BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. Konsep Nyeri
2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensorik multidimensi yang tidak menyena-ngkan akibat kerusakan jaringan. Kelompok studi nyeri Perdossi (2000) menerje-mahkan definisi nyeri yang dibuat IASP (International Association The Study of
Pain) yang berbunyi “nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut”. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan (Crombie, et a l, 1999).
Mc.Caffery (1979 dalam tamsuri, 2006) mendefinisikan nyeri sebagai kea daan yang mempengaruhi seseorang dan keberadaannya diketahui jika seseorang pernah mengalaminya. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan secara fungsional. Pada kasus-kasus gangguan sensasi nyeri (misalnya: neuropati akibat diabetes) maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat (Dieppe, 1995).
Kozier & Erb (1983 dalam Tamsuri, 2006) menegaskan bahwa nyeri merupakan suatu sensasi ketidaknyamanan akibat persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah satu alasan utama seseorang datang untuk mencari pertolongan medis. Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan (Crombie, et al. 1999).
2.2 Klasifikasi Nyeri
2.2.1 Klasifikasi berdasarkan awitan
Berdasarkan waktu kejadiaan, nyeri dikelompokkan menjadi nyeri akut dan kronis. Nyeri akut terjadi dalam waktu yang singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan. Nyeri akut dibagi atas: Pertama nyeri yang muncul, dimana sebelumnya tidak ada nyeri kronik. Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba, sebelumnya klien sudah menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan dengan nyeri kronik. Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik yang selama ini diderita oleh pasien (Tamsuri, 2008).
Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi. Nyeri ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan penyembuh. Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi akut akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung atau tidak langsung. Sebagian dari mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang menyebabkan hiperalgesia.
Nyeri kronis timbul tidak teratur, intermiten atau bahkan persisten. Nyeri kronis dibagi 2 yakni nyeri kronik maligna dan nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik.
2.2.2 Klasifikasi berdasarkan lokasi
Potter & Perry (2005) ada beberapa macam klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi yakni:
LOKASI KARAKTERISTIK CONTOH-CONTOH
PENYEBAB Nyeri
superficial/kutaneus Nyeri akibat stimulasi kulit
Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam.
Jarum suntik, luka potong kecil atau terserasi.
Viseral dalam
Nyeri akibat stimulasi organ-organ internal
Nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah.
Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada nyeri superficial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung dari organ yang terlibat.
Sensasi pukul, angina pectori, dan sensasi terbakar.
Nyeri alih
Terjadi pada nyeri visceral karena banyak organ-organ yang tidak punya reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensoris dan organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeripada daerah yang tidak terkena.
Nyeri terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik
Infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, dan bahu kiri, natu empedu, yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan.
Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain.
Nyeri serasa akan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan.
Nyeri punggung bagian tubuh akibat diskus intravertebral yang rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungka i dari iritasi saraf skiatik.
2.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Organ
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia dan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Berger (1992) nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: (1) lingkungan, (2) umur, (3) kelelahan, (4) riwayat sebelumnya, (5) mekanisme pemecahan masalah, (6) kepercayaan/agama, (7) budaya, dan (8) orang-orang yang memberi dukungan.
Lingkungan yang tidak nyaman akan memperkuat persepsi nyeri. Suasana ribut, panas, dan kotor akan membuat pasien merasa intensitas nyerinya lebih tinggi. Sebaliknya jika suasana tenang, nyaman, dan bersih akan membantu menciptakan perasaan rileks sehingga rasa nyeri dapat dikurangi. (Taylor, 1997).
Umur juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya, sehingga kemungkinan perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk
Kelelahan dapat membuat orang merasakan nyeri lebih kuat. Hal ini disebabkan karena kekurangan energi untuk melawan stimulus nyeri Lelah juga mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap nyeri. Semakin diterima rasa nyeri akan semakin berkurang begitu juga sebaliknya (Alexander & Hill, 1987).
Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997).
Mekanisme pemecahan masalah mempengaruhi perasaan nyeri seseorang. Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk menurunkan rasa nyeri. Ini sangat membantu orang tersebut untuk menurunkan nyerinya, misal seseorang terbiasa membayangkan hal-hal yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri (Berger, 1992).
Kepercayaan/agama mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Dalam agama tertentu, kesabaran adalah hal yang paling berharga di mata Tuhan. Kadang-kadang nyeri dianggap sebagai peringatan sebagai peringatan atas kesalahan yang telah dibuat sehingga orang tersebut merasa pasrah dalam menghadapi nyeri (Taylor, 1997).
Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalam suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1997).
Adanya orang-orang yang memberi dukungan berpengaruh terhadap nyeri yang dirasakannya, misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang dirasakannya jika ia berada didekat kedua orang tuanya (Taylor, 1997).
2.4 Mekanisme Nyeri
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Pencegahan terhadap terjadinya kerusakan jaringan mengharuskan setiap individu untuk belajar mengenali stimulus-stimulus tertentu yang berbahaya dan harus dihindari.
Apabila terjadi kerusakan jaringan, sistem nosiseptif akan bergeser fungsi dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut.
Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif atau Reumatoid Arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri. Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf (nyeri fungsional). Berbagai mekanisme yang mendasari
munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, dan persepsi.
Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan ) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus di otak, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan (Brookoff, 2000).
2.5 Respon Klien Terhadap Nyeri
Respon seseorang terhadap nyeri bervariasi, ada yang sakit dan ada yang tidak merasakan respon tingkah laku terhadap nyeri yang dialami (Priharjo, 1996).
2.5.1 Respon fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta nyeri superficial, tubuh bereaksi membangkitkan
General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem
saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2006).
2.5.2 Respon perilaku
Respon prilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983) menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan fase pasca nyeri Mc. Caffery (1983 dalam Tamsuri, 2006). Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu belajar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan atau tindakan ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seseorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari.Pada fase pasca nyeri, individu biasa saja mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil.
2.5.3 Respon psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada individu yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2006).
2.3 Pengukuran Nyeri Reumatoid Arthritis
Potter & Perry (2005) untuk pengukuran nyeri perlu dilakukan pengkajian karakteristik umum nyeri untuk membantu perawat membentuk pengertian pola nyeri dan tipe nyeri. Perawat mengajukan pertanyaan untuk menentukan awitan, durasi,
rangkaian nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan? Apakah nyeri yang dirasa terjadi pada waktu yang sama setiap hari? Seberapa sering nyeri kambuh?
Kemudian perawat meminta klien untuk menunjukkan lokasi nyeri. Alat pengkajian skala nyeri berupa numeris, deskriptif, analog visual. Klien menetapkan suatu titik pada skala yang berhubungan dengan persepsinya tentang tingkat keparahan nyeri pada waktu melakukan pengkajian.
Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur skala nyeri, diantaranya yang dikemukakan oleh AHCPR (Agency for Health Care Policy &
Research) :
Deskripsi Sederhana terdiri dari :
tidak nyeri, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat Visual Analog Scale (VAS)
Digunakan garis 10 cm batas antara daerah yang tidak sakit ke sebelah kiri dan daerah batas yang paling sakit.
Tidak sakit Nyeri sehebat yang terjadi
Verbal Numerical Rating Scale (VNRS)
Sama dengan VAS hanya diberi skor 0-10 daerah yang paling sakit dan kemudian diberi skala
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Grafik Verbal Rating Scale
Tidak ada nyeri Nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri sangat hebat (Brunner & Suddarth, 1996).
Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau ditunjukan padanya dapat diseleksi dengan hati–hati, maka setiap instrument tersebut dapat menjadi valid dan dapat dipercaya (Potter & Perry, 2005).
3. Nyeri Reumatoid Arthritis
3.1 Ciri Khas Nyeri Reumatoid Artritis
Nyeri pada penyakit reumatik terutama disebabkan oleh adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepaskannya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainnya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan oleh suatu rangsangan/stimulus (Isbagio,1995).
Menurut Junaidi (2006) gejala klinis RA pada saat yang bersamaan bisa banyak sendi yang mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris. Jika suatu sendi pada sisi kiri tubuh terkena, sendi yang sama di kanan tubuh juga meradang. Yang pertama kali meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Sendi yang meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku secara simetris, terutama pada saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas fisik.
Sendi yang terserang akan membengkak, membesar dan segera terjadi kelainan bentuk. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah kelingking sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya. Pembengkakan pergelangan tangan dapat mengakibatkan terjadinya sindrom
terowongan karpal. Sifat sistemik pada kategori penyakit reu matik yang dikenal
sebagai penyakit jaringan ikat dicerminkan dalam bentuk proses inflamasi yang tersebar luas. Meskipun berfokus pada persendian inflamasi juga melibatkan
bagian-bagian tubuh lainnya seperti vaskulitis, jantung, paru, ginjal (Brunnert & Suddarth, 2001). Sekitar 10% AR muncul secara akut sebagai poliartritis, yang berkembang cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula monoartritis lalu poliartritis. Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode perandangan diselingi oleh remisi. Rentang gerak berkurang, tebentuk benjolan rematoid ekstra sinovium (Junaidi, 2006).
Nyeri RA kronis sakit adalah melibatkan keduanya antara peripheral dan sekeliling, prosesnya meliputi: adanya faktor intrinsik ke neuron (unsur P, serotonin), pelepasan mediator inflamasi ke jaringan sehingga rusak oleh prostaglandins, TNF, yang mengaktifkan sel yang peka rangsangan ion-channel-linked pada afferent berhubungan dengan neurons, glutamate menyebabkan kerusakan dorsal, neurotransmitter nyeri yang utama, N-Methyl-D-Aspartate (NMDAa)-RECEPTOR yang menghasilkan rangsangan inflamasi (Kelly, 2005).
3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Reumatoid Arthritis
Pada RA nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses imunologik pada sinovial (Harry,2008). Tahap pertama adanya stimulus antigen kemudian terbentuk antibodi imunoglobin membentuk komplek imun dengan antigen sehingga menghasilkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan terlihat di persendian sebagai sinovitis. Inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi merupakan proses sekunder.Prostaglandin bertindak sebagai modifier inflamasi prostaglandin memecah kolagen sehingga dapat merangsang timbulnya nyeri melalui proses edema, proliferasi membaran sinovial, pembentukan pannus, penghancuran kartilago dan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2001)
Harry (2008) mentatakan bahwa nyeri pada penyakit RA dapat terjadi akibat:
1) Rangsangan pada nociceptors di dalam komponen perangkat biomekanik,
misalnya perangsangan nociceptors pada otot, sendi, tendon dan ligamen. Nyeri jenis ini berhubungan dengan konsep nyeri sistem sensorik, sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap situasi yang membahayakan atau terjadinya kerusakan. Oleh karena adanya nyeri ini, maka bagian yang terserang akan diistirahatkan/imobilisasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut.
2) Penekanan saraf atau serabut saraf (radiks).
3) Perubahan postur yang menyebabkan fungsi untuk mengatur kontraksi otot tidak sempurna.
4) Mekanisme psikosomatik.
3.3 Mekanisme Pengurangan Nyeri Reumatoid Artritis
Tujuan pengobatan RA adalah menghilangkan rasa sakit, meredakan inflamasi, mempertahankan luas gerakan sendi, mencegah kecacatan dan membantu penderita dalam mengatasi problema psikologis yang timbul sebagai akibat dari penyakit kronis yang meninggalkan kecacatan ini. Pada prinsipnya terapi yang dilakukan meliputi sendi yang meradang diistirahatkan karena penggunaan sendi yang terkena akan memperberat peradangan. Selama periode pengobatan diperlukan istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin, diberikan obat nyeri, obat antiinflamasi nonsteroid atau steroid sistemik atau pemberian logam emas, atau tindakan pembedahan untuk memperbaiki deformitas. Mengistirahatkan sendi secara rutin membantu mengurangi nyeri. Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi untuk mencegah kekakuan (Junaidi, 2006).
Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat pada saat istirahat, sehingga penderita dapat terbangun dari tidur atau bahkan sulit tidur. Oleh karena itu, cara-cara mengurangi nyeri sangat berharga bagi penderita, misalnya dengan kompres dingin atau penggunaan obat antinyeri jangka panjang. Penderita RA sekurang-kurangnya harus beristirahat 10-12 jam pada malam hari dengan penambahan satu waktu istirahat pada siang hari (Nainggolan, 2004).