• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep merupakan suatu definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala Koentjaraningrat (1991:21). Konsep ini dalam rangka penelitian etnomusikologi boleh diambil dari kamus, para ahli dibidangnya maupun dari masyarakat yang kita teliti. Dalam konteks penelitian ini, konsep yang digunakan mencakup apa yang dikemukakan oleh para ahli dan para informan kunci dalam penelitian ini.

Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas. Sesuai dengan konsep yang diatas maka Ketoprak Dor dikategorikan sebagai seni pertunjukan, karena dalam pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton, pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.

Brandon dan Soedarsono dalam Naiborhu dan Karina (2016:6) mengatakan bahwa beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di Indonesia, ialah: (1) Pemanggil kekuatan gaib, (2) Penjemput roh-roh pelindung untuk hadir ditempat pemujaan, (3) Memanggil roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, (4) Peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya, (5) Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan

tingkat-tingkat hidup seseorang, (6) Pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu, (7) Perwujudan daripada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata, (8) Sebagai ritual kesuburan, (9) Memperingati daur hidup manusia sejak kelahiran hingga ia mati, (10) Mengusir wabah penyakit, (11) Melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, (12) Sebagai hiburan pribadi, (13) Sebagai representasi estetis (tontonan), (14) Sebagai media propaganda, (15) Sebagai penggugah solidaritas sosial, (16) Sebagai pembangun integritas sosial, (17) Sebagai pengikat solidaritas nasional, (18) Sebagai alat komunikasi, dan sebagainya.

Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi ke dalam dua kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton saling berhubungan satu sama lain (Sedyawati,1981:58-60).

Di dalam pertunjukan Ketoprak Dor terdapat beberapa ciri khas yang menjadi pedoman tidak tertulis walaupun sebenarnya tidak ada pakem yang baku dalam penyajiannya. Diantara ciri khas tersebut adalah:

a. Dialog berbahasa Jawa

b. Cerita yang ditampilkan merupakan cerita tentang raja-raja yang merupakan dongeng rakyat, legenda, mitos, ataupun cerita baru yang merupakan gubahan sutradaraKetoprak Dor itu sendiri.

c. Iringan musik dalam pertunjukan Ketoprak Dor yang paling utama adalah kentrung (berbentuk kentongan kecil) dan jidor, dan irama dan melodi

musiknya bersifat repetitif atau pengulangan-pengulangan disaat selingan atau pergantian adegan.

1.5.2 Teori

Peneliti menggunakan menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Dalam meneliti perubahan pertunjukan dan budaya dalam Ketoprak Dor, peneliti menggunakan teori asimilasi budaya. Menurut Koentjaraningrat (2009:209) pengertian asimilasi (assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada: (a) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (b) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (c) kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur kebudayaan campuran.

Untuk mengkaji sejauh apa fungsi seni pertunjukan, serta bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat, biasanya digunakan teori fungsionalisme. Menurut Lorimer dalam Takari dan Heristina (2008:15-16), teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu.

Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan, dan (4) untuk menghibur orang lain. Fungsi untuk memberi tahu,

artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut.

Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.

Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau memujuk khalayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut stadar norma-norma sosial. Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi, yang memang dalam konteks sosial diperlukan.

Untuk mengkaji struktur musik dalam pertunjukan Ketoprak Dor, peneliti menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Untuk mendeskripsikan struktur musik seperti instrumentasi atau alat-alat musik yang digunakan dalam pertunjukan digunakan sistem klasifikasi

Sachs dan Hornbostel serta etnoklasifikasi. Untuk menganalisis unsur-unsur pertunjukan digunakan metode dekripsi pertunjukan oleh Milton Singer.

Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. teori ini dikemukakan oleh Malm (1977:15). Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm adalah: (1) tangga nada; (2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada (ambitus); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola kadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.

Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi lagu yang dipergunakan dalam pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli, tentunya dengan melihat beberapa kali pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli kemudian mencatat lagu-lagu yang sering dimainkan dalam pertunjukan, mencatat pada saat kapan saja lagu tersebut dimainkan, kemudian merekam lagu-lagu yang sering dimainkan. Milton Singer pernah mengeluarkan pendapatnya yang bisa dipergunakan untuk menganalisis seni pertunjukan. Bahwa seni pertunjukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1) Waktu pertunjukan yang terbatas, 2) Mempunyai awal dan akhir, 3) Acara kegiatan yang terorganisir, 4) Sekelompok pemain,

5) Sekelompok penonton, 6) Tempat pertunjukan, dan

7) Kesempatan untuk mempertunjukkan (dalam Sal Murgiyanto 1996:164-165).

Brandon dan Soedarsono dalam Naiborhu (2016:9) mengatakan bahwa beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di Indonesia, ialah: (1) pemanggil kekuatan gaib, (2) penjemput roh-roh pelindung untuk hadir ditempat pemujaan, (3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, (4) peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya, (5) pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang, (6) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu, (7) perwujudan daripada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata, (8) sebagai ritual kesuburan, (9) memperingati daur hidup manusia sejak kelahiran hingga ia mati, (10) mengusir wabah penyakit, (11) melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, (12) sebagai hiburan pribadi, (13) sebagai representasi estetis (tontonan), (14) sebagai media propaganda, (15) sebagai penggugah solidaritas sosial, (16) sebagai pembangun integritas sosial, (17) sebagai pengikat solidaritas nasional, dan (18) sebagai alat komunikasi, dan sebagainya.

Ditambah lagi dengan pendapat Sedyawati (2009:56) yang mengatakan analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran yang terdapat di dalam pertunjukan dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji), (penyaji dan penonton) diantara variable-variabel wilayah yang berbeda.

Sedangkan untuk mengkaji tentang semiotika seni pertunjukan, Peneliti menggunakan teori semiotika dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana

makna yang diciptakan dan dikomuniasikan melalui simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Pendekatan seni salah satu usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atausignifier yang berhubungan dengan konsep (signified).Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Pavis dalam Takari dan Heristina (2008:10-11) menyusun daftar pertanyaan yang lebih luas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu ialah yang mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang rnendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan,(c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e) kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan;

Bagian selanjutnya yaitu (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertunjukan mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya, (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistem tata cahaya; (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain;

Kemudian pada penjelasan selanjutnya (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain; (6) pertunjukan: (a) gaya individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan pertunjukan:(a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yangtetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalarn pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji; (11) penonton : (a) dimana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terja di dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna;

Penjelasan selanjutnya yakni (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apayang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada

masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.

Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: (1) kata-kata, (2) nada bicara, (3) mimik, (4) gestur, (5) gerak, (6) make-up, (7) gaya rambut, (8) kostum, (9) properti, (10) setting,(11) lighting, (12) musik, dan (13) efek suara.

Ketiga belas unsur pertunjukan ini akan peneliti gunakan untuk menganalisis pertunjukan Ketoprak DorJawa Deli dalam berbagai kegunaannya. Diantara wilayah kajian itu salah satunya adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon.13 Selain itu, setiap alat musik diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah-masalah teoretis perlu pula dicatat.

13

Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Sach dan Hornbotel (1988:134) terdiri atas

Idiphone yakni badan alat musik itu sendiri yang menghasilkan bunyi. Contoh: triangle dan maracas. Aerophone yakni udara atau satuan udara yang berada dalam alat musik itu sebagai penyebab bunyi. Contoh: seruling, saxophone.Membranphoneyakni kulit atau selaput tipis yang ditegangkan sebagai penyebab bunyi. Contoh: kendang, bedug.Chordhophoneyakni senar (dawai) yang ditegangkan sebagai penyebab bunyi. Contoh: gitar, biola. Electrophone yakni alat musik yang ragam bunyi dibantu oleh adanya daya listrik. Contoh: keyboard elektrik, gitar elektrik

Untuk mengkaji makna tekstual, Peneliti menggunakan teori semiotik bahasa oleh Halliday. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara

bersama-sama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa

terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.

Dalam pandangan Halliday (1978:13-114) struktur sosial berhubungan

dengan konteks sosial, pola-pola hubungan sosial, dan kelas atau hierarki sosial. Struktur sosial menetapkan dan memberikan arti kepada berbagai jenis konteks sosial tempat makna-makna itu dipertukarkan. Kelompok sosial sangat menentukan bentuk-bentuk karakteristik konteks situasi. Sebagai contoh, relasi antara status dan peran pelibat secara jelas akan menghasilkan struktur sosial tertentu, dapat berupa struktur sosial yang berjenjang. Pola-pola lingual yang digunakan sebagai sarana retoris menunjukkan ciri sarana wacana yang diasosiasikan dengan strategi .

Menurut Halliday (1978:123) struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata melalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem semantis. Dalam penggunaan bahasa, misalnya, tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial. Kekaburan itu dipilih dalam rangka mewujudkan ketaksaan, pertetangan atau kebencian, ketidaksempurnaan, ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial.

Haliday secara khusus mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut: (1) Fungsi personal, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, sikap atau perasaan pemakainya. (2) Fungsi regulator, yaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap atau pikiran/pendapat orang lain, seperti rujukan, rayuwan, permohonan atau perintah. (3) Fungsi interaksional, yaitu penggunaan bahasa untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati atau penghiburan. (4) Fungsi informatif, yaitu penggunaan bahasa untuk menyampaikan informasi, ilmu pengetahuan atau budaya. (5) Fungsi imajinatif, yaitu penggunaan bahasa untuk memenuhi dan menyalurkan rasa estetis (indah), seperti nyanyian dan karya sastra. (6) Fungsi heuristik, yaitu penggunaan bahasa untuk belajar atau memperoleh informasi seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan atau sesuatu hal. (7) Fungsi instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan keinginan atau kebutuhan pemakainya.

Tekstual kebahasaan yang disampaikan oleh para pemain Ketoprak Dor merupakan penggambaran dari struktur sosial masyarakat Jawa Kontrak yang hidup di zaman perbudakan Belanda. Masyarakat Jawa Kontrak banyak melupakan struktur bahasa Jawa asli bahkan penggunaan bahasa pada masyarakat Jawa Kontrak terdengar sangat kasar. Tekstual kebahasaan yang digunakan oleh para pemain Ketoprak Dor adalah bahasa komunikasi daerah setempa yakni Melayu, Karo dan Batak yang menghubungkan antara maksud dari pertunjukan Ketoprak Dor dengan penonton pertunjukan. Persentase tekstual bahasa yang

diucapkan oleh para pemain Ketoprak Dor didominasi oleh bahasa lokal daerah setempat serta dikolaborasikan dengan penggunaan bahasa Jawa.

Dalam mengkaji teks dialog pada cerita Joko Bodo, peneliti menggunakan teori semiotika dari Barthes. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007 : 82).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure (dalam Aminuddin, 1995: 168) hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan dan sebagainya.

Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep ‘relasi’. Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda (disebut expression

‘ungkapan’ dilambangkan dengan E) dan petanda (disebut contenu/ content ‘isi’ dilambangkan dengan C). Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi (R). Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi–Denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut lain, seperti bagan berikut ini (Pudentia, 2008:335).

Dokumen terkait