• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Teori keadilan Pancasila

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Pancasila memiliki dua kepentingan, yaitu diharapkan sebagai pedoman dan petunjuk serta pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagai groundnorm mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif.

Ditetapkan Pancasila sebagai dasar dalam pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.

Teori keadilan Pancasila adalah sebuah teori hukum yang mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai landasan ontologi, epistimologi dan bahkan aksiologisnya, Pancasila mampu memberikan nila-nilai keadilan sebagai pembaharuan hukum di Indonesia.12 Teori keadilan Pancasila jika ditarik benang merah pada suatu titik konvergensi merupakan sintesa dari teori hukum pembangunan, teori hukum progresif dan teori hukum integratif, semuanya berpijak pada hukum yang hidup dalam masyarakat dan berdasarkan nilai-nilai primodial dari bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai pancasila sebagai khas kehidupan sosial dan sekaligus sebagai volksgeist atau jiwa suatu bangsa, sesuai dengan pendapat M. Agus Santoso dalam bukunya Hukum Moral dan Keadilan Sebuah Kajian Filsafat, mengatakan bahwa keadilan harus ditentukan

12 Ferry Irawan Febriansyah, Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai Dasar Filosofis Dan Ideologis Bangsa, DiH Jurnal Hukum, Vol. 13. No 25, Februari 2017, hlm 6.

(2)

14

berdasarkan ketertiban umum dari masyarakat setempat.13 Asas-asas hukum pancasila antara lain : 14

1) Asas ketuhanan, mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum yang bertentangan, menolak ataupun bermusuhan dengan agama maupun kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2) Asas perikemanusiaan, mengamanatkan bahwa hukum harus melindungi warga negara dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia.

3) Asas persatuan dan kesatuan, bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum yang mempersatukan kehidupan berbangsa dengan menghormati keragaman dan kekayaan budaya bangsa.

4) Asas demokrasi, mendasarkan bahwa hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk terhadap hukum bukan sebaliknya. Sistem demokrasi harus dilandaskan nilai permusyawaratan, kebijaksanaan dan hikmah.

5) Asas keadilan sosial, bahwa semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum.

Asas demokrasi yaitu Penggunaan Pancasila yaitu sila keempat yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan pada butir ke 6 yang menyatakan dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah dan asas keadilan sosial, yaitu terdapat pada sila kelima yang menyatakan bahwa Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada butir ke 4 yang mempunyai makna setiap manusia harus menghormati hak orang lain dan memberikan peluang kepada prang lain untuk mencapai haknya serta butir ke 10 yaitu menghendaki adanya usaha

13 M. Agus Santoso, 2014, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat, Jakarta: Kencana, hlm. 85.

14 Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arif Sidharta, 1999, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Liangkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 137-139

(3)

15

berama antar warga negara dalam mencapai masyarakat yang adil dan makmur, artinya keamanusiaan yang adil dan beradab merupakan dasar dari perlindungan hak asasi yaitu memanusiakaan mansuia secara beradab tanpa mengurangi haknya, sedangkan keadilan sosial dengan keadilan dalam hukum. Terkait dalam mengembangkan kerjasama merupakan contoh dalam membangun usaha bersama. Selain itu kejujuran dan kepatutan hendaknya dijadikan landasan untuk melaksanakan itikad baik dalam perjanjian lisan pada kerjasama peternakan ayam.

2. Teori Kepastian Hukum

Permasalahan yang ada dalam penelitian ini untuk mendapatkan jawabannya, maka perlu dilakukan pengkajian dan penelitian. Dalam melakukan analisis dan pengkajian dari permasalahan yang ada dan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih baik, lebih jelas tentang norma hukum maka diperlukan suatu teori.15 Seperti pandangan teori dari Gustav Radbruch, dalam mewujudkan tujuan hukum menyatakan bahwa perlu adanya penerapan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum, hal ini disebabkan karena dalam realitasnya keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan hukum dan kepastian hukum begitupun sebaliknya. Untuk itu, ketiga asas prioritas yang digunakan Gustav Radbruch harus diimplementasikan sebagai mana mesti, yaitu: 16

1. Keadilan hukum;

Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Artinya keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara dua pihak yang berjanji, baik perjanjian antara dua pihak maupun perjanjian jatuhan putusan antara hakim dan terdakwa, peraturan perundang-undangan yang

15 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011, hlm 97.

16 Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2012, hlm 123.

(4)

16

tidak memihak pada satu pihak saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan publik.17 2. Kemanfaatan hukum;

Menurut Jeremy Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak- banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya.18

3. Kepastian hukum.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.19

Menurut Gustav ketiga asas prioritas ini bersifat relatif, dengan demikian, bisa memonjolkan salah satu tujuan hukum sesuai dengan penerapan hukumnya. Pandangan Gustav ini mengandung artian bahwa kepastian hukum merupakan produk dari hukum dan lebih khusus dari perundang-undang. Selanjutnya ketika menyatakan kepastian hukum demi keteraturan suatau negara, oleh karenanya hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus ditaati, meskipun hukum positif itu kurang adil dan kurang mencapai tujuan hukum. Jaminan ditaatinya hukum dalam masyarakat merupakan hal yang harus diwujudkan. Negara memiliki sarana yang memadai dan efektif

17 Muhammad Syukri Albani Nasution, Hukum dalam Pendekatan Filsafat, ctk. Kedua, Jakarta:

Kencana, 2017, hlm 217-218.

18 Darji Darmodiharjo dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum; edisi lengkap (Dari klasik sampai postmodern), Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 159.

19 Rinduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 23

(5)

17

untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ada. Sedangkan pendapat Meuwissen yang memilih kebebasan sebagai landasan dan cita hukum.

Kekebasan yang dimaksud adalah kebebasan berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini bukan kesewenangan, adanya kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian hukum, kemanfaatan hukum mauapun keadilan hukum ketimbang mengikuti Gustav.20 Peristiwa tersebut akan melahirkan kepastian hukum yang sesuai dengan yang diinginkan oleh semua pihak.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan . sepanjang perjalanan sejarah filsafat.21 Hukum sebagai nilai keadilan menurut Gustav menjadi ukuran adil dan tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum, dengan demikian keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitufi bagi hukum. Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.22

Substansi hukum dari teori Gustav Radbruch adalah mengkombinasikan ketiga pandangan klasik yaitu filsufis, normatif dan empiris supaya menjadi satu pendekatan dengan masing-masing pendekatan dijadikan sebagai unsur pokok dan menjadi unsur pokok dan menjadi dasar pendekatan hukum. Gustav memulai dengan pandangan bahwa masyarakat dan ketertiban memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan dikatakan sebagai dua sisi mata uang, hal ini menunjukkan bahwa setiap masyarakat di dalamnya memiliki ketertiban, untuk mewujudkan ketertiban ini maka dalam masyarakat selalu terdapat beberapa norma seperti kebiasaan, kesusilaan dan hukum. Perbedaan antara ketiga norma di dalam masyarakat tersebut dimana kebiasaan lebih berorientasi pada perbuatan-perbuatan yang memang lazim dilakukan sehari-hari menjadi

20 Sidharta Arif, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung: PT Refika Aditama, 2007, hlm 20.

21 Dardji Darmohardjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm 155.

22 Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014, hlm 74.

(6)

18

norma. Norma hukum lebih berorientasi pada dunia ideal dan kebiasaan, maka untuk memenuhi unsur ideal, hukum harus mengakomodir filosofis dan guna memenuhi tuntutan kenyataan hukum harus memasukkan unsur sosiologis, dalam perkembangannya masyarakat tidak hanya menginginkan keadilan dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, akan tetapi masyarakat masih membutuhkan adanya peraturan- peraturan yang menjadi kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain.23

Gutav Radbruch memberikan kontribusi yang mendasar terhadap teori kepastian hukum, dengan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan hukum, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. Kepastian hukum adalah keadaan suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara jelas, pasti dan logis, artinya tidak adanya kekaburan norma atau keraguan sedangkan logis merupakan suatu sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan dengan norma yang lain. Kepastian hukum memberikan pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat subjektif, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum dalam suatu negara adalah dengan adanya undang-undang yang telah ditentukan dan sungguh-sungguh berlaku sebagai hukum, putusan-putusan hakim yang bersifat konstan, dan beraikbat kepada masyarakat yang tidak ragu-ragu terhadap hukum yang berlaku.24

3. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum merupakan perlindungan terhadap hak- hak asas manusia yang berkembang pada abad ke 19. Adapun arah dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah adanya pembatasan dan peletakan kewajiban kepada masyarakat

23 M. Muslih, Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch, (Tiga Nilai Dasar), Jurnal Legalitas, Vol. 7, No. 1, Juni 2013, hlm 143-144.

24 Lazuardi Ardian, Iwan Permadi Bambang Winarno, Urgensi Akta Notaris dalam Perikatan Kerja antara Kantor Jasa Penilai Publik dengan Perusahaan Emiten terhadap Implikasi Penilaiannya di Bursa Saham, Jurnal Rechtidee. Vol. 12, No. 1, 2017, hlm 93.

(7)

19

dan pemerintah.25 Terkait tentang hukum dalam kehidupan bermasyarakat tujuannya untuk mengintegrasikan dan penyelarasan kepentingan- kepentingan yang biasa bertentangan antara satu sama lain, hukum harus bisa meredam benturan-benturan kepentingan tersebut agar dapat ditekan seminimalisir mungkin, Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara sah dianggap mengikat mengikat, yang dikukuhkan oleh pemerintah, undang- undang, peraturan dan lain sebagainya guna mengatur kehidupan dalam kemasyarakatan, kaidah tentang peristiwa alam tertentu dan keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan.26 Sedangkan Dr. O. Notohamidjojo dalam pendapatnya untuk memahami arti hukum adalah keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang bersifat memaksa untuk tingkah laku manusia dalam masyarakat negara serta antara negara yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna untuk tata hidup dan perdamaian dalam bermasyarakat.27

Teori perlindungan hukum menurut M. Isnaeni berpendapat bahwa pada dasarnya persoalan perlindungan hukum itu ditinjau dari sumbernya dapat dibedakan menjadi dua (2) macam yakni perlindungan hukum

“eksternal” dan perlindungan hukum “internal”.28 Hakekat perlindungan hukum internal, pada dasarnya perlindungan hukum yang dimaksud dikemas sendiri oleh para pihak pada saat membuat perjanjian, dimana pada waktu mengemas klausa-klausa kontrak, kedua belah pihak menginginkan agar kepentingannya terakomodasi atas dasar kata sepakat, demikian juga segala jenis risiko diusahakan dapat ditangkal lewat klausa- klausa yang dikemas atas dasar kata sepakat itu pula, sehingga dengan klausa itu para pihak akan memperoleh perlindungan hukum berimbang

25 Luthvi Febryka Nola, Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Jurnal Negara Hukum. Vol. 7. No. 1, 17 Juni 2016, hlm 5.

26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cetakan pertama, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm 595.

27 Syamsul Arifin, Pengantar Hukum Indonesia, Medan: Medan Area University Press, 2012, hlm 5-6.

28 Moch. Isnaeni, Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan, Surabaya: PT. Revka Petra Media, 17 Juni 2016, hlm 159.

(8)

20

atas persetujuan mereka bersama. Perihal perlindungan hukum internal seperti itu baru dapat diwujudkan oleh para pihak, manakala kedudukan hukum mereka relatif sama, artinya para pihak mempunyai bargaining power yang relatif berimbang, sehingga atas dasar asas kebebasan berkontrak masing-masing rekan seperjanjian itu mempunyai keleluasaan untuk menyatakan kehendak sesuai kepentingannya. Pola ini dijadikan landasan pada waktu para pihak merakit klausa-klausa perjanjian yang sedang digarapnya, sehingga perlindungan hukum dari masing-masing pihak dapat terwujud secara lugas atas inisiatif mereka.29 Sedangkan perlindungan hukum eksternal ialah yang dibuat oleh penguasa lewat regulasi bagi kepentingan pihak yang lemah, sesuai hakekat aturan perundang-undangan yang tidak boleh berat sebelah dan bersifat memihak, secara proporsional juga wajib diberikan perlindungan hukum yang seimbang sedini mungkin kepada pihak lainnya.30 Sebab mungkin saja pada awal dibuatnya perjanjian, ada suatu pihak yang relatif lebih kuat dari pihak mitranya, tetapi dalam pelaksanaan perjanjian pihak yang semula kuat itu, terjerumus justru menjadi pihak yang teraniaya, yakni misalnya saat debitur wanprestasi, maka kreditur selayaknya perlu perlindungan hukum juga.

Doktrin the privity of contract menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi mitra usahanya, tetapi hal ini baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan, mitra usaha dapat mengugat berdasarkan wanprestasi.31 Menurut kaedah normatif di Indonesia asas personalitas atau the privity of contract didasarkan pada Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya seorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri, hal ini ditegaskan dengan ketentuan dalam Pasal 1340 KUHPerdata yang menyatakan tentang ruang lingkup

29 Ibid. hlm 160.

30 Ibid. hlm 163

31 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesi,. Jakarta: PT Grasindo, 2006, hlm

(9)

21

berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja, adapun syarat kecakapan diatur melalui Pasal 1330 KUHPerdata yang memberikan ketentuan ketidak cakapan membuat kontrak. Mengenai belum dewasa diatur melalui Pasal 330 KUHPerdata.

Penjelasan diatas memberikan pemahaman bahwa perlindungan hukum merupakan suatu gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik yang bersifat preventif maupun repersif dan baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka penegakan hukum, penjelasan teori kepastian hukum dari Gustav Radbruch dan teori perlindungan hukum menurut M. Isnaeni diatas, sangat relevan dengan penelitian yang akan peneliti riset atau teliti yaitu perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian lisan pada kerjasama peternakan ayam di Kabupaten Klaten, oleh karena penelitian ini akan mengukur tingkat dan presisi keadilan hukum bagi para pihak untuk mendapatkan haknya sesuai dengan kesepakatan berdasarkan, kemanfaatan hukum bagi pihak pemodal maupun pihak peternak dalam menjalankan usahanya, yang merujuk pada teori kemanfaatan menurut pendapat Jeremy Bentham berdasarkan tujuan hukum untuk mendapatkan kemanfaatan serta kebahagiaan bagai para pihak dan keadilan hukum yang akan menghasilkan hasil penelitian yang baik yaitu dari segi kekuatan hukum perjanjian lisan berdasarkan itikad, kepercayaan berdasarkan teori keadilan Pancasila sebagai batu uji suatu norma individu satu ke individu lain untuk melakukan perjanjian, dan perlindungan hukum menurut pendapat M Isnaeni baik perlindungan hukum internal mauapun perlindungan hukum eksternal untuk mendapatkan kepastian hukum bagi semua pihak untuk mendapatkan keuntungan bersama-sama, yang dikaji berdasarkan peraturan maupun landasan teoritik yaitu menggunakan skala

(10)

22

likert untuk mendapatkan data dari koresponden atau para pihak saat wawancara mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti.

B. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata ialah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mengenai isi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut R. Subekti menyebutkan “Suatu perjanjian adalah peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.

Peristiwa tersebut menimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya saling mengikatkan diri. Bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis.32

Secara etimologis perjanjian yang dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittifa’ Akad atau kontrak dapat diartikan sebagai: “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih yang seyogyanya perjanjian dilakukan secara tertulis”.33 Adapun yang dimaksud dengan akad atau perjanjian adalah janji setia kepada Allah SWT dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.34 Menurut salim HS, perjanjian adalah hubungan hubungan hukum antar subyek yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan,

32R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1989, hlm 1.

33Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: Aneka, 1977, hlm 248.

34Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm 2.

(11)

23

dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lainnya berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati.35 Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji.

Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akan hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya.36

Menurut Purwahid Patrik, Perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari penyesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak secara timbal balik37.

b. Unsur-Unsur Perjanjian

Suatu perjanjian terdapat unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka unsur-unsur yang ada di sana dapat kita kelompok- kelompokkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

1) Unsur Essensialianya

Essensialia adalah unsur perjanjian yang harus ada yang merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus dicantumkan dalam suatu perjanjian.

Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah mengandung suatu ketentuan tentang prestasi-prestasi, artinya isi yang terkandung dari perjanjian tersebut yang mendefinisikan apa bentuk hakikat perjanjian.38

2) Unsur Naturalia

Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-

undang diatur, tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan

35 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm 27.

36 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1999, hlm 110.

37Purwahid Patrik, Hukum Perdata II, Semarang: Universitas Diponegoro, 1988, hlm. 1-3

38J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm 57.

(12)

24

atau diganti di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regeld/

aanvullend recht), jika bersifat memaksa (deingend reccht) maka tidak bisa dismipangi oleh para pihak.

3) Unsur Accidentalia

Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan para pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur tentang tersebut.39

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa unsur-unsur perjanjian terdiri dari :

a) Essentialia

Unsur mutlak yang harus ada untuk terjadinya perjanjian. Syarat-syarat adanya atau sahnya perjanjian adalah kata sepakat atau persesuaian kehendak, kecakapan para pihak, objek tertentu dan kausa atau dasar yang halal.

Dalam perjanjian jual beli, harga dan barang yang disepakati kedua belah pihak harus ada. Sama seperti bentuk tertentu merupakan essentialia dari perjanjian formal.

b) Naturalia

Unsur yang lazimnya melekat dalam perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian, seperti pada perjanjian jual beli, penjual harus menjamin pembeli terhadap cacat tersembunyi.

c) Accidentalia

39Ibid., hlm 58.

(13)

25

Unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian, misalnya mengenai tempat tinggal yang dipilih oleh para pihak yang bersangkutan. 40

Selain pendapat di atas, menurut Abdulkadir Muhammad memberikan beberapa unsur perjanjian yaitu:

1) Ada pihak-pihak atau subjek, paling sedikit dua pihak.

Subjek perjanjian adalah orang dan/atau badan hukum, yang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

2) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.

Persetujuan dalam suatu perjanjian haruslah bersifat tetap dan bukan sekedar berunding. Penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran adalah salah satu bentuk dari persetujuan. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya. Persetujuan timbul apabila masing-masing pihak setuju tentang syarat dan objek perjanjian, yang mana persetujuan ini merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.

3) Adanya tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para pihak.

Sifat dari tujuan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang. Tujuan utama mengadakan perjanjian sudah barang tentu untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Kebutuhan hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain.

4) Ada prestasi yang dilaksanakan.

Syarat yang harus dipenuhi, merupakan prestasi dan wajib dipenuhi oleh para pihak yang menimbulkan kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi.

40 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2001, hlm. 111.

(14)

26

5) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

Pentingnya bentuk perjanjian tersebut ditentukan karena ketentuan undang- undang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.

6) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

Syarat-syarat tertentu dari perjanjian ini sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak.41

c. Syarat Sah Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Supaya kontrak menjadi sah, maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat dalam perjanjian.42 Kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya dan kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati, kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara bebas.

Selanjutnya, di dalam pembentukan kata sepakat (toesteming) terdapat unsur penawaran (offer, offerte) dan penerimaan (acceptance, acceptatie). Kata sepakat pada prinsipnya adalah terjadinya persesuaian antara penawaran dan

41 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008, hlm 222.

42Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm 76.

(15)

27

penerimaan, kata sepakat itu sendiri pada dasarnya adalah pertemuan antara kedua kehendak.43

Undang-undang mengatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yaitu sepakat yang dibuat karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) dapat dikatakan sebagai cacat kehendak. Maksud dari cacat kehendak adalah pernyataan kehendak yang dikeluarkan seseorang bahwa kehendak tersebut telah ditentukan secara tidak bebas atau tidak murni.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Kemudian dalam Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tak cakap untuk membuat perjanjian yaitu:”44

a) Orang yang belum dewasa.

Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin sesuai Pasal 50 ayat (1) UU No.

16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, ditentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 19 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah

43Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif Perbandingan (Bagian Pertama,.

Yogyakarta: FH UII Press, 2013, hlm 168-169.

44 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Jakarta: Alfabeta, 2003, hlm 80.

(16)

28

kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Berdasarkan Pasal 433 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan orang dewasa yang boros pun layaknya ditaruh dalam pengampuan.

c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu. Setelah dikeluarkanya SEMA No. 3 tahun 1963 dan diundangkannya UU No. 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum.

3) Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu yaitu barang yang menjadi objek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan jenisnya. Suatu hal tertentu yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah kewajiban debitur dan hak kreditur. Ini berarti bahwa hal tertentu itu adalah apa yang

(17)

29

diperjanjikan, yaitu hak dan kewajiban kedua belah pihak, Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan, Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa suatau perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya suatu perjanjian harus memiliki suatu pokok persoalan. Objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga berupa jasa, berarti bahwa apa yang diperjanjikan yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak, Sementara Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan pula bahwa barang- barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat juga menjadi pokok suatu perjanjian.

4) Sesuatu sebab yang halal

Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Pasal 1335 KUHPerdata “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Pasal 1337 KUHPerdata “suatu sebab adalah terlarang, apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Suatu perjanjian akan memiliki suatu sebab yang halal jika memenuhi dua syarat yaitu: syarat pertama yang menyatakan bahwa tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas

(18)

30

atau patut (redelijk ground). Syarat yang kedua menyatakan bahwa perjanjian harus mengandung sifat yang sah (een geoorloofd karakter dragen).45

Syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibagi menjadi dua syarat yaitu:

a) Syarat subjektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh subjek dalam suatu perjanjian. Termasuk syarat subjektif adalah:

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian b) Syarat objektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh

perjanjian. Termasuk di dalam syarat ini adalah:

(1) Suatu hal tertentu (2) Suatu sebab yang halal

Akibat dari syarat tersebut tidak dapat dipenuhi yaitu apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan, sedangkan apabila syarat objektifnya tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum. Artinya batal demi hukum adalah bahwa perjanjian tersebut dari semula tidak pernah ada.

Sistem hukum Indonesia tentang perikatan yang secara mendasar dibedakan menurut sifat perjanjiannya yaitu:

a) Perjanjian Konsensuil: Perjanjian di mana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.

45 Herlien Budiono, Hukum Perjanjian dan Penerapanya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm 115.

(19)

31

b) Perjanjian Riil: Perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan

c) Perjanjian Formil: Ada kalanya perjanjian yang konsensuil, adapula yang disyaratkan oleh Undang- Undang, di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.

d. Asas Asas-asas dalam Perjanjian

Berkitan dengan perjanjian, dikenal beberapa asas yang merupakan dasar para pihak untuk mencapai tujuannya, yang dapat dikelompokkan sebagai asas-asas yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian, antara lain:

1) Asas Konsensualisme

Pengertian asas konsensualisme ialah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu dan sudah dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat oleh para pihak pembuat perjanjian. Perjanjian dikatakan sah dan telah terjadi ketika para pihak telah mengikat satu sama lain yaitu antara debitur dan kreditur, artinya sudah ada dan tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Sehingga timbul perikatan dan melahirkan hak dan kewajiban diantara debitur dan kreditur.

Asas konsensualisme dalam perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Suatu kata sepakat telah tercapai atau perjanjian telah lahir apabila telah tercapai kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut. Terhadap asas

(20)

32

konsensualisme ini terdapat beberapa pengecualian yaitu:

a) Perjanjian Formal

Perjanjian yang harus dengan bentuk tertentu, seperti : perjanjian hibah, kawain dan perdamaian.

b) Perjanjian Riil

Perjanjian yang untuk terjadinya harus dengan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian, seperti misalnya : Perjanjian penitipan barang, pinjam pakai, pinjam mengganti.

Pasal 1321 KUHPerdata juga terdapat pembatasan yaitu bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

2) Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak dimaksudkan bahwa setiap orang bebas membuat atau tidak membuat suatu perjanjian, baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum diatur oleh undang- undang. Kebebasan dalam hal ini adalah bebas dalam bentuk perjanjiannya maupun mengenai isi perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

(21)

33

2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

3) Kebebasan menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya.

4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6) Kebebasan menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional. 46

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, menjelaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa orang dapat dengan leluasa untuk membuat suatu perjanjian, asal tidak melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Kebebasan dalam asas ini bukanlah bebas yang sebebas-bebasnya, karena undang-undang memberikan batasan-batasannya, yang terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang- undang, atau apabila berlawanan baik dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Pembatasan bisa dengan undang-undang, dan juga dengan intervensi

46Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract Drafting, Bandung: PT. Citra Aditya Bakt, 2003, hlm 15-16.

(22)

34

pemerintah, dalam arti bahwa tidak semua individu bebas menentukan isi perjanjian

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, yaitu:

1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

3) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

4) Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. 47

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, selain mencerminkan asas kebebasan berkontrak juga mencerminkan asas pacta sunt servanda. Artinya bahwa perjanjian mengikat kedua belah pihak dan perjanjian merupakan undang-undang bagi pihak yang melakukan perjanjian. Asas pacta sunt servanda dapat dikatakan sebagai asas mengikatnya perjanjian, para pihak yang terkait diharuskan menghormati perjanjian tersebut sebagaimana

47 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm 4.

(23)

35

menghormati undang- undang. Apabila para pihak tidak melaksanakan perjanjian seperti apa yang telah disepakati dan diperjanjikan, maka akan mempunyai akibat seperti halnya jika para pihak tidak melaksanakan peraturan perundang- undangan, yaitu dengan suatu sanksi.

Asas pacta sunt servanda sangat berkaitan dengan asas pelaksanaan perjanjian. Tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan suatu kepastian hukum bagi para pihak terkait dan yang membuat perjanjian. Asas ini mempunyai pengecualian, dalam hal ini jika para pihak yang melakukan perjanjian itu tidak dalam keadaan seimbang kedudukannya, maka dapat dimintakan pembatalan perjanjian. Terhadap penipuan dan paksaan, undang-undang juga melindungi pihak yang membuat perjanjian karena ditipu atau dipaksa, yaitu memberikan kepada mereka hak untuk meminta pembatalan.

4) Asas Itikad Baik

Itikad baik dalam hukum perjanjian merupakan asas yang berasal dari ajaran Bona fides dalam Hukum Romawi.48 Asas itikad baik memiliki kedekatan dengan Sistem Civil Law ketimbang dengan Sistem Common Law. Fides berarti sumber yang bersifat religius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang

48 Reinhard Zimmerman and Simon Whitttaker, Good Faith in European Contract Law, Cambridge:

University Press, 2000, hlm 12.

(24)

36

lainnya. Itikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak, yaitu: Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya; Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak; Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas diperjanjikan.49

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut subekti itikad baik ialah kejujuran atau kebersihan, artinya setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran.50

Itikad baik terbagi menjadi dalam dua artian, yaitu itikad baik dalam artian obyektif dan itikad baik dalam artian subyektif. Jika dilihat secara subjektif itikad baik dapat diartikan dengan

“kejujuran” yaitu merupakan itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa kiraan hati nurani para pihak. bahwa syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua, jika ternyata sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua, dengan kata lain, pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan

49 Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, dalam Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit.

50 Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2011, hlm 42.

(25)

37

sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.51

Sedangkan secara obyektif itikad baik, disebut juga dengan istilah “kepatutan” yaitu bahwa suatu perjanjian yang dibuat haruslah dilaksanakan dengan mengindahkan norma- norma kepatutan dan kesusilaan yang berati bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan salah satu pihak.

Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, asas itikad baik adalah asas hukum khusus karena merupakan asas hukum yang hanya berlaku dibidang hukum perdata saja. Itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang mengatur bahwa: “Persetujuan-persetujuan (perjanjian) harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Selanjutnya Itikad baik juga diatur dalam Pasal 1386 KUHPerdata dalam pasal tersebut menentukan: “Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan pada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Arti itikad baik adalah bahwa Si Pembayar utang tidak mengetahui bahwa pihak yang menerima pembayaran itu bukan krediturnya, keadaan jiwa yang demikian itulah yang dilindungi oleh undang-undang sehingga meskipun pembayaran itu diterima oleh orang yang bukan krediturnya tetapi pembayaran itu dianggap sah.

51 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu. Cet VIII, Bandung:

Sumur, 1985, hlm 56.

(26)

38

Itikad baik dalam artian obyektif itu dirumuskan dalam ayat (3) Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji. Artinya kejujuran ini bersifat dinamis yang berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakekatya tidak diperbolehkan kepentingan orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan.

Itikad baik yang pertama terletak pada keadaan jiwa seorang manusia pada waktu tertentu, yaitu pada mulai berlakunya hubungan hukum, dan itikad baik dalam pelaksanaan hak maupun kewajiban dalam hubungan hukum, dalam hal ini, itikad baik terlihat pada perbuatan yang akan dilakukan oleh para pihak, khususnya perbuatan dalam pelaksanaan perjanjian, dalam melakukan perbuatan inilah itikad baik harus sejalan dengan hati nurani yaitu dalam kehidupan bermasyarakat manusia agar selalu memberi manfaat kepada orang lain khususnya dalam membuat suatu perjanjian.

5) Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan

(27)

39

memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.52

6) Asas Persamaan Hukum

Asas ini memposisikan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan atau diskriminasi, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain.

Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.53 Maksud asas ini adalah agar para pihak yang membuat perjanjian didasarkan pada persamaan kepentingan, dimana para pelaku usaha akan mendapat keuntungan yang diharapkan bersama.

7) Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut Mariam Darus, asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.54 Artinya agar para

52 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Ctk pertama, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm 87.

53 Ibid, hlm 88.

54 Ibid, hlm 89.

(28)

40

pihak yang membuat perjanjian harus sesuai dengan undang-undang, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

e. Bentuk-bentuk Perjanjian

Perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, artinya perjanjian dapat dibuat secara lisan. Menurut Muhammad Syaifuddin perjanjian lisan merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara lisan atau cukup dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya.55 Letak kekuatan mengikat secara hukum perjanjian lisan adalah bukan didasarkan atas bentuk perjanjiannya, namun melainkan pada keterpenuhan syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Artinya sepanjang perjanjian tersebut telah sesua dengan syarat-syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian tersebut akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang membuatnya.

Dengan demikian, dapat diartikan bahwa perjanjian lisan adalah sebuah kontrak yang telah disetujui secara lisan oleh para pihak yang sepakat membuat perjanjian.

Umumya, perjanjian dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Namun perjanjian dalam bentuk tertulis memiliki keungulan dibandingkan dengan perjanjian secara lisan. jika nantinya para pihak yang berjanji terlibat suatu perselisihan, maka hanya perjanjian dalam bentuk tertulis yang dapat digunakan sebagai alat bukti untuk penyelesaian sengketa.56 Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu:57

55 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak “memahami kontrak dalam persfektif Silsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (seri pengayaan hukum), Bandung: Mandar Maju, 2012, Hlm. 147

56 Richard Eddy, Aspek Legal Properti-Teori, Contoh dan Aplikasi, Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010, hlm 45.

57 Salim H.S. Op.Cit. hlm 42-43.

(29)

41

1) Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga, dengan kata lain, perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.

2) Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin menyangkal isi perjanjian, namun pihak yang menyangkal itu adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya.

3) Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akat notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang itu adalaha notaris, camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.

f. Akibat Perjanjian yang Sah

Akibat perjanjian yang sah dan telah memenuhi syarat- syarat sahnya perjanjian, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

1) Perjanjian mengikat para pihak, artinya semua perjanjian yang yang dibuat secara sah berlaku

(30)

42

sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah bersepakat.58

2) Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan bersama oleh para pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu terdapat dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.. Artinya perjanjian yang sudah dibuat tidak bisa dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini bertujuan untuk pihak lain terlindungi karena perjanjian ini dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang.

2. Tinjauan Umum Tentang Kerjasama a. Pengertian Kerjasama

Perjanjian kerjasama bisnis akan menimbulkan hubungan kerjasama di antara kedua belah pihak. Kerjasama adalah suatu interaksi yang sangat penting bagi manusia karena pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri sehingga setiap manusia pasti membutuhkan orang lain. Kerjasama dapat berlangsung jika satu orang atau kelompok yang bersangkutan memiliki kepentingan yang sama dan memiliki kesadaran untuk bekerjasama guna mencapai kepentingan mereka.59 Menurut Abdulsyani, kerjasama adalah suatu proses sosial yaitu terdapat aktivitas terentu yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami aktivitas masing-masing.60 berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kerjasama merupakan

58 Ahmadi Miru, Hukum Perikatan Penjelasan Makna pasal 1233 sampai 1456, Jakarta: PT Radja Grafindo, 2011, hlm78.

59 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai pustaka, 1990, hlm 728.

60 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan, Jakarta; Bumi Aksara, 1994, hlm 156.

(31)

43

suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan berama.

b. Pola dalam Kerjasama

Kerjasama bisnis adalah suatu usaha bersama anatara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Perjanjian kerjasama dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu:61 1) Usaha bersama;

Usaha bersama merupakan bentuk kerjasama umum, dapat dilakukan dalam berbagai bentuk bidang usaha, dimana para pihak masing-masing menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha bersama.

2) Kerjasama operasional;

Kerjasama operasional adalah bentuk kerjasama khusus yang dimana bidang usaha yang merupakan hak atau kewenangan salah satu pihak yang bidang usaha sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan atau mengembangkan usaha yang semula merupakan hak atau wewenang pihak lain, dengan mmembentuk badan usaha baru.

3) Operasional sepihak.

Operasional sepihak merupakan bentuk kerjasama dimana bidang usahanya berupa bangunan komersial, salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tenah, sedangkan pihak lain atau investor diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial diatas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasikan bangunan tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka

61 Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis (dalam persepsi manusia modern), Bandung: Reika Aditama, 2003, hlm 42.

(32)

44

waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada pihak pemilik.

(33)

45 C. Kerangka Berfikir

Kerangka berfikir pada penelitian hukum dengan judul Perlindungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Lisan pada Kerjasama bagi hasil Peternakan Ayam di Kabupaten Klaten dapat digambarkan sebagai berikut:

Penelitian non doktrinal

Keterangan:

Perjanjian lisan yang terjadi antara pemodal dan peternak dalam kerjasama bagi hasil peternakan ayam di Kabupaten Klaten ini adalah hubungan hukum antar perorangan dimana adanya pihak pemodal dan adanya pihak peternak atau pelaksana. Kegiatan kerjasama usaha peternakan ayam

Untuk Mengkaji Kekuatan Hukum perjanjian Lisan Pada Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil Peternakan Ayam di Kabupaten Klaten

Untuk Merumuskan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Pada Kerjasama Bagi Hasil Peternakan

Ayam di Kabupaten Klaten Kekuatan Hukum Perjanjian

Lisan Pada Kerjasasama Bagi Hasil Peternakan Ayam di

Kabupaten Klaten

Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Pada Kerjasama Bagi Hasil Peternakan Ayam

di Kabupaten Klaten

Teori Keadilan Pancasila, Teori Kepastian Hukum Pihak ke I yaitu Pemodal

Perlindungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Lisan Pada Kerjasama Bagi Hasil

Peternakan Ayam di Kabupaten Klaten

Pihak ke II yaitu peternak atau Pelaksana

Melakukan Perjanjian

Perjanjian Lisan Perjanjian Tertulis

Teori Perlindungan hukum

(34)

46

ini umumnya dilakukan dalam perjanjian tertulis, namun karena kebiasaan pada masyarakat sekitar yang memilih dengan cara praktis yaitu perjanjian dilakukan secara lisan berdasarkan kepercayaan dan itikad baik.

Dilihat dari kasus ini mengenai kerjasama bagi hasil pada umumnya diatur dalam perjanjian kemitraan, yaitu perjanjian yang dilakukan dalam bentuk tertulis. Kemitraan juga harus memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan tentang kemitraan yaitu mengenai kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah. Kriteria tersebut diantaranya adalah modal usaha yang dikeluarkan dan memiliki izin usaha agar bisa dikategorikan sebagai perjanjian kemitraan.

Berdasarkan peraturan tersebut menarik dikaji oleh peneliti apakah peraturan tersebut relevan atau tidak untuk diterapkan pada perjanjian bagi hasil yang dilakukan secara lisan ini. Peneliti akan menganalisis secara mendalam untuk menjawab rumusan masalah dalam pembahasannya, sehingga dapat menentukan kekuatan hukum dan perlindungan hukumnya.

Mengingat hubungan hukum dalam perjanjian lisan pada kerjasama bagi hasil peternakan ayam ini hanya kerjasama antar perorangan yang secara kriteria dari aspek modal dari pemodal lebih kecil dari kriteria yang terdapat dalam ketentuan yang mengatur serta belum ada izin usaha kemitraan.

Perjanjian lisan pada kerjasama bagi hasil peternakan ayam ini terjadi atas dasar kebiasaan, kepercayaan serta itikad baik sesuai apa yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Penelitian ini menggunakan teori keadilan pancasila, teori kepastian hukum untuk mengkaji kekuatan hukum dan teori perlindungan hukum merumuskan perlindungan hukum dari pelaksanaan perjanjian lisan dalam kerjasama peternakan ayam di Kabupaten Klaten. Untuk itu, landasan hukum yangdigunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor ekologi kriminal yakni kepadatan penduduk, jumlah penduduk miskin, luas pemukiman kumuh, dan luas lahan komersial tidak ada yang memengaruhi sebagai

Museum dalam rangka menyebarluaskan informasi tersebut senantiasa dilaksanakan secara berkesinambungan seperti yang telah dilaksanakan. Museum Benteng Vredeburg

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan

Dalam jurnal ini , penulis membuat sistem pengenalan wajah dengan membandingkan tingkat akurasi antara metode LNMF dan NMFsc.Dimana sistem ini dapat melakukan

Hasil pengamatan antar perlakuan vaksin diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa perlakuan vaksin jenis sediaan sel utuh memiliki ti- ter antibodi yang lebih tinggi, setelah diuji

Motor sinkron adalah motor AC, bekerja pada kecepatan tetap pada sistim frekwensi tertentu.Motor ini memerlukan arus searah (DC) untuk pembangkitan daya dan memiliki

Pada Bab ini juga akan dijelaskan tentang jumlah serta distribusi tenaga per Kabupaten/Kota, serta jumlah dan penyebaran sarana pelayanan kesehatan yang terdiri dari rumah sakit

A: Untuk harapan pemerintahan yang baru pasti kita punya harapan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, atau paling tidak tetap bisa mempertahankan perekonomian di