu dianggap “lebih dominan” dibandingkan dengan pihak yang lainnya yang dianggap dalam posisi yang “lebih lemah” dan beranggapan bahwa pihak yang lemah tersebut sering dirugikan berkaitan dengan perbedaan kedudukan tersebut. Namun, jika dilihat dari segi
43
Perjanjian, dengan didasarkan pada hubungan hukum antara para pihak dalam melakukan perjanjian maka perjanjian tersebut menimbulkan adanya hak dan kewajiban masing – masing pihak sehingga harus dianggap memiliki posisi yang sama. Walaupun terjadi ketidakseimbangan, namun ada hak dan kewajiban masing – masing pihak yang harus dipenuhi berkaitan dengan pemenuhan prestasi. Seperti contohnya dalam hubungan antara pengusaha dengan pekerja yang dimana untuk menjalankan usahanya, maka pengusaha membutuhkan peran dari pekerja begitu pula sebaliknya dimana pekerja dengan didasarkan adanya unsur pekerjaan yang diberikan oleh pengusaha, pekerja tersebut mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Begitu pula yang terjadi dalam Perjanjian antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis atau dapat dikatakan sebagai nasabah yang dimana Perusahaan Asuransi membutuhkan adanya nasabah untuk menunjang berjalannya usaha.
Dengan didasarkan pada anggapan tersebut, maka sebenarnya posisi antara para pihak seimbang karena satu pihak membutuhkan peran serta dari pihak lainnya dan posisi pihak satu dengan pihak lainnya dianggap tidak terlalu mendominasi. Dan jika sudah terjadi perjanjian, maka hak dan kewajiban masing – masing pihak memiliki posisi yang seimbang. Jika berangkat dari anggapan bahwa sejak awal tidak terjadi keseimbangan, maka dalam hal pemenuhan prestasi berupa hak dan kewajiban masing – masing pihak akan berakibat terganggunya pemenuhan hak dan kewajiban tersebut. Sehingga, secara teori harus dianggap terjadi keseimbangan.