1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Dasar Hukum PerjanjianPerjanjian merupakan salah satu sumber dari Perikatan. Menurut Riduan Syahreni, Perikatan (Verbintenis) adalah hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (Kreditur) berhak atas suatu prestasi dan pihak lain (Debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu. Oleh karena itu, dalam setiap perikatan terdapat “hak” disatu pihak dan “kewajiban” dipihak lain.1 Selanjutnya menurut Subekti, perikatan dikatakan sebagai hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.2
Perikatan diatur dalam KUH Perdata Buku III Titel Perikatan. Pengertian mengenai perikatan dijelaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap– tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan atau pun karena
undang – undang”. Dengan didasarkan pada ketentuan tersebut, terdapatnya
dua sumber dari adanya perikatan yaitu suatu perikatan lahir berdasarkan persetujuan atau perjanjian dan berdasarkan dari undang – undang.
Pengertian dari perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana suatu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Dalam
1 I ketut Oka Setiawan, Op.Cit.,hlm.1. 2 Ibid.
2
rumusan pasal tersebut, menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dalam suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian selalu akan ada dua pihak, dimana yang satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Baik orang - perorangan maupun badan hukum yang dijadikan sebagai subyek perjanjian.3
Penulis mengutip beberapa pendapat mengenai gambaran umum dari pengertian perjanjian sebagai berikut :
Menurut Subekti, Persetujuan atau perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa inilah timbul hubungan antara dua orang itu yang disebut dengan perikatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu menerbitkan perikatan antara dua orang yang membuatnya. Mengenai bentuknya perjanjian itu mengandung janji – janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dituliskan.4
Menurut KRMT Tirtodiningrat, memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara
3Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali
Pers, Jakarta, 2008, hlm.92.
3
dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang – undang.5
Menurut Salim, H.S, Perjanjian merupakan hubungan antara satu subyek hukum dengan subyek hukum lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai apa yang telah disepakati.6
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda milik antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.7
Dengan didasarkan pada pendapat para ahli hukum mengenai pengertian dari perjanjian dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum antara kedua belah pihak sebagai subyek hukum dalam bidang harta kekayaan berkaitan dengan hak dan kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi yang telah disepakati sebelumnya.
Yahya Harahap merumuskan bahwa terdapat beberapa unsur yang dapat dijumpai dalam pengertian perjanjian yang sejalan dengan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian perjanjian yang telah dijelaskan yaitu adanya
5Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas Dalam Kontrak
Komersial), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hlm.16.
6 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hlm.17.
7 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas – Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,
4
hubungan hukum (Rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kebendaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya tentang suatu prestasi.8
Yahya Harahap juga berpendapat bahwa hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dengan perjanjian. hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan tersebut tercipta oleh karena adanya “Tindakan Hukum / Rechtshandeling”. Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak – pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lainnya untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi.9
Beberapa para ahli seringkali membedakan istilah dari perjanjian dengan pengertian dari kontrak. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh R.Subekti yang menjelaskan bahwa istilah “Kontrak” memiliki pengertian yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang dibuat secara tertulis. Jadi, dalam pemahaman R.Subekti, suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis saja yang disebut sebagai istilah “Kontrak” sedangkan suatu
8 M. Yahya Harahap, Segi – Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm.6. 9 Ibid., hlm.7.
5
perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis (lisan) tidak dapat disebut dengan istilah kontrak, melainkan perjanjian atau persetujuan.10
Pendapat lain berkaitan dengan istilah perjanjian dan kontrak dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki. Adapun Peter Mahmud Marzuki memberikan argumentasi kritis mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjiandalam sistem Anglo-American. Sistematika Buku III tentang
Verbintenissenrecht (Hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst
jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan Bahasa Inggris Contract. Didalam konsep Kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III KUH Perdata tentang Hukum Perikatan yang mengindikasikan bahwa perjanjian berkaitan dengan masalah harta kekayaan (Vermogen), yang mirip dengan Contract pada hukum Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis.11
Dengan mengacu pada pendapat tersebut, Penulis sependapat yang menyatakan bahwa istilah perjanjian kurang lebih memiliki arti yang sama dengan pengertian dari kontrak. Hal ini juga tercantum dalam KUH Perdata khususnya yang terdapat dalam Bab II Buku ketiga tentang Perikatan. Dalam bab tersebut secara eksplisit terdapat dalam kalimat “Perikatan yang lahir dari Kontrak atau Persetujuan” sehingga dapat dengan jelas menyatakan bahwa perjanjian sama dengan kontrak. Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ini
10 Agus Yudha Hernoko.,Op.cit., hlm.12. 11 Ibid.,hlm.14.
6
Penulis menyatakan bahwa penggunaan kata perjanjian sama kaitannya dengan penggunaan kata kontrak.
B. Asas – Asas Perjanjian
Didalam hukum perjanjian, terdapat asas – asas hukum yang menopangnya. Menurut Mahadi, kata asas atau prinsip identik dengan
Principle dalam bahasa inggris yang erat kaitannya dengan istilah Principium
(kata latin). Principium berarti permulaan; awal, mula, sumber, asal, pangkal , pokok, dasar, sebab. Adapun asas atau prinsip adalah sesuatu yang dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. Dalam arti tersebut, kata Principle dipahami sebagai sumber yang abadi dan tetap dari banyak hal, aturan atau dasar bagi tindakan seseorang, suatu pernyataan (hukum, aturan, kebenaran) yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjelaskan suatu peristiwa.12
Nieuwenhuis menjelaskan hubungan fungsional antara asas – asas dan ketentuan hukum (rechtsgels), yaitu13 :
a. Asas – asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas – asas tersebut tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak menciptakan suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas – asas.
b. Asas – asas itu membentuk satu dengan yang lainnya suatu sistem check and balance. Asas – asas ini sering menujukkan kearah yang berlawanan, apa yang kiranya menjadi merupakan rintangan ketentuan – ketentuan hukum. Oleh karena itu karena menujuk kearah yang berlawanan maka asas – asas itu saling kekang – mengekang sehingga terdapatnya keseimbangan.
12 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit.,hlm.70.
13Nieuwenhuis sebagaimana dikutip dalam Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak
7
Henry P. Panggabean menyatakan bahwa pengkajian asas – asas perjanjian memiliki peranan penting untuk memahami berbagai undang – undang mengenai sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang – undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas – asas yang berkaitan dengan masalah tersebut.14
Asas hukum merupakan pedoman moral dan rujukan utama pengaturan perundang-undangan. Asas hukum mewarnai klausula pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Penggunaan asas hukum dalam peraturan perundang - undangan merupakan keharusan, karena peraturan undangan yang tidak mengandung asas hukum bukanlah peraturan perundang-undangan yang baik dan tidak mungkin dapat mencapai tujuannya. Peraturan perundang - undangan yang mengatur pada dasarnya harus mampu mewujudkan tujuan hukum sebagaimana dinyatakan Gustav Radbruch bahwa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum yang akan dicapai dalam setiap peraturan perundang - undangan. Hal ini tidak berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum (Achmad Ali, 1996, hlm. 95).15
Berdasarkan uraian diatas, bahwa keberadaan Asas – Asas dalam hukum perjanjian sangat penting kaitannya untuk dijadikan sebagai salah satu landasan dan pedoman bagi para pihak dalam melakukan hubungan hukum yang didasarkan pada perjanjian. Dengan berpedoman pada Asas – asas
14 Ibid.,hlm.84.
15 Achmad Ali sebagaimana dikutip dalam Tami Rusli, “Asas Kebebasan Berkontrak
Sebagai Dasar Perkembangan Perjanjian di Indonesia”, Jurnal Pranata Hukum Volume 10
8
perjanjian yang berlaku, hal tersebut dapat menyatakan bahwa perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum dengan perjanjian yang dilakukan oleh para pihak telah sesuai dengan kaidah atau aturan hukum. karena sejatinya, aturan hukum yang berlaku diterapkan berdasarkan adanya asas – asas hukum..
Hukum perjanjian mengenal empat asas yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Keempat asas perjanjian tersebut adalah sebagai berikut yaitu Asas Konsensualisme (The Principle of consensualism), Asas kekuatan mengikatnya kontrak (The Legal Binding Of Contract), Asas Kebebasan Berkontrak (The Principle Of Freedom Of Contract) dan Asas Itikad Baik (Principle Of Good Faith).16 namun disamping keempat asas tersebut, dalam hukum perjanjian dikenal asas – asas lainnya yang mempunyai fungsi yang sama sebagai pedoman untuk mendukung para pihak dalam melaksanakan hubungan kontraktualnya.
Perumusan asas – asas tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Asas Konsensualisme (The Principle of consensualism)
Asas konsensualitas berasal dari kata latin “Consensus” yang artinya sepakat. Asas konsensualisme menekankan bahwa suatu janji lahir pada detik terjadinya konsensus (kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak) mengenai hal – hal pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian.17Dengan demikian, jika telah terjadi kata “Sepakat” antara kedua belah pihak, maka dianggap telah lahirnya perjanjian tersebut
16 Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm. 85. 17 I ketut Oka Setiawan, Op.Cit.,hlm.46.
9
walaupun para pihak belum sepenuhnya melaksanakan perjanjian pada saat itu. Sehingga konsekuensi hukumnya bahwa tercapainya kesepakatan telah melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan sebelumnya. Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
Suatu perjanjian adalah sah, apabila memenuhi empat syarat yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.18
Dengan didasarkan pada asas diatas menyatakan bahwa, Asas Konsensualitas terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang mengharuskan adanya kata sepakat diantara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “Sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik , yang berlandaskan pada “satu kata satunya perbuatan”. Apabila kata “Sepakat” yang diberikan oleh para pihak tidak berada dalam kerangka yang sebenarnya, dalam artian terdapat cacat kehendak (Wilsgebreke), maka hal ini dapat mengancam eksistensi kontrak tersebut.19
Dalam Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 08/Pdt.G/2011/PN.TGL mengenai Perjanjian Pembiayaan dengan
18 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pasal 1320. 19 Adonara, Firman Floranta,Op.Cit.,hlm.96-97.
10
Jaminan Fidusia antara Suratmin, S.Pd melawan PT. Astra Sedaya Finance (ACC) Cabang Tegal menjadi contoh pentingnya suatu perjanjian yang memperhatikan kesepakatan antara para pihak dalam hubungan kontraktual dalam perjanjian. Dalam kasus tersebut, Hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut :
“Bahwa Batal demi hukumnya suatu perjanjian merupakan pelanggaran terhadap pasal 1320 KUHPerdata dalam hal syarat objektif dari suatu perjanjian. Akibat dari batal demi hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang berarti pembatalan seluruh isi pasal perjanjian; Pasal 1320 ayat (1) jo Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata Pasal 1320 ayat (1) menyatakan sebagaian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" ; Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa "semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya" ; Berdasarkan dua pasal dalam KUHPerdata
tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa "sepakat" dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut Contradictio interminis, adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat.”20
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas ketentuan mengikat yang terdapat didalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Hal ini tersebut sesuai dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 KUH Perdata. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan mengakibatkan perjanjian itu menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang – undang.21
20 Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 08/Pdt.G/2011/PN.TGL. 21 Adonara, Firman Floranta ,Op.Cit.,hlm.99.
11
Apabila dicermati ketentuan didalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kata “Secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah adalah mengikat (Vide Pasal 1320 KUH Perdata), karena didalam asas ini terkandung “kehendak para pihak” untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (Vertrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.22
b. Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Asas kekuatan mengikatnya kontrak mengharuskan para pihak untuk memenuhi apa yang telah merupakan ikatan satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Asas Pacta Sunt Servanda secara konkrit dapat dicermati dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang memuat ketentuan imperatif yaitu bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.23
Harry Purwanto dalam jurnalnya yang berjudul “Keberadaan Asas
Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional” menjelaskan
bahwa:
“Pacta Sunt Servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “Janji harus ditepati”. Pacta Sunt Servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem Civi Law , yang dalam pekembangannya diadopsi kedalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan antara individu yang mengandung makna bahwa :
22 Ibid.,hlm.98.
12
1. Perjanjian merupakan undang – undang bagi para pihak yang membuatnya ; dan
2. Mengisaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.”24
Dalam Asas Pacta Sunt Servanda, para pihak diharuskan untuk memenuhi janjinya. Dengan adanya janji tersebut, maka timbul kemauan bagi para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya.25
c. Asas Itikad Baik (Principle Of Good Faith)
Asas Itikad Baik merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa “perjanjian – perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. pengaturan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menetapkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. maksudnya adalah perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga pada umumnya dihibungkan dengan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian dituntut berdasarkan keasilan, kebiasaan atau undang – undang”.26
24Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian
Internasional", Jurnal Mimbar Hukum Volume 21 nomor 1 Februari 2009, hlm.162.
25 Ridwan Khairandy,Op.Cit.,hlm.91
13
Sebagian dipahami bahwa pemahaman substansi itikad baik ke dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik juga harus dimaknai dalam keseluruhan proses tahap pelaksanaan kontraktual yang artinya bahwa itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mempunyai sifat dinamis melingkupi seluruh proses kontrak tersebut.27
d. Asas Personalitas
Asas personalitas dapat disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi “Pada umunya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Dari
rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Secara spesifik ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata ini menunjukkan pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dengan kapasitas kewenangan tersebut, sebagai seorang yang cakap bertindak dalam hukum, maka setiap tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan sebagai subyek hukum yang mandiri akan mengikatkan diri pribadi tersebut, dan
14
dalam lapangan perikatan, mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadi.28 Asas personalitas juga dapat ditemukan dalam Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “Perjanjian
hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya”. Dengan
demikian bahwa asas – asas personalitas bermakna bahwa perjanjian atau kontrak hanya berlaku bagi pihak – pihak yang membuatnya.29
Di Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan 18 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut antara lain30 :
1. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka di belakang hari
2. Asas Persamaan Hukum
Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subyek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda – bedakan antara satu sama lain, walaupun subyek hukum itu berbeda warna kulit,agama dan ras.
28 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit.,hlm.15. 29 Ridwan Khairandy, Op.Cit.,hlm.93.
30 Mariam Darus Badrulzaman dalam buku Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik
15 3. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
Pengertian mengenai makna Asas Keseimbangan dijelaskan oleh beberapa ahli sebagai berikut31 :
a. Sutan Remy Sjahdeini dalam disertasinya yang berjudul “Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia”
menganalisis keseimbangan berkontrak pada hubungan antara bank- nasabah, menyimpulkan bahwa keseimbangan para pihak hanya akan berwujud apabila berada pada posisi yang sama kuat. Oleh karena itu, dengan membiarkan hubungan kontraktual para pihak semata – mata pada mekanisme kebebasan berkontrak , sering kali mengasilkan ketidakadilan apabila salah satu pihak dalam posisi yang lemah. Sutan Remy Sjahdeini memahami keseimbangan para pihak yang berkontrak (bank – nasabah) dari posisi atau kedudukan para pihak yang (seharusnya) sama.
b. Mariam Darus Badrulzaman dalam disertasinya yang berjudul “Perjanjian Kredit Bank” berpendapat bahwa dalam hubungan bank- nasabah , menempatkan nasabah dalam posisi yang lemah
16
sehingga perlu dilindungi melalui campur tangan pemerintah terhadap substansi perjanjian kredit bank. Beranjak dari pendapat tersebut, makna asas keseimbangan dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan kehendaknya.
c. Sri Gambir Melati Hatta, dalam disertasinya yang berjudul “Beli
Sewa sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat dan Sikap Makamah Agung Indonesia” menyimpulkan bahwa asas
keseimbangan juga dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar menawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajiban dalam perjanjian. ketidakseimbangan posisi menimbulkan ketidakadilan, sehingga perlu diintervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat – syarat perjanjian.
4. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela
17
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nurarinya.
6. Asas Kepatutan
Asas Kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas Perlindungan Hukum
Asas Perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitor dan kreditor harus dilindungi oleh hukum.
C. Kebebasan Berkontrak Sebagai salah satu Asas Perjanjian
Seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya yang menyatakan bahwa Kebebasan Berkontrak merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum perjanjian.32 Asas Kebebasan Berkontrak dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam melakukan hubungan kontraktual para pihak.
Asas Kebebasan Berkontrak didalam pustaka – pustaka yang berbahasa Inggris dituangkan dengan istilah “Freedom Of Contract” atau “Liberty Of
32 Hukum perjanjian mengenal empat asas yang saling kait mengkait satu dengan yang
lainnya. Keempat asas perjanjian tersebut adalah sebagai berikut yaitu Asas Konsensualisme (The
Principle of consensualism), Asas kekuatan mengikatnya kontrak (The Legal Binding Of Contract), Asas Kebebasan Berkontrak (The Principle Of Freedom Of Contract) dan Asas Itikad
18
Contract”, atau “Party Autonomy”. Istilah yang pertama lebih umum dipakai
daripada istilah yang kedua tau ketiga. Asas Kebebasan berkontrak ini adalah asas yang universal, yang artinya bahwa asas ini dianut oleh hukum kontrak disemua negara pada umumnya. Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak (Freedom Of
Contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang
mengagungkan Laissez Faire atau persaingan bebas.33
Keberadaan asas kebebasan berkontrak tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berbagai aliran filsafat politik dan ekonomi liberal yang berkembang pada abad sembilan belas. Dalam bidang ekonomi berkembang aliran Laissez Faire yang dipelopori oleh Adam Smith yang menekankan prinsip non-intervensi oleh pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Filsafat Utilitarian Jeremy Bentham yang menekankan adanya ideologi Freechoice, juga memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan asas kebebasan berkontrak tersebut.34
Asas Kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral didalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.35 Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu.36
33 Sjahdeini, Sutan Remy, Op.Cit.,hlm.22. 34 Ridwan Khairandy,Op.cit., hlm.100. 35 Firman Floranta Adonara,Op.Cit.,hlm.89. 36 Ibid.,hlm.90.
19
Dalam rumusan yang dikemukakan oleh Jessel M.R dalam kasus “Printing
and Numerical Registering Co. Vs Sampson (1875) LR 19 Eq.462 pada 465”
menerangkan bahwa :
“....Men of full age and understanding shall have the unmost
liberty of contracting and that conract which are freely and voluntarily entered into shall be held sacred and enforced by courts...you are not lightly to interfere with this freedom of contract”. ( yang artinya bahwa “setiap orang dewasa yang
waras yang mempunyai hak kebebasan berkontrak sepenuhnya dan kontrak- kontrak adalah dianggap mulia dan harus dilaksanakan oleh pengadilan ....dan kebebasan berkontrak ini tidak boleh dicampuri sedikitpun”).37
Gagasan utama kebebasan berkontrak berkaitan dengan penekanan akan persetujuan dan maksud atau kehendak para pihak. Selain itu, gagasan kebebasan berkontrak juga berkaitan dengan pandangan bahwa kontrak adalah hasil dari pilihan bebas (Free Choice). Dengan gagasan utama ini, kemudian dianut paham bahwa tidak seorang pun terikat kepada kontrak sepanjang tidak dilakukan atas dasar adanya pilihan bebas untuk melakukan sesuatu. Gagasan tersebut menjadi prinsip utama baik dalam sistem civil law maupun common law bahwa kontrak perdata individual dimana para pihak bebas menentukan kesepakatan kontraktual tersebut. Bagi mereka yang memiliki kemampuan bertindak untuk membuat kontrak (capacity) memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri, menentukan isi, akibat hukum yang timbul dari kontrak itu.38
Sebagai konsekuensi adanya penekanan kebebasan berkontrak, kemudian dianut pula dogma bahwa kewajiban dalam kontrak hanya dapat diciptakan
37Jessel dikutip dalam Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia & Common Law,
Midas Surya Grafindo, Jakarta, cetakan kedua, 1996, hlm.38.
38Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Cetakan Kedua,
20
oleh maksud atau kehendak para pihak. Hal tersebut menjadi prinsip dasar yang mengikat untuk dilaksanakan segera begitu mereka mencapai kesepakatan. Dengan demikian, kebebasan berkontrak didalam teori hukum kontrak klasik memiliki dua gagasan utama, yakni kontrak didasarkan kepada persetujuan, dan kontrak sebagai produk kehendak (memilih) bebas.39
Doktrin mendasar yang melekat pada kebebasan berkontrak adalah bahwa kontrak itu dilahirkan ex nihilo, yakni kontrak sebagai perwujudan kebebasan kehendak (Free will) para pihak pembuat kontrak (Contractors). Kontrak secara ekslusif merupakan kehendak bebas para pihak yang membuat kontrak. Melalui prostulat bahwa kontrak secara keseluruhan menciptakan kewajiban baru dan kewajiban yang demikian secara eksklusif ditentukan oleh kehendak para pihak, kebebasan berkontrak telah memutuskan hubungan antara kebiasaan dan kewajiban – kewajiban kontraktual. Kebebasan berkontrak memperbolehkan kesepakatan (perdata) untuk mengesampingkan kewajiban – kewajiban berdasarkan kebiasaan yang telah ada sebelumnya.40
Kebebebasan otonomi individu to be able to make bargains as they saw fit (dengan sedikit mungkin intervensi dari negara) betul – betul menempatkan pembentukan kontrak ex nihilo pada kehendak mereka. Menurut pandangan teori klasik kontrak, para pihak yang membuat kontrak adalah equal, para pihak memiliki kemampuan menentukan fair bargain diantara mereka. Pandangan ini selaras dengan bahwa kontrak merupakan produk yang dibuat
39 Ibid.,hlm.85. 40 Ibid.
21
para pihak (dengan kebebasan untuk menentukan) dan juga sesuai dengan semangat pasar bebas dan persaingan bebas.41
Didalam Konstitusi Indonesia42, Asas Kebebasan Berkontrak merupakan salah satu asas yang mendasari adanya kebebasan bagi para pihak dalam mengadakan perjanjian. Hal ini muncul karena konsekuensi dari sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat didalam Buku III KUH Perdata yang memiliki karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap (Optional Law). Dengan karakter yang demikian, orang boleh menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan yang terdapat didalam Buku III KUH Perdata tersebut. Sehingga di dalam perjanjian, para pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari ketentuan dalam Buku III KUH Perdata.43
Pengaturan mengenai Asas Kebebasan Berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua Perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang – Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ini memuat ketentuan
– ketentuan normatif sebagai berikut:44
a. Semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
41 Ibid., hlm.86.
42 Semula KUHPerdata merupakan peninggalan Belanda , namun berdasarkan asas
konkordansi, berlaku untuk golongan Eropa di Hindia Belanda. Untuk bangsa Indonesia berlaku Hukum Adat, tetapi orang Indonesia bisa memperlakukan KUHPerdata ini kepada dirinya dengan jalan penundukan terang – terangan atau diam-diam. Berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, akhirnya KUHPerdata ini berlaku untuk bangsa Indonesia (Subianta Mandala. “UPICC Sebagai Model Bagi Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia dalam Rangka
Mayarakat Ekonomi ASEAN”, Jurnal Media Hukum Volume 24 nomor 2 Desember 2017, hlm.97).
43 Ridwan Khairandy, Loc.Cit.
22
b. Kontrak itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan – alasan yang oleh undang – undang dinyatakan cukup untuk itu.
c. Kontrak – kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dengan didasarkan dalam Pasal tersebut, dari “Semua” dapat ditafsirkan bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian dengan isi apapun. Ada kebebasan dari setiap subyek hukum untuk membuat perjanjian dengan siapapun yang dikehendakinya, dengan isi dan dalam bentuk apapun yang dikehendaki. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, maka dimungkinkan subyek hukum membuat perjanjian yang baru yang belum dikenal dalam Undang – Undang (dikenal dengan istilah Perjanjian Tidak
Bernama yakni perjanjian yang jenis dan pengaturannya belum dituangkan
dalam KUH Perdata). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pembentuk Undang – Undang pada asasnya memang mengakui kemungkinan akan adanya perjanjian lain dari yang telah diatur dalam KUH Perdata, dan ini membuktikan berlakunya asas kebebasan berkontrak.45
Berlakunya Asas Kebebasan Berkontrak tidak hanya ditemukan dalam rumusan Pasal 1338 KUH Perdata yang dijadikan Pasal utama adanya keberadaan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Konstitusi Indonesia (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang undangan lainnya) Namun terdapat pengaturan hukum dalam KUH Perdata dan perundang – undangan lainnya yang mencerminkan keberadaan asas tersebut.
45 Christiana Tri Budhayati, “Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Perjanjian
23
Dalam pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang berwenang untuk membuat suatu perikatan kecuali jika orang tersebut dinyatakan tidak cakap secara hukum. syarat dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perjanjian terdapat dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :
a. Anak yang belum dewasa
b. Anak yang ditaruh dibawah pengampunan
c. Perempuan yang telah kawin dalam hal – hal yang ditentukan undang – undang, dan pada umumnya semua undang – undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
Mengenai kedudukan perempuan yang telah kawin dalam hal kecapakan untuk melakukan perikatan, setelah setelah dikeluarkannya Surat Edaran Makamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 1963 yang menyatakan bahwa Istri dalam sebuah perkawinan dapat melakukan perbuatan hukum dan diserukan agar pasal tersebut tidak diberlakukan. Selanjutnya, dalam pasal 330 KUH Perdata menjelaskan mengenai ukuran kedewasaan menyatakan bahwa orang yang telah berumur dua puluh satu (21) tahun dan yang sudah menikah. Sehingga dalam penjelasan tersebut dapat dijelaskan bahwa hukum memberikan kebebasan kepada orang yang telah dinyatakan cakap untuk melakukan suatu perikatan baik laki – laki maupun perempuan sesuai dengan apa yang dikehendakinya dengan saling mengikatkan dirinya dalam perjanjian yang telah dibuatnya.
Berkenaan dengan Obyek Perjanjian, Pasal 1332 KUH Perdata menjelaskan bahwa Pokok perjanjian hanya barang yang dapat diperdagangkan atau yang bernilai ekonomis saja. Selanjutnya Pasal 1333 KUH Perdata menjelaskan bahwa pokok berupa barang yang sekurang – kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah mengenai barang tersebut tidak perlu pasti, namun jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan dan dapat dihitung.
24
Dari penjelasan dalam pasal tersebut, memberikan kebebasan kepada setiap orang yang akan membuat perjanjian perihal obyek perjanjian dalam menentukan barang – barang yang akan dijadikan sebagai obyek perjanjian namun dengan memperhatikan ketentuan bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan yang dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian.
Berkaitan dengan Causa perjanjian, KUH Perdata memberikan kebebasan kepada individu untuk membuat suatu causa perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1336 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa “Jika dinyatakan
suatu sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang selain yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah” selanjutnya dalam Pasal 1337 KUH Perdata dijelaskan bahwa
“suatu sebab adalah terlarang, jika sebab iti dilarang oleh undang – undang
atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.
Pengaturan dalam tersebut mengartikan bahwa KUH Perdata memberikan kebebasan kepada individu berkaitan dengan causa perjanjian, kecuali suatu sebab tersebut dilarang oleh Undang – Undang maupun kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa perjanjian dianggap sah apabila terdapat adanya kesepakatan atau Consensus antara para pihak yang mengikatkaan dirinya. Adanya kebebasan dalam melakukan kehendak dengan ditandai dengan sepakat antara para pihak yang membuat suatu perikatan merupakan inti dari kebebasan berkontrak. Namun, dalam ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu perjanjian yang didasarkan pada kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan
25
maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan. Dan selanjutnya dalam Pasal 1235 KUH Perdata Junto Pasal 1328 KUH Perdata menjelaskan bahwa perbuatan paksaan dan penipuan merupakan suatu alasan untuk dapat membatalkan suatu perjanjian. Dari penjelasan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya KUH Perdata memberikan suatu kebebasan kepada setiap individu untuk membuat atau tidak membuat perjanjian dengan didasarkan akan adanya kesepakatan dan Consensus para pihak dengan tidak didasarkan pada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Sepakat yang diberikan atas dasar paksaan merupakan Contradictio In Terminis.
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang – undangan lainnya juga tidak memberikan larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan, misalnya dibuat dalam bentuk akta autentik (dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang). Misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan akta PPAT. Dengan demikian, sepanjang ketentuan perundang – undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendakinya yaitu apakah perjanjian tersebut dibuat secara lisan atau secara tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta dibawah tangan atau autentik.46
26
Sebagaimana diketahui bahwa hukum perjanjian Indonesia yang diatur dalam Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mengandung ketentuan yang memaksa (Dwingend, Mandatory) dan yang opsional (aanvullend, optional) sifatnya. Untuk ketentuan – ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat – syarat dan ketentuan – ketentuan lain dalam perjanjian yang mereka buat. Namun, terhadap ketentuan – ketentuan undang – undang yang bersifat opsional para pihak bebas untuk menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat – syarat dan ketentuan – ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan – ketentuan yang opsional itu adalah hanya untuk memberikan aturan hukum yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara sendiri, agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud. Bila pada akhirnya terdapat juga kekosongan atauran untuk suatu hal atau materi yang menyangkut perjanjian itu dengan memberikan aturan yang diciptakan oleh hakim untuk menjadi acuan yang mengikat bagi para pihak dalam menyelesaikan masalah yang dipertikaikan.47
Dengan didasarkan apa yang telah dikemukan diatas, maka Asas Kebebasan Berkontrak menurut hukum Perjanjian Indonesia meliputi48 :
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
3. Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya; 4. Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan;
47 Ibid.,hlm.53-54. 48 Ibid.
27
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang – undang yang bersifat opsional.
Berkaitan dengan ruang lingkup Asas Kebebasan Berkontrak tersebut, dapat dikategorikan menjadi dua aspek yaitu Kebebasan dalam aspek formil dan Kebebasan dalam aspek materiil. Pengertian mengenai istilah “Formil” dan istilah “Materiil” dapat dilihat dari pengertian sumber hukum.
Menurut Algra sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno, Pengertian sumber Hukum Formal adalah tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku secara formal.49 Dilihat dari pengertian tersebut dapat diambil intisari bahwa aspek formil adalah berkaitan dengan cara membentuk suatu hukum yaitu dapat berupa cara untuk untuk membuat perjanjian.
Sedangkan menurut Van Apeldoorn dalam R. Soeroso menjelaskan pengertian dari sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya.50 Dilihat dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek materiil adalah berkaitan dengan isi atau substansi hukum yaitu dapat berupa isi atau substansi dari perjanjian.
Dalam hal ini jika dikaitkan dengan makna kebebasan, maksud dari Kebebasan dalam aspek formil adalah kebebasan yang diberikan oleh hukum kepada para pihak berkaitan dengan cara untuk membuat suatu perjanjian. Jika dilihat dari ruang lingkup tersebut, kebebasan dalam aspek formil mencakup hal yaitu, Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat
49 Iskandar, Konsepsi Intelektual dalam Memahami Ilmu Hukum Indonesia, CV. Andi Offset,
Yogyakarta, 2016, Hlm. 46.
28
perjanjian, Kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian dan Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian,
Sedangkan maksud dari Kebebasan dalam aspek Materill adalah kebebasan yang diberikan oleh hukum kepada para pihak berkaitan dengan menentukan isi dari perjanjian tersebut. Jika dilihat dari ruang lingkup tersebut, kebebasan dalam aspek materiil mencakup hal yaitu, Kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya, Kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian dan Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang – undang yang bersifat opsional.
Berkaitan dengan aspek formil dan materiil dari Kebebasan berkontrak, penulis berpendapat bahwa kebebasan dalam aspek formil maupun kebebasan dalam materiil yang mengacu pada ruang lingkup asas kebebasan berkontrak memiliki sifat alternatif. Hal ini mengacu pada konsep dasar kebebasan berkontrak yang mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan hukumnya sendiri untuk dijadikan sebagai acuan dalam melakukan hubungan kontraktual. Sehingga, dapat dikatakan bahwa masih adanya kebebasan berkontrak tanpa terpenuhinya kebebasan dalam aspek materiil yang dalam hal ini berkaitan dengan kebebasan para pihak untuk menentukan isi klausula dalam perjanjian yang akan dimuat.
Dalam Asas Kebebasan Berkontrak, dikatakan bahwa setiap orang bebas untuk membuat perjanjian. Pengertian setiap orang bebas untuk membuat perjanjian disini dimaksudkan bahwa para pihak yang memiliki kemampuan bertindak (Capacity) dapat dengan bebas untuk merancang perjanjian baik berkaitan dengan menentukan bentuk perjanjian maupun bebas untuk
29
menentukan klausul atau substansi perjanjian yang merupakan produk dari para pihak akibat dari hubungan kontraktual yang para pihak kehendaki sendiri. Salah satu kebebasan orang untuk membuat perjanjian adalah orang dapat membuat perjanjian dengan jenis baku.
Dalam perjanjian dengan jenis baku, hal ini baru terdapat satu pihak saja yaitu bahwa orang dapat membuat perjanjian kemudian dituangkan dalam klausul – klausul yang bersifat baku. Dan kemudian terdapat pihak yang lainnya diberikan pilihan untuk menerima atau menolaknya. Jadi terdapat dua pihak dalam perjanjian baku yaitu satu pihak dalam posisi menawarkan perjanjian dengan jenis baku dan pihak lainnya dalam posisi menerima atau menolak penawaran yang telah diberikan. Jika pihak tersebut menerima penawaran yang telah diberikan maka baru terciptalah perjanjian.
Menerima penawaran disini diartikan sebagai bentuk setuju untuk mengikatkan diri dalam perjanjian dan hal tersebut baru terciptanya suatu perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ketika orang menawarkan bentuk perjanjian maka orang tersebut memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian dan jika orang setuju dengan penawaran yang diberikan maka orang tersebut memiliki kebebasan untuk menerimanya. Dan dari hal tersebut, terdapatlah kebebasan berkontrak. Dapat dikatakan bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian berkaitan dengan bentuk maupun berkaitan dengan menentukan klausul atau substansi perjanjian dan juga orang memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian yang sebelumnya telah terjadi “Offering (Penawaran)” seperti contohnya dalam perjanjian baku yang dimana orang – orang memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian yang
30
terdapat klausul – klausul yang bersifat baku dalam substansi perjanjiannya maupun orang memiliki kebebasan untuk menerima maupun menolaknya.
D. Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian Baku dikenal masyarakat dalam dunia usaha baik dalam lembaga keuangan perbankan maupun lembaga keuangan non bank dan lembaga - lembaga lainnya. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh salah satu pihak, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Menurut Hondius dalam Purwahid Patrik, syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, bahwa syarat baku syarat-syarat yang jumlahnya tidak tertentu, tanpa merundingkan lebih dulu isinya.51
Pengertian dari Perjanjian Baku juga dapat dilihat dari pendapat Sutan Remy Sjahdeini sebagai berikut :
“perjanjian yang hampir seluruh klausul – klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah , warna , tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang dipejanjikan. Dengan kata lain, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul – klausulnya”.52
51 Lina Jamilah, “Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku”, Jurnal Ilmu
Hukum Syiar Hukum, FAKULTAS HUKUM UNISBA VOL. XIII NO. 1, 2012, hlm.236.
31
Dari uraian diatas, karakter dari suatu perjanjian standart dapat dikemukakan sebagai berikut53:
a) Isi perjanjian telah ditetapkan secara tertulis dalam bentuk formil yang digandakan;
b) Penggandaan perjanjian dimaksudkan untuk melayani permintaan para konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering dan banyak/ massal);
c) Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar menawar (kedudukan transaksional) yang lebih rendah dari produsen.
Munir Fuady menjelaskan mengenai pengertian Perjanjian Baku sebagai berikut :
“Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam dalam pembuatan kontrak tersebut bahkan sering kali kontak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir – formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data – data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula – klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk negosiasi atau mengubah klausula – klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut , sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tesebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya posisi Take It Or Leave It”.54
Menurut Paulus J.Soepratignja, pembuatan kontrak baku hanya akan dilakukan jika muncul urgensi tanggapan atas kepentingan pelaku usaha yaitu55 :
a. Menghadapi kegiatan transaksional dalam frekuensi tinggi;
53Sukarmi, Cyber Law : Kontrak Elektronik Dalam Bayang – Bayang Pelaku Usaha,
Pustaka Sutra, Bandung, 2008, hlm. 46.
54 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut pandang Hukum Bisnis), Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2007, hlm.76.
32
b. Demi persaingan bisnis, harus memberikan pelayanan secara efisien dan efektif kepada konsumen;
c. Demi efisiensi pendistribusian hasil produksi, seluruh atau sebagaian syarat – syarat dalam tiap transaksi harus lebih dipersiapkan terlebih dahulu secara tertulis, agar segera dapat diketahui oleh konsumen;
d. Mengimbangi tingginya frekuensi kegiatan transaksional, sehinnga harus menyediakan naskah dan/atau persyaratan kontrak, secara massal dan unifrom untuk transaksi yang sama, dengan tanpa memperlihatkan kondisi dan/atau kebutuhan dari masing – masing konsumen;
e. Persyaratan kontrak secara massal dan unifrom itu, secara efektif harus memberikan jaminan atas kekuatan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha sendiri serta bagi konsumen.
Pengertian Kontrak Baku (Standard Contract) juga dikemukan oleh Muhammad Syaifuddin yaitu sebagai berikut :
“Kontrak Baku adalah kontrak yang dibuat secara sepihak dalam format tertentu dan massal (banyak) oleh pihak yang mempunyai kedudukan dan posisi tawar menawar yang lebih kuat, yang didalamnya memuat klusula – klausula (pasal – pasal) uang tidak dapat dan tidak mungkin dirundingkan atau diubah oleh pihak lain yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar menawar yang lebih lemah selain menyetujui (Take It) atau menolak (Leave It) yang bertujuan menghemat biaya, Waktu dan tenaga serta mempermudah praktik hukum perancangan dan pelaksanaan kontraknya.”56
Berkenaan dengan Ciri – Ciri dari Perjanjian Baku yang berkembang dalam praktik hukum kontrak, Marianm Darus Badrulzaman berpendapat sebagai berikut:57
a. Proses pembuatannya secara sepihak oleh pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar menawar yang lebih kuat daripada pihak lainnya;
56 Ibid., hlm. 219. 57 Ibid.
33
b. Pihak yang berkedudukan atau posisi tawar menawar lebih lemah, tidak dilibatkan sama sekali dalam menentukan substansi kontrak c. Pihak yang berkedudukan atau posisi tawar menawar lebih lemah
menyepakati atau menyetujui substansi kontrak secara terpaksa, karena didorong oleh kebutuhan
d. Kontrak dibuat dalam bentuk tertulis, formatnya tertentu dan massal (jumlahnya banyak).
Kontrak baku mempunyai keuntungan, antara lain, dapat mendukung praktik bisnis lebih efisien (dari segi waktu dan biaya) dan sederhana karena dapat ditandatangani seketika oleh para pihak terutama untuk kontrak – kontrak yang dibuat dalam jumlah yang banyak (massal). Sebaliknya, kerugian dari kontrak baku antara lain dapat terjadi ketidakadilan jika substansi kontrak memuat klausula yang tidak seimbang dalam arti lebih menguntungkan satu pihak yang kedudukan atau posisi tawar menawarnya lebih kuat saja dan merugikan pihak lainnya yang kedudukan atau posisi tawar menawar yang lebih lemah.58
Rijken berpendapat bahwa Perjanjian Baku adalah klausula yang dicantumkan didalam suatu perjanjian dengan mana suatu pihak menghindarkan dirinya untuk memenuhi kewajiban – kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. 59
58 Ibid., hlm.220.
59H.P. Panggabean, Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) dalam Perjanjian
34
Mariam Darus Badrulzaman mengkategorikan perjanjian baku menjadi tiga jenis, yaitu :
1) Perjanjian Baku Sepihak
Adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi.
2) Perjanjian Baku yang ditetapkan oleh Pemerintah
Adalah perjanjian baku yang mempunyai objek hak – hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya dapat dilihat formulir – formulir perjanjian sebagaiman yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustur 1977 Nomor. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta Hipotik model 1045055 dan sebagainya. 3) Perjanjian Baku yang ditentukan di lingkungan Notaris
atau Advokat
Adalah perjanjian – perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan , yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “Contract Model”.60
35
Alasan mengenai timbulnya praktik Standart Contract (Kontrak Baku) dalam perkembangan praktik hukum bisnis tidak ada alasan yang kuat untuk mendukungnya. Diperkirakan semata – mata hanya untuk menghemat waktu dan uang (alasan ekonomis) sehingga menghindari negosiasi yang berlarut – larut. Disadari bahwa untuk mencapai kesepakatan tentang isi perjanjian, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bernegosiasi. Negosiasi yang berlarut – larut perlu dihindari supaya tidak memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang semakin banyak. Salah satu pihak biasanya pihak prinsipal yang berbentuk korporasi.61
Berkaitan dengan pengkategorian jenis Perjanjian Baku yang telah dijelaskan, karena semua perjanjian baku mengenal istilah Konsep Take It
Or Leave It sebagai salah satu konsep yang terdapat dalam pelaksanaan
Perjanjian Baku maka Penulis tidak membedakan makna dasar dari konsep tersebut sehingga penggunaan konsep tersebut dapat diterapkan untuk semua jenis Perjanjian atau Kontrak baku. Seperti menurut pendapat dari Vera Bolger yang dikutip oleh H.P. Panggabean dalam bukunya yang berjudul Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) dalam Perjanjian
Kredit Perbankan62, beliau mengistilahkan makna Perjanjian Baku sebagai “Take It Or Leave It Conctract”. Dengan didasarkan pendapat tersebut, sesuai dengan pendapat penulis yang menyatakan bahwa Konsep Take It
Or Leave It dapat diterapkan untuk berbagai jenis Perjanjian atau Kontrak
Baku.
61Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2014, hlm.11.
36
E. Konsep Take It or Leave It dalam Perjanjian Baku
Dalam konsep perjanjian yang dimana dipertegas dalam rumusan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.” Dengan didasarkan
pada rumusan pengertian tersebut dijabarkan bahwa suatu perjanjian ada karena adanya kesepakatan antara satu orang atau lebih untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian.
Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara “Sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut.63Hal ini dijelaskan dalam pasal 1234 KUH Perdata yaitu bahwa “Perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu”. Dengan didasarkan pada pasal tersebut dapat menyatakan bahwa
suatu perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu baik perikatan yang bersumber dari Undang – Undang atau Perjanjian.
Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.
37
pernyataan “Sukarela” menunjukkan bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. 64Dengan adanya pernyataan sukarela tersebut maka perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban guna pemenuhan suatu prestasi para pihak dapat terwujud. Salah satu bentuk adanya pernyataan sukarela berkaitan dengan mengikatkan diri dalam perjanjian adalah menyetujui atau menolak perjanjian.
Istilah meyetujui suatu perjanjian merupakan bentuk dari adanya
Consensus atau kesepakatan para pihak berkaitan dengan membuat perjanjian.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata menjelaskan bahwa :
“suatu perjanjian dikatan sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang terlarang. “
Dengan didasarkan pada pasal tersebut, bahwa adanya kesepakan antara para pihak dalam melakukan perjanjian merupakan salah satu syarat yang harus ada berkaitan dengan syarat sahnya suatu perjanjian.
Dengan didasarkan pada penjelasan tersebut, suatu perjanjian harus terdapat kata “setuju” dari para pihak dalam melakukan hubungan kontraktual dan hal ini tercermin pada konsep Take It Or Leave It. Pengertian mengenai istilah “Take It Or Leave It” jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah “ambil atau tinggalkan”. Maksud dari arti ambil atau tinggalkan ini adalah menyetujui atau menolak perjanjian. Dengan didasarkan pada uraian yang
38
telah dijelaskan bahwa Konsep Take It Or Leave It merupakan suatu konsep dasar dalam perjanjian yakni berkaitan dengan menyetujui atau menolak perjanjian karena perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak para pihak untuk mengikatkan diri secara sukarela guna memenuhi suatu prestasi yang melahirkan hak dan kewajiban.
Dengan diberlakukannya sistem baku atau sistem yang telah distararisasi dalam pembuatan perjanjian baku, akibat dari berkembang pesatnya dunia bisnis yang menuntut adanya efisiensi dalam hal pembuatan perjanjian yaitu bahwa dalam hal tidak terjadi adanya keseimbangan berkaitan dengan proses pembuatan perjanjian atau kontrak antara pihak satu dengan pihak lainnya khusunya berkaitan dengan substansi atau isi perjanjian. Maka dikenal Konsep
Take It Or Leave It.
Konsep Take It Or Leave It dalam Perjanjian Baku merupakan salah satu Opsi yang diberikan oleh pihak yang lebih dominan kedudukannya kepada pihak yang memiliki kedudukan lebih rendah dikarenakan perbedaan dominasi kedudukan. Dengan berlakunya konsep tersebut dalam Perjanjian baku, para pihak khususnya yang berada dalam posisi yang lemah dapat diberikan pilihan untuk menentukan akan mengikatkan dirinya pada perjanjian tersebut atau tidak. Jika dirasa isi klausul – klausul dalam perjanjian tersebut cenderung memberatkan atau mungkin merugikan salah satu pihak.
Konsep Take It Or Leave It merupakan salah satu solusi yang disodorkan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah dalam perjanjian baku. prinsip ini bersifat alternatif. Jika pihak lain memilih alternatif Take It, maka sebagai
39
konsekuensinya adalah bahwa ia dianggap secara hukum menyetujui isi perjanjian yang telah dituangkan dalam formulir baku yang disodorkan kepadanya.65 Sedangkan Leave It diartikan bahwa ia dianggap telah menolak untuk mengikatkan dirinya pada perjanjian tersebut. Take It Or Leave It dalam artiannya hanya ada dua pilihan yaitu sepakat membuat kontrak atau tidak sepakat membuat Kontrak.66
Konsep Take It Or Leave It terjadi dalam proses prakontraktual sebelum melakukan hubungan kontraktual yang selanjutnya akan berakibat hukum berkaitan dengan pemenuhan prestasi para pihak yang berisi hak dan kewajiban masing – masing pihak. Prakontraktual merupakan tahap penawaran dan penerimaan.67 Dimana dalam perjanjian atau kontrak baku, sebelum pihak (debitur atau pihak dalam posisi lemah) menyatakan untuk bersepakat mengadakan hubungan kontraktual (dalam praktik biasanya ditunjukan dengan penandatanganan formulir perjanjian atau kontrak baku sebagai bukti pihak tersebut mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut), pihak (kreditur atau pihak yang dalam posisi yang dominan) memberikan form untuk dilihat terlebih dahulu berkaitan dengan substansi atau isi perjanjian. Jika setuju maka Take It, jika menolak maka Leave It.
Berangkat dari perndapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa lahirnya Konsep Take It Or Leave It dalam pelaksanaan Perjanjian Baku disebabkan adanya posisi yang tidak seimbang antara satu pihak dan pihak lainnya dalam
65 Christiana Tri Budhayati, Dinamika Perkembangan Hukum Kontrak Di Indonesia,
Jurnal yang dibukukan dalam buku yang berjudul “Dinamika Hukum Kontrak “ dengan Editor Dyah Hapsari Prananingrum, Universitas Kristen Satya Wacana, Cetakan Pertama, 2013, hlm.58.
66 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit.,hlm 216.
67 Salim H.S. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
40
hal pembuatan perjanjian. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti :
a) Perbedaan Ilmu Pengetahuan yang dimiliki para pihak. Seperti contohnya dalam Perjanjian Terapeutik antara Dokter dengan Pasien, yang dimana sebagian besar pasien tidak terlalu mengerti bagaimana cara menyembuhkan penyakitnya sehingga membutuhkan tenaga kesehatan atau Dokter untuk membantu dalam penyembuhan penyakitnya dikarenakan telah mendapatkan ilmu pengetahuan yang cukup untuk mengerti bagaimana cara menyembuhkan penyakit pasiennya. Contoh lainnya dalam Perjanjian dilingkungan Advokat atau Notaris. Klien akan membutuhkan peran kedua profesi hukum tersebut untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapinya. Dengan didasarkan ilmu pengetahuan lebih khusunya dalam bidang hukum maka baik advokat maupu notaris dapat mebantu meyelesaikan permasalahan berkaitan dengan hukum tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Undang – Undang Advokat Pasal 1 ayat 1 yang menjelaskan mengenai fungsi dan peran Advokat yang berbunyi : “Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan
jasa hukum baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan kerentuan Undang – Undang ini.”
41
b) Perbedaan Kedudukan atau Jabatan para pihak
Seperti contohnya adalah dalam Perjanjian Kerja baik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dalam Perjanjian Kerja, terdapat dua subyek hukum yaitu Pengusaha sebagai pemberi kerja dan Perkerja/ Buruh sebagai penerima kerja. Kedudukan antara Pengusaha dengan Pekerja sangat berbeda, dimana dengan adanya unsur Perintah dalam hubungan kerja maka Pengusaha dianggap memiliki kedudukan yang sedikit lebih tinggi daripada pekerja yang hanya sebagai penerima perintah. Dalam hal ini, Pengusaha dianggap sebagai pemegang otoritas untuk memberikan perintah kepada Pekerja untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang diperintahkan sebelumnya. Djumialdji berpendapat bahwa dengan adanya unsur wewenang perintah berarti antara kedua belah pihah (dalam hal ini Pengusaha dengan Perkerja) ada kedudukan yang tidak sama yang disebut Subordinasi. Jadi disini ada pihak yang kedudukannya diatas yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya dibawah yaitu yang diperintah.68
c) Perbedaan berkaitan dengan kepentingan para pihak Seperti contohnya dalam Perjanjian Asuransi antara Perusahaan Asuransi dengan Pemegang Polis. Dimana
68 Djumadi, Hukum Pemburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,